Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(31) ● Rumah Bunda

Vote dan komen ya sayangkuhh, supaya akunya jadi  rajin ngetik gitu  wkwkwk

°

°

°

Hati itu paling sulit dibohongi, walau berusaha menutupi, tapi hati punya cara untuk menyampaikannya sendiri

  °°° 

BERSAMA Zion yang menuntun motornya, Linzy sudah tak kaget lagi bila suara cowok itu mendominasi setiap langkah yang mereka ambil di trotoar. Bibir cowok itu seolah tak kenal lelah, terus terbuka dengan perkataan yang selalu meluncur dari sana.

Mulai dari pembahasan hamster Justin yang katanya sakit lalu menyambung pada kucing liar yang berada di dekat rumah bundanya muntah-muntah mendadak. Lebih stresnya saat cowok itu bilang seperti ini.

"Gila gak sih, tuh kucing baru ngelahirin empat anak kemaren. Eh sekarang udah bunting lagi. Lagian siapa yang buntingin coba, tokcer banget!"

Tanpa kata, Linzy menoyor kepala belakang Zion. Untung-untung bisa membuat otak cowok itu balik ke posisi semula.

Bukannya berhenti lelaki yang masih menuntun motornya itu malah menjadi-jadi. Makin parah di banding tadi. Setiap orang yang berlalu lalang di trotoar seperti mereka, mendapatkan komentar cowok itu. Dari anak SMP yang tengah berpacaran di halte sampai sebuah motor gede yang melewati mereka.

"Kenceng banget mbak meluk masnya, takut kebawa angin ya?"

Pada ucapan yang berhasil membuat Linzy malu setengah mati itu, dia menghadiahkan pukulan di bahu Zion. Rasanya dia ingin menggali tanah dan mengubur diri di sana.

Beruntung cowok yang mengendarai motor sambil membonceng ceweknya tadi tampak tak mendengar suara Zion yang sepertinya terbawa angin.

"Lo bisa gak sih gak iseng jadi orang?!"

Zion mengangguk mantap. "Bisa!" lalu melanjutkan, "... tapi gak tau kapan."

Dada Linzy seperti digerogoti api, yang menimbulkan rasa panas hingga kepala. Harus bagaimana lagi dia untuk bisa bersabar menghadapi Zion. Mendengkus pasrah, dia menyerah. Membiarkan Zion sibuk pada dunianya.

Ketika akhirnya Zion memilih untuk berhenti berceloteh, bersama Linzy yang juga diam sejak tadi. Mereka memutuskan untuk mempersingkat jarak menuju pom bensin terdekat, melintasi daerah perumahan di jalan itu sampai tanpa sadar langkah mereka melintasi sebuah taman.

Sejuknya udara yang mengitari taman itu terasa membelai nyaman penciuman Linzy. Pepohonan mengelilingi sekitar, semak-semak yang berada di pojok taman makin memperindah mata jika memandang.

Banyak anak yang berlari, bermain, dan tertawa di sana. Linzy memerhatikan lama, hingga sebuah ingatan menelusup di kepala.

Dulu saat kecil, hampir setiap minggu sore, Linzy berlatih sepeda bersama papanya. Tertatih-tatih dia belajar, dari jatuh berulang kali, terluka berulang kali, hingga menangis berulang kali. Tapi ketika mendengar suara sang Papa yang menyemangatinya, Linzy tersenyum dan terus berusaha untuk bisa mengendarai sepeda.

Sampai pada hasilnya, perjuangannya tidak sia-sia. Dia bisa membuat papanya bangga. Bisa membuat papanya tersenyum dan tertawa.

"Lo mau istirahat dulu?"

Untuk perkataan Zion yang berhasil menghapus memori indah sekaligus menyakitkan di kepala, Linzy harusnya berterima kasih. Tapi tidak, dia hanya menjawab pertanyaan tadi, "Nggak usah nanti makin sore. Jalan aja terus."

Terhitung dari Linzy yang shock karena motor Zion yang kehabisan bahan bakar lalu yang pada akhirnya membuat mereka berjalan kaki mencari pom bensin terdekat. Mungkin hampir setengah jam mereka berjalan kaki seperti ini.

Namun, yang anehnya adalah Linzy sama sekali tidak merasakan sakit di kakinya atau pun lelah.

"Sori," tiba-tiba Zion berucap begitu, yang tentunya membuat kaki Linzy berhenti melangkah.

Perempuan itu menoleh, ditatapnya Zion dengan pandangan tak mengerti. Sayangnya, cowok itu seolah tidak ingin menjelaskan lebih rinci arti dari ucapannya. Dia tetap berjalan sambil menuntun motor hitam miliknya.

Dikala hening lebih suka mengitari keduanya. Pandangan mereka bersamaan menoleh ke titik yang sama. Memandang seorang perempuan berpakaian seksi tengah duduk di bangku taman sambil menunduk, rambut panjanganya terurai menutup sisi wajah.

Mereka saling tatap. Dari raut Zion, Linzy tahu, kegilaan lelaki berjaket denim itu akan kembali lagi. Sebelum bisa mencegah, Zion sudah lebih dulu melakukan aksinya.

"Duh kasian banget itu mbak pahanya dibuka-buka begitu. Masuk angin nanti!"

Astaga! Kontan tanpa ditahan Linzy mencubit pinggang Zion bersamaan dengan kepala orang yang Zion panggil 'mbak' itu terangkat.

Cukup melihat wajah si 'mbak' itu, keduanya tahu kalau situasi buruk siap menghadang mereka.

Si 'cewek', eh bukan laki-laki setengah wanita itu menatap mereka sambil menyungging senyum genit.

Bukankah seharusnya mereka berdua bisa memenangkan rekor orang tersial yang ada di dunia? Sudah harus berjalan kaki karena kehabisan bensin, dan takdir menyuruh mereka menghadapi seorang waria.

"Ah masnya perhatian banget." Suaranya terdengar berat dan menjijikan di telinga mereka.

Untuk yang lelaki mungkin air liurnya sudah tak tersisa saking banyaknya dia menelan ludah. Dan untuk pertama kalinya, Zion diserang panic attack.

"Zi ... Zi," suara Zion sudah seperti cicitan tikus saking pelannya. Linzy yang masih terkejut setengah mati, dipaksa menoleh. "Gue itung sampai tiga, kita mundur pelan-pelan oke. Terus lari."

"Masnya ganteng banget sih, aduh-duh minta dicubit pipinya itu. Mau gak sama eyke mas?"

Bulu kuduk Zion seketika meremang. Merasa jijik dan takut di waktu bersamaan.

Sejujurnya melihat Zion yang ketakutan, Linzy ingin ngakak rasanya karena wajah cowok itu yang sudah seperti menahan BAB. Tapi situasi ini tidak menghendaki dirinya untuk tertawa.

"Tapi kita kan lagi bawa nih motor sialan, gimana bisa lari!"

Ucapan Linzy ada benarnya, tapi posisi mereka sudah di ujung tanduk untuk tidak cepat-cepat pergi dari makhluk menggelikan itu.

"Bisa! Pasti bisa! Lo cuma harus bantu gue dorong!"

Astaga nih cowok gila kali ya!

Linzy tak tahu harus berkata apa, karena didetik berikutnya mereka berdua semakin kaget luar biasa, saat cewek-setengah-cowok itu berdiri di atas sepatu high heels yang cukup tinggi.

Tampak berusaha berjalan berlenggak-lenggok mengikuti perempuan tulen, tapi tetap saja, cara jalan cowok itu masih bisa dibilang gagah.

"Satu," Zion sudah menghitung. "Dua," dan seperti sebuah kesempatan yang diberikan dari Tuhan, salah satu sepatu high heels manusia-jadi-jadian itu patah, membuat dia langsung terjungkang ke belakang.

Jika bukan karena situasi menegangkan ini, Zion dan Linzy bisa ketawa sampai menangis karena melihat posisi tak elit mas-mas itu terjatuh.

"Tiga ... sekarang!" Mereka berdua berbelok ke kiri. Zion sudah lebih dulu berlari—bukan, mungkin hanya bisa di bilang berjalan cepat sambil menuntun motornya. Posisi Linzy di belakang, membantu Zion mendorong motor sialan ini.

Langkah mereka belum cukup jauh saat mendengar makian kasar waria itu. "Eh mas, mas jangan kabur dulu. Eyke belum minta nomornya mas! Astajim sepatu sialan! Mas tunggu!"

Masa bodoh dengan si manusia jadi-jadian tadi, hal yang mereka pikirkan sekarang adalah harus cepat-cepat meninggalkan taman itu.

Ketika akhirnya mereka sampai di luar di gerbang lain dan bertepatan dengan pom bensin yang berada di seberang jalan, keduanya menghentikan lari-atau-bisa-disebut-jalan-cepat itu.

Napas mereka berlarian cepat di udara. Linzy bahkan sampai terbatuk-batuk.

Tetapi sesaat mata mereka bertemu, tanpa bisa dicegah tawa keduanya meledak seketika.

Kalau diingat kembali situasi menegangkan sekaligus lucu tadi, siapa yang tidak bisa menahan tawa. Mengingat bagaimana si waria terjungkang ke belakang karena heels-nya. Apalagi masih bisa dia ingat wajah bloon Zion saat digoda seorang waria. Linzy makin tergelak.

Untuk Linzy yang terus tertawa. Lain halnya dengan Zion yang baru sadar dan tertegun setelahnya. Wajahnya pias, fokusnya terkunci pada perempuan pirang di sampingnya tertawa lebar tanpa beban.

Ini pertama kali seorang Felinzy Lavira tertawa lebar di depan Falzion Herlangga. Meski tawa itu bukan dia yang menjadi alasannya, tapi jelas Zion tidak bisa mengontrol sesuatu di dadanya. Sesuatu yang sering kali dia rasakan jika bersama Linzy. Walau ledakkan ini lebih besar dan dahsyat.

°°°°

Setelah akhirnya mereka bisa bernapas lega karena motor Zion bisa dikendarai lagi dan sudah diisi full bensin. Mereka bisa mencapai rumah bundanya Zion tanpa masalah lagi. Di pelataran rumah bergerbang hitam itu, motor sport Zion berhenti, yang sebelumnya gerbang tinggi itu dibuka satpam rumahnya.

Saat Zion sudah melepaskan helm lalu turun dari motornya, Linzy sibuk merapikan rambutnya yang berantakan. Dia lebih sibuk pada rambutnya, yang padahal di keningnya sudah banyak peluh yang mendominasi.

Yang lelaki diam memerhatikan. Lalu dikala Linzy selesai mengucir rambutnya menjadi satu, dia dibuat tersentak merasakan punggung tangan Zion yang mengusap keningnya. Menghilangkan peluh keringat di sana.

Diputus semua sendi, hanya iris miliknya yang mampu menatap diam lelaki di depan. Zion tersenyum, tanpa peduli kebisuan yang diciptakan pada Linzy.

"Lo mau ngapain rapi-rapi? Kayak ketemu camer aja." Zion meledek.

Linzy memelotot. "Apa sih! Gue cuma gak enak bertamu ke rumah orang disaat gue lagi kusut kayak gini!"

Lelaki itu terkekeh lalu sangat entengnya dia mengusap kepala Linzy, yang sekali lagi membuat perempuan tertegun karena tindakan di luar dugaan itu.

"Kalian udah sampai?"

Terima kasih untuk suara itu karena berhasil mengeluarkan Linzy dari kebisuannya. Namun, saat dia tahu asal suara itu berasal dari sosok wanita yang masih sangat cantik diusinya menginjak kepala empat berdiri di depan pintu, yang tahu-tahu sudah terbuka, dia justru merasa malu seketika.

"Bunda," sapa Zion pada wanita itu, lalu begitu saja menarik tangan Linzy mendekat ke arah beranda, menaiki tangga dan berhenti di depan bundanya.

Rasanya Linzy ingin mengubur diri sekarang. Astaga dia sangat malu, kalau memang wanita itu sudah berdiri di sini sejak tadi, maka tanpa dia dan Zion sadari, wanita itu pasti melihat Zion yang mengusap kepalanya.

Argh! Apa yang harus dia lakukan sekarang ya Tuhan ... ?

Gantian setelah Zion mencium punggung bundanya, Linzy melakukan itu.

Sang Bunda menatap Linzy lama sambil tersenyum. "Ini Linzy?"

Zion yang menjawabnya dengan anggukan. Sorot yang diberikan Bunda, mengingatkan Linzy akan sosok mamanya yang dulu. Sosok lembut yang penyabar. Sosok Ibu yang menyayangi anaknya melebihi apapun.

Dan melihat Bunda, menggali segala kenangan yang berusaha Linzy kubur dalam-dalam. Karena dia tahu kenangan seperti itu tidak akan kembali dia rasakan.

"Cantik, persis kayak bayangan Bunda."

"Bunda belum tau aja kalo galaknya dia ngalahin hulk!" Zion mencibir. Linzy memelotot pada orang di sampingnya. Tidak perlu dia yang membalas, karena sang Bunda sudah lebih dulu mencubit hidung Zion pelan.

"Perempuan galak wajar, itu namanya dia bisa ngelindungin diri dari cowok-cowok kayak kamu."

"Emang Zion kayak apa, Bun?" Zion balik nanya.

"Menurut kamu aja, kamu kayak gimana."

"Kalo menurut Zion. Zion cowok paling ganteng, anak budiman yang rajin membantu dan menabung—"

"Oh jadi kamu anaknya budiman, bukan anaknya Bunda. Lagian tuh Budiman siapa?"

Si lelaki mengerucutkan bibirnya sebal. "Cukup Zion aja Bun yang otaknya nyicil, Bunda jangan ikut-ikutan."

Friska, wanita yang masih tampak muda itu tertawa. Mengacak-acak rambut anaknya gemas. Di sela antara tawa dan percakapan singkat yang mereka bagi, Linzy sekadar tersenyum. Ada rasa iri yang menelusup di dada, yang padahal berusaha mati-matian untuk dia hilangkan.

Friska makin gregetan, mencubit hidung anaknya lagi.

"Iya-iya, Zion itu cowok ganteng yang gak akan sayang cewek lain selain bundanya."

Belum cukup untuk interaksi yang membuat Linzy dikurung oleh iri, Zion mengucapkan kata yang berhasil menamparnya.

'Gak akan sayang cewek lain selain bundanya' bukankah sangat jarang seorang anak semudah itu menuturkan rasa sayang sama ibunya, apalagi ini anak lelaki?

Seperti Linzy contohnya, dia terkadang bingung bagaimana cara mengungkapkan rasa sayang pada sang mama. Bukan bingung, lebih tepatnya dia merasa malu jika mengatakan rasa sayang secara frontal seperti Zion.

"Tuhkan kamu gombal lagi!" Friska menampilkan raut tak senang, yang padahal Linzy yakin wanita paruh baya itu merasa bahagia. "Ayo Linzy masuk, tinggalin aja dia di sini."

Linzy menahan tawa, saat Friska menuntunnya masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Zion yang terbengong-bengong di depan pintu.

"Lho-lho, Bun! Kok ... kok Zion ditinggal, Bun!" teriak Zion di depan pintu.

Seiring langkah mereka menuju ruang tamu, Zion nyatanya tidak senang ditinggalkan begitu saja di sana. Menyusul dengan wajah merengut.

"Zion anak Bunda, kalo Bunda lupa!" saat di ruang tamu dan Linzy yang sudah duduk di salah satu sofa, Zion mengucapkan kata itu persis seperti anak kecil yang tengah merajuk.

"Emang siapa yang bilang kamu anak tetangga!" Friska berujar santai, ini pertama kali dia melihat Zion, si raja jail balik dijaili. Apalagi lelaki itu tidak bisa membalas lagi. Linzy tertawa melihatnya.

"Udah-udah Bunda mau ke dapur, ngelanjutin buat kue-nya." Friska mengibaskan tangan seolah Zion adalah lalat pengganggu. "Ganti seragam kamu dulu baru latihan."

"Kalo butuh apa-apa, Linzy ke belakang aja ya." Pesan kali ini tertuju untuk Linzy.

"Ah iya..." Linzy mengangguk kaku. Menghentikan tawanya.

Lalu Friska berlalu begitu saja, padahal Zion sudah kesal setengah mati di tempatnya berdiri. Dia menoleh pada Linzy.

"Tunggu situ, gue mau ganti baju dulu, sekalian minta mbak Rosa buatin lo minum."

°°°°

Selama menunggu Zion yang berganti baju dan juga setelah Mbak Rosa—yang dia tahu adalah asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Zion—mengantarkan minuman untuknya, Linzy memilih menghabiskan waktu memandang setiap interior yang berada di rumah Zion.

Tatapannya berkelana, melahap segala hal yang ada di sana. Mulai dari lukisan ikan yang tergantung di atas sofa panjang yang kini Linzy duduki. Lampu besar yang menggantung di langit-langit. Guci-guci mahal yang tergeletak di pojok ruang.

Lalu pada tiga bingkai yang disusun rapi di laci kayu samping sofa.

Linzy menggeser tubuhnya ke kiri, mendekatkan dirinya untuk menatap foto di ketiga bingkai cantik itu.

Di bingkai paling ujung, dia dapat melihat gambar seorang anak lelaki berumur tiga tahun tengah tertawa sambil memeluk robot mainannya.

Sekali melihat senyum itu, dia tahu kalau lelaki yang sangat tampak bahagia itu adalah Zion. Cowok gila yang selalu menganggunya. Tanpa sadar, senyum Linzy mengulas kecil.

Di bingkai yang terletak di tengah, Zion sudah berumur lima tahun, masih dengan tawanya dia meloncat girang di atas trampoline.

Sayangnya, pada bingkai terakhir,  dahinya justru berkerut. Melihat tawa yang sejak tadi berada di kedua foto awal lenyap di foto ketiga. Cowok itu berdiri kaku sambil memegang sebuah piala. Memakai seragam merah putih dengan ekspresi tak terbaca.

Tangan Linzy sudah terjulur hendak meraih foto itu bertepatan dengan sebuah tangan yang terulur lebih dulu dari arah belakangnya, membalikkan bingkai itu ke posisi bawah. Linzy terkejut luar biasa sekaligus menolehkan kepala.

Didetik ini, Linzy seolah kehilangan napas. Kekagetan akan hal tadi, tidak berarti apa-apa dibanding melihat Zion yang berdiri di depannya, sambil membungkuk dengan tangan yang menempel di laci dan sandaran sofa. Sepenuhnya mengurung Linzy di sana.

Perempuan pirang itu meneguk air liurnya susah payah. Kepalanya dipaksa menarik lebih ke belakang, mencoba menjaga jarak meski sia-sia akhirnya. Dia terjebak dikurungan Zion. Tidak ada celah untuk menghindar.

"Gak perlu diliat fotonya, gue udah ganteng dari lahir."

Seperti Linzy yang seharusnya, jika mendengar kepedean Zion dia akan menendang atau minimal mencubit. Bukan seperti sekarang, yang malah terdiam dengan pipi yang mulai memanas .

●●●●●  

Bisa bayangin part akhirnya gak? wkwkkw 🙈🙈

Semoga aja tulisannya mudah buat dibayangin di otak

Part bsok masih lanjut di rumah bunda nih :) Jangan bosen-bosen ya

 Nih muka minta ditabok (Linzy)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro