FF(20) ● Sisi Gelap yang tertutup
Minta votenya boleh tydack?
°°°
SEPERTI cuaca yang tidak pernah bisa ditebak. Awalnya panas menyengat lalu tiba-tiba turun hujan yang lebat. Sama halnya dengan penganggum diamnya itu, tadi pagi dia tidak mengirimkan Linzy lolipop. Tapi di jam istirahat, lolipop mendadak ada di dalam lokernya.
Linzy jelas senang, hampir memekik girang jika tak sadar banyak orang yang berlalu lalang di koridor. Tapi kesenangan itu sedikit surut, berganti kebingungan saat membaca tulisan yang terangkai di kertas belakang lolipop-nya.
Hari ini lo banyak senyum, tanpa lolipop dari gue
Gue seneng ngeliatnya :)
Banyak senyum? Apa maksudnya?
°°°°
Tidak biasanya wajah Zion semendung langit di luar. Juga telat bergabung bersama kedua sahabatnya di kantin.
Regha mengernyit diam, melihat Zion menarik kursi untuk duduk, setelah lelaki itu mengantri untuk memesan bakso. Diam menunggu pesanannya yang akan diantarkan.
Makalah di tangan Arven pun, bukan menjadi perhatiannya lagi. Sibuk mengamati Zion yang bertingkah berbeda hari ini.
"Kenapa lo?"
"Laper," sekenanya Zion menjawab pertanyaan Regha.
"Laper ngubah lo jadi patung hidup." Tidak perlu diterka siapa yang berkata begitu, Zion sudah biasa dengan ketusnya Arven.
"Seenggaknya patung nggak punya beban pikiran."
Arven dan Regha saling pandang. Ini anak kenapa? Kenapa berubah jadi sentimen?
"Makin nggak jelas lo!" Karena kebingungannya tak menemukan jawaban, Regha berujar malas.
Zion memilih diam, tidak ingin bicara. Tak lama, bakso pesanananya diantarkan. Diletakan di atas meja. Kuah panas yang sangat tepat dinikmati di suasana dingin begini pun tidak bisa membuat Zion berbicara sedikit saja.
Perhatian lelaki itu lalu teralihkan ke kantung plastik putih yang berada di dekat Arven. Alis Zion tertaut, kotak yang berada di plastik bisa terlihat dari luar.
"Apaan tuh?"
Arven menatap Zion lalu mengikuti arah pandang lelaki itu. Dia mendengkus, disusul tangannya menyorongkan plastik yang menjadi perhatian temannya itu.
"Makanan."
Satu kata yang berhasil menyingkirkan kekalutan Zion dalam sekejap. Senyumnya melebar seketika, bersamaan dengan matanya yang berbinar. "Makanan?"
Bakso pesanannya di meja tidak lagi diinginkan. Zion menarik plastik yang didorong Arven lebih dekat ke arahnya. Bisa dia lihat nama toko donat yang diminati banyak orang terpampang di atas penutup kotaknya.
"Buat gue?"
Arven mengangkat bahu tak peduli. "Makan aja."
Tidak usah menanyai Arven dua kali, tangan Zion sudah bergerak gesit untuk membuka penutup kotaknya. "Ini dari siapa?"
"Dari Jessy, mantan lo." Itu Regha yang memberi penjelasan.
Gerakan Zion mengambang di udara, tidak jadi membuka. Dia memindahkan tatapannya pada Arven dan Regha disertai wajah tak mengerti, bingung, bercampur jadi satu. Lalu otak lambannya terproses, tawanya spontan berderai.
"Ini dari Mak Lampir?" Bicaranya Zion masih sambil tergelak. "Jadi tuh orang masih belum nyerah juga sama lo?"
Iris Arven jelas menyuruh Zion untuk diam. Tapi diabaikan. Lelaki itu tak berhenti tertawa.
Tidak usah ditanya siapa itu Jessy atau Jeslyn lebih lengkapnya. Mantan Zion. Seseorang yang pernah berpacaran dengannya walau sebulan. Cewek populer, cantik, bule yang menjadi incaran cowok satu sekolah. Entah Zion harus merasa beruntung atau penuh kesialan karena dia pernah berhasil mendapatkan cewek itu.
Cewek yang sama, yang tergila-gila dengan Regha di kelas sepuluh sampai kelas sebelas. Lebih tepatnya setelah putus dengan Zion, Jessy tidak pernah patah semangat untuk meraih cinta Regha. Hingga akhirnya hatinya patah dan semangatnya menguap pergi, karena Regha berpacaran dengan Retta.
Regha bahagia, Arven yang menderita. Ternyata setelah menyerah pada Regha. Perempuan cantik itu malah melampiaskannya pada Arven.
Dan Zion hanya bisa tertawa melihat itu. Ayolah Zion mana peduli mengenai fakta bahwa mantan pacarnya mengejar kedua sahabatnya sendiri dengan tidak tahu malu.
"Jadi kalo gue makan gapapa nih?"
Lagi, Arven meresponnya dengan mengangkat bahu. Meletakan makalahnya di meja. "Terserah lo."
"Mantap kalo ini mah."
Sempurna sudah kekalutan Zion mengalir pergi. Tangannya cepat bergerak membuka kotak penutupnya, tapi surat yang berada di atas lagi-lagi mengurungkan tangannya untuk bergerak.
"Ada surat cintanya nih, gue bacanya gak?"
"Lo emangnya gak galau baca surat mantan yang ternyata buat sahabat lo sendiri," sindir Regha, yang justru membangkitkan tawanya lagi.
"Lo kenal gue, Gha," Sosok iblis itu kembali jika Zion mengingat mantan atau ceweknya. "Dia udah gak penting lagi buat gue."
Zion tidak ingin melanjutkan hal tak penting itu. Surat itu disobeknya, hingga kertas meluncur mulus dari sana. Coretan tangan yang membentuk tulisan, dilihat Zion dalam diam. Dia berdeham, gayanya diubah sedikit mendramatisir.
"Untuk Arven, semoga suka ya sama donat gulanya. Boleh kok kamu kasih ke Regha aka mantan gebetan—" Zion berhenti membaca dan mengernyit. Lalu melanjutkan dengan dengkusan. "—kali aja dia juga suka. Tapi plis gak usah kasih ke kunyuk satu itu oke..." Zion berhenti lagi. "Kunyuk? Siapa kunyuk?"
Regha jelas menahan tawa. "Kunyuk siapa lagi kalo bukan lo."
"Anjir!" Zion mendadak kesal, sempurna menghentikan acara pembacaan pidato-nya. Dia remas kertas dengan geraman tertahan. "Mantan gak tau diri!"
"Persis kayak lo, nggak tau diri." Ketusnya Arven lagi-lagi hanya Zion respon dengan senyum.
Mengabaikan Arven. Penutup kotak itu mulai Zion buka. Langsung saja donat yang menggunggah selera dengan gula putih yang menabur di atasnya terpampang indah di depan matanya. Tapi kalimat yang Zion keluarkan sama sekali tak disangka.
"Kok tengah donatnya gak bolong?"
"Emang itu penting?" ujar Arven kesal.
"Penting, itu ciri khas donat."
Regha melepaskan napas frustasi. "Gak semua donat harus bolong tengahnya."
"Tapi gue maunya yang bolong."
"Ya udah lo bolongin sendiri!" Arven makin kesal.
Zion mendengkus. Tapi tak ayal, dia mengeluarkan satu donat yang penuh gula halus itu. "Ngeliat donat gue jadi keinget sama mbak pelayan di kafe lo, Gha."
"Buat apa lo inget pelayan kafe gue?"
"Nah itu, gue nggak sengaja mampir di kafe lo minggu lalu. Dan pesen donat caramel di sana," jelas Zion setelah menggigit bagian donatnya, cokelat yang berada di dalam seketika melumer di mulutnya. "Gue cuma nanya 'kenapa donat tengahnya bolong mbak' eh dia malah ngatain gue GGS."
"GGS?" Arven bertanya tidak mengerti. Regha hanya mengerutkan dahi.
"Iya, GGS 'ganteng-ganteng sarap' anjir sakit gue dibilang gitu!"
Tawa Regha meledak seketika. Humor Regha sebatas itu, menyedihkan. Arven tidak berkata apapun bahkan tidak tertawa.
Pembicaraan ketiganya menarik keinginan tahuan para siswi yang berada di kantin. Jelas tawa Regha didengar dan mengundang perhatian.
"Ketawanya keras banget, sengaja ya narik perhatian." Asal suara sinis itu dari belakang tubuh Regha. Sontak ketiga cowok itu menoleh, menemukan Retta bersama Linzy dan Shena.
"Mampus lo, pacar marah," bisik Zion kemudian tergelak.
Tawa Zion berhenti berganti umpatan, karena dengan sadisnya Regha menginjak kakinya.
"Kamu udah makan, Ta?" Regha mengalihkan topik.
Zion mencibir di tempat. Menahan denyutan kakinya yang mulai terasa. Tidak ingin memanaskan suasana lagi, Zion duduk kalem, kembali memakan donat di tangannya.
"Belum tapi mau makan mie ayam di sana." Retta menjawab pertanyaan Regha
Regha menahan tangan Retta. "Di sini aja makannya."
Saat itu juga tangan Regha mendapat pukulan. Siapa lagi pelakunya kalau bukan sepupunya sendiri.
"Retta mau makan sama gue!" Linzy menatap sinis, tentu saja dia masih kesal karena Regha yang tidak memberikan usul apapun perihal mobil mogoknya tadi pagi. Dan malahan marah-marah.
"Lagian gue masih kesal sama lo. Ayo, Ta!" Sesaat iris kelabunya bertemu dengan iris gelap Zion. Tidak lama hanya beberapa detik, sebelum akhirnya dia menarik tangan Retta menjauh dari tempat itu.
°°°°
Kantin masih berisik dan ramai, padahal lima menit lagi bel masuk bernyanyi. Meja Zion bersama temannya pun masih didominasi canda dan obrolan sampai senyap tercipta karena kedua tangan yang melingkar dari belakang leher Zion.
Suasana berubah kaku, termasuk sosok yang sekarang tengah mendapat pelukan oleh pacarnya sendiri.
"Kamu dari kemarin kemana aja sih Yon? Susah banget buat dihubungin." Bibir Cindy bergerak dekat di telinga Zion. Tanpa peduli bahwa suasana mulai terasa mencengkam sebab kedatangannya.
Senyum manis Zion mengulas meski tatapan kosong itu menyertainya. "Emang kenapa? Lo kangen sama gue?"
Regha dan Arven memilih diam. Lebih tepatnya tidak ingin ikut campur.
Di saat seperti ini, Regha dan Arven bisa menyaksikan kepribadian lain Zion dan tak pernah bisa mengerti.
Entah ada berapa jiwa Zion yang tersembunyi di dalam dirinya. Jiwa Zion yang tidak jelas, terkadang gila. Lalu Zion yang menyimpan segala rahasianya dengan senyuman. Serta jiwa seram Zion yang kosong. Kekosongan yang diisi oleh iblis bersenyum malaikat.
Tentu saja sisi itu selalu datang kala pacar-pacar Zion menghampirinya dan memeluknya seolah dia adalah barang yang bisa dibawa ke sana ke sini lalu dipamerkan. Seperti sekarang.
"Jelaslah aku kangen kamu, kenapa harus nanya." pelukan Cindy di lehernya mengerat. Di bawah meja, tangan Zion terkepal erat. Emosinya tertahan dan hanya senyum yang bisa mengendalikan.
"Nanti pulang bareng kan?" Cindy bertanya. Sadarkah dia jika beberapa pasang mata di kantin menjadikannya pusat perhatian karena terlalu mencolok memeluk Zion di tengah ramainya orang?
"Nggak bisa," jawab Zion santai. Mata indah Cindy membulat, tangannya yang berkutek tertarik melepas pelukan.
"Apa? Nggak bisa?"
Kepala Zion menoleh, memberi perhatian penuh pada pacarnya. Lalu mengangguk. "Iya, nggak bisa. Hari ini gue latihan lagi bareng Linzy di ruang musik."
"Lagi?" Cindy tak percaya. kemudian mengubah wajahnya setenang mungkin, meski kekesalan itu ingin sekali terlampiaskan. "Aku tungguin."
"Nggak perlu."
Bola mata Cindy melebar untuk kedua kalinya. "Kenapa nggak perlu? Aku mau nungguin, titik," tegasnya enggan dibantah. "Lagian, aku nggak suka kamu berduaan sama cewek lain."
"Itu cuma latihan, juga nanti ada Bu Santi di sana. Jadi nggak usah berlebihan," tukas Zion. "Mending lo balik ke temen-temen lo sana."
Cindy ingin menyuarakan protesnya, tapi suaranya berganti menjadi pekikan kaget. Pun Zion yang terbelalak matanya menyaksikan seseorang yang tidak sengaja menabrak Cindy, air dari botol yang terbuka di tangan si penabrak tertumpah mengenai seragam pacar-nya.
Orang yang menabrak juga tak kalah terkejut. Dia hanya mampu membungkuk meminta maaf berulang kali karena ketidaksengajaan kakinya yang melangkah terburu-buru.
"Ma-maaf, Kak. Aku nggak—"
"LO NGGAK PUNYA MATA HAH?!" Suara Cindy menggema keras, semua pasang mata seketika menoleh penasaran.
Zion refleks berdiri, menahan Cindy yang hendak melangkah berbuat sesuatu ke perempuan yang menjadi pelaku baju basahnya.
"Udah, Cin. Dia nggak sengaja." Diam-diam Zion menelisik wajah perempuan di depan Cindy, kepalanya yang menunduk menuntut Zion untuk menurunkan sisi kepalanya.
"Zarlin?"
Tebakan Zion tepat sasaran, kepala itu perlahan terangkat. Zarlin sesaat terkejut melihat Zion, sebelum kembali menunduk karena tatapan menusuk dari Cindy.
"Kamu kenal dia?" Cindy menoleh pada Zion, dan langsung disambut anggukan.
"Nggak usah diperpanjang, Cin." Zion memberi jeda, terfokus pada tubuh Zarlin yang gemetaran sekaligus berkeringat dingin. Dua kali dia melihat tingkah perempuan itu yang selalu ketakutan. "Udah ketakutan dia-nya."
"Dan kamu pikir aku peduli!" Cindy berujar tajam. "Dia udah buat baju aku basah, sekarang gimana pun caranya dia harus buat baju aku kembali ke semula."
"Pliss Cin, kenapa lo jadi lebay sih. Seragam lo yang basah bisa diganti sama seragam cadangan di loker," ujar Zion memberi saran dan tidak ingin Cindy bersikap di luar kendali.
Lebih tepatnya Zion merasa tidak tega melihat gemetaran yang Zarlin jelas tunjukkan. Kepala perempuan kecil itu kian menunduk, sudah bisa ditebak bibirnya ikut bergetar karena tidak ada suara yang dia ucapkan.
"KAMU BELAIN DIA?! JELAS DIA YANG SALAH DI SINI!" Sekali lagi kemarahan Cindy memuncak.
"Gue nggak belain siapapun."
Ketenangan saat Zion berucap memperparah jarum emosi Cindy dan langsung membuatnya berputar dua kali lipat. Dia menyingkirkan tangan Zion, tangannya bergerak cepat ke wajah Zarlin. Tinggal sejengkal lagi untuk tangan lentik Cindy mendarat di wajah perempuan kecil itu, jika Zion tidak menahan.
Cindy meronta meminta Zion melepaskan tangannya. "Lepas, Yon! Aku harus kasih dia pelajaran!"
Tanpa melepaskan pegangan di tangan Cindy, kaki Zion bergerak, berdiri di antara kedua perempuan. Matanya menatap Cindy yang masih menyimpan kekesalan setengah mati. Sementara wajah perempuan di belakang sudah tertutup rambut panjangnya yang tergerai.
"Lo tau bukan, gue nggak suka sama cewek yang main kasar," Zion berbisik pelan sekaligus teredengar kejam. "Dia nggak sengaja Cindy, jadi nggak usah diperpanjang."
Seperti iblis yang tengah bermain-main sambil tersenyum manis, tubuh Cindy menggigil menerima setiap perkataan Zion di telinga. "Lo mending balik ke kelas dan lupain masalah ini oke?"
Tubuh Cindy kaku, tapi jelas dia tidak ingin dikalahkan. "Nggak!" tegasnya.
"Balik ke kelas sekarang Cindy, lo nggak mau hubungan kita berakhir cuma karena masalah ini kan?" kata-kata itu menohok Cindy hingga bagian terdalam. Sendi geraknya makin kaku. "Kenapa masih diam? Sekarang cindy sayang."
Pelan Zion melepaskan tangan Cindy. Perempuan itu menatap Zion yang mengulas senyum manisnya. Tanpa kata yang terbelit di ujung lidah, dia langsung berlalu dari sana.
Secepat kepergian Cindy, secepat itu pula raut dan iblis jahat di diri Zion menghilang. Senyum manisnya benar-benar tulus saat menoleh pada Zarlin dan bertanya, "Lo nggak pa-pa?"
Zarlin perlahan mengangkat wajah. Kedua matanya langsung bertemu iris Zion. Ketakutan tadi sirna, berubah menjadi kegugupan yang luar biasa.
"Ma-maka-makasih, Kak." Zarlin menunduk kembali.
"Masih aja ya lo gugup gitu," Senyum Zion terangkat kecil. "Santai aja sama gue."
Gimana Zarlin bisa santai, kalau jantungnya saja bergerak tidak santai?
"Dua kali Zarlin ditolong Kak Zion," Zarlin tersenyum canggung. "Sekali lagi makasih ya, Kak."
Senyum Zion kian terangkat bersama kekehan pelannya. "Bosen gue denger kata makasih lo, tapi ... karena lo udah bilang makasih, gue harus balas, sama-sama Zarlin."
Degupan Zarlin kian tak terkendali. Membuatnya tak mengerti. Sebenarnya apa yang terjadi dengannya?
"Aku du-duluan ya Kak," perempuan itu langsung berlari menjauh bersama botol minum yang dibelinya tadi.
Dalam diam Zion memandang punggung Zarlin yang menjauh, sebelum duduk kembali di kursi. Dua temannya sudah langsung menatapnya penuh introgasi. Siap saja Zion untuk disidang sekarang.
"Lo berdua natap gue begitu amat, berasa gue abis ngelakuin kejahatan."
"Yon," Regha memulai, tak merespon ucapan Zion yang melantur. "Kenapa lo nggak putusin Cindy aja sih? Gue jelas tau lo nggak sayang sama dia, berhenti ngelakuin tindakan bodoh kayak gini, Yon."
"Gha..."
"Gue serius!" Suara Regha tegas memotong keinginan Zion untuk berbicara. "Dia juga perempuan, ya walau dia angkuh banget sebelum pacaran sama lo. Tapi tetap aja, lo nggak bisa bersikap kayak gitu ke dia."
Zion diam. Lidahnya mendadak terkelu, hingga hanya ada kehampaan yang mengisi rongga dadanya. Setiap kali kedua temannya mengingatkan untuk dia berhenti, ingatannya justru melangkah ke masa lalu—masa yang harus Zion lewatkan penuh tangisan dan jeritan rasa sakit.
"Gue tau lo nggak sejahat dan sebrengsek itu Yon," Regha membuka suara lagi. "Jelas gue tau, lo ngelakuin ini karena alasan—entah alasan apa, gue pun nggak pernah tau. Sedikit aja apa lo pernah mikirin perasaan mereka, Yon?"
Arven juga ikut menatap Zion. "Regha bener, gue sering ngomong kalo lo brengsek. Gue ngomong gitu cuma supaya lo sadar, Yon. Mereka bukan pelampiasan, mereka bukan boneka. Buat apa lo kejar mereka susah payah, tapi ujungnya lo buang kayak sampah?!"
Ucapan itu tajam, menusuk Zion dan memperparah luka yang susah payah dia tutup.
"Kenapa lo nggak nikmatin masa remaja lo dengan hal biasa? Putusin semua cewek lo itu, nggak ada gunanya, Yon." Dibalik sikap dinginnya tentu saja Arven paling bisa menohok siapapun dengan perkataannya. "Buang-buang waktu tau nggak, ngejar cewek yang gak ada di hati lo. Mending lo kejar cewek yang bener-bener lo sayang."
"Lo ngomong apa sih?" Setelah sekian lama diam, Zion angkat suara. "Perempuan yang selamanya gue sayang cuma satu, Bunda gue. Nggak ada yang lain."
Pembahasan ini tidak baik dilanjut. Baik Arven dan Regha jelas tahu yang sebenarnya, dan lebih memilih menyimpan jawaban itu.
●●●●●
Jahat ya Zion di part ini, kasian Cindy tuh. Tapi niat Zion baik mau nolong Zarlin :(
Ya jadi begitu dah :v
Thanks udah mau mampir apalagi vote. Makin sayang pokoknya *luv-luv*
〘 Zarlin yang bingung 〙
DankeAping💋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro