FF(19) ● Pertahanan
Vote dan komennya jangan lupa :*
°
Diam bukan berarti kalah, inginku mengungkap yang sesungguhnya.
Namun, kelu ini menahanku untuk berbicara.
°°°
SEPERTINYA hari Senin memang terbiasa dengan berbagai kejutan. Apalagi bagi para siswa-siswi yang tidak tertib dengan aturan. Dengan manisnya, Pak Anto—guru kedisplinan di SMA Taruna Jaya—akan memberikan ciuman mesra dari penggaris panjang yang selalu beliau bawa. Dasi, rompi, dan topi. Harus lengkap dipakai semua muridnya sebelum upacara.
Langit tampak cerah, tidak ada angin dingin apalagi turun hujan. Namun, seperti ada petir yang menyambar Zion karena dirinya pun mendapat kejutan.
Ini bukan seperti apa yang dibayangkan, Zion bukan mendapat kejutan dari Pak Anto. Seragamnya lengkap, dasi dan rompi dipakainya dengan rapi. Topi pun sudah dipindahkan ke loker bukan kolong meja. Tapi ada hal lain, yang menahan kaku tubuhnya di tengah parkiran motor.
Di sana, di parkiran mobil. Linzy dan Lian turun di satu mobil yang sama. Berdua.
Berbagai pertanyaan merombak habis pikirannya. Meminta paksa Zion untuk bertanya. Apa mereka benar-benar berangkat sekolah bersama? Atau bertemu di jalan tanpa sengaja?
Ditepisnya kemungkinan hal tidak penting itu sama sekali. Senyumnya mengembang disusul kakinya yang mulai terayun mendekati mereka yang telah keluar arena parkir. Lebih baik Zion mencari tahu sendiri, bukan?
°°°°
Tubuh Linzy tersentak karena tangan yang melingkar sempurna di bahunya. Karena perempuan menghentikan langkah, Lian mengikuti. Dan keduanya menoleh bersamaan.
Linzy terkejut setengah mati. Lian pun, meski sikap tenangnya kembali mengambil alih.
"Ngapain lo?!" Rasanya Linzy ingin membinasakan Zion saat ini. Melepaskan rangkulan yang sialnya sangat erat di bahunya.
"Ada kemajuan ya lo sekarang, berangkat sekolah bareng pujaan hati lo itu." Bisikan Zion pelan, ditambah senyum manisnya. Tetapi kenapa Linzy merasa aneh dengan senyum lelaki itu?
"Ini bukan urusan lo!" Linzy ikut berbisik kejam. "Lepas rangkulan lo sekarang!"
"Kenapa nggak lo lepas sendiri? Biasanya juga langsung lo pelintir tangan gue." Iris Linzy melebar, diam-diam dia melirik Lian yang masih diam menatap mereka. "Lo lagi jaga image di depan cowok tersayang lo?"
Emosi Linzy meningkat drastis. Jujur jauh di benak Linzy, dia membenarkan kalimat Zion yang sialnya sangat tepat. Jika bukan karena Lian, tidak perlu mengulur waktu, dia akan langsung memelintir tangan Zion sekarang.
"Kalian udah selesai bisik-bisiknya?" Akhirnya setelah lama diam, Lian bersuara.
"Ah," Zion menoleh pada Lian sekalian mengumbar senyum dan mengencangkan rangkulan Linzy di bahu, hingga dia tidak bisa meronta melepaskan diri. "Kita nggak bisik-bisik, tapi ngomong lewat bahasa kalbu."
Lian mendengkus pelan, tangannya disembunyikan di saku celana. "Lo emang mau ngapain ngehampirin kita berdua?" Dia tidak bisa menahan matanya untuk melirik rangkulan erat Zion di bahu Linzy.
Wajah Zion tampak konyol saat berkata, "Nggak ada, tapi..."
"Kalo emang gak ada, gue sama Linzy mau ke kelas." Lian memotong sekaligus hendak meraih tangan Linzy, tetapi sengajanya Zion menggeser membawa tubuh Linzy bersamanya.
Raut tenang Lian sejenak berubah tidak percaya. Sementara perempuan yang ditarik terbelalak kaget. Sialnya diposisi yang sangat dekat ini, Linzy bisa melihat bentuk rahang Zion dari samping, serta sudut bibirnya yang terangkat sempurna.
Senyum Zion kali ini seolah menyuruh Linzy untuk melangkah ke belakang, mengingat sikap Zion sabtu kemarin di kafe. Bagaimana senyum Zion yang menghilang menjadi kemuraman? Berbeda sekali dengan yang sekarang dia tunjukkan.
Bayangan itu tak kunjung hilang di pikiran Linzy, menimbulkan banyak pertanyaan. Apa memang semua yang dia lihat nyata atau ilusi yang sebatas tercipta?
Tulisan di belakang gitarnya pun justru memperparah keinginan tahuan Linzy. Dan bodohnya dia lupa membawa gitar milik lelaki itu sekarang.
Namun, bayangan itu seketika terhapus, hanya oleh satu pertanyaan yang datang tanpa permisi.
Niat Zion datang tiba-tiba lalu merangkulnya itu apa?
Kala jawaban dan kesadaran menampar, Linzy menggeram kesal dalam hati. Tentu saja jawaban karena itu, sudah pasti Zion melakukan ini hanya untuk memancing rasa kesalnya agar dia bisa merusak citra Linzy di depan Lian.
"Mending lo ke kelas duluan aja, Yan." Semua hal yang Linzy pikirkan terbuang, karena ucapan santai Zion. "Gue ada urusan sama Linzy. Lagian kita sekelas, biar gue aja yang nganter dia sampai kelas dengan selamat."
Kata 'selamat' Zion tekan dengan sengaja. Netra Linzy bersiap perang mendengarnya. Apa-apaan Zion itu?!
Alis Lian terangkat. Senyum tenangnya pun mengulas. Tidak pernah dia sangka, Lian menarik lengannya sekaligus melepaskan rangkulan Zion. Lalu sebagai gantinya lelaki itu yang merangkul bahu Linzy.
Luar biasa Linzy tidak pernah menduga. Amarahnya teredam seketika, sebagai ganti jantungnya yang berpesta pora.
"Kalo lo emang punya urusan sama dia, lo bisa bicarain di kelas." Lian masih tampak tenang, Zion justru terpaku diam. "Dia berangkat bareng gue, jadi lebih baik gue juga yang nganter. Bener kan, Yon?"
Tidak ada suara yang menjawab. Zion diam, apalagi Linzy. Pikirannya buntu.
Apa yang terjadi?
Suasana berubah mencengkam. Linzy memandang Zion yang bisu, lalu Lian yang tenang sambil tersenyum. Aura peperangan seperti menggantung di sini.
"Kita duluan, Yon." Karena rangkulan Lian yang kuat, langkah Linzy tertuntut untuk mengikuti gerakan tubuh lelaki itu.
Diam menjadi pilihan Linzy mengikuti Lian. Pandangan cowok itu lurus ke depan. Tidak berniat menoleh ke belakang lagi. Sementara dirinya, resah itu menggayut, tanpa bisa dicegah hatinya mendorong kepalanya untuk menoleh.
Di belakang, Zion masih terpaku bisu. Tetapi menyadari kepala Linzy yang menoleh, senyum lelaki itu mengulas sempurna. Bahkan dia tak segan melambaikan tangan, berdadah ria pada Linzy. Seolah masalah tadi, tidak pernah terjadi.
Linzy memang tidak ditakdirkan untuk mengerti jalan pikiran Zion. Lelaki itu terlalu aneh untuk dimengerti. Karena kekesalan yang tak terlampiaskan, Linzy sebatas meledek Zion dengan juluran lidah.
Si lelaki yang menerima hanya terkekeh singkat.
Sadarkah Linzy, sebatas juluran lidah tadi, pertahanan Zion runtuh dalam sekali sentak?
°°°°
Ini yang menjadi masalah, jika Linzy berangkat dan berjalan beriringan dengan Lian, beberapa perempuan yang mengaku fans ketua tim basket sekolah itu, menatap dirinya seperti wabah penyakit. Siap-siap saja dia menjadi bahan gossip sosial media anak satu sekolah.
Lalu siapa yang peduli soal itu, dia Linzy yang selalu masa bodoh pada setiap omongan orang tentangnya.
Tapi setidaknya perempuan alay tadi tidak selebay bahkan seheboh temannya sendiri. Berbagai ekspresi Shena, temannya tunjukkan kala Lian mengantarkan Linzy hingga kelas. Kemudian saat Lian berlalu, Shena membetulkan ekspresi ternganga-nya.
Pastikan telinga Linzy siap untuk mendengar setiap celotehan Shena sekarang.
"GILA MATA GUE NGGAK BERUBAH JADI RABUN JAUH KAN?!"
Linzy seketika memelotot. Suara Shena menggema di seisi kelas, untung saja satu kelas sudah terbiasa dengan ke-lebay-an Shena, jadi tak terlalu peduli.
"Berisik lo!" Pelan Linzy berujar, sambil meletakan tasnya di atas meja, sebelum mendaratkan diri di kursi. Juga Shena mendaratkan diri di atas mejanya dengan tidak sopan.
Astaga! Linzy sudah tidak heran lagi dengan kekepoan Shena yang berlebihan?
Dilihat tas Retta yang sudah ada di kursi sebelah Linzy, menjadi tanda bahwa sahabat satunya itu sudah datang lebih dulu. Tapi kemana anak itu?
"Sopan banget lo duduk di meja gue!" Linzy memelotot, sedangkan Shena masa bodoh. Dia justru mencari posisi yang nyaman. Tubuhnya dimiringkan menghadap Linzy.
"Gue nggak lagi ngehayal, karena kebanyakan nonton drama kan?" tanya Shena, dia jelas tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Linzy tidak merespon, tangannya yang malahan bergerak menabok paha putih Shena yang terlihat karena rok selututnya tertarik ke atas selagi dia duduk. Teriak kesakitan Shena menyusul setelah paha putihnya mendapat tabokan kencang.
"Sakit?" Linzy bertanya tanpa dosa.
"Sakitlah pake nanya!" Pelan-pelan Shena mengusap pahanya.
"Kalo sakit, berarti lo gak lagi ngayal atau mimpi!"
"Ya Tuhan, seriously!" Jarum ke-lebay-an Shena berputar lagi. "Demi ibu khong-guan yang lagi nyari bapaknya, KOK BISA LO BARENG DIA?!"
Linzy memutar matanya malas. "Plis, Shen nggak usah lebay. Lagian apa yang nggak bisa terjadi sih?"
"Cih, nggak nyadar diri lo!" Shena kesal, bukan dirinya saja yang lebay jika kepo. Linzy pun sama saja. Walau memang tidak selebay dirinya. "Maksud gue gimana ceritanya lo bisa bareng dia? Atau jangan-jangan lo udah janjian sama dia? Astaga, lo ngelakuin kebaikan apa, sampai dapat anugerah kayak gitu?!"
Linzy menjauhkan wajah. Shena ternyata tidak tanggung-tanggung jika penasaran. Dia menarik kasar tasnya, yang Shena jadikan untuk alas duduk. Dasar Shena kalau sudah kepo lupa sama segalanya.
Lantaran tidak ingin telinganya sakit mendengar pekikan Shena terus menerus. Linzy akhirnya menjelaskan, bagaimana dia dan Lian bisa berangkat bersama.
Dari dia yang kesal mobilnya yang mogok lalu bagai pahlawan yang diturunkan Lian datang. Ceritanya pun berlanjut saat bagaimana Lian yang menyarankan mobil Linzy dibawa ke bengkel milik temannya.
"Terus Lian nanya sama gue, gue mau naik apa ke sana. Awalnya gue bilang mau naik ojek aja. Eh tapi, dia nawarin gue untuk ke sekolah bareng dia," Linzy mengangkat bahu tak acuh, meski setiap mengingatnya jantung bekerja dua kali lipat. "Ya, dan lo tau akhirnya apa, dongeng pun selesai."
Linzy membuka tas lalu memeriksa lollipop-nya. Untung saja permen kesukaannya tidak rusak karena diduduki Shena. Linzy akui, dia juga selalu kepo pada orang lain. Tapi dia tidak akan selebay Shena saat penasaran. Dia sebatas diam dan dipendam dalam hati, termasuk rasa penasarannya pada Zion perihal tulisan di belakang gitar lelaki itu.
Argh ... Kenapa ke Zion?!
Mengambil lollipop dari tasnya, tapi ingatan Linzy justru melangkah saat berada di mobil Lian. Saat Linzy menemukan lollipop di dashboard lelaki itu. Yang katanya diberikan oleh adik kelas. Cih ... mendadak dia kelas lagi. Bibirnya mencebik sebal.
"Kenapa mendadak cemberut gitu lo?" Tapi seolah tidak berarti apa-apa, Shena kembali ke topik tadi. "Terus kalian ngobrol apaan aja di mobil?"
"Banyak nanya lo!" Linzy mendadak ingin meluapkan rasa kesalnya.
Shena mengerutkan kening. "Dih kesal sendiri, gue emang kepo makanya nanya!"
Linzy menghela napas, lalu memutuskan untuk menjawab. "Ya gitu, obrolan gak penting, dia bilang Regha cerita banyak tentang gue."
"Wah kayaknya sepupu lo itu emang mau comblangin lo sama dia."
"Gila aja!" Linzy sungguh-sungguh tidak percaya dengan kesimpulan Shena. Sudah jelas dia mengenal bagaimana sifat sepupunya itu. "Regha mana mau berurusan ke hal-hal gak penting kayak gitu."
"Terus kenapa dia cerita?"
Yang ditanya diam dulu, otaknya tengah berpikir. Benar juga kenapa Regha menceritakan banyak tentangnya. Jika cowok itu saja tidak peduli dengan urusan asmara orang lain kecuali dirinya sendiri.
"Apa jangan-jangan Lian yang nyari tau tentang lo ke Regha?!"
Mata Linzy membulat oleh kesimpulan dadakan Shena sekaligus suara perempuan itu yang begitu kencang.
Teman kelasnya banyak menoleh. Kampret memang Shena! Tapi berpikiran itu hal tak penting, semua kembali ke kegiatannya masing-masing.
"Tanggung Shen suara lo, pake toa sana biar semua orang tahu!"
Shena meringis, mengatakan maaf berulang kali.
"Lagian, kesimpulan lo itu nggak banget, buat apa Lian nyari tau tentang gue?" tanya Linzy bingung sambil memasukan lollipopnya di laci meja.
"Eh ... iya juga, ya." Otak Shena seperti baru terkoneksi. Kesimpulannya itu mustahil banget untuk terjadi.
Pandangan Linzy pun Shena terpaksa teralihkan saat Retta berjalan masuk sambil membawa setumpuk buku.
Retta mendaratkan diri di sebelahnya, Linzy langsung bertanya, "Buat apaan tuh?"
"Sopan banget Shen, duduk di meja?" Alis Retta terangkat, bukannya menjawab pertanyaan Linzy. Shena hanya menyengir. Sudah pasti dia mengerti kode Retta untuk menyingkir dari meja dan duduk di kursinya. Tetapi dia tetap tak acuh.
"Nanti gue juga pindah, Ta. Bentar aja sih."
Tangan Retta bergerak menarik rok Shena seolah hal itu bisa sedikit menutupi paha sahabatnya. "Paha lo kemana-mana."
Tidak ada cara lain, Shena hanya membungkukkan tubuh lalu menutupi pahanya dengan kedua tangan. Retta mendengkus dan tak ikut campur lagi.
"Itu buku buat apa, Ta?" Karena tidak dijawab tadi, Linzy kembali bertanya.
"Buat ulangan lusa nanti." Retta menjawab sambil membuka tiga tumpukkan yang dibawanya dari perpustakaan.
"Kerajinan lo, Ta. Ulangan bahasa Jerman masih lusa nanti, belajar sekarang."
Sindiran Shena tak Retta anggap. Dia malah teringat sesuatu yang terjadi di koridor tadi, sepenuhnya dia memberikan tatapan pada Linzy.
"Tadi di koridor ada segerombolan cewek yang ngomongin lo sama Lian yang berangkat bareng?" Melihat reaksi Linzy yang tak terkejut lagi, Retta menyimpulkan jika memang benar adanya seperti itu. "Jadi itu benar?"
Linzy mengangguk.
"Oke, mungkin lo ketemu Lian saat mobil lo mogok di jalan?"
"Lo tau dari mana mobil gue mogok?" Linzy dan Shena yang kali ini terkejut.
"Gue tadi lagi bareng Regha di kantin pas lo nelpon. Bukannya dia khawatir sama lo malah nyantai-nyantai aja. Ya gue kesal-lah jadinya." Ingatan itu membuat raut Retta berubah kesal. "Ya udah gue tinggal aja dia sendiri di sana dan gue ke perpus."
Baru saja Linzy ingin ikut mengeluhkan kekesalannya ke Retta, karena sikap pacarnya itu. Niatnya terkurung karena suara dari spekear menggema menyuruh mereka turun bersiap untuk upacara.
Ketiganya langsung bersiap-siap, berjalan ke loker lebih dulu untuk mengambil topi sebelum turun ke lapangan.
Suara laci loker yang terbuka lalu tertutup memenuhi koridor, karena banyaknya anak yang melakukan itu sama seperti Linzy. Bukannya mengambil topinya, tubuh Linzy malah terpaku di tempat. Tidak ada apapun di sana kecuali beberapa buku dan alat tulis, pun topi miliknya.
Itu yang justru membuat dia kebingungan. Untuk selama setahun lebih dia selalu menemukan lollipop di lokernya tapi hari ini keberadaaan lollipop itu tidak ada.
Apa yang terjadi? Kenapa pengagum rahasia-nya tidak memberikan Linzy lollipop hari ini?
●●●●●
Aku lagi nggak pengin ngetik banyak wkwkwk
Cuma mau bilang makasih yang selalu setia mampir :*
Linzy and ...
Zion?
or
Lian?
Danke
Aping💋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro