Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(29) ● Terpesona Meski Sadar

Ayo divote dulu, kalo boleh sih dikomen juga <3

°

°

°

Jangan sering-sering mengumbar kata benci, jika ujungnya nanti ada cinta di hati.

°°°

HAL yang mungkin sangat jarang seorang Zarlin Aurellia lakukan adalah keluar jalan di hari minggu.

Semestinya hari libur bagi para pelajar itu, bisa sedikit mengurangi kebiasaan Zarlin yang selalu mendekam di rumah. Tapi Zarlin tetaplah Zarlin, yang lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca dibanding hangout bersama teman-temannya.

Lagi pula memang Zarlin punya teman?

Selain Nara, dia tidak punya siapapun. Dan dia harus berterima kasih pada sahabatnya itu karena sudah berhasil menyeretnya keluar rumah.

Jadi hari minggu yang biasanya dihabiskan untuk membaca buku, kini mesti diganti nongkrong tidak jelas di kafe milik papanya.

Sudah menjadi runititas di hari minggu kalau Starlie Café padat oleh pengunjung. Pelayan hilir-mudik tampak sibuk. Belum lagi band yang meramaikan suasana yang berada di panggung depan sekarang.

"Lo harus sering-sering ngabisin waktu di luar kalo hari minggu kayak gini, Zar," tegas Nara, yang terkadang lelah oleh sifat membosankan Zarlin yang tidak ingin seperti remaja lain.

"Aku mau aja, Ra," ucapnya sambil menatap jalanan yang sudah macet oleh kendaraan. Beruntung cuaca mendung hari ini mendukung, setidaknya jalanan tidak makin tampak gersang di matanya. "Tapi kamu kan tahu sprotektif apa mamaku."

"Gue juga tau kalo Tante Mayra selalu ngelarang lo keluar, tapi kan seharusnya lo bisa minta izin." Nara sekali lagi bersikeras sambil membenarkan posisi duduknya. "Atau enggak lo bisa bilang papa lo. Pasti diizinin deh, Papa lo kan pengin anaknya banyak temen, bukan jadi anak kuper."

Zarlin tersenyum, tidak tersinggung, lalu menyeruput strawberry milkshake pesanannya. "Tapi aku gak keberatan kok dilarang kayak gitu, itu berarti Mama sayang banget sama aku. Lagian ya, aku emang lebih suka di rumah, dibanding tempat ramai kayak gini."

Nara memutar matanya malas, rasanya dia ingin mencuci otak Zarlin. "Udah kebayang gue gimana ngeboseninnya hidup lo itu," cibirnya.

Lagi, seperti sudah biasa Zarlin sama sekali tidak tersinggung.

"Tapi nih ya, Zar ..." Zarlin yang duduk di depannya diam menunggu. "Kadang gue kepikiran gitu, Mama lo tuh udah kayak Ibu tiri di film-film, terlalu ngekang dan ujungnya maksa anaknya buat ngelakuin apapun yang dia mau."

Sontak Zarlin tertawa. Bagaimana bisa Nara menyimpulkan hal tidak masuk akal seperti itu. "Ra, kamu kebanyakan nonton drama tau gak. Kamu udah lama kenal Mamaku Ra, gimana sih. Dia emang ibu tiri, tapi semua orang juga tau kalo dia yang selalu ada buat aku. Dari kecil sampai sekarang, cuma dia yang selalu ada."

Nara hendak protes tapi dia tahu topik ini akan membawa sesuatu hal yang sensitif. Memori yang pasti akan membangkitkan luka terpendam Zarlin. Dan jelas Nara tidak ingin sahabatnya mengingat kenangan menyakitkan itu lagi.

Sudah dari masih kanak-kanak dan belum mengenal dunia dewasa, Nara mengenal Zarlin, sudah pasti tahu bagaimana jalan yang telah perempuan kecil itu lewati.

Yang Nara tahu, diusia Zarlin yang menginjak lima tahun, mamanya pergi entah kemana. Zarlin tidak pernah cerita, sebatas hal itu yang diketahui Nara.

Dalam kondisi tidak bisa melihat, tidak bisa mengetahui apapun yang ada di sekitar, Zarlin harus rela kehilangan pegangan satu-satunya yang membuatnya yakin kalau bahagia itu masih ada.

Belum cukup akan cobaan yang Tuhan berikan, dia juga harus rela kehilangan cahaya yang selalu menuntunnya di dalam kegelapan, kakak lelakinya, yang pergi bersama sang  Mama.

Di sini. Di dunia ini. Zarlin hanya tinggal seorang diri. Tidak ada lagi penyemangatnya, tidak ada lagi mentari yang bisa menyinari hidupnya. Zarlin kosong, Zarlin gelap, walau kenyataannya dia bisa melihat  dunia sekarang.

"Lo beruntung karena Tante Mayra bukan ibu tiri yang suka manggang anak tirinya," canda Nara, membuat senyum di bibir sahabatnya yang kini memakai dress cokelat teruntai lebar. "Oh ya, Papa lo tau kalo kita pergi ke sini?"

Zarlin mengangguk. "Tau. Dia keliatan seneng malah, tau soalnya udah lama aku gak datang ke sini."

"Nahkan gue bilang apa! Papa lo itu sependapat sama gue, dia tuh mau lo sering-sering keluar, dibanding jadi patung lampu di kamar."

"Apa sih, Ra!"

"Ya, iya. Gue takut aja lo jadi kuning karena gak pernah keluar rumah."

"Kamu pikir aku anak bayi!" Sambil cemberut Zarlin menyeruput minumannya lagi.

Pandangan Nara berpendar pada sekeliling. Dan berhenti di titik panggung.

"Kok band-nya berhenti nyanyi sih?!" Nara kesal, dari tadi padahal sudah bagus suara musik meramaikan suasana di dalam kafe.

"Nanti juga nyanyi lagi, mereka lagi istirahat sebentar."

"Gara-gara lo nih, gue jadi jarang datang ke sini kalo minggu," ujar Nara kesal sambil mencomot french fries di piring. "Gue juga jadi gak tau berkembangan band di sini—Eh tapi gue denger-denger ada anak SMA yang gabung di band kafe papa lo ya?"

Dahi Zarlin mengerut. "Oh ya? Aku gak tau soal itu."

"Dih gimana sih, ini kan kafe lo!"

"Kafe papaku!" Zarlin meralat.

"Ya-iya sama aja!"

Disaat Nara lebih fokus pada French fries-nya dan Zarlin pada milkshake strawberry-nya. Gema tepuk tangan tahu-tahu mengudara di sekitar, menarik perhatian Zarlin dan Nara.

Tatapan keduanya mengikuti arah pandang semua pengunjung ke arah panggung, yang untuk dibuat tertegun setelahnya.

Jika Zarlin melebarkan matanya tak percaya. Lain halnya dengan Nara yang sudah menganga.

Seriring hening memeluk keadaan, petikan gitar membuai merdu di telinga siapapun, disusul suara serak milik lelaki itu.

"Kak Zion?" Nara lebih dulu sadar dan menyuarakan isi pikiran Zarlin secara lantang. "Dia di sini? Dia kerja di sini?" Lalu seperti otaknya yang baru dipasang sebuah charger. Nara memekik membuat Zarlin sadar dan menoleh. "Jangan bilang, Kak Zion yang jadi omongan pengunjung cewek-cewek sini tadi, anak SMA yang gabung band kafe papa lo?!"

Entahlah, Zarlin tidak bisa berkata-kata lagi. Bibirnya terkunci. Terkecuali, mata dan otaknya yang memilih  terpaku pada setiap lirik lagu Charlie Puth yang cowok itu nyanyikan.

Sangat merdu, hingga Zarlin lupa bagaimana caranya untuk tidak terpesona dan tidak jatuh cinta untuk kesekian kali pada kakak kelasnya.

"Gila, Zar! Gue masih nggak percaya!" Ekspresi Nara sudah menjelaskan ucapannya itu. "Gimana bisa? Kenapa Papa lo nggak cerita kalo anak SMA yang gabung band ini ternyata satu sekolah sama lo?"

Sepenuhnya kesadaran Zarlin kembali. Dia menoleh pada Nara, dan ikut berpikir. Tapi tak lama jawaban itu dia temukan membuat senyumnya mengulas.

"Mungkin karena Papa udah sibuk di kantor, dia jadi gak mau pusing-pusing lagi sama urusan kafe, apalagi semua tanggung jawab udah diserahin ke manajer, termasuk urusan tentang orang-orang yang bakal gabung di band kafe."

Nara mengangguk perlahan. Penjelasan Zarlin membuatnya mengerti. "Masuk akal sih, bisa juga Papa lo malah gak tau soal anak SMA yang gabung band kafenya, ternyata satu sekolah sama anaknya."

Zarlin tersenyum, ikut menganggukan kepala.

Petikan gitar itu berhenti sekaligus suara yang menjadikan Zarlin terlupa pada segala hal, selain terbuai untuk kesekian kalinya.

Tepukan meriah menyambut Zion yang sudah selesai bernyanyi di panggung, termasuk Zarlin yang bertepuk tangan sangat bersemangat tanpa disadari.

Nara di depannya hanya memutar matanya malas. Sungguh orang yang jatuh cinta bisa terlihat bodoh hanya karena sesuatu yang biasa.

Dan juga tentu bisa bersedih melihat hal yang tak disangka dan menyakiti hati. Semangat Zarlin yang bertepuk tangan perlahan menguap pergi kala melihat sosok perempuan cantik yang menaiki panggung setelah Zion selesai bernyanyi. Sosok yang sangat Zarlin tahu; Cindy.

Perempuan itu memeluk Zion dan memberikan ciuman di pipi tanpa peduli suasana ramai di sekitar. Meski para pengunjung beberapa ada yang bersorak ramai, tetapi banyak juga yang tak peduli.

Sayangnya, di sana tidak ada yang merasa patah hati selain Zarlin. Hatinya tertohok. Api seperti membakar dan tidak ingin padam, menghancurkan segala kesenangan Zarlin hari ini.

Nara tidak mengatakan apapun sebatas mengusap bahunya pelan. Zarlin menarik napas dengan susah payah.

Memang dirinya siapa, hingga berharap pada kakak kelasnya yang jelas sudah memiliki kekasih.

Berharap jika Zion sadar akan perasaan adik kelasnya?

Keinginan Zarlin terlalu berlebihan kalau seperti itu.

°°°°

Di hari senin, tepat saat pulang sekolah. Tentu Linzy harus menyimpan cadangan ekstra, jika Zion akan menguji kesabarannya nanti.

Baru sampai di ambang pintu ruang musik yang sudah terbuka, perempuan berkucir kuda itu telah melihat Zion yang tengah duduk di atas panggung tanpa kursi. Membiarkan tubuhnya langsung mencium lantai kayu.

Cowok itu bersilang kaki, menunduk untuk memudahkan dirinya mencoret sesuatu di kertas. Linzy tidak ingin mengatakan apapun atau juga bertanya. Dia hanya berjalan dan bergabung duduk langsung di lantai panggung. Meletakkan tas di sampingnya.

"Nih," Zion memberikan kertas yang sudah dicoret tadi, Linzy mengernyit walau menerimanya. "Gue udah bagi part nyanyi lagunya."

Linzy membaca kertas itu dengan teramat teliti. "Lo yang nyanyi pas intro dan gue outro?"

Zion mengangguk cepat seperti bangga dengan dirinya sendiri.

Lama diam yang Linzy lakukan. Sebelum akhirnya kepalanya mengangguk setuju. "Oke. Jadi pas chorus kita nyanyi bareng-bareng?"

"Ada part yang bareng, ada yang enggak," jawab lelaki berambut acak-acakkan itu lalu bangkit berdiri, mengambil gitar sekolah yang berada di pojok ruang musik. Linzy mengernyit tepat setelah Zion kembali duduk di sampingnya.

"Kita mau coba latihan sekarang?" Yang lelaki melepaskan tas gitar lalu mengeluarkan isinya sebelum didudukkan di pangkuan.

"Wait," Perempuan pirang itu menghentikan Zion yang ingin memetik asal senar gitar. "Kenapa gak pake gitar lo. Emang kemana gitarnya?"

"Gitar gue ketinggalan di rumah Bunda." Zion menjelaskan singkat sambil menyetem gitar akustik itu. Didongakkan kepala kembali menatap Linzy. "Hari kamis, latihan di rumah Bunda gue."

Perkataan itu dilontarkan sangat mendadak terlebih dengan sikap santainya. Linzy membatu di tempat. Lama.

"Lo jangan salah paham dulu," Zion cepat-cepat angkat suara. Saat dilihatnya Linzy malah membisu. "Itu Bunda gue yang ngundang bukan gue yang mau."

Siapa yang salah paham. Linzy terdiam bukan karena itu!

"Terserah lo aja deh." Sebatas itu yang Linzy ucapkan.

"Cewek banget bahasanya." Zion mencibir. Linzy memelotot. "Mau latihan sekarang gak nih?"

"Latihan, ya tinggal latihan! Ribet, lo kan yang mainin gitarnya!" Linzy kesal jadinya.

"Lo bisa main gitar?" Bukannya memulai, Zion malah bertanya.

"Kenapa emangnya?"

"Gak, gue nanya aja." Zion mengangkat bahu tak acuh, kembali fokus pada senar di tangannya.

"Gue nggak suka main gitar," itu jawaban yang membuat perhatian Zion buyar dan menatap perempuan pirang itu lagi. "Apalagi cowok yang suka main gitar. Gue nggak suka!"

Sukses kalimat Linzy seperti menampar dirinya habis-habisan. "Kenapa?"

Jeda agak lama, Zion tetap diam menunggu. "Mungkin karena cowok yang bisa main gitar itu kebanyakan playboy cap kuda," Linzy tersenyum sinis. "Kayak lo!"

Atas sindirian secara langsung itu seharusnya membuat Zion marah bukan tersenyum lebar seperti sekarang. "Tapi yang gue tau kalo cowok bisa main gitar itu malah romantis. Contohnya kayak gue ini."

Sikap pede-nya kembali menciptakan kekesalan Linzy untuk kesekian kali. "Siapa yang bilang lo romantis? Hah?!"

"Banyak," ucapnya dengan raut menyebalkan. "Mantan cewek gue di SMP, mantan di SMA, mantan di SMA lain, Mantan gue di futsal cewek, Kakek-Nenek tetangga di rumah Bunda gue juga ngomong begitu..."

"Stop!"

"... terus monyet tetangga gue yang kabur, cuma dinyanyiin pake gitar gue aja dia balik lagi ke rumahnya. Nah orang pertama yang bilang gue cowok romantis ... yang pasti diri gue sendirilah." akhir cowok itu sambil senyum.

Sempurna Linzy kehabisan kata-kata. Dia menarik napas perlahan sebelum dibuang kasar. Tangannya sengaja menepuk kedua pipi Zion dengan kencang disertai ucapannya. "Serah lo aja deh ya! Gue capek!"

"Lagi dong?"

Dahi Linzy mengerut, sudah meletakkan kembali tangannya di pangkuan. "Apa?"

"Tepuk-tepuk pipi gue kayak tadi." Siapa yang akan menyangka Zion berkata begitu. Termasuk Linzy yang sudah tercengang sekarang.

Tambah dia seolah kehilangan alat kerja otaknya kala Zion menarik dua tangannya menjauh dari pangkuan dan justru mendekatkan ke wajah cowok itu. Ditempelkan tangan Linzy di kedua pipinya. "Nih kayak gini."

Tangan Zion masih menahan tangan Linzy di pipinya seakan melarang dia untuk menjauh. Jarak mereka terpangkas tipis, seperti udara yang mendadak sulit Linzy raih untuk bernapas.

Lama untuk mata berlawanan itu bertemu. Jika diukur dari awal pertemuan mereka, jarang Linzy melihat mata Zion secara langsung dengan jarak kecil ini. Bukannya jarang mungkin lebih tepatnya ... tidak pernah!

Karena jika posisi ini dipertahankan, salah satu pasti bisa melakukan kesalahan. Dan jelas bukan Linzy yang akan melakukan. Dia menampar dirinya sendiri untuk sadar disertai tangannya dipaksa menjauh dari Zion.

Dia berdeham, upaya mengusir rasa canggung yang merantai di sekeliling. Tangannya malah bergerak mengipasi dirinya sendiri. Linzy melihat AC ruang musik di pojok atas dan ternyata menyala.

Tapi kenapa Linzy mendadak merasa panas?

Dia berdeham sekali lagi sebelum menoleh pada Zion yang nyatanya sudah memerhatikannya lekat sejak tadi.

"Kenapa ngeliat gue kayak gitu?!" Dengar! Linzy bertanya ketus bukan karena dia ingin menutupi rasa salah tingkahnya. Memang biasanya Linzy ketus, iya kan? Kan?

"Lucu lo!" Zion tertawa. "Sering-sering aja kayak gini."

"Gini apanya?"

Senyum Zion kian lebar. "Salting."

"Apaan sih!" Linzy memukul bahu Zion kencang yang justru disambut gelak tawa cowok itu. "Mau latihan gak nih?! Kalo gak gue pulang aja!"

"Dih ngambekkan," ledek Zion sambil mencolek pipi kanan Linzy, yang langsung disambut pelototan.

Mendapatkan pelototan, Zion mengalah. "Iya-ya latihan sekarang."

Kali ini serius. Jemari Zion perlahan bergerak di antara senar, menggantungkan petikan indah di sekitar. Selain diam menuggu giliran, memangnya hal lain apa yang bisa Linzy lakukan.

Yang lelaki mulai mengawali lagu, menyanyikan bait intro dengan suaranya yang agak serak, Linzy diam dan sialnya sedikit pun sulit untuk berpaling.

"... One more "No" and I'll believe you. I'll walk away and I will leave you be."

Seharusnya Linzy tidak perlu kaget lagi mendengar suara Zion—yang memang dia akui bagus, bukan sangat bagus. Tapi seolah punya magnet sendiri saat Zion bernyanyi hingga mengubah seluruh sistem tubuhnya menjadi arca.

Zion seperti memiliki dua sosok yang berbeda. Lelaki jail, gila dan absurd yang sering menganggunya dengan lelaki yang kini tampak serius menikmati alunan lagu dan petikan gitarnya sendiri.

"And that's the last time you'll say no, say no to me."

Linzy masih butuh proses menghafalkan lirik lagu itu di luar kepala. Jadi menggunakan ponsel berlambang apel di gigit, dia melihat liriknya dan menyanyikan bait part yang Zion bagikan.

"It won't take me long to find another lover, but..." Seketika Linzy menghentikan lidahnya bergerak setelah membaca kata lanjut dari liriknya.

Dia mendongak cepat pada Zion yang berujung pada jemari cowok itu berhenti berlari di atas senar. "Kenapa berhenti?"

"Gue..." Lidahnya seperti membeku. Entah bagaimana Linzy mengatakannya. "Gue harus banget nyanyi lirik tadi."

Zion mengernyit. "Haruslah. Emang kenapa sih?!"

"Mmmm..." Linzy hanya bergumam tidak jelas.

"Susah banget kayaknya lo nyanyi tuh lirik, padahal tinggal kayak gini..." Zion yang memang sudah hafal di luar otak dan tubuh lirik lagunya. Dia bernyanyi ulang bait part Linzy yang tadi. "It won't take me long to find another lover, but ...I want you."

Tentu saja akhir lirik Zion menekan setiap katanya sekaligus menjatuhkan irisnya tepat di mata Linzy. Lekat. Enggan berpaling.

Berbeda pada Linzy yang merasakan kegugupan luar biasa.

●●●●●  

Zarlin gak sendiri, setiap orang punya masalah :)

Linzy cuma gugup kok  ... gak ada yang lain uhuk! Wkwkwkkw

Sayang Zarlin :*

Makasih yang udah mau mampir. Jangan bosen-bosen ya :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro