FF(27) ● Luka yang Sama
Boleh dong minta vote sama komennya ˂3
°
°
°
Hidup itu bagai jurang. Tinggal bagaimana kita berusaha berjalan seimbang dan tidak berusaha melihat ke belakang jika tidak ingin terperosok ke sana.
°°°
KATA orang bijak penderitaan itu tidak ada, hanya orang putus asa yang menganggapnya. Setiap mereka lelah menghadapi cobaan, mereka memuntahkan segala kekesalannya pada semesta.
Mereka semua menyuruh untuk berlapang dada dan menerima segala cobaan dengan keikhlasan. Sayangnya, Linzy tidak bisa begitu. Terkadang kesabaran yang berusaha ditumpuknya hilang tak berbekas. Entah kemana perginya hingga dia merasa kelelahan akan cobaan yang menghadangnya.
Dia lelah melihat pertengkaran orang tuanya. Lelah menangis diam tanpa suara. Lelah terlihat kuat di depan teman-temannya. Juga lelah bersikap seolah luka itu tidak ada, yang padahal semakin membesar dan mendorongnya lebih dalam.
Wajar bukan kalau dia lelah? Itu sifat alamiah manusia.
Akan tetapi Linzy masih punya akal sehat untuk tidak menjatuhkan dirinya lebih jauh.
Jadi untuk mengontrol diri dan berusaha untuk tidak terbayang pertengkaraan orang tuanya, hanya satu cara yang dia lakukan, yaitu datang ke pemakaman sang Nenek untuk bercerita.
Anggap saja Linzy gila, berbicara pada gundukkan tanah berumput di sepinya arena pemakaman.
Sebatas cara itu yang Linzy tahu dan dapat dilakukan.
Setelah memanjatkan doa dan mengaminkan. Linzy mengusap nisan keramik yang bertuliskan nama sang Nenek.
"Zizi selalu berdoa Nenek bahagia di atas sana." Itu nama kecilnya, yang selalu neneknya gunakan untuk memanggil dirinya. Bukan beliau yang menciptakan nama panggilan itu, tapi tentu Linzy lebih suka sang nenek yang memanggilnya begitu dibanding sang ayah—orang yang jelas menciptakan nama pendek tersebut.
"Apa Nenek ngeliat dari atas sana kalo Papa-Mama sering berantem?" Lirih Linzy berkata. "Mereka terus berantem setiap malam kalo ketemu, padahal di kamar Zizi udah siap-siap mau tidur."
"Mereka berdua teriak-teriak, saling ngebentak, nggak peduli kalo putrinya udah nangis di kamar." Kristal bening yang rapuh di sudut mata akhirnya meluncur mulus di pipi Linzy.
"Kadang Zizi berpikir, kenapa mereka gak pisah aja kalo emang gak ada rasa sayang lagi. Tapi disatu sisi ... Zizi juga gak mau mereka cerai dan ngeharusin Zizi milih di antara mereka berdua."
Kali ini tangan Linzy gemetar mengusap nisan. Sesaknya kian tak terkendali. Mengikatnya dan memperkuat lilitan hingga sulit rasanya untuk bernapas.
"Zizi nggak bisa milih untuk tinggal sama siapa. Zizi mau semuanya balik kayak dulu. Semuanya, Nek." Tidak ada isakan, untuk kesekian kalinya Linzy membiarkan air mata meluncurkan diri di pipi.
Bukankah menangis tanpa suara itu lebih menyakitkan dibanding apapun? Tapi hampir setiap saat selalu itu yang Linzy lakukan.
"Zizi kangen cookies buatan Nenek. Zizi kangen masa kecil, kangen dimana Zizi gak pernah nangis kecuali jatoh dari sepeda. Cuma nangis kalo Regha iseng ngambil lollipop Zizi di kulkas," ujung bibir Linzy terangkat meski air mata jatuh mengalir melewatinya hingga dagu. "Dan kangen Papa yang cuma sayang Zizi sama Mama ... nggak ada perempuan lain."
"Salah nggak sih, Nek kalo Zizi kadang iri sama cucu cowok Nenek satu-satunya itu? Regha-Zizi sama. Dari kecil kita berdua punya segalanya. Apapun yang kita berdua mau selalu dikabulin saat itu juga. Tapi kenapa ... disaat Regha masih bahagia sama keluarganya. Linzy nggak lagi ngerasain itu?"
Diusap air matanya kasar. Sadar dengan ucapan yang tidak semestinya dia katakan.
Linzy menggeleng. "Zizi lupa, Nenek selalu bilang gak boleh iri sama saudara sendiri," Senyum dipaksa untuk mengulas. "Nenek juga bilang kalo setiap ujian pasti ada kebahagian diujungnya. Kayak jalan yang gelap, Zizi cuma harus ngelewatin jalan itu lurus tanpa belok kemana-mana. Lurus sampai Zizi nemuin cahaya di depan jalan. Bener kan, Nek?"
Lama terdiam. Linzy mengusap nisan neneknya sekali lagi sebelum bangkit berdiri sambil membetulkan posisi tas sekolahnya di bahu.
"Tenang, Nek. Zizi yakin bakal nemuin cahaya itu," Senyum terakhir. "Zizi sayang sama Nenek."
Perempuan yang masih berseragam sekolah itu pun akhirnya berbalik, melangkah meninggalkan makam sang nenek.
Upaya Linzy untuk menghilangkan sesak akan pertengkaran orang tuanya semalam akhirnya tidak berujung sia-sia.
Menikmati semilir angin yang menyejukkan, kaki Linzy berayun santai di jalan setapak. Melewati setiap pemakaman berumput yang hampir serupa dengan makam neneknya. Langit cerah tampak berkilau persis seperti wajah Linzy. Mendung setidaknya sudah pergi sekarang.
Sampai didetik kakinya tertahan dan tubuhnya menegang karena merasakan sentuhan di bahu. Napasnya tercekat sekaligus menahan jeritan yang ingin dia keluarkan.
Dalam hati, Linzy melafal doa. Berharap sosok di belakangnya bukan hantu makam yang bangkit dari kubur. Atau yang lebih parah seperti penculik anak yang suka datang ke arena pemakaman.
Mengontrol jantungnya yang liar bergerak. Linzy pelan menarik tasnya yang tersampir di satu bahu sebagai senjata pertahanan diri. Dia berbalik dan bersiap memukul kepala sang pelaku dengan tasnya.
Sayangnya, tas biru itu tidak jadi mendarat, dibiarkan menggantung di udara.
"LIAN!" Tanpa sadar suara Linzy meninggi, melihat sosok lelaki di belakang. "Lo nakutin gue tau nggak!"
Ini pertama kalinya Linzy berteriak di depan Lian, yang meski hanya direspon dengan tawa cowok itu. Awalnya sedikit kesal, tapi jelas dia tidak bisa menyembunyikan rasa lega yang datang.
"Lo mau mukul gue pake tas lo?" tanya Lian geli.
Sepenuhnya yang perempuan sadar. Dengan gerakan kikuk, dia menarik tas dan disampirkan kembali di satu bahu, pipinya sudah bersemu malu.
"Ya lagian lo, nepuk pundak gue tanpa ngomong apapun. Wajar gue kaget!"
"Sori," kata lelaki yang juga masih memakai seragam sekolah. "Tadi gue cuma mau nepuk pundak lo, eh ternyata reaksi lo di luar dugaan. Makanya kalo takut, jangan ke makam sendirian."
Linzy menghela napas. Jantungnya berangsur bergerak normal, meski harum Lian seketika mengembalikan pacuan cepatnya.
"Lo ngapain di sini?"
Linzy kalah cepat oleh Lian yang sudah lebih dulu melemparkan pertanyaan itu.
"Jenguk makam Nenek," jawabnya. "Kalo lo?"
Sepertinya Linzy bukan bertanya soal fisika bercabang rumus. Tapi kenapa Lian susah untuk menjawabnya? Lelaki itu terdiam lama.
"Gue juga, tapi bukan Nenek gue yang gue jenguk ... Nyokap."
Lian menjawab sambil tersenyum. Sayangnya, guratan sedih itu berhasil Linzy tangkap dan membuat tenggorokannya tercekat.
"Nyokap lo udah meninggal? Sejak kapan?" Linzy memang menyukai Lian. Sebatas itu. Dia jelas tidak tahu-menahu mengenai keluarga cowok itu. Yang Linzy tahu Lian adalah kapten basket yang mudah bergaul dan selalu ramah pada siapapun.
"Udah lama," mata Lian menerawang. "Delapan tahun lalu, pas gue kelas tiga SD."
Bayangan akan Lian kecil yang sudah ditinggal sosok ibu, membekukkan seluruh kosa kata yang ingin Linzy ujarkan.
Tak tahu harus berbuat apa. Linzy sebatas berkata, "Gue turut berduka atas perginya nyokap lo, Yan. Gue nggak pernah tau soal itu."
Lian sepenuhnya menjatuhkan fokusnya pada Linzy, mengurai senyum. "Nggak pa-pa, makasih, Zi."
Senyum Linzy ikut mengukir disusul anggukan kepala.
Beberapa detik hening sebelum Lian membuka suara sambil menunjuk ke arah lain.
"Lo masih mau ngobrol sama gue sambil duduk di sana?"
Linzy mengikuti arah tunjuk Lian dan melihat saung terbuat dari anyaman bambu. Tempatnya teduh, apalagi ada pohon besar yang menjulang di sebelahnya, semakin terlihat nyaman untuk tempat mengobrol. Sepertinya itu tempat untuk penjaga makam beristirahat.
Tidak mungkin Linzy menyia-nyiakan waktu mengobrol dengan Lian iya kan?
°°°°
Niatnya mengobrol tapi mendadak di antara mereka hanya ada senyap. Meski sesekali melirik Lian yang diam, Linzy jelas lebih suka melihat kakinya yang menggantung, mengayun ke depan-belakang. Kedua tangannya memilin satu sama lain.
Lalu uluran tangan Lian, yang menyerahkan kunci mobil dengan gantungan lollipop, memaku urat kaki Linzy yang tidak bisa diam sejak tadi.
"Kunci mobil lo," Yang perempuan diam dulu, sebelum akhirnya mengambil sekaligus menoleh pada Lian. "Sori gue telat ngasihnya."
"Nggak pa-pa," balasnya. "Malah gue pikir mobil gue bakalan kelar seminggu, ini malah kurang dari seminggu."
"Biasanya malah cuma dua hari paling lama," jelas Lian. "Tapi kata temen gue, alternater mobil lo, bagian diodenya ada yang putus. Terus juga kabelnya ada yang karatan. Makanya agak lama ngeberesinnya."
Linzy mengangguk mengerti. Padahal aslinya tidak mengerti yang Lian jelaskan. Dia tidak tahu apapun soal mobil, dia hanya perlu menyuruh sopirnya ke bengkel jika untuk mengganti aki atau keperluan lain mobilnya.
"Thanks, ya Yan. Kalo waktu itu nggak ada lo gue nggak tau harus ngapain."
"Santai aja," Sekian banyak hari ini senyum yang Lian tunjukkan pada Linzy. "Gue malah tadi niatnya habis dari sini mau ke rumah Regha nganterin kunci sekalian mobil lo. Tapi kebetulan ketemu lo di sini."
"Jadi mobil gue masih ada di bengkel temen lo dong?"
"Iya, kalo sekarang gue cuma bawa kuncinya."
Perempuan pirang itu terkekeh sambil memasukkan kuncinya ke dalam rok abu-abu selututnya. Tidak pernah ada dibayangan Linzy jika dia akan mengbrol dengan Lian panjang lebar seperti ini. Meski sebatas topik mobil mogok Linzy yang menjadi pembahasan.
Ini awal yang bagus bukan?
"Kalo soal mobil gampang, gue bisa jemput sendiri mobil gue di bengkel temen lo."
"Lo mau sendiri? Gak mau gue anterin?"
Jemari Linzy yang berada di telinga kanan berniat merapikan anak rambut, dipaksa menahan gerakan. Dia menatap Lian terpengarah. Lebih sialnya saat Lian menggantikan jemarinya untuk merapikan anak rambut itu.
Kulitnya seperti terbakar mendapat sensasi lembut lelaki bermata caramel di sampingnya. Dan jangan tanya jantungnya yang sudah melompat tak karuan.
"Nggak usah gue bisa ambil sendiri nanti." Kemudian hanya itu yang bisa Linzy ucapkan.
Dia membuang muka ke arah lain. Merasa bodoh untuk dua alasan, pertama karena mudah membawa perasaannya hanya karena sikap tadi, dan yang kedua karena bayangan akan Zion yang merapikan rambutnya malam tadi, menelusup tiba-tiba.
Ah sial, kenapa Zion mendadak berada di kepalanya sekarang?!
Dia menggeleng kencang, berusaha mengusir pikiran tak menyenangkan itu.
Hening pun akhirnya datang menyambut. Yang lelaki diam maupun perempuan, memandang lurus ke depan. Lian tampak santai, sayangnya Linzy merasa canggung luar biasa.
Langit sore semakin tampak membentengi langit. Angin juga terasa kian mengibas kencang. Membawa rambut pirang tergerai Linzy menari kemana-mana.
Kemudian, Linzy baru teringat oleh satu pertanyaan yang dipendamnya sejak tadi setelah mendengar ibu Lian yang telah tiada. Awalnya dia ingin bertanya seputar itu saat diajak mengobrol.
Tetapi malah lupa karena Lian yang membahas tentang keadaan mobilnya dan tindakan Lian di luar dugaan. Lalu jadi canggung minta ampun.
"Yan," panggil Linzy, menarik kepala si lelaki untuk menatapnya. "Gue boleh nanya sesuatu?"
Lian diam dulu. "Apa?"
"Mmm..." Linzy mendadak ragu. Takut salah berbicara. "Gue boleh tau ... nyokap lo meninggal karena apa?"
Tubuh Lian mendadak kaku. Apa Linzy salah menanyakan soal ini?
"Kenapa emang lo pengin tau?"
"Nggak tau kenapa saat lo bilang nyokap lo udah meninggal," Linzy meneguk ludah susah payah. Saluran makananya seperti tercekat. "Ada yang janggal dari sikap lo. Jadi gue berpikir ada yang salah dari meninggalnya nyokap lo."
"Ta-tapi kalo lo gak mau cerita. Nggak pa-pa kok." Cepat-cepat Linzy menambahkan. Dia sangat tahu topik ini sangat tidak bagus untuk diangkat di antara percakapan mereka.
Senyum simpul Lian mengukir. Memerhatikan Linzy lekat. "Gue nggak pernah tau kalo lo ternyata cukup hebat baca ekspresi seseorang."
Yang perempuan makin tak berkutik, bagaimana jelasnya luka dan kesedihan yang melukis mata cowok itu.
Diubah sedikit posisi duduknya, lalu fokus Lian terkunci pada langit, seolah ada reka ulang rekaman masa lalunya di sana.
"Nyokap gue meninggal karena sakit paru-parunya," Lian mulai bercerita bersama nada getir yang tidak bisa dia sembunyikan. "Awalnya penyakit itu gak parah sampai ... Bokap gue minta pisah."
Linzy tidak bisa menyembunyikan raut kagetnya. Dia ingin sekali menampar dirinya sendiri karena sejak awal dia salah karena mengangkat topik berat ini ke permukaan.
Linzy benci kata 'pisah' selalu berhasil membuatnya mengingat setiap detail pertengkaran orang tuanya. Kata terlarang itu tidak pernah tertinggal di setiap rentetan kata yang mamanya ucapkan pada sang papa.
"Mereka bahkan udah milih cerai sebelum gue masuk sekolah dasar. Anak enam tahun harus ngeliat pertengkaran orang tuanya setiap hari. Parahnya harus ngeliat nyokapnya diusir dari rumah."
Topik ini makin berat. Linzy merasa tubuhnya sudah tak nyaman. Entah bagaimana lagi dia bisa mendengarkan. Jelas dia dan Lian mengalami hal yang sama. Sesuatu yang menyakitkan dan mendorongnya pada kesedihan. Keegoisan orang tua yang berdampak pada anak.
Dan sesak yang tidak diinginkan kembali berulah menjebak Linzy.
"Kenapa Bokap lo ngusir Nyokap lo? Itu jahat banget." Linzy saja sudah hampir seperti mayat hidup jika mendengar pertengkaran orang tuanya. Apalagi melihat mamanya sendiri diusir papanya.
"Kalo masalah itu gue gak bisa ceritaiin," langit yang sejak tadi menjadi fokus Lian, dialihkan ke arah perempuan. "Sori, Zi, gue masih gak sanggup cerita soal itu."
Refleks jemari Linzy bergerak lembut mengusap bahu Lian. Menenangkan dengan senyumnya. "Sori, Yan. Malah seharusnya gue nggak nanyain soal ini, pasti berat buat lo."
Lian mengangkat tangan Linzy dari bahu meletakan di atas pahanya, digenggam erat sambil tersenyum.
Diwaktu tidak tepat ini, jantung Linzy malah bereaksi.
"Sebelum ini gue nggak pernah cerita ke siapapun," ujar Lian lembut. "Tapi lo berhasil buat gue ceritain semua masa lalu gak enak itu hari ini. Lo gak perlu minta maaf, justru gue harus bilang makasih."
Bahkan Linzy tidak pernah terpikir jika sang kapten basket yang ramah dan digandrungi banyak perempuan di sekolah memiliki luka yang sama dengannya. Dibalik semua sikap Lian di sekolah, ada luka yang cowok itu sembunyikan.
Linzy tersenyum dan mengangguk. Ternyata dia tidak seorang diri menyimpan rasa sakit. Dan memang bukan hanya dirinya yang mendapat sebuah pengujian hidup. Tuhan memberikan setiap manusia jalan yang berbeda untuk menemukan kebahagian mereka masing-masing.
"Lo pulang bareng siapa?" tanya Lian setelah menghilangkan sisa percakapan tadi. "Mau bareng gue?"
Tawaran yang jelas sulit Linzy tolak. Sialnya datang di waktu yang salah. "Nggak usah, sopir gue nunggu di depan."
"Jadi lo bareng sopir lo?" keduanya mulai berdiri, menyandang tas masing-masing lalu melangkah ke jalan setapak, meninggalkan saung itu.
Kepala Linzy yang mengiyakan.
"Berarti dari tadi dia udah nunggu lo dong?"
Linzy mengibaskan tangan. "Biarin aja." Sebenarnya Linzy tidak tega dengan Pak Edi—sopir papanya, karena kekesalan dengan sang papa, orang tua itu yang menjadi pelampiasan. Lian hanya mengurai senyum.
"Sabtu ini lo free gak?"
Langkah yang perempuan terhenti membuat Lian juga menahan langkah.
"Apa?" Linzy tidak salah dengar pertanyaan Lian tadi kan?
"Sabtu ini lo free gak?" ulangnya. "Kalo free, gue mau ngajak lo jalan minggu ini. Lo mau?"
Ya! Linzy ingin berteriak langsung. Tapi gengsi perempuan itu lebih besar. Dia diam dulu seolah tengah berpikir.
"Oke." Linzy mengangguk.
Senyum Lian tertarik lebih lebar. "Gue jemput di rumah lo?" Tapi teringat sesuatu. "Eh tapi gue nggak tau rumah lo."
"Nggak usah," tolak Linzy. "Di rumah Regha aja, minggu ini gue nginap di rumah dia."
Syukurlah Lian tidak bertanya apapun. "Oke."
Linzy tidak pernah menduga kalau ajakan yang sejak setahun lalu lebih dia inginkan, akan dia dapatkan di arena pemakaman seperti sekarang.
●●●●●
Gengsi perempuan tuh emang nggak ada yang bisa ngalahin wkwkwkwkw.
Padahal tinggal bilang iya itu si Linzy.
Btw untuk di daerah sulawesi. Aku berharap semoga para korban diberi kesabaran dan keikhlasan. Berharap para korban yang belum ditemukan, semoga cepet ditemukan. Aminnn.... 🙏🙏
Thanks buat kalian yang selalu mampir.
Dapat kecup jauh dari Lian ;*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro