Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(21) ● Semuanya bisa terjadi

KEADAAN kantin sempat heboh karena pembelaan yang Zion lakukan pada seorang adik kelas. Apalagi Zion lebih memilih membela orang lain dibanding pacarnya sendiri, yang hasilnya menimbulkan tanda tanya besar di kepala banyak orang yang melihat kejadian tadi.

Berbagai asumsi mulai berkejar dari mulut ke mulut. Tapi dari banyaknya asumsi yang bertebaran, hanya satu yang menjadi kesimpulan, bahwa pembelaan yang Zion lakukan adalah awal dari kebosanan Zion pada Cindy, dan adik kelas yang Zion bela itu adalah target Zion selanjutnya.

Mungkin dari sekian orang yang bertanya-tanya, hanya Linzy seorang yang sama sekali tidak peduli dengan drama murahan tadi. Dia sudah lebih dulu malas menyaksikan punggung adik kelasnya dari jauh, pun sikap Zion yang sok jadi pahlawan.

Yang menjadi masalah bagi Linzy adalah dia harus berada di satu tempat bersama dengan Zion dan itu hanya berdua. Berdua!

Astaga Linzy bisa gila!

Raut kesalnya tidak terlepas dengan punggung Zion yang sudah melangkah masuk ke dalam ruang musik. Tangannya terlipat disusul langkahnya yang mulai mengikuti si cowok dari belakang.

Keduanya langsung disambut berbagai alat musik yang berjejer. Dari drum yang berada di pojok kanan bersama berbagai gitar yang menyandar. Di bagian sisinya, empat biola tersimpan rapi di tasnya. Hanya grand piano yang dibiarkan sendirian di pojok kiri, di sebelah panggung kecil.

Tak luput lukisan bertema tentang seni musik juga bertebar di dinding sekaligus foto-foto musisi terkenal atas karyanya di dunia.

Zion mendadak berhenti. Tepat waktu Linzy pun menghentikan langkah. Sialnya, tipisnya jarak ini, Linzy bisa melihat luka bekas jahitan yang melintang panjang, yang tersembunyi di balik kaus putih dan kerah seragam cowok itu.

Luka yang jelas dari jauh tidak bisa terlihat karena tertutup kerah seragam. Tapi jika jaraknya sangat dekat, siapapun pasti bisa melihatnya. Dia tidak kaget lagi, banyak anak pun sudah tahu penyebab luka panjang di punggung Zion. Yang selalu cowok itu ceritakan kalau luka itu dia dapatkan dari tawuran di jalan. Korban salah sasaran.

Entah itu memang benar atau tidak. Linzy malas peduli.

"Gitar gue kan sama lo ya?" tanya Zion sambil menoleh, pun menyadarkan Linzy dari lamunan.

"Gue pikir lo lupa sama gitar kesayangan lo itu!" ketus Linzy membalas.

"Gue yang justru berpikir kalo lo terlalu sayang sama gitar gue sampe nggak ngingetin gue?" Zion sengaja memutar kata-katanya. "Atau lo terlalu sayang sama pemiliknya?"

"You wish!" desisnya kemudian.

Tak ingin lanjut debat, Linzy memilih berjalan melewati Zion. Tapi seharusnya dia ingat, tengah bersama siapa dia sekarang. Orang paling iseng dan absurd di dunia.

"Zi, ada tikus kaki lo!" suara Zion terdengar kencang di belakang, refleks Linzy memekik diikuti dengan kakinya yang bergerak lari ke arah Zion, tanpa sadar dia memeluk leher si lelaki, mencari perlindungan dari rasa takutnya.

Siapapun pasti tidak bisa berpikir saat ketakutan. Begitupun Linzy, jadi wajar saja dia semudah itu masuk perangkap.

Sementara yang mendapat peluk dadakan membatu bisu. Zion seharusnya sadar bermain-main dengan Linzy itu membahayakan. Berbahaya untuk pacuan jantungnya sendiri.

"Buang tikusnya Yon! Buang!" Pelukan Linzy di leher mengetat pun menyadarkan Zion ke dunia nyata. Dia merasa ... de javu.

Untuk menghapus pikiran tak pantas diingat itu, dia tertawa. Jenis tawa menyebalkan yang tidak ingin didengar.

Masih di posisi tadi, Linzy memundurkan kepala, menatap dongkol wajah di depannya. "Kenapa lo ketawa?" tidak perlu menunggu Linzy langsung mengerti apa yang terjadi. "LO NGERJAIN GUE?!"

Tawa Zion makin menggila. "Lo pikir aja sendiri, mana ada tikus di ruang musik stupid girl!"

Kepala Linzy sudah terbakar. Tetapi kalimat yang Zion lanjutkan seketika menampar kesadaran Linzy. "Sampai kapan lo mau meluk gue?"

Tidak perlu menunggu dia langsung melepas pelukan dan bergerak menjauh.

"Mm, ngeliat ketakutan lo cuma karena tikus," Ada nada jail saat Zion berbicara lagi. "Ngingetin gue sama kejadian—"

"Nggak usah ngingetin itu!" geram Linzy memotong.

"Kenapa? Padahal kalo satu sekolah tau, mereka bakalan heboh," senyum ironi yang samar Zion tunjukkan. "Mereka pasti nggak percaya, gimana bisa cowok yang lo benci banget, justru yang dapatin ciuman pertama lo. Walaupun itu nggak sengaja."

Tertegun Linzy untuk sesaat, "Nggak sengaja? Jelas lo sengaja?!"

Untuk beberapa detik hening itu melumat habis keduanya, yang satu tenggelam dalam kekesalan. Sementara yang cowok terjebak diam oleh lukanya.

"Ya, gue emang sengaja." Akhirnya hanya itu yang mampu Zion katakan sambil tersenyum.

Lagi-lagi Linzy menggeram. "LO ITU EMANG NGESELIN!"

Senyum Zion tambah lebar. "Ngeselin ya? Bukan ngegemesin?"

Siapapun tolong, siapa yang bisa menghilangkan kepedean lelaki ini!

"Terserah lo Yon, gue nyerah!" Lalu tanpa peduli, kaki Linzy terhentak kesal berjalan menuju panggung di samping grand piano.

Zion terkekeh hambar sebelum menyusul Linzy menuju panggung, menyempatkan diri mengambil salah satu gitar di pojok dan juga kursi tinggi. Diletakan di sebelah perempuan.

"Jadi kita mau nyanyi apa?" Zion sudah duduk sambil memangku gitar. Titik fokusnya kini pada perempuan yang menatap lurus ke depan.

Linzy memosisikan duduknya sedikit miring, untuk lebih jelas menatap Zion. "Kenapa lo masih nanya? Emang lo kemarin nggak nyari review di internet?"

Yang cowok menggeleng. "Kan ini tugas berdua, ya cari review-nya juga harus berdua dong."

"Lo kan bisa cari review sendiri, nanti tinggal minta pendapat gue!" Linzy jadi kesal lagi.

"Gue males, lo ada usul?" tanya Zion sembari mencari posisi duduk yang nyaman.

Beberapa detik Linzy gunakan untuk berpikir, tetapi pada hasilnya bahunya terangkat bingung. "Nggak ada, tunggu Bu Santi aja kalo gitu."

Seperti yang disarankan, jika mereka kebingungan saat menentukan lagu ataupun hal yang bersangkut pada kekurangan performa mereka. Linzy dan Zion akan meminta pendapat Bu Santi. Pun seperti sepakatan, Bu Santi akan selalu memantau mereka berdua, jika berlatih di ruang musik.

Sebelum mereka ke ruangan ini, Bu Santi sudah berpesan jika beliau akan menyusul belakangan, karena ada urusan yang harus diselesaikan lebih dulu.

Seharusnya Linzy sudah bersantai ria di rumah, bel pulang berbunyi lima menit lalu. Tapi karena ini penyebab dia harus tetap berada di sekolah, melupakan waktu istirahatnya.

"Lo?" Linzy membuka suara lagi dilingkup diamnya mereka. "Ada usul?"

Dagu Zion terpangku di headstock gitar. Memberikan perhatian penuh pada perempuan di samping. "Ada," jawabnya kemudian. Senyum jailnya terukir. "Lagu yang gue ciptain khusus buat lo."

Jangan pernah berpikir jika Zion menciptakan lagu untuk Linzy itu adalah lagu romantis yang enak didengar. Jelas itu hanya imajinasi yang berlebihan.

"Lo mau dengar gak?"

"Kalo lagu itu mending gak usah lo nyanyiin!" Linzy menatap sengit. Dia sangat yakin Zion akan menyanyikan lagu yang mana.

Zion sedikit cemberut. "Padahal gue udah lama, gak nyanyiin itu buat lo."

"Udah lama?!" Linzy tidak percaya. "Lo hampir nyanyiin itu di depan kelas setiap hari!"

"Itu kan di depan banyak orang, gak cuma di depan lo. Apalagi cuma berdua kayak gini."

Kursi yang Linzy duduki, rasanya ingin dia tarik lalu dilempar ke arah cowok itu saking emosinya. Tapi emosinya semakin menanjak saat Zion malah memetik dan mulai melantukan lirik lagu yang dibuat dari hasil peleseten potong bebek angsa.

"Potong bebek angsa ... masak dikuali, Linzy jomblo lama ... nyesek tiap hari, galau ke sana, galau ke sini. lalalala...."

"Po—"

"Lo bisa serius gak sih Yon?" potong Linzy langsung saat melihat cowok itu ingin menyanyikan lagu tadi untuk kedua kalinya.

"Jangan serius-serius ah, ditinggalin nangis nanti."

Iris kelabu Linzy berkobar seperti api. Zion menghela napas, memilih mengalah. "Iya-iya! Dengerin oke, gue serius sekarang."

Yang lelaki mulai berancang-ancang, jemarinya bergerak mengatur tunner sesuai dasar nada. Sebelum diletakan di atas senar.

"Gue nyanyi dibait kedua aja."

"Terserah lo," respon Linzy lalu diam.

Zion mulai memetik, membiarkan suara petikan menggantung indah di antara hening. Disusul suaranya yang terbilang merdu, "Don't be afraid to give your heart to me. And if you do, I know that I won't let you down, no."

Saat ini Linzy tahu bahwa dia tengah terhanyut di setiap alunan.

"Yeah, so hand it over, trust me with your love."

Akhir lagu, Zion sebatas mengulas senyum pada perempuan yang jelas kini terpaku diam. Kesunyian itu merayap di sela keduanya, dan meninggalkan sunyi yang melayang penuh sesak.

Namun, suara tepuk tangan berulang, melahap hening untuk menyingkir. Sontak Zion dan Linzy menoleh, melihat Bu Santi berjalan ke arah mereka, yang masih menyatukan kedua tangan, sehabis menghadiahkan sebuah tepukan pujian untuk Zion tadi.

"Maroon 5, ibu suka lagu itu." Guru mudanya yang memang belum menikah, mengukir senyum. "Gimana menurut kamu Linzy?"

Kalimat tanya Bu Santi mengeluarkan Linzy dari sangkar pikirannya sendiri. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Lagu itu, lagu yang entah kenapa sedikit terlalu—ah Linzy tidak bisa menjelaskan.

Tidak mungkin mereka berduet dengan lagu itu kan?

"Emang nggak masalah Bu, kita nyanyi lagu agak mellow kayak gitu buat acara perpisahan kelas dua belas?" Linzy angkat suara.

"Kenapa nggak? Lagu yang kayak gitu yang malah dibutuhkan. Benar kan?"

Lagi-lagi bisu itu datang sesuka hati, Linzy menoleh pada Zion yang juga terdiam. Keputusan apa yang harus Linzy ambil?

"Ya udah, Bu," belum sempat pikiran Linzy melayang memikir ide. Zion melepas diamnya. "Kita nyanyi lagu itu."

°°°°

"Jadi Kak Zion benar-benar belain lo di depan pacarnya?!"

Sorot tak peraya Nara jatuh pada Zarlin yang bersandar di kepala ranjang. Sementara dia terbaring tengkurap. Ranjang bersprei beruang dewasa bernama Paddington kesukaan Zarlin menjadi tema alas ranjangnya.

Hembusan angin malam yang menembus masuk dari jendela kamar yang terbuka, sama sekali tidak menganggu keduanya berbagi setiap cerita. Dan kali ini topik mengenai accident di kantin, menjadi hal yang sangat harus mereka bahas.

Lebih tepatnya, Nara sangat penasaran. Kok bisa Zion yang notabennya pacarnya Cindy, justru membela Zarlin yang tidak sengaja menumpahkan air ke seragam pacarnya sendiri. Jika pacar-pacar lain sudah pasti ikut memarahi Zarlin.

Nara sangat berterima kasih karena ada yang menolong Zarlin saat dia tidak ada di sampingnya. Tetapi ada juga pemikiran buruk yang mulai mengembang di kepalanya. Dan itu tidak bagus sama sekali.

Zarlin mengangguk sekaligus menekan bantal yang berada di pangkuannya sekarang, mencari sedikit pelampiasan rasa bingung dan gelisahnya. "Itu yang buat aku merasa bersalah sama Kak Cindy, dan juga buat aku ... jadi takut."

"Takut kenapa?"

"Aku takutnya dia merasa nggak terima, terus bales dendam di lain hari," bibirnya tergigit. Ketakutan itu mulai datang dan mengganggunya lagi.

"Zar, kalo dia bales lo gue nggak akan tinggal diam," ujar Nara penuh yakin, kemudian mengubah posisi menjadi duduk menyila untuk terlihat sungguh-sungguh. "Dan juga sesekali lo harus lawan, Zar. Jangan diam aja."

"Aku nggak bisa, Ra." Lirih Zarlin berkata, memori di otaknya mulai mengumpulkan segala ingatan yang ingin dia singkirkan susah payah. Keringat dingin mulai bermunculan lagi. "Aku takut."

Nara salah, tidak seharusnya dia membahas topik sensitif ini. Wajah ketakutan Zarlin, menjadi alasan untuk Nara semestinya berhenti. Tapi dia tidak bisa, dia ingin Zarlin melupakan masa lalunya. Dia ingin rasa takut dan trauma itu menghilang.

"Zar," Nara bangkit dari ranjang, juga menarik Zarlin mengikutinya. Keduanya berhenti di depan cermin. Pantulan keduanya langsung terbias di sana, tubuh kecil Zarlin dan Nara yang jauh lebih tinggi berdiri di belakangnya.

"Lo liat di sana, Zar!" pantulan cermin mengikuti gerakan Nara yang mengangkat telunjuk. "Lo bisa liat bukan?!"

Hanya secuil keberanian yang Zarlin dapatkan untuk menatap bayangan di cermin. Bisa dilihat bagaimana kecilnya tubuh Zarlin, rambut kecokelatan yang tergerai indah di bahu, iris caramel yang tergambar jelas ketakutan di dalamnya. Pun matanya yang sedikit sipit itu.

Semua itu dapat dia lihat. Semuanya. Hal yang dia mimpikan sejak kecil, hal yang dulu membuatnya selalu berpikir mustahil untuk bisa dia raih.

Tapi sekarang dia sudah dapatkan, lalu kenapa?!

"Sekarang lo udah bisa ngeliat, Zar," suara Nara terdengar pahit, matanya ikut berkaca. "Nggak akan ada yang bisa lagi ngehina lo. Mereka nggak bisa lagi manggil lo Zarlin si buta dari gua hantu, Zarlin si tuna netra."

Kristal mulai berhias di mata Zarlin, menjuntai rapuh di sudut mata. Seperti dirinya yang rapuh tanpa berani melawan siapapun yang dulu menghinanya, mengejeknya, menjahatinya. Zarlin terlalu takut untuk membalas semua perilaku mereka. Dan hanya Nara—sahabatnya, yang akan melindunginya dari mereka.

"Cacian itu udah nggak pantas buat lo, Zar. Lo sekarang udah bisa ngeliat ... bukan cuma sebatas ngerasain lewat tangan." Jeda sesaat dia berikan bersamaan dengan air mata Zarlin yang runtuh di pipi, dadanya terbelit oleh sesak.

Setiap rangkai kenangan pahit itu datang bertubi-tubi memukul Zarlin dengan telak. Mencari cara apapun untuk menghapusnya, memori itu tidak mungkin bisa hilang dengan mudah. Setiap jengkal detailnya masih melekat di ingatan Zarlin.

Bagaimana setiap hari dia jadi bahan olokkan. Bagaimana setiap hari ada yang kaki yang sengaja menjenggalkan kakinya untuk terjatuh.

Dari semua nasib buruk itu, Zarlin masih beruntung karena memiliki kepintaran yang luar biasa, hingga bisa membuatnya bersekolah di sekolah umum. Tempat untuk orang yang normal, bukan cacat sepertinya.

"Lo bilang lo pindah sekolah bareng gue karena pengin ngerubah diri lo, pengin menjauh dari orang-orang yang suka ngecaci lo karena kebutaan lo dulu." tangan Nara memutar bahu Zarlin untuk menatapnya.

"Jadi ini udah saatnya Zar," Jemari sahabatnya memegang pundak Zarlin sangat kuat, seolah ingin ikut membangkitkan kekuatan Zarlin. "Berhenti bersikap lemah, berhenti untuk selalu diam, berhenti untuk nutup diri lo dari banyak orang. Tunjukkin kalau lo bukan Zarlin yang dulu!"

Dulu, hanya kegelapan yang Zarlin tahu. Tidak ada cahaya. Tidak ada warna. Dunianya hanya terjebak di ruangan hitam.

Tapi dari semua lingkup kegelapannya, dia masih bisa menemukan secercah sinar kehidupan.

Tatapan Zarlin kini terjatuh pada bingkai foto kecil yang tergeletak di meja riasnya. Di sana, seorang bayi perempuan tergendong di tangan kiri kekar sang papa, sedang tangan kanannya menuntun anak lelaki berusia setahun.

Disaat Zarlin sudah dapat melihat matahari sesungguhnya di langit, secercah sinar tadi ikut hilang bersama kegelapan sekaligus meredupkan keinginan dia untuk melihat.

  ●●●●● 

Luka tawuran ya? ... mungkin Zion dulu anak bandel *lha

Foto di meja kira-kira itu siapa hmm...

Dan Makasih yang selalu setia baca cerita absurd and mainstream ini :)

Zion ngegemesin? ... enggak kayaknya :v

Serius ini Linzy ratunya singa?

Zarlin kamu terlalu...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro