FF(25) ● Yang Menyenangkan
Zion bilang kalau vote tanpa komen itu kayak pakai celana tanpa daleman. (oke abaikan saja)
Makanya divote dan komen ya sayangkuh :*
°
°
°
Tidak apa orang yang kamu benci ternyata yang bisa membuatmu keluar dari sunyi. Setidaknya keberadaan dia dibutuhkan saat ini.
°°°
JAKARTA hari ini padat. Jalanan penuh kemacetan dimana-mana. Mungkin tanggal merah hari ini mendorong banyak orang untuk keluar sangkar dan menikmati waktu libur meski hanya sehari.
Banyak mobil berbaris rapat, di sedikit celah antaranya motor berusaha menyalip. Termasuk motor Zion.
Tidak ada hal yang Linzy lakukan selain melafal doa dalam hati, melihat bagaimana cara Zion berkendara yang cukup mengerikan. Sudah tahu macet, tapi cowok itu pantang menyerah untuk melewati beberapa mobil. Bahkan truk besar.
Pasti siapapun bisa bayangkan, bagaimana kalau truk itu jalan tiba-tiba, dan Zion tetap memaksa melewati celah kecil itu. Lalu truk tanpa sengaja menyenggol mereka. Lalu mereka terjatuh dan...
Arghhhh! Linzy tidak bisa bayangkan!
Sepertinya Linzy yang terlalu paranoid, padahal mulusnya motor Zion bisa melewati itu.
"Selain di daerah sini, petshop ada di mana lagi?" Suara kencang Zion berusaha memecah hening sekaligus mengalahkan deru kendaraan.
Linzy mencondongkan tubuh ke depan disertai suara kencangnya. "Gue nggak tau!"
"Lo tau jalan ini doang, gak tau jalan-jalan kampung gitu?"
"Emang kenapa sih?!"
"Ya enggak kenapa-napa, pegel aja kaki gue macet kayak gini."
Linzy mencibir di belakang, memandang malas helm Zion. "Cuma jalan ini yang gue tau, lagian gue sama Shena emang biasa lewat sini!"
"Shena?" Dahi Zion berkerut samar sembari berusaha menyalip sedan putih di depan. "Ngapain Shena ke petshop? Ngunyahin makanan kucing dia?"
Dari belakang Linzy memukul helm Zion. "Apa sih! Lo pikir aja sendiri kenapa Shena ke petshop!"
"Dia punya hewan peliharaan?" Yang dibalas gumaman saja oleh Linzy. "Emang dia melihara apaan?"
"Apaan?" Linzy tidak dengar.
"Cie deket cogan jadi budeg." Kali ini perempuan pirang itu memukul bahu Zion telak, yang hanya disambut tawa renyah cowok itu. "Gue nanya Shena melihara hewan apaan?"
"Oh..." Linzy mengerti. Salahkan setiap adegan mengerikan yang mulai berakar di otak Linzy yang membuatnya tidak fokus pada apapun selain nyawanya sendiri. "Hamster, kucing, kura-kura, ikan, kelinci, burung..."
"Bentar dulu dah," Zion memotong. "Banyak amat hewan peliharaan temen lo, mau buka panti jompo khusus hewan dia!"
Lagi-lagi tangan Linzy mendarat di bahu Zion. Memukul kencang. "Banyak omong lo, terserah dia sih!"
Terjebak di antara kemacetan, pun diguyur sinar matahari menyengat, seharusnya membuat Zion kesal karena pukulan Linzy. Justru keadaan berbalik, lelaki itu mengukir senyum.
"Lo bilang Shena melihara burung. Emang burung apaan yang dia pelihara?"
"Kenapa lo nanya gue, lo tanya aja Shena. Gue mana tau dia melihara burung apaan?" Linzy jadi sewot.
"Ck-ck-ck, Shena, Shena..."
Nada bicara Zion sedikit ambigu di telinganya. "Pikiran lo jangan ngawur ya!"
"Siapa yang ngawur coba? Gue cuma heran sama temen lo, cewek kok melihara burung. Aneh banget."
Linzy mendengkus. Tidak ingin meladeni lagi ucapan tidak jelas Zion, bisa gila dia lama-lama.
Kemacetan perlahan mengurai, banyak kendaraan yang mulai melaju lancar tanpa hambatan. Motor Zion pun tidak berusaha menyalip seperti tadi, bergerak mulus di jalanan ibukota. Meski Linzy harus menguatkan pegangannya di jaket Zion karena kencangnya cowok itu membawa motornya.
Bebas dari kemacetan, tak lama motor Zion berhenti di pelataran parkir salah satu petshop di Jakarta. Petshop yang terbilang cukup besar dan lengkap dengan berbagai kebutuhan untuk hewan.
Bahkan petshop itu sengaja membangun dua lantai karena lantai teratas khusus dipergunakan para pencinta hewan untuk menitipkan hewan kesayangannya. Pun di sana hewan peliharaan bisa dimanja karena adanya salon hewan.
Sementara di lantai bawah, dijual lengkap semua perlengkapan untuk hewan. Dari makanan, mainan, kandang. Semuanya lengkap berada di sana.
Ini pertama kalinya Zion pergi ke tempat seperti ini. Kalau bukan karena Justin, si Belanda sialan itu, dia tidak mungkin mau ke sini. Untung Zion cukup baik dan punya sisi manusiawi untuk hewan peliharaan yang padahal bukan miliknya.
Dikira di lantai bawah hanya ada perlengkapan untuk hewan, ternyata tidak. Ada empat ekor kucing yang berada di kandang, Zion kaget luar biasa.
"Jangan yang itu," suara Linzy menghentikan Zion yang hendak mengambil bungkus makanan khusus hamster yang berada di atas.
"Kenapa?"
"Kata Shena merek itu kurang bagus."
"Tapi ini yang paling murah." Zion bersikeras.
"Harus banget yang murah, hewan juga makhluk hidup dan butuh sesuatu yang bagus dan mahal!"
Zion terbengong. Sungguh Linzy terlihat seperti dokter hewan yang tengah mengomeli orang tua pasien hewan karena bisa membuat peliharaannya sendiri menderita gizi buruk.
"Iya-iya. " Zion mengalah, berjalan mendekati perempuan itu. Lalu hendak meraih bungkus pakan hamster yang perempuan tunjuk.
Sayangnya, tangannya seperti menggantung tiba-tiba. Sadar akan sesuatu yang salah. Pandangannya menyipit melihat mata dan hidung Linzy yang berubah kemerahan.
Sempurna Zion tidak jadi mengambil makanan hamster itu. "Lo kenapa?"
Linzy membuang muka sambil mengusap hidungnya. "Nggak pa—" gengsinya tentu tak bertahan karena suara bersinnya sendiri.
Zion mengangkat alis. Sementara Linzy refleks menutup hidung dan mulutnya. Dalam keadaan begitu dia berkata, "Udah cepet ambil makanan hamsternya!"
Bukannya Zion tidak mendengar ucapan Linzy yang tertutup telapak tangannya sendiri. Dia jelas mendengarnya. Hanya saja, otaknya berusaha menelusuri penyebab dari perubahan wajah Linzy.
Butuh waktu untuk Zion menemukan sebuah jawaban. "Lo alergi sesuatu?"
Hela napas panjang Linzy jelas datang di sela mereka. Hidungnya masih terasa gatal sekaligus tubuhnya jadi tidak enak melakukan apapun. Apalagi berusaha mengelak. "Iya gue alergi bulu kucing."
"Jadi lo alergi bulu kucing?" Zion menahan tawa. "Emaknya kucing, alergi sama anaknya sendiri?"
"Nggak lucu ya, Yon!" Pelototan Linzy menghentikan Zion yang ingin mengeluarkan tawa. Lelaki itu terdiam, serba salah memandang wajah Linzy yang berbeda dari biasanya.
"Sori," hanya itu yang bisa Zion ucapkan.
"Makanya cepetan ambil makanan hamsternya, gue pengin cepet-cepet keluar dari sini!"
Perintah itu seharusnya Zion lakukan, bukan malah merogoh saku celana dan mengambil sapu tangan panjang yang tersimpan di dalamnya.
Kakinya bergerak mendekat tapi yang perempuan malah melangkah mundur sekaligus mengangkat tangan, menghentikan gerakan Zion.
"Mau ngapain lo?"
"Pake ini." Zion tidak jadi memakaikannya, sebatas mengulurkan benda itu pada perempuan. "Kali aja kalo lo pake ini, lo gak bersin-bersin lagi "
Kalau perempuan lain pasti akan menerima dan langsung memeluk Zion dengan berbagai pujian. Sayangnya ini Linzy, perempuan yang selalu menunjukkan rasa tidak sukanya.
"Ini bersih, baru dicuci. Kalau gak percaya periksa aja."
Pada detik yang terasa berabad-abad, akhirnya Linzy mengambil benda yang Zion ulurkan. Tanpa adanya balasan dari hal yang lelaki lakukan, Linzy memosisikan sapu tangan itu di antara mulut dan hidungnya.
Menarik helaian kain itu ke belakang kepala, hendak mengikatnya, namun gerakannya terhenti oleh Zion yang bergerak ke belakang dan menggantikan tugasnya untuk mengikat.
Ini Zion yang mengikat kain itu terlalu kencang atau memang udara disekitar Linzy mendadak menghilang?
Dia berdiri kaku, hingga Zion selesai melakukannya. Bahkan yang Linzy lakukan hanya diam saat lelaki berambut acak-acakkan itu mulai mengambil makanan hamster tadi dan menatapnya tanpa canggung.
"Ayo."
Kesadaran Linzy kembali. Dia menatap Zion kemudian mengangguk. Mengikuti setiap langkah cowok itu dari belakang, dan berhenti di depan kasir. Melakukan pembayaran. Tidak butuh waktu lama karena mereka pun hanya membeli satu barang.
Saat perempuan di depan kasir yang terlihat anggun dengan pakaian kerjanya menyerahkan kantong plastik berisi barang yang mereka beli, dia berkata sambil tersenyum. "Romantis banget mas sama pacarnya, sampai dikasih sapu tangan begitu."
Yang menjadi topik pembicaraan hanya saling menatap, lalu yang lelaki menatap perempuan kasir di depannya sambil tersenyum dan menerima uluran kantong plastik itu.
"Cuma ngasih saran mbak, kalau masih bersin nyium bau minyak kayu putih aja. Tapi kalau udah sampe gatel-gatel, langsung ke apotek beli obat alergi."
Linzy merespon itu hanya dengan senyum. Lalu Zion mengucapkan terima kasih. Keduanya langsung melangkah keluar arena parkir.
"Lo mau gue anterin ke apotek beli obat alergi?"
"Nggak perlu nanti juga ilang sendiri bersin-bersinnya. Lagian di rumah gue punya." Beruntung di sana tidak banyak kucing yang berkeliaran. Jadi alergi bulu kucing yang Linzy derita tidak terlalu parah, biasanya hanya melihat kucing tangannya penuh dengan ruam gatal-gatal.
"Gue cuma butuh minyak kayu putih aja, buat ngurangin hidung gue yang gatel."
Zion mengangguk mengerti sambil menaiki motor, dia melepaskan standar-nya lalu menatap Linzy yang berdiri di samping. "Kalau gitu ke rumah Justin aja, pasti dia punya minyak kayu putih sekalian nganter ini." dia menunjuk kantong plastik yang kini pindah di tangan Linzy. "Lo mau?"
Karena tidak ada pilihan lain Linzy mengangguk.
°°°°
"Bener-bener bakal kiamat hari ini, dua dajal udah nongol!"
Bukannya menyambut ramah Zion dan Linzy, Justin terbengong-bengong setelah membuka pintu. Lebih gilanya ucapan hampir seperti teriakan cowok itu tadi.
"Siapa yang lo bilang dajal, puyuh?!" Zion memelotot memarkirkan motornya di halaman luas rumah Justin. Linzy sudah turun berdiri di depan Justin, memandang kesal cowok yang memakai kaus hitam dengan celana pendeknya itu.
"Ya lo berdua lah siapa lagi! Siap-siap aja tiang listrik di depan rumah gue pada roboh!"
Setelah melepas helm tentunya, Zion berjalan ke teras, dimana Linzy siap meledakkan emosinya di depan Justin. "Kalo gue dajal berarti lo ya'jaj-ma'juj."
"Lo nongol berdua tanpa berantem itu juga salah satu tanda kiamat. Keajaiban dunia yang harus dilestarikan."
Siapapun bisa bingung dan pasti terbengong seperti orang bego jika melihat Linzy dan Zion turun dari motor yang sama. Apalagi tanpa adanya perdebatan di antara mereka. Termasuk Justin.
"Tanda kiamat itu kalo lo jadian sama Selena Gomez."
"Eits," Justin tidak terima nama pacar kesayangannya disebut-sebut. "Kenapa nama calon gue lo bawa-bawa!"
"Mimpi lo ketinggian najis!"
"Kan kata Bung Karno 'bermimpilah setinggi langit jika engkau jatuh, kau akan jatuh diantara bintang-bintang' jadi nggak pa-pa dong gue bermimpi pacaran sama neng Selena."
"Itu bukannya mimpi, tapi lo yang gak sadar diri!"
Justin kesal pada akhirnya. Kalah telak melawan Zion yang tidak habis membalas ucapannya. Kini fokusnya beralih pada Linzy yang masih menatapnya dengan emosi.
"Yee santai, Zi! Serem banget muka lo udah kayak caleg kalah pemilu." ujar Justin yang makin menerima pelototan Linzy. "Terus itu ngapa dah, hidung lo sama mulut lo ditutup gitu, udah kayak petugas fogging!"
"Bawel lo kayak cewek!" Justin merasa tertohok. Kasarnya Linzy menyodorkan kantong plastik yang sejak tadi digenggamnya. "Nih makanan pacar kesayangan lo!"
Justin sontak menerima kantong plastik yang Linzy sodorkan. Dahinya terlipat bingung. "Apaan dah nih?"
"Jangan pura-pura bego lo, padahal udah bego aslinya." Lagi-lagi Justin tertohok, tapi kali ini oleh Zion. "Itu makanan hamster yang lo suruh beli."
Justin sontak sumringah, tentu tak menyangka jika Zion akan mau membelikan makanan hamsternya, yang padahal tadi ditelpon cowok itu sudah marah-marah.
"Tapi itu gak gratis." Lenyap sudah kesenangan Justin. "Kalo diitung-itung pembayaran gue beliin dan nganter itu mahal; ongkos jalan, ongkos motor gue harus berhenti di lampu merah, ongkos parkir, ongkos bensin, ongkos waktu semua jadinya lima ratus ribu!"
"Gila lu, Ndro, mau meres gue lo!" Justin memelotot menerima setiap rinci yang Zion lakukan untuk membeli makanan hamster-nya. "Ck, kasih diskon-lah jadi cepe aja udah."
"Taik lo, harga makanannya aja cepe lebih njir! Tiga ratus ribu dah sini."
"Masih mahal Anoa! Udah pego, fiks gak tawar-tawar lagi!"
"Itu yang beli gue kenapa jadi seakan gue yang nawar!" Zion emosi. "Udah dua ratus ribu sini, banyak nawar lo kayak emak-emak pasar!"
Kepala Linzy seperti ingin pecah mendengar perdebatan unfaedah di antara mereka.
"Oke, deal." Justin mengulurkan tangan, lalu kepala Linzy seperti ditimpa tangga saat Zion menerima uluran tangan Justin.
"Deal!"
Otak mereka benar-benar butuh perbaikan sepertinya! Linzy menghela napas frustasi.
"Bentar dah Zi kenapa lo mau jalan sama Zion hari ini?" Ini yang mengganggu Justin sejak tadi, dan hampir lupa untuk ditanyakan. "Lo dipelet pake ilmu jaran goyang?!"
Toyoran langsung mendarat di kepala Justin. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Zion. "Omongan lo lebih ngawur dibanding alesan Papa SetNov soal tiang listrik."
Linzy tidak menjawab pertanyaan Justin dan malah bertanya, "Tin lo ada minyak kayu putih, nggak? Gue minta dong."
"Buat apaan?" Justin bertanya. Sempurna perdebatan itu terpaksa dihentikan.
"Lo bisa ngambil kalo punya, gak usah pake nanya!"
Terbengong lagi Justin. Linzy jadi seperti majikan yang enggan dibantah perintahnya.
"Ada bentar." Justin masuk ke dalam, menyuruh mereka duduk di kursi yang tergeletak di depan teras. Empat kursi yang mengelilingi meja bundar itu terlihat apik dengan vas bunga di meja.
"Hidung lo masih bersin-bersin?"
Ternyata sudah lama mereka berdua berdiri. Lebih lagi untuk Linzy, berdiri sambil menonton perdebatan tidak jelas tadi, semakin pegal kakinya.
"Menurut situ aja!" Linzy sinis.
Tak lama ada asisten rumah tangga Justin mengantarkan minuman. Diletakan di meja. Lalu berlalu pergi. Zion melirik jam di pergelangan tangannya.
"Ini udah sore, nanti abis dari sini, gue antar lo pulang."
Linzy yang hendak meraih gelas berisi sirup merah yang diantarkan tadi menahan tangannya. Menatap Zion. "Emang lo gak mau jalan lagi?"
Kali ini Zion tidak bisa menyembunyikan rautnya yang terkaget-kaget. "Kenapa lo nanya gitu? Lo masih mau jalan sama gue?"
Linzy memalingkan muka. Pertanyaan akhir Zion sebenarnya kelewat percaya diri. Tapi sialnya, Linzy memang menginginkan itu. Dia tidak ingin pulang. Malas menghadapi rumahnya yang kosong atau kalau mama-papanya sudah pulang, dia lelah melihat perdebatan mereka.
Pergi kemana saja, asalkan tidak berada di rumah, itu yang Linzy inginkan. Membuang kekosongan yang selalu menyergapnya dan mengingat segala luka.
Jika memang hari ini yang bisa menyingkirkan rasa sunyi sebatas lelaki absurd di depannya. Ya sudah, dia tidak ada pilihan lain.
"Gue males di rumah." Hanya itu yang Linzy jawab. Kembali meraih gelas di meja dan menyesapnya sedikit.
Zion masih shock berat. Membasahi tenggorokan pun sepertinya tidak mempan. Dia tidak pernah menduga akan hal ini.
"Kalo lo emang mau, gue ada tempat yang pas buat buang-buang waktu tapi seru. Gimana? Lo mau ikut?"
Entah kenapa tawaran itu sulit untuk Linzy tolak. Dia spontan mengangguk.
"Gue ikut."
●●●●●
Part ini flat gitu gak sih wkwk, semoga sih suka.
Jangan bosen-bosen mampir ya :)
(Linzy yang akhirnya milih tetep ikut)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro