FF(28) ● Tidak biasanya
Budayakan vote sebelum membaca ya sayangkuh <3
°
°
°
Walau duka karena luka itu ada, setidaknya senyum harus selalu bisa menutupinya.
°°°
HARI yang Linzy tunggu akhirnya tiba. Perempuan pirang itu yang biasanya tidak pernah bangun sebelum matahari menggeliyat dari tidurnya, sekarang sudah berdiri di depan cermin.
Piyama bergambar permen berwarna-warni kesukaannya masih melekat di tubuh. Jantungnya bergerak cepat sekali, menggambarkan keantusiasannya menunggu jam dinding menunjuk ke arah angka delapan pagi.
Setelah menunaikan aktivitas paginya, dia kembali berbaring di ranjang. Menunggu sekaligus berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar-debar gila.
Hari ini dia dan Lian akan pergi bersama. Berdua!
Siapa yang tidak gembira seperti Linzy jika akan pergi bersama sang gebetan yang disukainya diam-diam sejak kelas sepuluh sampai kelas sebelas semester akhir.
Wajar saja kan Linzy bersikap aneh sabtu pagi ini?
Tepat pukul tujuh, Linzy membuka lemari putih di kamar yang selalu dia tempati jika menginap di rumah kakak laki-laki mamanya. Om Reno-papa Regha.
Kenapa Linzy menginap di rumah Regha?
Seharusnya tidak perlu dijelaskan, karena dia yakin siapapun tentu tahu jawabannya.
Dia malas di rumah sepi yang tidak ada orang. Apalagi minggu ini sampai minggu besok papa-mamanya sedang sibuk di negeri Paman Syam bertemu dengan beberapa rekan bisnis untuk memperluas dan mengembangkan jaringan bisnis perusahaan mereka.
Mereka tidak berangkat bersama. Papanya lebih dulu berangkat bersama Papa Regha. Baru satu hari setelahnya mamanya menyusul. Jelas tidak mungkin Jeovan dan Clara berada di satu pesawat, bisa terjadi perang dunia di sana.
Di rumah Regha pun sebenarnya tidak terasa beda dengan rumahnya yang hanya penuh oleh pekerja dan asisten rumah tangga. Tapi setidaknya, Seli, mama Regha tidak pernah lupa pulang, wanita itu hanya pergi pagi lalu sampai saat makan malam, setelah mengecek kebutuhan kafe miliknya.
Apalagi di sini ada Emilly, adik kecil Regha yang bisa Linzy ganggu setiap saat. Tentunya kesepian yang dia rasakan di rumah tidak dirasakan di sini.
Balik lagi ke pakaian yang ingin dia gunakan untuk bertemu Lian. Beberapa pakaian sudah berserakan di atas ranjang.
Sial, Linzy tidak pernah mengalami fase ini, dimana dia kebingungan setengah mati hanya untuk berpakaian. Biasanya dia paling masa bodoh dengan cara berpakaiannya, yang penting nyaman.
Setelah setengah jam dia habiskan, pilihan Linzy malah jatuh pada pilihan awalnya.
Off shoulder bewarna indian red yang dipadukan dengan rok putih. Lalu untuk di kakinya, sepatu sandal bewarna cokelat kemerahan yang pas. Ditatapnya bayangan di cermin. Sempurna. Linzy tidak salah dengan pilihannya.
Sangat tipis Linzy menaburkan make up di wajah. Lalu setelah selesai menata rambut pirangnya sekaligus memasukkan beberapa barang ke tas selempang, dia menuruni tangga dan langsung disambut Regha yang baru saja selesai berolahraga dengan alat tredmill.
Lelaki itu tercengang luar biasa. Terkejut karena tidak biasanya Linzy sudah bangun sebelum siang menjelang, ditambah dengan penampilan cewek itu.
"Biasa aja ngeliatnya!" Linzy mengusap wajah kaget Regha, sialnya tangannya malah basah keringat cowok itu. "Ih Regha jorok banget sih lo!" dia cemberut, cepat-cepat mengelap tangannya dengan handuk kecil yang tersampir di bahu sang sepupu.
Sayangnya, perkataan terakhir Linzy mengundang kejailan cowok itu. Ditarik lagi tangan Linzy, kemudian punggung tangannya ditempel di kening Regha dan mengusap keringat di sana.
"REGHA!" pekik Linzy yang justru mengundang tawa sepupunya. "Jijik tau gak!"
Sambil bersungut-sungut Linzy berjalan ke wastafel yang berada di dapur, mencuci tangannya di sana. Tawa Regha makin nyaring. Lelaki itu mengikuti Linzy dari belakang.
"Lagian lo kesurupan apaan sih? Jam segini udah bangun, udah rapi juga?" tanya Regha sambil mengambil pitcher di meja bar, yang kemudian menuangkan isinya ke gelas.
Di balik meja bar Linzy memelotot pada Regha. Setelah sebelumnya mengelap tangan basahnya dengan handuk kering yang tergantung di samping wastafel.
"Bagus dong kalo gue bangun pagi. Seharusnya lo muji gue, bukan ngeledek!"
Regha terkekeh. Meminum isi gelasnya sekali teguk sambil kesekian kali memerhatikan penampilan Linzy yang sangat berbeda pagi ini.
"Mau jalan lo kan?" Selesai menghilangkan kehausannya, Regha meletakkan gelas di atas meja bar.
"Kalo udah tau, gak usah nanya."
"Sama siapa?"
"Pengen tau aja lo!" Kadang Linzy suka malas dengan sikap Regha yang ingin tahu semua kegiatannya. Bersikap seperti seorang kakak untuk adiknya, walau ya memang itu yang dia butuhkan, karena dia hanya anak tunggal yang tidak memiliki siapapun lagi.
Tapi tetap saja itu sangat mengesalkan.
Langkah yang perempuan meninggalkan Regha di dapur, menuju meja makan. Meletakkan tas selempang di atas meja dan mengambil duduk di salah satu kursi di antara dua belas kursi yang tersedia.
"Serius gue nanya!" Regha ternyata mengikuti Linzy. Menatap sepupu satu-satunya yang santai sudah mencomot selembar roti dan mengolesinya dengan selai kacang.
"Ih nanti lo juga tau."
Tak selang berapa lama saat Linzy sudah menghabiskan selembar roti berselai kacang, Mbak Anis-salah satu ART di rumah Regha-tergopoh-gopoh menghampiri mereka berdua. Dahi Regha berkerut samar bersamaan dengan Mbak Anis mulai membuka mulutnya.
"Itu Tuan muda, ada ..."
Seperti ada bel otomatis di kepala Linzy, hingga dia langsung berjalan cepat menuju depan pintu, tanpa ingin mendengar lanjutan kalimat pembantu rumah tangga yang masih muda itu.
Dahi Regha kian mengerut lalu ikut menyusul.
Diambang pintu Linzy malah dibuat tercengang. Sosok di depan pintu itu bukan yang dia harapkan, malah rasanya ingin dia lempar supaya lenyap di muka bumi.
"Ngapain lo di sini?!" tanya Linzy tanpa mengurangi nada galaknya.
Lelaki di depannya yang tidak terima dengan sikap galak Linzy membalas, "Wah seharusnya di depan gerbang rumah Regha ditulis 'awas ada anjing galak'."
"Yon, lo udah sampe?" Regha tiba-tiba sudah berada di balik bahu Linzy, menjulang tinggi. Tentu kedatangan Regha menahan Linzy yang ingin mengeluarkan segala kekesalannya.
Zion mengangguk. "Untungnya tadi pagi choki-choki berhasil buat gue bangun, kalo enggak dapet omelan mautnya Avatar gue besok senin."
Choki-choki itu nama yang Zion buat untuk jam wekernya. Jangan heran ... cowok itu memang tidak waras.
"Kak Atar, bukan Avatar. Nama orang lo ganti-ganti." Linzy jadi sewot mendengar nama Pembina ekskul fotografi-nya malah dibuat main-main oleh Zion.
"Sewot mulu lu Bu haji! Lagi pms atau siap-siap mau menopause?"
Apa yang bisa dilakukan Regha selain menghela napas lelah melihat perdebatan mereka. "Ya udah mana makalahnya?" pintanya sambil mengulurkan tangan, yang langsung Zion balas dengan sebuah makalah yang diletakkan di atas tangan Regha.
"Kata Avatar itu banyak yang harus diperbaikin, Gha. Dia nggak mau hasil dokumentasi anak-anak jadi keliatan gak rapi gitu."
Regha mengangguk. "Nanti gue perbaikin beberapa. Lagian ini udah harus rapi sebelum tahun pelajaran baru, tinggal beberapa bulan lagi."
"Bener, gue udah gak sabar ngeliat degem (dedek gemes)." Tas selempang langsung mendarat di kepala Zion sesaat setelahnya. Dia langsung memelotot pada si pelaku.
"Sakit, Zi! Untung kepala gue gak penyok!"
"Gampang kalo penyok, tinggal bawa ke ketok magic." Santainya Linzy membalas.
"Yee bisa banget anaknya Pak Tarno. Udah belajar mantra apa aja selain 'Bim-salabim jadi apa prok-prok'?"
Perdebatan itu tidak akan berhenti. Regha berusaha menulikan telinga sekaligus memfokuskan diri pada setiap lembaran makalah di tangannya sekarang.
"Apa sih, Yon. Jayus banget lo!"
Zion ingin membalas yang lebih parah, tapi dia justru tertampar oleh kesadaran akan penampilan Linzy yang bisa dibilang sangat berbeda hari ini. Sangat. Hingga Zion terpesona untuk beberapa saat.
"Mau kemana lo?"
"Kepo banget sih!" Sinis tentu saja.
"Yeee Tuti gue cuma nanya!" ujar Zion santai, meski tatapannya tak bisa sedikit pun berpaling. "Lo pasti mau jalan sama penjual sayur kompleks ya kan?"
"What?! Lo tuh..."
"Mau sampai kapan lo berdua berdebat begitu?" Regha memotong sekaligus menahan keinginan Linzy untuk menendang Zion hingga langit ke tujuh. "Lo mau jadi patung 'selamat datang' berdiri terus di depan pintu, Yon? Ayo masuk!"
Linzy mendengkus, sedikit menyingkir, memberikan ruang untuk Zion masuk. Dengan cengiran menyebalkan yang terulas, lelaki itu berjalan melewati Linzy.
Yang seharusnya ketiga orang itu lakukan adalah menuju ruang tamu. Jika tidak karena sebuah mobil silver yang melewati gerbang rumah yang sudah terbuka oleh satpam, berhenti di pelataran luas rumah mewah Regha.
Kemudian seseorang keluar dari mobil itu. Jika Zion dan Regha terkejut luar biasa. Lain halnya dengan Linzy yang malah tersenyum lebar dengan jantung berdebar.
"Hai, Gha, Yon." Setelah pastinya menaiki tangga menuju beranda dan berhenti di depan pintu, lelaki yang memakai kaus putih dengan kemeja abu-abu itu menyapa Zion dan Regha dengan kedua sudut bibir terangkat.
Kedatangan Lian tidak pernah disangka oleh pemilik rumah, jadinya pantas Regha dan Zion menatapnya seperti makhluk dari planet lain.
"Hai juga, Zi. Lo udah siap?" kali ini iris caramel itu terkunci pada perempuan, sebelum detik berikutnya malah terpana melihat penampilan Linzy yang tidak bisa dideskripsikan lagi oleh kata.
Ditatap intens oleh Lian, Linzy memalingkan wajah.
"Bentar," ujar Regha, sekaligus menyadarkan Lian pada keadaan sekarang. "Jadi lo mau pergi sama Lian?" pertanyaan ini untuk Linzy.
"Iya, dia mau pergi sama gue," Lian yang menjawabnya. "Nggak pa-pa kan, gue bawa sepupu lo pergi jalan, Gha?"
Pertanyaan itu mudah sekali untuk dijawab, Regha tinggal mengangguk. Lagi pun dia tidak ada alasan untuk melarang Linzy pergi bersama Lian, yang dia tahu adalah sang pujaan hati sepupunya.
Tapi saat ingin menggerakan kepalanya, sudut matanya malah menangkap ekspresi kaku pada orang yang berdiri di sebelahnya.
"Kenapa gue harus ngelarang lo?" Regha tertawa, diikuti tawa Lian dan Linzy yang menahan senyum. "Kalo bisa sih, lo bawa jauh-jauh supaya isi kulkas gue gak cepet abis."
"Apa sih, Gha!" bisik Linzy sambil mencubit. Lain halnya, Lian justru tertawa.
Percakapan hanya terlibat di antara mereka bertiga, mengabaikan seorang cowok yang terdiam dengan ekspresi kaku. Senyum yang dibawanya sejak tadi lenyap hanya dalam sekali waktu.
Meski sesekali Regha membawanya ikut masuk dalam obrolan, yang hanya mampu dia respon dengan senyuman.
"Lo nggak mau masuk dulu, Yan?"
Lian menggelang. "Nggak usah, Gha. Gue sama Linzy jalan sekarang aja." Lalu dia menghadap Linzy serta meraih pergelangan tangannya. Hal itu bukan saja mengejutkan Linzy tapi juga Zion dan Regha. "Ayo!"
"Gue sama Lian jalan dulu ya, Gha." Linzy tersenyum, tentu senyum yang jarang terlihat. Sayangnya, senyum itu malah menarik tangan Zion membentuk kepalan.
Baru saja Lian dan Linzy menuruni tangga ketika Zion yang sejak tadi bisu akhirnya membuka suara. "Hati-hati bawa mobilnya, Yan."
Jika Lian dan Linzy sekadar menatap Zion. Berbeda dengan Regha yang terkejut luar biasa.
"Jangan bawa Linzy ke tempat aneh-aneh. Apalagi tempat yang banyak kucingnya, dia alergi." Seharusnya Regha yang memberi pesan peringatan itu, bukan Zion yang justru kini tersenyum.
Lama Linzy menatapnya. Tapi sebagai respon Zion hanya melambaikan tangan masih dengan senyum.
Kemudian saat mobil Lian mulai melaju meninggalkan rumah mewah Regha, lelaki itu menatap Zion yang masih memandang gerbang yang mulai tertutup.
"Jangan diam aja, Yon. Gerak sekarang!"
°°°°
Harapan untuk ke tempat romantis tentu bukan hal yang baik untuk Linzy pikirkan. Dia tahu harapan yang terlalu tinggi itu nanti malah yang menjatuhkannya dengan kejam. Dia jadi tidak banyak bertanya pada Lian, mereka akan kemana?
Jadi saat mereka sudah sampai tempat tujuan, wajar saja kan jika Linzy mendadak terdiam di tempat?
Otak Linzy seperti tercerai berai memandang hal yang ada di jendela sampingnya. Sebelum detik kedua dia menatap Lian, yang ternyata sudah membalas tatapan.
"Galeri lukisan?" tanya Linzy tak percaya. Bukannya dia tidak suka, hanya saja dia tidak mahir tentang kesenian, kecuali bernyanyi pastinya. Apalagi ini soal melukis, maha karya dari tangan yang tentu tidak sembarang orang yang bisa menciptakannya.
"Ya," Lian mengangguk, cetak senyum itu langsung menular pada Linzy dan membuang keraguannya. "Nggak masalah kan, gue bawa lo ke sini?"
Buru-buru dia menggerakan tangannya menolak ucapan Lian. "Santai aja. Gue juga udah lama gak ke tempat-tempat kayak gini."
Bukannya sudah lama, perempuan itu jelas bisa dikatakan hanya sekali-dua kali ke tempat seperti ini.
"Ya udah, ayo." Lian keluar, pun Linzy tidak berharap dibukakan pintu. Dia langsung mengikuti Lian. Berjalan beririingan menuju pintu masuk.
Setelah membeli tiket masuk pastinya, mereka melangkah di lorong yang sudah penuh dengan beragam lukisan indah yang terpasang di dinding. Di sana banyak sekat yang membagi setiap ruang.
Di setiap sekat dinding tentunya tak tertinggal barang sedikit pun lukisan yang memperindah mata. Dari lukisan yang sulit diartikan makna, lalu juga lukisan yang membuat setiap pengunjung terfokus dan berbinar setiap melihatnya.
Pengunjung di sini pun terbilang cukup ramai, katanya hari minggu lebih ramai dibanding sabtu ini. Beruntungnya Lian tidak mengajaknya di hari minggu yang tentu akan padat oleh pengunjung.
Sayangnya, cowok itu juga menjelaskan mereka jadi kelewatan acara talkshow yang sering diadakan di sini setiap hari minggu. Bahkan biasanya di hari minggu ada acara pelelangan lukisan untuk para pecinta seni lukis.
Hal yang tentunya membuat hari minggu lebih banyak pengunjung dibanding sekarang.
Linzy tengah menganggumi salah satu lukisan kala dia tersentak tidak ada Lian di sampingnya. Iris kelabunya sontak bergerak ke segala arah disusul kakinya yang bergerak gusar di antara banyak orang.
Lalu kelegaan itu datang saat menangkap sosok Lian di balik salah satu sekat dinding. Kakinya melangkah mendekat, dia berhenti di samping Lian sekaligus ikut memperhatikan lukisan yang sudah mengambil semua fokusnya.
Yang perempuan diam, menelisik wajah kaku Lian dari samping. Ada sesuatu yang salah di sini, bisa dilihat dari bagaimana Lian menatap lukisan itu.
"Lo suka sama lukisan ini?"
Berkat Linzy, Lian tersadar sekaligus menoleh, memberi senyum. "Lukisan ini bagus."
Mata Linzy tidak buta untuk mengartikan hal lain yang dimaksud Lian dari tatapan.
"Cuma karena bagus?"
Senyum perih itu perlahan tampak, disertai tatapan yang kembali memandang lukisan di dinding. Hanya diam yang bisa Linzy lakukan dan mengikuti arah pandang lelaki itu.
Pada lukisan bergambar kuda berciuman, terlihat saling menyayangi itu, dia bisa menangkap segala perih yang tersembunyi di balik senyum yang lelaki pertahankan. Sayangnya, dia tak mengerti akan itu semua.
Mungkin saja Lian punya sepasang kuda peliharaan. Itu yang ada dipikiran Linzy. Tapi salah satunya mati atau apa, Lian sedih jadinya?
Linzy lantas menggeleng. Gila aja karena itu!
"Lo tau arti lukisan ini?" Tiba-tiba Lian membuka suara. Linzy menoleh langsung didetik pertama.
"Apa?" Itu ucapan refleks, dia bukannya tidak mendengar pertanyaan Lian. Dia sekadar bingung bagaimana menjawab pertanyaan yang tentu tidak tahu jawabannya.
"Dua sepasang kuda yang saling berciuman, menggambarkan kasih sayang, seseorang yang saling mencintai, dan kehidupan yang pastinya bahagia."
WOW! Linzy speechless. Ucapan Lian yang tanpa rencana, tentu mematikan saraf gerak Linzy. Otaknya tidak sampai ke permukaan itu sampai bisa mengartikan makna dibalik setiap lukisan yang diciptakan di sini.
"Lo tau dari mana arti lukisan itu? Lo suka ngelukis?" Soal Lian yang suka melukis-jika benar-jelas Linzy tidak tahu apapun tentang itu.
"Nggak," Lian menggeleng. "Gue nggak suka ngelukis. Dari mana gue tau arti lukisan ini karena nyokap gue salah satu pencinta lukisan dan dia suka ngelukis."
Penjelasan yang membuat Linzy langsung paham tentunya.
"Dulu, nyokap gue pernah ngelukis sepasang kuda yang saling deketin kepalanya. Beliau ngejelasin gue arti dari lukisan itu." sesaat Lian terdiam, kakinya mulai bergerak tak nyaman. "Lukisan itu hadiah buat bokap gue di hari ulang tahun pernikahan mereka."
"Lian?" entah kenapa perasaan Linzy tidak enak untuk mendengar lanjutan.
"Nyokap gue seneng banget, lukisan itu akhirnya jadi. Dia mau ngasih ke bokap gue besoknya. Tapi hari bahagia yang nyokap gue tunggu malah berubah jadi bencana. Bokap gue minta cerai."
Boleh tidak Linzy berharap waktu di sekitarnya berhenti saja. Dia tidak ingin mendengar lanjutan yang menohok hatinya juga.
"Nyokap gue jelas kaget, dia nolak. Bahkan lukisan indah itu harus dibanting dan jadi rongsokan sampah. Gue ngeliat itu semua dari jauh, dari balik tembok." Tatapan sendu Lian tampak semakin menyiksa Linzy. "Gue juga denger semuanya, semua yang bokap gue bilang. Dia bilang ... ada perempuan lain yang gantiin posisi nyokap gue di hatinya, dan dia pengin hidup sama perempuan itu. Sejak itu, hampir setiap hari orang tua gue berantem."
Napas Linzy tercekat seakan paru-paru di tubuhnya berubah mengecil dan melebur seketika. Semua sistem kerjanya mati rasa. Hanya bola mata yang tak bisa dicegah melebar luar biasa.
Luka itu. Luka yang bisa dibilang sangat mirip, hingga hanya melihat bagaimana perih yang Lian tunjukkan lewat matanya, mengalir di tubuh Linzy dan mengakibatkan lubang luka yang berusaha dia tutup, terbuka lebar dan semakin menganga.
Seorang ayah yang dicintai dan disayanginya, mencintai wanita lain, selain mamanya! Bukankah tidak ada yang lebih menyakitkan dari itu?
Karenanya Linzy merasakan hancur, karenanya dia menangis setiap malam tanpa diketahui, karenanya dia harus berulang kali memasang topeng seolah hidupnya bahagia dan tidak ada masalah, karenanya dia harus melihat perubahan sikap mamanya, yang menghancurkannya seketika.
"Lo laper?" Disaat Linzy masih berperang melawan lukanya. Lian sudah terlihat biasa saja. "Habis dari sini gue mau ngajak lo ke kafe. Lo mau kan?"
Kalau Lian saja bisa berubah secepat helaian angin, kenapa Linzy tidak bisa begitu. Dia mengangguk sekaligus mengulas senyumnya.
Dari sini sebuah kesadaran menampar Linzy. Jika bukan dirinya yang mempunyai luka, bertopeng seolah dunia akan menerimanya. Seolah hidup akan baik-baik saja. Padahal nyatanya, banyak orang di sana yang mungkin mempunyai luka yang lebih parah dan susah disembuhkan.
Seperti Zion dan Lian.
●●●●●
Linzy seneng jalan sama Lian. Tapi dia gak tau ada yang sedih ngeliatnya :(
Wah-wah masalah Linzy sama Lian bisa sama begitu ya. Kayaknya sih Jo....
Zion :(
Makasih yang udah mau mampir.
Kiss dari Zion jangan?
wkwkwk :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro