Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(22) ● Perasaan ini?

Vote jangan lupa :*

°
°
°

Awalnya hanya bentuk pertolongan biasa, yang berujung pada detak jantungku yang menggila.
Lalu di kepalaku timbul tanya.
Apa ini yang namanya jatuh cinta?

°°°

RAK di dalam perpustakaan menghimpit sekaligus berhadapan satu sama lain. Menyimpan berbagai jenis buku di setiap susunannya. Di sela antara himpitan rak, Zarlin terjebak bersama ribuan buku itu. Setengah jam sudah waktunya terkuras hanya karena mencari buku yang dicarinya sejak tadi.

Padahal di setiap sisi rak, sengaja digantungkan papan penunjuk, untuk mempermudah siswa-siswi mencari apa yang mereka inginkan. Namun, nyatanya tidak mudah menemukan satu buku di luasnya perpustakaan sekolah.

Harapannya menipis, dia berjalan ke rak pojok ruangan. Diamatinya keseluruhan judul di sana, hingga semangatnya melambung dan membuatnya hampir memekik senang.

Zarlin menemukannya.

Akhirnya!

Tanpa ingin menunggu, dia lantas menarik buku itu dari jejeran sebangsanya. Tapi detik berikutnya, dia malah terpaku. Celah yang tercipta karena buku yang sudah diambilnya, menampilkan sosok tinggi yang berdiri di sisi seberang rak.

Sebatas melihat postur tubuhnya saja, semua sendi Zarlin berubah kaku. Mungkin jantungnya saja yang bergerak tidak sesuai aturan.

Ingin memastikan jika tebakan jantungnya tidak salah, Zarlin menjulurkan kepala melihat lebih dekat sosok lelaki di seberangnya yang kini terhalang rak besar dan tinggi.

"Hai!" Wajah yang ikut tertunduk tepat di depan celah rak itu, menganggetkan Zarlin luar biasa. Napasnya tercekat, bersamaan dengan kakinya yang hilang keseimbangan. Tubuhnya mencium langsung lantai perpustakaan, diikuti bukunya terjatuh di perut.

Ringisan sontak keluar dari bibir Zarlin, bersama suara langkah kaki yang terdengar mendekat. Dia tidak tahu harus apa, sakit tidak terlalu dirasakan. Tapi malunya itu.

Dia masih tidak bergerak hingga sepasang sepatu berhenti di hadapannya dan mengembalikan kegugupan itu.

"Lo nggak pa-pa?" Lelaki itu berjongkok. Kepalanya menunduk, mengamati Zarlin yang menyembunyikan ekspresinya sekaligus menahan napas karena tipisnya jarak mereka.

Zion berdiri lalu mengulurkan tangan pada Zarlin. "Ayo gue bantu diri, gak elit banget duduk di lantai begitu."

Kepala Zarlin tertuntut untuk terangkat. Memandang telapak tangan kakak kelasnya dengan perasaan yang campur aduk. Bahagia, gugup, takut, dan rasa geli di perutnya. Semua itu dia rasakan.

Apa yang terjadi dengannya?

Berusaha fokus pada keadaan sekarang dibanding pikiran, Zarlin perlahan mengangkat tangan, menerima uluran Zion. Kehangatan dalam genggaman itu langsung terasa mengalir lewat tangannya dan mendarat di kerja jantungnya.

Tapi entah kenapa ini ... menyenangkan.

Selesai Zion menarik tubuh Zarlin berdiri, yang perempuan membersihkan sisa-sisa debu yang menempel di rok selututnya. Mendekap bukunya di dada. Sebelum mengangkat kepala dan disambut senyum ramah kakak kelasnya.

Ya Tuhan!

"Lo bener-bener nggak pa-pa kan?" Zion bertanya lagi, mengamati tubuh kecil Zarlin dari ujung kaki hingga kepala.

Gugup mengulas lewat senyum Zarlin. "Nggak pa-pa kok, kak."

"Segitu kagetnya ngeliat gue. Kenapa?"

"Ah itu ..." Zarlin diam mencari jawaban. Dia tidak mungkin memberitahukan kalau dia kaget oleh tebakan benar jantungnya sendiri. Iya kan? Ditambah dia melihat jarak Zion yang sangat dekat di celah tadi, yang membuatnya nyaris kehilangan napas.

"Kaget aja ngeliat wajah Kak Zion tiba-tiba ada di depan mata Zarlin." Itu alasan masuk akal yang bisa Zarlin berikan. Lagi pun nyatanya memang begitu kan?

"Gitu?" Alis yang lelaki terangkat, lucu sepertinya untuk menggoda perempuan di depannya. "Tapi gue kira lo emang berniat ngeliat muka gue tadi."

Kontan pipi Zarlin berubah warna, mengundang tawa lawan bicaranya.

"Bercanda," lanjut Zion sambil terkekeh. "Tapi kalo bener nggak pa-pa kok." Akhir kata, yang lelaki mengedipkan mata.

Zarlin memalingkan wajah, menutupi pipinya yang makin terasa panas. Lebih baik dia mengalihkan topik. "Kak Zion ngapain di sini?"

"Nyari spanduk warteg ada gak?" Zion asal berbicara.

"Hah?"

Wajah bingung perempuan kecil di depannya, mengangkat senyum Zion lagi. "Kalo ke perpus, selain nyari buku emang nyari apalagi?" Zion bertanya sambil mengangkat alis. "Nyari lo?"

Lagi-lagi jawaban Zion tak terduga, gugupnya kembali datang menyerang.

"Kak Zion emang nyari buku apa?"

"Kamus Jerman, lo tau kalo buku kayak gitu ditaruh dimana?"

"Ada di rak belakang bagian kanan, baris kedua."

"Lo hapal banget," Zion hampir berseru takjub. "Keliatan sih lo tipe cewek yang suka makan lembar-lembar buku pakai otak. Pasti nongkrongnya di perpus."

Zarlin tersenyum. "Kalo kak Zion sering ke perpus?"

"Kalo itu gak usah ditanya," Zion menepuk dada bangga. "Absen hadir gue ke perpus bisa lo itung pake jari."

Zarlin menahan senyum. Kakak kelasnya ini apa adanya. Tidak berusaha menunjukkan kelebihannya atau berusaha untuk terlihat sempurna.

"Lagian gue kadang malas ke perpus, ada singa yang jaga."

"Singa?"

"Iya, Bu Sariyah."

Saat itu juga tawa singkat Zarlin tidak bisa ditahan. Bu Sariyah, guru yang menjabat sebagai kepala perpus, selalu duduk di depan pintu, mengecek nama daftar anak-anak yang sering berkunjung ke sini.

Beliau mempunya postur tubuh persis seperti Zarlin, kurus dan kecil. Tapi jangan salah, walau badannya kecil, teriakan bahkan bentakan kasarnya bisa menggema di setiap lorong.

Sifatnya yang galak, judes, dan hanya menyukai anak-anak—yang suka berkunjung ke perpus—membuat banyak anak-anak tidak suka padanya, terkadang kurang ajarnya mereka menjadikan Bu Sariyah seperti lelucon. Lebih tepatnya anak yang mengidap penyakit anti buku.

Mungkin Zion termasuk di dalamnya.

"Tapi Bu sariyah baik kok Kak orangnya," ujar Zarlin.

"Ya itu sama anak kayak lo, coba gue, baru aja berdiri di luar perpus mau masuk, langsung dapat tatapan laser."

Zarlin tersenyum mengerti. "Tapi Zarlin yakin kalo kak Zion sering ke sini, Bu Sariyah bakal baik sama kak Zion."

"Tapi sayangnya gue nggak suka baca, jadi nggak tau bisa ngikut saran lo apa enggak." Zion mengurai senyum. Kemudian dia seperti sadar sesuatu. Dia menepuk jidatnya.

"Mati gue!" gusar Zion. "Tadi lo bilang kamus Jerman ada di mana?"

"Di sana, di baris kedua." Zarlin menunjuk bagian kanan, rak paling belakang.

Zion hendak bergerak cepat ke arah yang Zarlin tunjuk. Tapi ayunan langkahnya tertahan. Dia menoleh, lagi-lagi mengulas senyum. "Thanks, Zar. Kapan-kapan kalo ada waktu, kita ngobrol lagi. Oke?"

Belum sempat Zarlin mengartikan kalimat Zion, kakak kelasnya itu berlalu begitu saja menghilang di balik rak. Zarlin tertegun.

Apa itu ajakan untuk mereka bertemu dan juga mengobrol berdua?

  °°°° 

Di sela langkahnya berjalan di koridor, senyum tak kunjung pudar di wajah Zarlin.

Bel istirahat bergetar bagai panggilan surga untuk semua anak-anak. Suntuk setelah pelajaran, kantin menjadi pelampiasan mereka untuk mencari makan.

Termasuk Zarlin dan Nara. Bukannya senang oleh suara bel, Nara justru kebingungan melihat senyum Zarlin yang tidak pernah hilang setelah kembali dari perpus tadi, hingga sekarang.

Karena tidak ingin terjadi apa-apa dengan Zarlin. Nara menyeret Zarlin ke luar kelas menuju kantin. Lebih mengejutkannya adalah, Zarlin tidak menolak atau protes seperti biasanya. Dia justru mengangguk sambil tersenyum dan duluan keluar kelas.

Ada apa dengan anak itu?

"Zar, lo kenapa sih?" Nara akhirnya tidak tahan untuk tidak bertanya.

Zarlin masih berjalan ketika menoleh, "Aku emang kenapa?" dia balik bertanya, "Kayaknya aku nggak pa-pa tuh."

"Nggak kenapa-napa sih senyam-senyum sendiri!" Nara kesal. "Nggak takut gigi lo kering, senyum terus kayak begitu. Lo emang kenapa?"

Kali ini Zarlin menghentikan langkah, pun Nara di sebelahnya. "Aku nggak pa-pa Nara, serius deh. Cuma..."

"Cuma?" Nara menunggu tak sabaran karena Zarlin menggantungkan kalimat.

"Ya, cuma pengin senyum aja."

Kepala Nara seperti ketimpa tangga. "Oh jadi gitu ya lo sama gue sekarang, rahasia-rahasian. Oke, fine." Lalu dia menghentak langkah kesal, meninggalkan Zarlin dengan cemberut.

"Ih Nara kok ngambekkan." Zarlin sontak menyusul, mengikuti setiap gerakan langkah Nara dari samping. "Iya, ya deh aku ... cerita."

Lantas gerakan Nara terhenti sekaligus menoleh. "Apa?" tanyanya. "Jadi lo ketemu siapa di perpus, sampe lo gak berhenti senyum kayak orang gila gitu?!"

Pertanyaan yang sejak tadi Nara tahan langsung menerobos keluar. Dia diam sejak tadi, hanya untuk menunggu Zarlin menceritakan. Tapi nyatanya, sahabatnya berambut sebahu itu tidak bercerita-cerita juga.

"Aku..." Zarlin menunduk, menengok kanan-kiri, memastikan tidak ada orang yang akan menguping. Seolah hal yang akan diberitahukan penuh rahasia. Lalu dia mendekatkan kepala dan bibirnya di telinga Nara. "Aku ketemu kak Zion di perpus tadi."

Zarlin menjauhkan kepala dan melihat mata Nara melebar tak terkira. "Ja-jadi orang yang bu-buat lo senyum sejak tadi," cicit Nara tak percaya. "Kak Zion?"

Yang ditanya mengangguk malu-malu.

"YA AMPUN!" Seru Nara kencang tanpa sadar. Zarlin melotot disusul telunjuknya yang bergerak ke bibir sahabatnya.

"Jangan berisik dong, Ra!"

"Gila!" suara Nara kali ini sangat pelan. "Jadi lo..." tidak tahu harus berkata apa, Nara menggelang tidak percaya. Sulit menyuarakan kesimpulan yang membelit pikirannya. "Lo beneran suka Kak Zion?"

Bibir Zarlin seketika terkatup. Kesimpulan Nara entah kenapa langsung menghantamnya. Menyukai Kak Zion?

Apa itu arti dari sikapnya akhir-akhir ini jika bertemu dengan Zion. Lebih tepatnya setelah pertolongan biasa di taman belakang saat itu, Zarlin hampir selalu ingin melihat Zion.

Di lapangan kala anak basket tengah latihan, tanpa sadar matanya mencari keberadaan kakak kelasnya itu. Di koridor kelas sebelas saat ingin mengantarkan buku untuk guru kimia-nya. Pun saat di kantin, hingga ketika Zion membelanya dari Cindy, perasaan itu makin melambung dan sulit untuk dimengerti.

"Aku nggak tau apa aku beneran suka atau enggak?"

"Itu suka namanya!" Nara langsung menjawab keraguan Zarlin. "Jelas lo suka sama playboy itu!" kata 'playboy' Nara ucapkan dengan gertakan gigi. "Apalagi ngeliat pipi lo yang merah sama wajah seneng lo. Fiks lo suka kak Zion!"

"Gitu ya? Terus aku harus apa, Ra?" tanya Zarlin dengan begitu polosnya. Ditambah tatapan dan rautnya, astaga, Nara ingin menggaruk tembok rasanya.

"Ya, gue nggak tau lah. Menurut lo aja?" Nara bukannya tidak bisa memberikan jawaban yang benar. Dia bisa, hanya saja orang yang Zarlin suka itu membuat Nara berpikir ribuan kali untuk menyuruh Zarlin mendekatinya.

Falzion Herlangga yang sudah sangat terkenal dengan tabiatnya yang suka gonta-ganti pacar seminggu sekali. Seolah pacaran hanya untuk menguji batas kebosanannya. Mempermainkan perempuan seperti boneka.

Jelas Nara tidak akan biarkan Zarlin jatuh ke lelaki seperti itu. Dia tidak ingin Zarlin merasakan yang namanya patah hati.

Seperti Nara yang diam, Zarlin ikut membisu. Memikirkan segalanya yang tidak bisa dia artikan.

Lalu pikiran Zarlin terbuyarkan saat mendengar makian seorang perempuan. Dia menoleh ke lorong kiri dan ... tertegun. Di sana, Zion tengah mendapat omelan oleh seorang cewek yang berdiri di depannya. Rambut pirang si cewek tergerai, kaki jenjangnya menopang tubuh tingginya.

Cantik. Satu kata untuk perempuan itu. Sebagai seorang perempuan saja Zarlin akui perempuan itu sangat cantik.

"Kakak itu siapa?" Nara mengikuti arah pandang Zarlin. Keduanya sama-sama melihat Zion di sana tidak marah karena mendapat injakkan bahkan pukulan perempuan itu. Malahan tertawa dan berbicara lagi yang membuat si perempuan kesal.

"Itu Kak Linzy." Nara menjawab. "Sepupunya Kak Regha."

"Kak Regha cowok yang selalu kamu ceritain ke aku itu kan?" Zarlin bersuara di tengah orang yang berlalu lalang di koridor. "Yang kata kamu gantengnya bikin kamu gak bisa tidur."

Nara sontak menyenggol Zarlin untuk berhenti berbicara. "Ih berisik lo Zar, banyak orang, nanti kalo ada yang denger terus ngelapor ke ceweknya gimana?!"

Zarlin hanya tertawa. Melihat pipi Nara yang memerah malu. Lalu sahabatnya pun melanjutkan penjelasan.

"Kak Zion juga sahabatnya Kak Regha."

Tawa Zarlin mendadak terhenti. "Oh, jadi kak Linzy sama kak Zion deket dong."

"Ya deket," Nara mengangguk. Zarlin pias. "Deket untuk berantem lebih tepatnya. Kayak sekarang tuh." Nara menunjuk perdebatan Zion dan Linzy di lorong, yang menjadikan banyak orang menoleh pada mereka.

Tanpa sadar Zarlin mengembuskan napas lega. "Mereka sering berantem?"

"Nggak usah ditanya, hampir setiap hari mungkin."

Dahi Zarlin terlipat bingung. "Kenapa?"

Nara mengangkat bahu tak acuh. "Mungkin karena kak Zion itu usil sama kak Linzy, suka nyari gara-gara yang bikin kak Linzy kesal."

Zarlin diam. Menatap lagi kedua kakak kelasnya yang masih berdebat.

"Tapi kalo dilihat-lihat mereka cocok." Nara tanpa sadar mengeluarkan ucapan yang salah. "Sayangnya, kak Zion punya kak Cindy, dan kak Linzy gak suka sama kak Zion."

Mungkin raga Zion milik Cindy, tapi soal hati siapa yang tahu. Dari sini, Zarlin bisa melihat binar yang tercetak di mata Zion.

  ●●●●● 

Zarlin udah ngeliat Linzy. Linzy juga udah ngeliat Zarlin walaupun punggungnya doang.
Tinggal tunggu mereka ketemu, dan kenalan :v

Selalu bilang makasih untuk yang udah mau mampir apalagi ngasih vote dan komen :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro