FF(34) ● Time(zion)
Yeay udah up lagi, vote ya kalo boleh sih sekalian komen. Kan seneng gitu aku jadinya wkwkwk
Oh ya, pelan-pelan aja bacanya, panjang banget part ini :)
°°°
TEMPAT makan Japan food itu terlihat ramai oleh pengunjung. Kursi-kursi penuh mengingat hari libur. Tapi beruntungnya, Linzy bersama Zion dan Regha berhasil menemukan kursi kosong di pojok kanan.
Usai kepergian si medusa, alis Cindy, emosi Linzy yang tadi berkumpul minta diledakkan malah membuat cacing-cacing perutnya kepanasan.
Karena tidak ingin cacing-cacing perutnya makin parah mendemo sampai menimbulkan suara, sontak saja Linzy menarik tangan Regha untuk mencari tempat makan. Toko cokelat di depannya pun sudah tidak punya daya tarik lagi di matanya.
Sayang, dia lupa kalau ada sosok lagi manusia di antara mereka. Sudah sewajarnya, Regha mengajak Zion bergabung makan bersama. Seolah tak peduli pada Linzy yang protes lewat matanya, Regha sudah keburu asik mengobrol bersama Zion.
Alhasil, dia hanya bisa pasrah. Tak banyak bicara sampai mereka dapat menemukan tempat makan dan sudah duduk manis di kursi. Membiarkan kedua cowok itu mendominasi percakapan.
Tiba-tiba ponsel Regha bergetar, memutuskan obrolan antaranya dan Zion. Sang empunya sontak bangkit dan pamit untuk mengangkat telepon.
Kepergian Regha tentu meninggalkan hening tak mengenakan. Linzy sibuk pada daftar menu, sementara yang cowok sibuk memerhatikan wajah perempuan di depannya diam-diam.
Hari ini memang Linzy tampak berbeda. Rambut yang biasanya dikucir kuda atau dibiarkan tergerai, sekarang dibuat kepang daun. Lebih dengan dress turtle neck the off shoulder bewarna abu-abu yang dipakainya. Bisa dibilang Linzy nyaris sempurna cantik hari ini.
Ada satu pelayan yang mendekati meja mereka. Menanyakan pesanan. Pelayan itu tersenyum sekaligus mengangguk mendengar pesanan yang Linzy sebutkan.
"Kalo masnya?"
"Carbonara sama lemon tea." Pelayan wanita itu mengangguk sedang tangannya bergerak mencatat.
Setelah menyuruh Zion dan Linzy menunggu, pelayan itu berlalu pergi, sekali lagi menciptakan senyap di meja.
"Lo udah selesai mengheningkan cipta?"
"Hah?" Linzy mendongak cepat menatap Zion.
"Lo dari tadi diam aja, gue pikir lagi mengheningkan cipta."
Apa sih, Zion receh banget! "Gue males ngomong sama lo, sama aja bikin mulut gue berbusa gak akan kelar-kelar!"
"Dih, gue baru ngajak ngomong padahal."
"Siapa yang nyuruh lo ngomong sih, udah diam aja!" sentak Linzy kesal.
"Tapi gue kalo gak ngomong, bibir gue suka gatel gitu. Lo mau garukkin emang?"
Tuhkan! Ini-nih alasan kenapa dia ingin protes saat Regha mengajak Zion untuk bergabung. Cowok itu pasti tidak akan berhenti berceloteh, sampai rasanya telinga Linzy panas.
Cukup di sekolah saja kesabaran Linzy terkuras menghadapi Zion. Jangan hari libur dan waktu santainya seperti ini!
Semesta rupanya memang tidak ingin Linzy merasa hidup tenang sehari saja!
"Lo liat anak kecil itu gak, Zi?" Telunjuk Zion mengarah pada satu titik, yang membuat kepala Linzy melihat arahan cowok itu.
Tahu yang ditunjuk Zion adalah balita yang tengah menangis di baby chair, dahi Linzy mengerut, di sana pengasuhnya tampak kewalahan. Sementara sang ibu malah terlihat santai makan sambil memainkan ponsel.
"Kenapa emangnya?"
"Kasian aja, anaknya nangis, ibunya malah cuek aja sambil main hp."
Linzy diam. Ada rasa iba yang memang terasa kala melihat tangisan anak kecil itu menjadi-jadi, tangannya terulur ke arah ibunya seolah minta digendong. Bahkan anak sekecil itu mengerti, dia tidak ingin digendong orang lain. Dia keras kepala menunggu sang ibu mengangkatnya dari baby chair.
Siapa yang tega melihat pemandangan seperti itu?
Termasuk Linzy dan ... Zion. Cowok itu juga terdiam, rautnya tak terbaca sama sekali. Lalu perkataan lirih keluar dari mulutnya. "Dia masih kecil, tapi pasti ngerti, mana ibu kandungnya, mana orang lain. Walaupun orang lain itu yang lebih sayang ke dia."
Seolah ada palu tak kasat mata yang memukul Linzy telak. Bibirnya terkatup. Matanya memandang tak mengerti pada Zion yang sangat santai setelah mengucapkan perkataan pelan tadi.
"Gue pastiin nanti, kalo gue gak akan nyari istri kayak gitu."
Hancur sudah! Kenapa Linzy terlalu serius mendengar ucapan Zion yang pasti akan berakhir melenceng jauh dari topik awal.
"Nggak ada yang nanya soal masa depan lo, Yon!"
"Ngapain nanya masa depan gue. Kalo lo itu jawaban dari masa depan gue." Linzy menganga. "Beuhhh mantep gak tuh?" Setelahnya Zion tertawa sekaligus mengernyit geli. "Kalo dipikir-pikir lagi kenapa omongan gue kayak tai-tai gitu ya. Jijik gue."
"Sadar juga ternyata!" Yang perempuan tambah ketus. "Gue mual dengernya!"
Pembahasan itu berakhir bertepatan dengan pelayan yang mengantarkan pesanan mereka dan juga Regha yang baru kembali setelah mengangkat telepon.
"Lo ngangkat telepon? Apa rukiyah anak orang, lama banget."
Telinga Regha seolah tuli mendengar ucapan tak jelas itu. "Gue kayaknya harus pulang, Zi." Ucapan ini ditujukan untuk Linzy. Yang pantas membuat Linzy mengerutkan dahi tak mengerti. "Atar yang nelpon tadi, dan dia nyuruh gue ke rumahnya sekarang buat nganter berkas."
Linzy sontak berdiri. "Oh yaudah kita langsung pulang aja sekarang."
"Lah makanannya gimana? Sayang ini, belum dimakan," ujar Zion menatap pesanan di atas meja.
"Bener kata Zion sayang makanannya," Regha ikut berbicara. "Udah lo di sini aja sama Zion."
"Ih gak mau, kalo lo pulang mending gue pulang. Lagian siapa yang mau makan bareng baskom sayur."
Zion sontak memelotot mendengarnya.
"Gue nggak bisa nganter lo pulang, dari sini gue langsung ke rumah Atar. Kebetulan juga berkasnya ada di mobil."
"Nggak mau gue!" rengek Linzy sambil menghentakan kakinya kesal. Persis seperti anak kecil yang merajuk.
"Zion gak bakal ngapa-ngapain lo, Zi. Kalo misalkan iya, gue gak segan buat jadiiin dia samsak di rumah." Ancaman yang Regha ucapkan terdengar seperti kebohongan untuk Linzy. Dia makin melipat bibirnya ke bawah. "Udah lo sama Zion aja di sini. Tenang aja nanti makanannya gue yang bayar."
Lalu tanpa peduli lagi pada protesan Linzy yang melarangnya pulang. Regha tetap melangkah meninggalkan meja mereka. Tepat sebelum pergi dari tempatnya, Regha menepuk bahu Zion dua kali sambil mengurai senyum.
°°°°
Tidak ada hal lain yang Linzy lakukan selain duduk di kursi panjang mall. Cemberut menatap lalu lalang orang-orang di depannya. Setelah keluar dari tempat makan dalam keadaan kenyang tentu tidak bisa dijadikan alasan untuk Linzy mengurai senyum.
Apalagi mengingat sepupunya yang setega itu meninggalkan Linzy dengan sahabat gilanya.
"Yaelah tuh bibir, dilipet terus, gak capek apa?" Masa bodoh dengan orang yang mengucapkan itu. Gara-gara dia, Linzy harus terperangkap di sini sendirian.
Nyatanya susah untuk menghilangkan kekesalan walau sudah duduk di depan banyak orang. Dia bangkit berdiri, tak tahan lagi. Cowok sebelahnya sontak mengikuti.
"Udah ah gue mau pulang!"
"Dih gitu!" Zion menyeringai geli akan tingkah Linzy. "Ya udah sana kalo emang mau pulang."
Jika tidak mengingat Linzy yang lupa membawa dompet, sudah sejak tadi dia meninggalkan mancung badak di sampingnya ini!
"Iya gue pulang, gue mau nelpon sopir gue dulu." Beruntung ada satu cara lain yang bisa Linzy gunakan. Sial! kenapa Linzy baru mengingat akan hal ini?! Bego! Bego!
Tapi harapan terakhir itu harus terhapus juga kala Linzy tersentak saat ponselnya yang menyala mendadak mati. Ah kampret! Baterai ponselnya kehabisan daya.
"Kok gak jadi?" Zion bertanya saat dilihatnya Linzy malah memasukkan ponselnya ke dalam tas. Sementara Linzy menghunuskan pedang lewat tatapan, ditanya begitu.
Senyum Zion mengembang tahu Linzy tidak ada pilihan lagi selain tetap bersamanya. Lalu melihat pirang itu yang tak berhentinya cemberut, justru dengan sengajanya dia merangkul bahu si cewek.
"Udah sih, pulang entar aja, gue yang anter. Sekarang seneng-seneng aja dulu."
"Eh-eh gak mau gue!" Linzy protes saat rangkulan Zion berganti menarik tangan kanannya.
Seakan protesan Linzy hanya nyanyian burung yang diabaikan begitu saja oleh Zion. Cowok berkemeja putih dengan dalaman hitam itu, terus menarik tangan Linzy sampai kaki mereka berhenti di tempat yang menjadi tujuan si cowok.
Mata yang perempuan membulat menatap tujuan tempat cowok itu membawanya. "Lo ngajak gue ke timezone?"
Anggukan Zion antusias menjawab pertanyaan Linzy. "Iya kita happy-happy di sini. Let's go!" serunya seperti anak kecil kemudian tanpa peduli oleh tanggapan Linzy, cowok berambut acak-acakkan itu menarik tangan Linzy lagi menuju kasir untuk mengisi kartunya.
Kartu Zion sudah selesai terisi. Lalu bertanya,"Lo punya kartunya gak?"
Pertanyaan bodoh! Memang siapa yang tidak memiliki kartu timezone? Sejak kecil Linzy selalu meluangkan waktu libur keluarganya ke sini, jika mama-papanya tidak memiliki banyak waktu untuk menikmati liburan di luar kota atau negeri.
Beruntungnya kartu timezone itu selalu Linzy pisahkan dari dompet sama seperti kartu member toko pakaian langganannya. Jadi dengan menjawab pertanyaan Zion, dia mengeluarkan kartu itu dari tas selempang.
Setelah Zion menerima kartunya dia memberikannya ke Mas kasir untuk diisi. Tentu awalnya Linzy ingin menolak dan ingin mengisi memakai uang sendiri.
Tapi cepatnya Zion respon. "Emang lo bawa uang?" Sialan! Zion sekarang punya alasan untuk terus meledeknya seperti ini.
Menjauh dari kasir. Mainan pertama yang menjadi incaran Zion adalah game mencetak angka dengan bola yang jatuh di lubang angka.
Diawal permainan, bola hanya jatuh di lubang empat. Yang berarti Zion hanya mendapat empat tiket. Dicoba lagi permainan itu. Sayangnya, memang Zion tidak pernah beruntung bermain permainan ini, skornya justru lebih parah, bolanya jatuh di angka nol.
"Cih bisa gak sih lo! Permainan paling gampang gitu aja cuma dapet empat tiket."
"Yee, kayak lo bisa aja dapatin tiket lebih banyak dari gue!" Zion langsung sewot.
"Lo mau liat?" tantang Linzy lalu dia menggesek kartu di mesin yang sama di sisi kiri. Dia menunggu putaran berlubang dengan skor tinggi melewati corong lewatnya bola lalu seperti sudah hebat dalam permainan ini, Linzy santainya menekan tombol.
Bola itu meluncur jatuh. Memantul-mantul. Zion di sampingnya fokus memerhatikan, membuat senyum geli Linzy terukir. Seolah memang dewi fortuna sangat membenci Zion, bola yang Linzy luncurkan justru jatuh tepat di lubang ... super bonus.
Zion tidak bisa menahan rahang yang ingin jatuh ke bawah saking tak percayanya. Sementara Linzy tersenyum penuh kemenangan.
"Nahkan gue bilang apa!" Seru Linzy bangga.
"Cih lagi beruntung aja lo itu!" Zion tidak terima.
"Yee bilang aja lo iri!"
"Nggak ada yang iri! Gue yakin lo lagi beruntung doang," siapa cowok yang merasa senang jika dikalahkan oleh perempuan. Jelas bukan Zion sekali! "Gimana kalo lo sama gue bersaing, siapa yang dapat banyak tiket. Itu berarti bisa dibilang hebat."
"Lo yakin mau bersaing sama gue? Entar kalah malu lagi!" ledeknya. Apa ini yang namanya karma, selama ini Zion yang selalu meledek Linzy, bukan kebalikan seperti ini.
"Cih kita liat aja nanti. Tapi kalo lo yang kalah jangan nangis?"
"Emang kalo menang dapat apa?" entah kenapa Linzy sangat percaya kalo dia bisa mengalahkan Zion.
"Pastinya dapet pujian dari yang kalah. Yang menang berhak nentuin tiketnya ditukar sama apa. Yang kalah harus ngelakuin semua perintah dari yang menang dan gak boleh sedikit pun protes."
Hadiah yang cukup menarik. Jelas Linzy tidak akan membuang peluang untuk mengalahkan dan mempermalukan Zion. "Oke."
"Oke." Zion ikut mengangguk. Mereka berdua sudah berancang-ancang di depan mesin masing-masing. Seolah ini adalah lomba maha penting yang harus bisa mereka menangkan. "Mulai."
Persaingan sepele itu malah digantung penuh ketegangan. Keduanya fokus pada permainan masing-masing. Terutama si cowok yang fokusnya sudah diberikan seluruh pada bola yang memantul di dalam mesin.
Beberapa anak-anak ada yang penasaran pada apa yang sedang dua remaja itu lakukan. Tiket-tiket di mesin kanan-kiri sudah sampai menyentuh lantai.
Dua puluh menit kemudian. Mereka sudah mencapai kasir. Untuk kedua kalinya mengisi kartu sekaligus menukar tiket yang mereka dapatkan dalam jumlah banyak.
"Gue mau boneka unicorn," ucap Linzy sambil tersenyum mengejek. Tentu tak perlu dijelaskan siapa yang memenangkan persaingan itu tadi.
Zion di sampingnya melipat wajah. Bibirnya mencebik seperti anak kecil yang dikalahkan oleh teman sepermainannya. "Terserah lo!"
"Mas saya mau boneka yang itu ya." Linzy menunjuk boneka unicorn berukuran sedang bewarna biru yang bertengger cantik di atas rak.
Si masnya hanya bisa menuruti keinginan Linzy, jelas tidak bisa menolak mengingat jumlah tiket yang mereka tukarkan lebih besar dibanding jumlah angka yang tertempel di kepala boneka unicorn itu.
Senyum Linzy mengembang saat boneka yang diinginkan sudah berada didekapan dadanya. Senyuman Linzy adalah hal terlangka jika perempuan itu bersama Zion. Jadi sudah sewajarnya wajah Zion yang menekuk perlahan berubah pias.
Pelan tapi pasti, senyum lelaki itu ikut mengulas melihat binar bahagia di wajah Linzy. Setidaknya rasa tidak senang karena dikalahkan seorang cewek tidak lebih besar dibanding rasa bahagianya melihat senyum yang jarang perempuan itu perlihatkan.
°°°°
"Sekarang mau main lagi? Atau pulang?" tanya Zion menatap berbagai mesin mainan di sana.
"Gue mau boneka lagi."
"Hah?" Zion kaget. "Kan tiketnya tinggal dikit gimana bisa dituker lagi."
"Ih emang dapet boneka cuma dari tuker tiket. Kan bisa dari mesin boneka. Tuh itu!" Linzy menunjuk ke arah kanan belakang Zion. "Ayo lo harus bisa dapetin boneka buat gue—gak boleh nolak permintaan dari yang menang." Linzy mengingatkan kala bibir Zion terbuka hendak protes.
Zion mendengkus. Tidak ada pilihan lain selain menuruti keinginan ratu, iya kan?
"Gue mau boneka yang pojok kanan," ucap Linzy menatap banyak boneka yang terhalang kaca claw machine.
"Itu susah, Zi."
"Kalo lo emang raja penakluk semua mesin mainan—kayak yang lo bilang tadi. Ya seharusnya lo bisa dapetin boneka yang di pojok itu." Entah memang Linzy berniat memuji Zion atau ingin meledeknya.
"Siap tuan putri!" Zion mengangkat tangan hormat bergaya seperti pengawal kerajaan. Meski wajahnya terpasang sangat datar.
Setelah menggesek kartu. Zion menekan start dan mulai menggerakan tuas ke pojok kanan sesuai keinginan Linzy. Capitan itu bergerak mengikuti tuas. Fokus Zion meneliti apa capit itu maksimal untuk bisa mengambil boneka di pojok.
Setelah yakin kalau dia bisa mendapatkannya. Zion menekan tombol bersamaan dengan capit yang turun ke bawah dan meraih boneka yang Linzy maksud.
Baru saja harapan Zion menjulang tinggi saat dia menggeser tuas ke kiri. Sayangnya, belum sampai lubang pengambilan, boneka itu terjatuh.
Kalau bukan tempat umum, Zion akan berteriak sekarang!
Percobaan pertama gagal.
Percobaan kedua juga berakhir sama.
"Lo bisa gak sih?!" Linzy sudah capek melihat boneka yang dia mau terus terjatuh.
"Bisa!" seru Zion yakin. "Tapi lo harus janji dulu sama gue, kalo gue bisa dapetin tuh boneka sialan. Lo harus turutin apa yang gue mau."
"Cih ogah kalo gitu!"
Sayangnya, Linzy tersentak saat Zion malah menjabat tangannya dan berkata, "Deal!"
"IH NGGAK MAU GUE!" seru Linzy yang diabaikan begitu saja oleh Zion. Cowok itu justru sudah kembali fokus pada tuas dan capit besi itu.
Kesal Linzy jadinya. Lebih lagi dengan cowok itu yang bergumam, "Jadi mesin, jadi mesin."
"Lo bego ya, Yon?! Lo pikir film kartun busa kuning itu bisa ditiru di dunia ... nyata." Luar biasa Linzy tak menyangka. Matanya melebar tak terkira saat boneka yang sejak tadi sulit didapatkan akhirnya terjatuh mulus di kotak lubang itu.
Ekspresi Linzy tak berubah. Bahkan sampai Zion mengambil boneka dan memberikannya pada Linzy. cowok itu tersenyum sangat lebar. "Nih!"
Sadar, dengkusan pertama yang menjadi respon Linzy. Cowok itu berhasil mendapatkannya. Ah! Padahal kan Linzy ingin melihat wajah Zion yang terus-terusan kesal seperti tadi!
Walau begitu, tentu Linzy tidak bisa menahan rasa bahagia karena mendapatkan dua boneka sekaligus. Hendak meraih boneka panda yang Zion pegang, Linzy harus diuji kesebarannya oleh tingkah menyebalkan Zion yang sengaja menyembunyikan boneka itu di balik punggungnya.
"Ish siniin bonekanya!" pintanya galak.
"Enggak," Zion menggeleng. "Lo harus nurutin permintaan gue dulu, kan udah janji."
"Gue nggak janji ya, lo yang maksa!" ucap Linzy meninggi. "Siniin, Yon. Bonekanya."
Sekali lagi Zion menggeleng. "Lo harus senyum tulus dulu sambil bilang 'makasih ya Zion, boneka pandanya lucu kayak lo'."
Linzy mengerut jijik. "Nggak mau gue!"
"Ya udah kalo gak mau, bonekanya gue kasih anak kecil aja," ancam Zion sembari memutar kepalanya mencari sosok anak perempuan yang bisa dia berikan boneka panda ini.
"IH JANGAN DONG!" teriak Linzy tertahan. "Ya udah iya-iya. Gue ikutin kemauan lo."
"Ayo, gue mau liat." Senyum Zion mengulas. Yang ingin sekali Linzy benturkan ke mesin supaya hilang.
Awal yang Linzy lakukan mengurai senyum setengah hati. Yang justru membentuk seringaian yang aneh.
"Cih! Nggak mau gue kalo senyumnya setengah begitu. Gue kasih anak kecil aja bonekanya..."
"Ih jangan!" protes Linzy. Ditariknya napas panjang sebelum dihembuskan perlahan. Diam dulu yang Linzy lakukan, sebelum mengurai senyum tulus yang Zion inginkan.
Senyum itu sempurna membingkai wajah Linzy. Menenggelamkan seluruh kesadaran Zion dalam sekali waktu. Seharusnya Zion tahu, kalau meminta senyum Linzy sama saja membahayakan organ kerja jantungnya.
"Makasih Zion, boneka pandanya lucu ..." kali ini Linzy merasa sulit untuk meneruskan kalimat dan senyumnya. "Kayak lo..." setengah mati perjuangan Linzy untuk tetap bisa mempertahankan senyuman.
Zion menampar dirinya sendiri untuk sadar. Dia berdeham membasahi tenggorokannya yang kering mendadak. "Udah jangan senyum lagi. Senyum lo aneh!"
Siapa yang tidak kesal jika dikatai begitu. "Tadi lo yang minta gue senyum. Sekarang malah ngatain!"
"Ya-iya tapi jangan lama-lama, kalo lama-lama senyum lo mirip mak lampir!"
Atas perkataan itu keinginan Linzy membinasakan Zion makin meningkat sepertinya. Tanpa bicara dan merespon ucapan Zion. Dia menarik boneka panda itu secara paksa.
Sialan emang Zion!
°°°°
Kebanyakan orang suka lupa waktu jika sudah bermain di timezone. Tidak kenal umur dari anak-anak sampai orang tua pasti senang menghabiskan setiap detik di arena permainan itu. Termasuk dua remaja; Zion dan Linzy.
Mereka keluar dari sana tepat pukul 07.00 malam. Dengan langkah santai dan mendekap dua boneka, Linzy berjalan keluar arena mall. Sementara Zion merengut sebal di belakang sambil membawa dua kantong pakaian belanjaannya.
Sebelum menuju parkiran, mereka menyempatkan diri dulu untuk menjemput pakaian yang Linzy titip tadi. Seusai menunjukkan kartu member miliknya. Tanggap, pekerja di sana tentu langsung mengambil dua kantong plastik berisi pakaiannya.
"Nih, bawain!" ucap Linzy sambil mengangsurkan kantong plastik toko pakaian bermerek terkenal.
"Lha kenapa gue yang bawa?" Zion bingung.
"Lo nggak ingat perjanjian tadi—yang menang merintah apapun, yang kalah gak boleh protes." Tahu bahwa Zion akan keras kepala menolak, Linzy melempar kartu as yang mematikan penolakan Zion secara langsung.
Tidak perlu menunggu, sambil merengut sebal, cowok itu menerimanya.
Beberapa waktu lalu, Linzy menahan keinginan untuk tertawa keras. Kapan lagi dia bisa membuat Zion kesal sepanjang hari ini?
"Jangan ke parkiran motor," karena ucapan itu, Linzy menghentikan langkah sekaligus menoleh ke belakang. Zion masih terus berjalan sebelum berhenti di sampingnya. "Gue bawa mobil Bunda hari ini. Motor gue lagi sekarat di bengkel."
"Kalo motor lo bisa ngomong, gue yakin dia udah ngerengek minta di jual supaya bisa nemuin pemilik yang baru."
"Kok gitu?" Zion memelotot.
"Ya iyalah kalo lo aja gak peduli soal jarum bensinnya yang udah mau abis. Gimana bisa dia betah sama lo. Apalagi lo bilang motor lo lagi di bengkel," Linzy menggeleng penuh ledekkan sambil meneruskan langkah bersama Zion. "Kasian banget motor lo itu punya pemilik kayak lo!"
Peri hati Linzy tengah menjerit dan bersorak penuh kesenangan sekarang. Sempurna seharian ini, dia bisa membalas dendam atas semua kejailan Zion yang membuat darahnya melonjak tinggi setiap harinya.
Senyumnya seolah tak kenal lelah melihat wajah tertekuk Zion sepanjang hari. Apalagi cowok itu tidak bisa membalas apapun dan hanya bisa pasrah.
Tapi seharusnya Linzy juga harus ingat dengan perkataan orang; jangan terlalu bahagia jika tidak ingin diakhir nanti mendapatkan sesuatu yang tak terduga. Sesuatu yang menimbulkan luka.
Seperti sekarang ini, tepat di basemant langkah Linzy berhenti tiba-tiba bersamaan dengan seluruh tubuh yang seakan terikat di pijakan. Senyumnya menghilang, berganti pil pahit yang terasa tertahan di kerongkongan.
Linzy berharap sesuatu yang dilihat di depannya bukanlah hal yang nyata.
●●●●●
Linzy menang sekarang. Zion gak bisa ngelawan hahahhah
Ada yang bisa nebak Linzy ngeliat siapa sampe jadi patung begitu?
Senyum mulu ya Zi? :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro