FF(32) ● Gitar Pada Cerita
Boleh minta vote-nya hehehe
°
°
°
PADA ruangan berukur empat kali lima itu. Zion mengajaknya. Duduk di sofa panjang yang berada di dekat jendela kaca yang langsung menunjukkan pemandangan taman belakang rumah Zion. Berbagai gitar menggantung apik di dinding kiri. Sedangkan pada dinding kanan, banyak rak berisi kaset lama yang berjejer rapi.
Sejam lalu sebelum mereka sibuk latihan, Linzy sempat terpesona saat menginjak kakinya pertama kali ke ruangan ini. Dalam ketergunan Linzy, Zion banyak cerita tentang ruang musik di rumahnya. Di sini tempat ayahnya suka membuang waktu sepulang kerja. Tempat Zion berlatih gitar untuk pertama kali.
Zion juga bercerita, tentang ayahnya yang penyuka musik rhythm and blues. Tentang sang ayah yang menghadiahkan sebuah gitar—yang selama ini selalu dibawanya kemana-mana—pada ulang tahunnya yang kelima tahun.
Dari kecintaan ayah pada musik, tak mengherankan lagi jika rasa cinta itu turun pada Zion lewat hobinya yang suka bermain gitar.
Selama dia bercerita, tidak ada tanda-tanda apapun. Senyumnya melekat. Terkadang lelaki itu tertawa setiap mengingat ayahnya yang suka kesal jika Zion salah memetik kunci chord.
Untuk topik ini, sesungguhnya Linzy sangat ingin menanyakan perihal ayah Zion dan tulisan di belakang gitar itu. Tapi, niatnya terkurung oleh Zion yang berganti topik, menyuruhnya berulang kali menyanyikan bait part-nya.
Dengan gitar yang berada di pangkuan Zion, mereka berlatih seperti yang kemarin. Tapi kali ini, Linzy sudah hafal lirik itu di luar kepala.
Namun, disaat seharusnya waktu lebih mudah berjalan karena dia yang sudah bisa bernyanyi tanpa melihat lirik di ponsel lagi, justru tidak seperti diharapkan, detik demi detik seolah sengaja bercanda dengan berlalu sangat lambat.
Bagaimana Linzy tidak merasa begitu, kejadian beberapa menit lalu—sebelum mereka ke ruangan ini—masih terngiang-ngiang di otak Linzy. Memeluk sangat erat hingga menyulitkannya berkonsentrasi.
Kejadian saat dia tersentak di sofa sementara tangan kanan Zion menempel di atas laci samping kirinya dan tangan satunya lagi menyandar di sandaran sofa. Oh ... Tuhan, dia bahkan masih bisa mengingat dekatnya wajah Zion di depannya.
Sialan! Kenapa Linzy jadi begini karena hal biasa tadi?
Cukup Linzy. Cukup! Fokus sekarang.
"Tiga kali!" suara itu terdengar bersamaan dengan hilangnya suara petikan gitar yang sedari tadi mengambang. Linzy mengangkat kepala menatap Zion yang duduk di sampingnya.
"Apa?" Linzy bingung.
"Lo!" Zion merengut kesal. "Tiga kali lo ngelamun sejak ke ruangan ini. Kalo nambah lagi, gue gak bakal nyadarin lo pake omongan lagi tapi langsung ciuman. Mau?!"
Linzy langsung memukul pipi Zion. "Najis! Itu mah mau lo!"
Pukulan Linzy sekadar pelan, yang sama sekali tidak berarti apa-apa untuk Zion. Dia malah terkekeh. "Emang lo ngelamunin apaan sih? Utang kantin? Apa video buat 21++?"
Linzy memelotot. Mengambil bantal yang berada dipangkuannya lalu memukul kepala Zion berulang kali. "Mesum!"
Zion tergelak bersamaan dengan gitarnya diangkat hingga menutupi wajah upaya melindungi diri dari pukulan Linzy. Tidak butuh waktu lama, Linzy akhirnya berhenti, masih memasang wajah kesal.
"Cowok wajar mesum."
"Cih! Cowok yang suka nonton bokep tuh otaknya pasti gak waras kayak lo! Gak bisa mikir kecuali mikirin buah dada sama pangkal paha!" Linzy menggertakan gigi.
"Tapi ada nilai plusnya. Cowok yang suka nonton begituan pasti pinter di atas ranjang!"
Linzy ternganga. Matanya membulat penuh.
"ZION!" Emosinya melonjak hingga perbatasan akhir. Makin membabi buta dia memukul Zion dengan bantal di tangan.
Bersama tawa yang tambah meledak dan gitar yang menghalangi wajah, Zion menghindar, menggeser tubuhnya lebih ke kiri, hingga mencapai ujung sofa.
Masa bodoh dengan fakta jika Linzy tengah memukuli Zion di rumahnya sendiri. Dia sudah keburu kesal dan rasanya ingin memusnahkan cowok itu sekarang.
Ketika Zion merasa takut gitarnya jadi rusak karena semakin mendapat sasaran gila dari bantal. Dia menarik gitarnya untuk ditaruh di tempat aman.
Sayang seribu sayang, tali gantungan gitar yang ternyata keinjak kedua lutut Linzy—yang sudah dinaikkan di atas sofa—menghilangkan keseimbangan perempuan itu.
Pada gitar Zion yang sudah mendarat jatuh di bawah sofa bersama tangan kirinya, dia tak terlalu pedulikan dibanding Linzy yang mendarat jatuh di atasnya. Kedua tangan perempuan itu bertumpu di dada Zion, sedikit menciptakan jarak.
Lagi-lagi semesta sengaja membuat kejadian yang tak pernah keduanya sangka.
Otak Linzy sudah mati total, matanya saja yang membulat. Lain halnya pada Zion yang seolah kehabisan napas sekaligus merasakan pacuan gila di dada.
Beruntung suara ketukan pintu mengembalikan jiwa waras mereka masing-masing. Linzy buru-buru menyingkirkan diri dari tubuh Zion. Menghirup udara sebanyak-banyaknya.
Ruangan ini terasa panas tiba-tiba. Membuat Linzy tak yakin itu pengaruh AC ruangan atau aliran darahnya yang memompa hingga menciptakan rona merah.
Dia tidak berani menoleh saat sudut matanya melihat Zion yang membetulkan posisi duduknya. Bertepatan dengan itu, pintu terdorong dari luar.
"Mas Zion kalo udah selesai latihan disuruh ke belakang sama Bunda. Temennya juga ajak sekalian."
"Latihannya udah selesai dari tadi, Mbak,"balasnya. "Bilang ke Bunda, kita nanti ke sana."
Setelah Mbak Rosa meninggalkan pintu dan kembali ke dapur. Zion berdiri, menatap Linzy dengan kecanggungan luar biasa.
"Ayo."
Jika Zion saja yang tidak pernah punya urat malu, bertingkah seperti itu apalagi Linzy yang merasa sekarang telah kehilangan fungsi berpikirnya.
°°°°
Yang di maksud belakang oleh mbak Rosa adalah ruang makan.
Bersama kecanggungan itu, mereka berjalan ke sana. Yang perempuan hanya bisa menunduk tanpa ingin menoleh ke kirinya. Sementara yang cowok berusaha terlihat santai, tapi sialnya Linzy bisa lihat wajah Zion yang memerah hingga telinga.
Arghh! Jangan tanya wajah Linzy yang lebih merona?!
Tapi kala tiba di ruang makan, kaki Linzy mendadak berhenti sekaligus menatap tak percaya apa yang ada di atas meja. Dia tak pernah menduga jika Friska menyuruh mereka ke belakang, ternyata untuk menyantap rainbow cake, buatannya yang tampak cantik dan menggugah lidah akan rasa manisnya itu.
"Duduk Linzy."
Saking terbuainya dia hampir lupa untuk duduk. Sementara Zion sudah duduk manis di kursi samping kanannya.
"Iya, Tante..." Linzy mengangguk sekaligus menarik kursi dan mendaratkan diri di sana.
Mendengar panggilan itu mengurungkan niat Friska memotong kue untuk Linzy. "Ah sayang jangan manggil Tante ... Bunda agak gimana gitu dengernya. Panggil Bunda aja ya."
Kalimat Friska bukan saja menganggetkan Linzy. Tapi juga Zion yang sudah tersedak krim di mulutnya.
"Zion!" Friska menyodorkan gelas ke arahnya. "Kebiasaan kamu!"
Linzy masih shock. "Apa, Tante?"
"Tuh-tuh kenapa masih manggil Tante!" Friska langsung protes. "Kan udah dibilang Bunda gak suka. Mulai sekarang Linzy manggil Bunda aja, kayak Zion. Regha, Arven juga manggil begitu." Putusnya final.
Lalu dia mendorong piring berisi potongan kue. "Nih dimakan ya. Kamu nggak usah sungkan, anggap aja rumah sendiri. Bunda emang suka iseng bikin kue kayak gini kalo lagi males balik ke toko."
"Iya sampe gumoh Zion." Perkataan cowok itu langsung mendapatkan pukulan pelan ujung garpu milik Friska.
Tanpa peduli dengan Zion yang merengut kesal sambil mengusap tangannya bekas tusukan garpu. Friska menatap Linzy dengan senyum keibuan. "Ayo dimakan Linzy."
"Iya, Tan—eh Bunda." Linzy meringis, mengumpati lidahnya yang tak mau diajak bekerja sama.
Mungkin Linzy tidak sadar saat dia mengucapkan nama 'bunda', Zion menatap wajahnya dari samping. Lama.
"Nggak pa-pa, nanti juga biasa." Seperti Zion yang ramah pada siapapun, Friska pun termasuk orang yang terlihat selalu murah senyum.
Lima detik selanjutnya Friska mulai bercerita.
"Pas denger kalo Zion akhirnya mau ngajak Linzy latihan di sini, Bunda seneng banget. Jarang banget soalnya anak Bunda ini—" Friska sekali lagi menggetok punggung tangan Zion dengan ujung garpu. "—bawa temen, apalagi ini temen cewek. Selama ini yang datang cuma Arven sama sepupu kamu, Regha."
Sekadar senyum yang Linzy berikan. Dia menoleh pada Zion, dan menangkap basah cowok itu yang tengah menatapnya. Bukannya Zion yang malu karena tertangkap basah, tapi Linzy yang lebih dulu memalingkan muka.
"Karena seneng akhirnya Linzy mau ke sini, Bunda pengin buatin kue buat kamu kalo datang nanti. Makanya Bunda nanya ke Zion, kamu suka kue apa. Terus Zion bilang kalo kamu suka rainbow cake," Friska tampak makin antusias bercerita. "Ternyata kita punya selera yang sama." Lalu wanita itu tertawa pelan.
Sedangkan Linzy terdiam. Bukan pada selera kue dia dan Bunda Zion yang ternyata sama. Tapi alasan lain yang membuatnya terdiam adalah karena Zion mengetahui makanan favorit-nya selain lollipop. Tidak ada yang tahu itu kecuali Regha dan keluarganya. Dan tentu Lian yang bercerita jika dia tahu soal itu dari Regha.
Tapi ... Zion? Apa cowok itu juga bertanya pada Regha tentang kue kesukaannya?
Tapi untuk apa?
Lama dirinya membisu. Sementara otaknya bekerja ekstra untuk menemukan jawaban.
Namun, dia menyerah juga akhirnya.
Sejenak, dia menoleh pada Zion dan ternyata lelaki itu sudah sibuk pada kue di piringnya. Karena tidak ingin terlihat bodoh sendirian, Linzy mengikuti hal Zion lakukan. Mencicipi kue kesukaannya yang sudah lama dia lupakan.
Pelan dia gigit potongan kue di garpu. Hanya butuh sedetik. Sedetik untuk Linzy merasa dirinya terlempar ke masa lalu.
Rasa manis kue bercampur krim yang lembut seakan menyuruh Linzy mengingat masa dimana hanya ada tawa dan bahagia di hidupnya.
Pada masa kebahagian itu, mamanya tidak pernah absen untuk membuat kue kesukaannya di hari minggu. Bersama film yang mereka tonton, kue itu tersaji menjadi pengiring canda dan tawa yang mereka lempar.
"Kenapa Linzy?" Terima kasih pada Friska karena berhasil menarik Linzy dari pusaran memorinya.
"Aaa ... gak kenapa-napa, Bun." Linzy menggigit lagi kue manis yang menggunggah selera itu, sayangnya, lidahnya menolak rasa manis itu, hingga terasa hambar di mulut.
"Kuenya gak enak sayang?" tanya Friska lagi. Zion di sebelahnya juga sudah menjatuhkan fokus kepada Linzy.
Dia langsung menggeleng cepat. "Nggak sama sekali, Bun. Kuenya enak banget. Ngingetin Linzy sama kue buatan ... Mama," lanjutnya lantas menunduk.
Untuk Linzy yang kehilangan napsu makannya. Friska justru merasa antusias oleh topik ini. "Mama kamu suka buat kue juga?"
"Iya..." tenggorokan Linzy tercekat untuk sesaat. "Tapi dulu ... Mama sibuk kerja sekarang."
Friska menjulurkan tangan dan mengusap kepala Linzy penuh sayang. "Nggak pa-pa sayang, Mama sibuk kerja juga karena kebutuhan Linzy."
Bukan! Mama sibuk kerja karena nggak mau ketemu papa di rumah. Tetapi bukan itu yang Linzy ucapkan, melainkan hanya senyum yang terurai.
Di antara percakapan mereka, Linzy tidak tahu, bahwa Zion tidak berpaling sedikit pun. Menangkap jelas semua raut yang Linzy tunjukkan.
Dari wajah keruh beberapa saat, perih yang tampak di mata, dan senyum yang kelihatan sangat dipaksakan. Dia sudah cukup mahir untuk membaca kebohongan seseorang. Jika kini, Linzy sedang tidak baik-baik saja.
Ekspresi perempuan itu terlalu mudah dibaca, mungkin faktor karena Zion sering melakukan itu, berbohong pada seluruh alam semesta, menipu semua orang jika hidupnya selalu bahagia dan tidak ada luka di sana.
"Kalo emang Mama Linzy sibuk banget, dan gak bisa bikin kue buat Linzy," Suara Friska menyentak lamunan Zion. "Linzy ke sini aja, main ke rumah Bunda, pasti Bunda buatin kue terenak khusus buat Linzy," senyum sang Bunda terurai. "Linzy mau kan?"
Oleh seluruh perkataan Friska, Linzy dibuat terpana dan tertegun untuk kesekian kalinya. Friska adalah sosok Ibu yang Linzy mimpikan sejak mamanya berubah. Sejak papanya lebih sering menghabiskan waktu di luar kota.
Yang tak bisa Linzy tahan, rasa iri itu lagi-lagi datang. Mengotori pikirannya akan keberuntungan yang Zion dapatkan. Lelaki itu beruntung karena mendapatkan sosok ibu seperti Friska.
Namun, setidaknya rasa iri itu tak bisa menandingi besarnya kebahagian akan tawaran tadi. Sambil tersenyum, Linzy mengangguk, membuat senyum Friska lebih lebar dibanding tadi.
●●●●●
Jadi Zion beruntung ya punya Bunda kayak Friska hmmm....
Menurut kalian iya juga apa enggak?
Bunda Friska kesayangan Zion :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro