FF(23) ● Sesak yang dihimpit
Sayang Zion tidak? Divote atuh :)
°
°
°
Hati-hati dengan penasaran. Sekalinya rasa penasaran itu ada, banyak pertanyaan yang akan mendorongmu mencari tahu. Lalu, tanpa sadar kamu menjadi peduli dan timbul rasa sayang.
°°°
HARI ini langit tidak ingin bermuram durja, melepaskan sang senja menyebarkan jingga indahnya. Tenangnya langit sama halnya dengan salah satu perumahan elit di Jakarta. Sepi tanpa interaksi tetangga. Tapi berhasil, meninggalkan rasa tenang dan nyaman tinggal di sana.
Sebuah motor sport hitam akhirnya berhenti di tempat tujuan. Di pelataran rumah bergerbang hitam itu, motornya dibiarkan terparkir. Sementara sang pengemudi mulai melepaskan helm putih dari kepalanya.
Setelah turun dari motor, langkahnya mantap menapaki beberapa undakan tangga menuju teras. Bel di sebelah pintu cokelat dipencet beberapa kali. Tidak lama, sosok wanita yang masih sangat cantik di usia menginjak kepala empat terlihat di balik pintu.
Tahu-tahu, ujung bibir Zion sudah terangkat sempurna.
"Bunda," Punggung tangan bundanya Zion cium penuh sayang dan hormat. Namun, putaran detik setelahnya, lelaki itu terpekik merasakan cubitan di pinggangnya. "Aw—sakit Bun!"
"Masih ingat kamu sama Bunda?!" Friska memelotot marah. "Udah jarang pulang, dan biarin Bunda tinggal sendirian di rumah!"
Amukan Friska, bundanya hanya mampu Zion respon dengan cengiran bersalah. Cubitan tadi pantas untuk dia dapatkan, sudah terhitung seminggu lebih dia tidak pulang ke rumah bundanya. Dan malah mendekam seorang diri di apartemen.
Namun, sepulang sekolah tadi, Zion memutuskan untuk datang dan menginap di rumah bundanya. Takut terkena omelan—yang sudah langsung dia dapatkan tadi—sekaligus merindukan sosok wanita tersayangnya. Dan jangan lupa masakan Friska yang selalu menggunggah selera, semua yang ada di sini selalu mendatangkan rasa rindu di dadanya.
"Maaf, Bunda." Seperti kebiasan Zion saat kecil, dia akan meminta maaf dengan menjewer telinganya sendiri. Hal yang dia lakukan, selalu berhasil membuat Friska langsung memaafkan. Tanpa perlu menunggu, bundanya langsung menarik Zion ke pelukan.
Pelukan yang jelas terlihat penuh kerinduan di dalamnya. Zion membalas pelukan bundanya sama erat.
"Zion bau keringat lho, Bun. Baru pulang sekolah."
Suasana yang sempat tercipta lantas hancur hanya karena kalimat tidak diduga itu. Friska tertawa, tanpa melepaskan pelukan.
"Tapi Bunda gak nyium apa-apa," kata Friska pelan. "Emang cowok ganteng keringetan itu bau?"
Kepalanya tenggelam di bahu Zion, menjelaskan bahwa betapa tingginya anak lelakinya itu sekarang. Keadaan yang sangat kontras, dibanding dulu, saat Zion kecil yang selalu memeluk kaki bundanya.
"Ada-lah, Bun, cowok walau ganteng juga kalau keringetan pasti bau."
Pelukan Friska terpaksa terlepas, sekali lagi mencubit pinggang Zion, kali ini dengan pelan. "Kamu ini!"
Zion terkekeh sambil berkata, "Zion kan udah gede Bun, malu dipeluk di depan pintu kayak gini. Kalo ada tetangga yang liat gimana? Rusak citra cool Zion Bun."
"Oh... jadi malu kalo Bunda peluk?" Friska berpura-pura jengkel, melangkah meninggalkan Zion di ambang pintu.
Sontak anak lelakinya mengikuti dari belakang. Tangannya terangkat memeluk leher bundanya dari belakang diikuti dengan dagunya yang bertumpu pada bahu sang bunda. "Gimana bisa Zion malu dipeluk sama perempuan yang paling Zion sayang?"
Friska menoleh, langkahnya terhenti. Dicubit hidung anaknya pelan. "Gombal kamu. Bunda yakin pasti ada satu perempuan yang kamu sayang selain Bunda."
"Nggak ada, Bun," Senyum Zion mengembang, mengalihkan ucapan bunda yang mengenainya tepat sasaran. "Cuma Bunda satu-satunya perempuan yang Zion sayang."
Sudut bibir Friska terangkat sempurna. Segala tingkah Zion selalu berhasil membuatnya kehabisan kata-kata. Setiap hari waktunya dihabiskan untuk bercanda dan melemparkan tawa.
Tangan Friska lantas terangkat, mengusap kepala Zion dengan sayang dan mendadak terhenti. Fokus matanya tanpa bisa dicegah terpaku pada bekas jahitan yang melintang sepanjang lima belas senti dari leher Zion hingga punggung, yang kini tertutup baju seragam putihnya.
Bara seperti membobol mata Friska, hingga cairan bening tertumpuk dan menunggu jatuh di sana.
"Bunda mau tau, temen kamu masih ada yang nanya soal luka itu?" Friska sedikit tersendat saat bertanya. Sementara sosok yang ditanya menegang mendengar tanya seputar lukanya.
Pelukan tadi dituntut untuk terlepas. Zion menatap sang Bunda dengan senyum. Senyum tulus, yang justru menghancurkan hati Friska saat itu juga. Sekali lihat saja dia sangat tahu, anaknya bersusah payah melawan rasa hancur di dadanya.
"Zion nggak mungkin bisa nutup mulut remaja tanggung kalo lagi kepo kan Bun?"
"Terus kamu masih jawab dengan alasan itu?" Friska kali ini tidak bisa menyembunyikan rasa getir di suaranya. "Kalo luka itu kamu dapatin karena tawuran di jalan, dan nggak sengaja kamu yang kena?"
Zion terbisu, matanya menerawang, mengingat setiap tanya yang dia dapatkan di ruang ganti, saat ingin berolahraga atau berganti pakaian untuk berlatih basket. Semua pertanyaan mereka hampir sama.
Itu bekas luka apaan, Yon?
Sesak itu selalu datang, kala pertanyaan itu juga datang menghampiri. Zion tidak banyak bicara, senyum lucunya yang selalu bisa mengendalikan dan juga penjelasan masuk akal bohongannya yang sengaja dia berikan pada setiap orang yang bertanya.
Oh ini gue korban salah sasaran pas tawuran di jalan. Mereka ngira gue bagian dari musuh, ya udah tanpa nanya lagi, mereka langsung sodorin senjata tajamnya, kena deh leher sama punggung gue.
"Cuma alasan itu yang masuk akal kan Bun?" Masih mempertahankan senyumnya Zion menjawab, padahal rasa ngilu itu mulai terasa. "Nggak mungkin Zion jelasin kalo luka ini karena..."
Jangan! Setiap jawaban yang berusaha dia ucapakan justru menarik bayangan mengerikan yang berusaha dia lupakan selama ini.
Nggak usah inget itu, Yon!
Friska mengerti. Ada baiknya dia mengalihkan topik. "Kamu udah makan?"
"Wah itu pertanyaan yang Zion tunggu-tunggu dari tadi, Bun." Lenyap sudah senyum paksa Zion, sebagai ganti wajahnya berubah girang seolah mendapatkan hadiah luar biasa. "Kelinci-kelinci perut Zion udah demo presiden di dalam?"
"Kelinci-kelinci?"
"Iya, Bun kalo cacing-cacing cuma laper kecil, kalo kelinci kan udah tingkat dewa." Zion nyengir lebar tanpa peduli dengan Friska yang geleng-geleng takjub. "Ayo-lah, Bun udah lapar banget Zion nih."
Tanpa perlu menunggu Zion langsung melesat ke ruang makan, di sebelah dapur berada. Fokus Friska terkunci pada punggung anaknya. Padahal pahit di dada masih menjebaknya, tapi anaknya semudah itu mengubah suasana.
Menutup luka dengan segala tingkahnya, dan itu semakin menyakitkan untuk Friska.
°°°°
Senyumnya tidak bisa luntur hari ini, sambil dagu dipangku pada kedua tangan yang menyatu, Friska melihat Zion yang tengah lahap menghabiskan makanan buatannya di meja.
"Arven, Regha udah lama nggak ke sini?" Bundanya membuka percakapan sambil menyodorkan gelas berisi air putih pada Zion.
"Akhir-akhir ini di sekolah emang lagi sibuk, Bun. Jadi mereka nggak bisa Zion ajak ke sini," jelas Zion setelah menghilangkan makanan di mulutnya lalu meneguk air di dalam gelas tadi.
"Kalo kesibukan mereka udah selesai, ajak mereka ke sini."
"Iya, Bun nanti kalo mereka udah mau Zion ganggu. Berarti mereka udah nggak sibuk."
"Jail kamu!" Friska tertawa singkat disusul kekehan Zion. "Temen-temen kamu pada sibuk, kenapa kamu gak sibuk?"
Zion menghentikan acara makannya, menatap sang Bunda dengan tatapan seolah kalimat tadi begitu menyakitkan. "Zion juga sibuk, Bun. Lusa kemarin kan Zion udah cerita lewat telepon kalo di sekolah ada acara pensi."
"Ya ampun, Bunda lupa!" Friska baru teringat. "Kamu kan mau tampil duet di pensi sekolah. Bareng siapa itu? Zi... Zi siapa?"
"Linzy, Bun," jelas Zion pelan, kembali menyendokan nasi ke mulutnya.
"Ah, Linzy," Friska mengangguk. "Kapan-kapan kalo latihan di sini aja, kenalin dia ke Bunda."
Seolah ada batu yang menyangkut di tenggorokan, Zion tersedak. Terbatuk-batuk hingga mukanya memerah, menahan sakit.
"Astaga Zion!" Friska panik, mengambil pitcher di meja makan, menuangkan airnya ke gelas dengan cepat. "Pelan-pelan dong makannya!" Gelas yang disodorkan langsung Zion teguk sekali minum.
Zion mengusap tenggorokannya, masih perih, tapi setidaknya sudah sedikit berkurang. "Bunda kalo ngomong suka..."
"Apa? Emang Bunda salah ngomong?"
"Salah-lah Bun, buat apa Zion ngenalin dia—"
"Dia temen kamu bukan?" bundanya memotong sekali tebas. "Emang salah kalo Bunda mau kenal dia?"
"Ya-ya enggak." Zion kehabisan kata-kata. Bingung harus menjawab bagaimana.
Percakapan tidak dilanjut. Bunda diam, menunggu Zion menghabiskan makanan buatannya. Juga Zion yang masih telak bisu dengan perkataan Bunda tadi. Bawa Linzy ke sini? ke rumahnya! Astaga, ide itu tidak pernah tercetus dalam pikiran Zion. Jangankan tercetus, memikirkannya saja Zion tidak pernah.
"Bunda mau nanya?"
Topik soal Linzy kini tak penting lagi. Zion mengangkat kepala. Menatap sang Bunda yang kembali diam. Hawa tidak enak itu mulai menjalar dan dia tahu ini pertanda tidak baik.
"Om Virdi..." Ada jeda, sialnya dari nama yang Bunda sebutkan saja, dia bisa menebak lanjutannya. "Nelpon kamu?"
Tidak ada celah untuk mengelak. "Iya."
"Dia nyuruh kamu ke sana?"
Kali ini Zion ingin membantah, "Bun..."
"Kamu nggak bisa bohong sama Bunda, Zion. Om Virdi juga nelpon Bunda, dan cerita semuanya."
Tatapan serius bundanya, tidak bisa Zion bantah. Tidak bisa membuat Zion berkelit atau berusaha menutupi. Karena memang itu benar adanya.
"Zion cuma berdiri dari jauh, Bun. Nggak ngelanggar batas yang dibuat." Itu kenyataan, Zion tidak berdiri di dekat-nya. Jaraknya cukup jauh untuk melihat. Meski ada rasa rindu yang mendorongnya untuk memeluk.
Tapi jelas itu tidak mungkin.
Jika Zion tidak ingin membuat bundanya sedih dan menangis untuk kesekian kali. Itu peraturan yang tegas harus dia lakukan. Tidak boleh dilanggar—kecuali dia ingin dirinya terluka lagi.
"Bunda nggak pernah larang kamu ke sana Zion." Air mata Friska kali ini jatuh ke pipi. Dan itu dosa besar yang Zion lakukan hari ini. "Bunda cuma nggak mau kamu kenapa-napa, Bunda nggak mau kamu disakitin lagi. Bunda cuma khawatir Zion."
Peperangan batin itu mulai ada. Menjebak Zion pada keadaan yang harus dia pilih. Disatu sisi dia tidak ingin bundanya sedih melihatnya terluka. Tapi disatu sisi, rindu itu datang, memaksanya untuk melihat orang itu.
Zion harus apa?
"Percaya sama Zion, Bun." Zion menarik tangan sang bunda lalu mengenggamnya kuat. Ikut menguatkan dirinya jika dia bisa melakukan semua permintaan bundanya. "Kalo Zion nggak akan ngelanggar batas itu."
°°°°
In my dreams you're with me
We'll be everything I want us to be
Suara penyanyi tampan kelahiran kanada itu mengalir merdu di dalam mobil. Menemani dua sosok manusia yang fokus pada diri masing-masing. Fokus Regha pada jalan di depan, sedang perempuan di samping fokus berperang pikiran dan batin.
Tidak seperti Linzy yang biasanya. Dia yang mudah melupakan segala masalah saat mendengar lagu calon masa depannya. Dia yang mudah tenggelam dalam alunan lagu yang penyanyi kanada itu nyanyikan.
Tapi hari ini Linzy seperti punya kepribadian lain.
Setelah tadi di sekolah dia mengembalikan gitar Zion, yang berujung pada kekesalan karena ledekkan Zion mengenai gitarnya yang menginap di rumah Linzy. Lebih sialnya adalah tulisan di belakang gitar itu kembali dia lihat dan mengembalikan ribuan tanya di kepala.
Rasa penasaran itu makin gila menjebaknya. Tidak akan pernah pergi kecuali jawaban atas pertanyaan di kepala dia temukan.
Tunggu, Linzy jelaskan. Dia tidak penasaran pada Zion, melainkan tulisan di gitarnya. Itu berbeda kan?
Arghh! Kenapa pertanyaan itu tidak pergi saja? Linzy pusing jadinya.
Tanpa sadar Linzy membuang napas kasar, Regha yang berada di samping mengerut heran.
"Kenapa lo?"
"Nggak!"
Padahal hari ini Linzy seharusnya bisa sedikit menghilangkan beban pikiran, karena dia mendapat sopir dadakan. Siapa lagi kalau bukan Regha, sepupu kesayangannya. Oke, hapus kata 'kesayangan' tadi, dia mendadak ingin muntah.
Kalau bukan karena mobilnya yang masih di bengkel, tidak mungkin dia berada di mobil Regha setelah pulang sekolah. Awalnya jelas Regha menolak habis-habisan saat dia meminta diantarkan pulang. Sayangnya, Linzy punya kartu as yang bisa mematikan langsung penolakan Regha.
Tentu saja kartu as-nya itu Retta, siapa lagi memang. Hanya satu kalimat, Regha tidak berani melawan. Bukan Retta saja, mungkin kalau Regha masih menolak tadi, dia akan menelpon tante Seli—mama Regha.
"Gha?" Entah keberanian turun dari langit mana, Linzy mencoba mengorek informasi dari Regha.
"Mm?" Regha tidak menoleh.
"Lo," Linzy berhenti, keberaniannya terkikis pelan-pelan. Ayo Linzy ini udah kepalang tanggung! "Lo deket sama keluarga Zion?"
Pertanyaan itu berhasil mengambil semua perhatian Regha, meski sejenak. "Emang kenapa?"
"Ah—enggak," Shit! Linzy bingung bagaimana menjelaskan. "Cuma nanya aja."
Regha menoleh lagi, menyipitkan mata. Tapi akhirnya dia sebatas menjawab, "Deket, ya tapi cuma sama Bundanya aja."
"Bundanya aja?" Oke dia makin penasaran. "Bokapnya?"
Barisan mobil di depan seolah lebih menyenangkan untuk Regha lihat. Diam, seolah pertanyaan Linzy mematikan pita suaranya.
"Gue nggak pernah liat bokapnya." Ujaran itu sangat pelan. Tapi pendengaran Linzy sudah terpasang lebar, jadi dia menangkapnya jelas.
"Maksud lo dia sibuk kerja?"
Lagi-lagi diam untuk beberapa detik sebelum Regha menggeleng. "Entah, tapi di hari libur pun gue nggak pernah lihat beliau. Kalo sibuk kerja pasti ada hari liburnya, walau sehari aja kan?"
Kepala Linzy mengangguk mengiyakan. Benar. Lalu dimana pria yang menjadi punggung keluarga Zion itu?
Di awal Linzy dibuat penasaran dengan tulisan di gitar, tapi rasa penasaran itu malah melenceng jauh dan menebar makin banyak pertanyaan.
"Emang lo nggak pernah nanya ke Zion tentang bokapnya?"
Mata Regha seperti menerawang jauh, lalu tersenyum tipis. "Gue udah sering nanya, tapi ya lo kenal Zion lah dia kayak gimana. Berusaha ngalihin topik, dan ujungnya gak bakal dia jawab."
Jawaban Regha tidak berhasil menutupi segala lubang penasaran itu. Malah memperparah untuk terbuka lebar. Linzy membuang muka ke luar jendela. Beberapa motor berusaha menyalip di sebelah kiri mobil sepupunya itu.
"Cuma itu yang lo tau tentang keluarga Zion?" Linzy menolehkan kepala lagi, memandang sang sepupu.
Ekspresi Regha sesaat berubah seolah ada yang disembunyikan. Bisu untuk kesekian kalinya.
"Ya." akhirnya hanya itu yang Regha ucapkan.
Yang perempuan menghela napas.
"Bentar deh," Regha seperti baru sadar sesuatu. "Kenapa lo banyak nanya tentang Zion?"
"Ah," Linzy gugup mendadak. "Itu ya gue nanya aja. Emang nggak boleh?"
"Seriously?" Mata Regha tersipit curiga. "Cuma pengin nanya? Bukan penasaran?"
Langsung saja Linzy memelotot. "Apaan sih lo!"
"Ya nggak pa-pa sih kalo emang lo penasaran," ujar Regha. Lalu senyum penuh arti. "Tapi hati-hati aja..."
"Maksud lo?!"
"Biasanya sih dari penasaran, ujung-ujungnya peduli terus jadi sayang."
Senyum Regha menghilang berubah ringisan, karena teganya Linzy mencubit lengannya yang bertengger di kemudi.
"Kebiasaan lo!"
"Bodo!"
Mulai sekarang Linzy bertekad untuk tidak bertanya apapun mengenai Zion pada sepupu sialannya itu!
●●●●●
Om Virdi tuh siapa? Apa ada yang masih inget part di kafe yang Zion ditelpon, apa dia orangnya?
Linzy malah makin penasaran. Agak bahaya itu wkwkwk
Sayang kalian yang selalu mampir :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro