Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(18) ● Kesialan atau Keberuntungan

Vote dan komen wahai penghuni surga, Zion doakan semoga malam minggu dapet gandengan *ketawajahat*


°

JIKA setiap orang ditanya apa hari yang paling menyebalkan. Sudah pasti hari Senin memenangkan suara terbanyak. Mungkin di antara banyak orang yang menjawab itu, Linzy salah satunya. Namun, alasan Linzy berbeda dengan yang lain.

Bukan upacara apalagi bangun pagi setelah libur di hari sabtu dan minggu yang membuatnya sebal. Biasanya pun dia tidak pernah membenci hari senin. Baginya hari buruk seribu umat itu, tidak berpengaruh apapun untuknya. Tetapi hari senin ini pengecualian.

Tidak ada angin, tidak ada hujan, mobilnya mendadak mogok di jalan. Hampir ribuan kali Linzy berusaha menghidupkan mobilnya, tetapi nihil. Sia-sia saja dia melakukan itu.

Seperti anak ayam yang kehilangan induknya di jalan. Dia kebingungan. Dia bukan ahli otomotif, jadi wajar dia tidak tahu harus berbuat apa saat dia membuka kap mesin depan mobilnya.

Karena pusing yang melanda, Linzy menendang ban mobilnya berkali-kali. Masa bodoh dengan orang-orang yang tengah berkendara di sekelilingnya. Mana peduli dia dengan mereka.

Beruntungnya Linzy berinisiatif datang ke sekolah pagi-pagi, jadi setidaknya waktu tidak akan mengejar-ngejarnya. Meski begitu, dia tidak boleh berdiam diri saja seperti orang bodoh di pinggir jalan. Dia harus mencari bala bantuan.

Diputuskan akhirnya dia harus menelpon sopirnya.

"Halo, Pak Edi. Mobil Linzy mogok di jalan anggrek. Ke sini sekarang Pak!" Iris kelabu miliknya ikut berlalu lalang seperti kendaraan di depannya. Mungkin ada taksi yang lewat, kalaupun tidak, dia bisa memesan ojek online nanti.

"Apa? Nggak bisa?!" Nada bicara Linzy meninggi, mendengar jawaban di seberang. "Udahlah Pak, tinggalin aja Papa di kantor. Lagian kalau mau ketemuan sama client, ada supir kantor ini."

"Jangan gitu Non, saya takut Bapak marah. Gimana kalo Non Linzy telepon Bapak, bilang kalau mobil Non Linzy mogok dan minta saya ke sana."

Telepon papanya? Sudah pasti dia tidak mau melakukan itu! "Kenapa nggak Pak Edi aja yang nelepon, ngasih tau Papa?"

"Jadi lancang dong saya Non, kalau saya yang nelpon. Lagian kan Non anaknya—"

Kalimat Pak Edi terpotong, sengaja Linzy menutup telepon sepihak. Dadanya mendadak sesak, ditarik oksigen yang banyak untuk memenuhi rongga. Tidak mungkin Linzy menelpon Pak Didit, karena sopir mamanya itu tengah mengantar Nyonya besar ke Surabaya.

Tidak ada cara lain, selain menelpon Regha.

"Halo, Gha. Lo dimana?"

"Di sekolah-lah pake nanya!"

Mulut Linzy ternganga karena ketusnya Regha berbicara. "Nggak usah ketus juga kali, gue kan cuma nanya."

"Emang kenapa?" suara Regha berubah lembut.

"Mobil gue mogok di jalan, Gha."

"Terus?" Sungguh luar biasa respon Regha. Lagi-lagi Linzy tidak bisa menyembunyikan mulut yang terbuka.

"Kok terus sih! Ya gue harus ngapain!"

"Gitu aja bingung. Telepon aja bengkel langganan lo, nanti juga dijemput mobil lo itu. Tinggal di sana, lo naik ojek."

Kalau tinggal menelpon sih gampang, masalahnya itu nomornya tidak ada. "Masalahnya nomor bengkelnya ada di Papa, dan gue nggak punya nomornya."

"Pada akhirnya lo butuh Papa lo juga kan?" Linzy terdiam, kalimat Regha seperti menikamnya dengan kejam. "Telepon Om Jeovan, perkara selesai."

"Nggak mau!" walaupun ini pilihan terakhir yang harus Linzy lakukan. Jelas dia tidak akan pernah melakukannya. Tidak akan!

"Keras kepala, terserah lo!" Regha memutuskan sambungan sepihak.

Rasanya Linzy ingin berteriak kesal sekarang. Tetapi tidak elit melakukannya di tengan umum, apalagi di pinggir jalan. Jika saja dia mau, mungkin mudah saja bagi papanya untuk mengangkat teleponnya.

Tapi lagi-lagi memori lima tahun lalu, menahan Linzy untuk menerima saran Regha.

Semuanya sudah tertutup sejak saat itu. Termasuk mata hati Linzy yang ikut tertembok perihal semua yang papanya lakukan. Entah kebaikan atau perhatiannya. Semua itu tidak berarti apapun baginya. Dia lebih memilih menghindar dan menjauh.

Masih di sela kebingungannya, Linzy dibuat tersentak karena sebuah mobil menyalip dari belakang mobilnya lalu berhenti di depan tepatnya berdiri. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain terpaku diam, saat pintu mobil terbuka dan menunjukkan sosok di dalamnya.

Bagai pahlawan yang diturunkan Tuhan dari langit, lelaki itu—Lian—berjalan mendekat sambil mengulas senyum memukaunya.

Dan sialnya jantungnya tidak kenal situasi untuk berdetak.

Sebenarnya melihat sosok Lian, otak Linzy dipaksa untuk mengingat penolakan yang Lian lakukan di pertemuan kali terakhir mereka di lapangan indoor.

Dia tidak kesal pada Lian, justru setelah dia tahu alasan sebenarnya Lian menolak—selain karena sudah banyak yang memberinya minum—dia jadi malu sendiri. Regha sudah bercerita kalau Lian, menganggap pemberian Linzy tidak dari hati karena awalnya memberi minuman ke Regha, hanya karena ditolak, dia melampiaskannya pada Lian.

Cowok itu salah paham. Astaga! Salah Linzy sendiri memikir ide begitu. Dan lagi cowok itu juga meminta Regha menyampaikan permintaan maafnya pada Linzy.

"Mobil lo kenapa, Zi?"

Tadi Linzy kebingungan, tapi sekarang justru diserang rasa gugup. "Itu... mobil gue ... mogok."

Lelaki yang kini tengah memakai seragam sekolah sepertinya, mengumbar senyum mengerti. "Coba gue cek mesinnya."

"Emang lo ngerti mesin?" refleks yang perempuan bertanya.

"Nggak juga sih cuma tau beberapa," Lian menjawab tanpa menoleh. Tubuhnya terbungkuk, mengecek keseluruhan mesin mobil Linzy. "Tapi kayaknya temen gue lebih ahli," kali ini Lian menumpukan kedua tangan di bagian luar dumper mobil sambil memberi perhatian kepadanya.

Sial! Kenapa Lian makin tampan saat berposisi seperti itu?

"Temen gue udah kerja," Lian menjelaskan tanpa diminta, bergerak menutup kap mesin depan mobil Linzy. "Dan karena keahlian otomotifnya, dia kerja di bengkel. Kebetulan bengkelnya juga langganan gue. Lo mau gue telepon dia, minta dia bawa mobil lo ke tempat kerjanya?"

Tidak usah menunggu, Linzy semangat mengangguk. "Kalau boleh? Nggak ngerepotin kan?"

Lian tertawa singkat. "Kenapa ngerepotin? Enggak kok, santai aja."

Linzy itu jarang tersenyum terlebih dengan seorang lelaki. Hanya teman-teman perempuannya yang selalu ditunjukkan senyumnya. Tetapi Lian sepertinya pengecualian.

"Makasih ya, Yan." Senyum Linzy sangat lebar. Yang mendapat senyum, justru terdiam lama. Wajahnya pias. Sebelum kemudian ikut mengulas senyum dan bergerak menjauh. Izin untuk menelpon teman bengkelnya itu.

Selesai menelpon, Lian kembali berdiri di depan Linzy sekaligus berkata, "Temen gue bilang iya, mobilnya tinggal di sini aja, kebetulan gue juga udah ngirim foto mobil lo ke dia. Jadi nggak usah bingung lagi."

"Tapi, emang gak pa-pa ya, tinggal mobilnya di sini? Gue takut mobil gue digerek, terus ditilang sama polisi?"

Itu yang mengganggu Linzy sejak awal mobilnya mogok di pinggir jalan. Tetapi, respon Lian di luar dugaan. Lelaki itu tertawa.

"Kenapa harus takut digerek, ada mobil lain juga di depan lo apalagi di belakang lo." Linzy mengikuti arah pandang Lian. Benar juga, di belakang mobilnya lebih banyak mobil terparkir oleh manusia tidak kenal tata tertib itu. "Lagian lo kan nggak niat markir sembarang mobil lo kayak gini. Dan juga temen gue nggak akan lama kok."

Rasa tenang itu Lian berikan lewat kata-katanya. Lagi-lagi senyum Linzy tidak bisa ditahan.

"Sekarang lo mau berangkat sekolah naik apa?" tanya Lian.

"Ah kalo itu mah gampang," Linzy mengibaskan tangan seolah tidak perlu mengkhawatirkannnya. "Palingan pesen ojek online."

"Kelamaan kalo mesen ojek, nanti lo harus nunggu lagi, keburu telat ke sekolahnya. Gimana kalo bareng gue aja?"

Apa ini rasanya setelah ditimpa badai hujan yang besar lalu diperlihatkan pelangi yang indah?

Tali-tali fokus Linzy seolah terputus karena ketidakpercayaan. "Maksudnya gue naik mobil bareng lo. Berdua gitu?"

Alis Lian terangkat. Perkataan Linzy terdengar lucu untuknya. "Ya, iya berdua. Emang lo bawa orang lain lagi?"

Kepala Linzy menggeleng. Dia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Tetapi menyadari kebodohannya, dia langsung merutuk penuh kesal di dalam hati. Ya Tuhan, Linzy malu!

"Ya udah, ayo." Seperti berada di dalam mimpi, saat Linzy merasakan genggaman tangan Lian. Dia tertegun, sadar jika semua ini bukan sekadar dunia imajinasinya saja.

°°°°

Tubuh Linzy seperti punya sistem sendiri saat dia merasa gugup. Hal apapun yang dia lakukan akan selalu berujung malu. Seperti sekarang di dalam mobil Lian, sejak tadi dia duduk tidak nyaman. Lebih tepatnya dia bingung harus melakukan apa. Membuka obrolan seperti apa.

Hingga kala dia tengah membenarkan posisi, tangan kurang ajarnya menyenggol dashboard mobil dan terbuka karenanya.

"Lo kenapa?" Lian sontak menoleh singkat, sebelum kembali fokus pada jalan.

"Ah, sori, Yan gue nggak se—" Linzy ingin minta maaf soal ketidaksengajaan tangannya ini. Namun benda yang berada di dalam dashboard membekukkan seluruh sendi tubuhnya. Dia tertegun. Lalu kurang ajar tangannya tidak bisa menahan mengambil benda di sana.

"Lo suka lollipop juga?" Saat itu tubuh Lian yang mendadak kaku tertangkap netranya. Walau tidak lama.

Lian menoleh singkat, melihat benda yang tersimpan di dashboard kini berada di tangan Linzy. "Ah itu, kemarin di pertandingan basket, ada adik kelas ngasih gue itu."

Hari Rabu lalu memang pertandingan basket antar sekolah diadakan. Hampir semua anak basket tampak sibuk mempersiapkan diri. Linzy yang membenci pelajaran olahraga, wajar saja malas menonton pertandingan-pertandingan olahraga seperti itu.

Dan karena dirinya absen hadir menjadi penonton. Ada adik kelas yang berani memberikan itu pada Lian? Wow, bukankah Linzy kalah telak? "Adik kelas?"

"Ya," Kepala Lian menoleh, sekaligus kedua alisnya terangkat bingung. Lian mengartikan perubahan wajah Linzy dengan hal lain. "Kalo lo mau, ambil aja lollipopnya."

"Nggak perlu," Linzy memaksakan senyum. Mendadak dia kesal. "Gue udah bawa di tas."

Tiba-tiba terdengar tawa merdu Lian. Refleks yang mendengar menoleh. "Kenapa?"

"Nggak," Lian menghentikan tawa. "Karena ngomongin lollipop, gue jadi keinget kejadian pas lo nangis di taman, sebelum kita berdua dikenalin Regha."

Lian masih mengingatnya? Seketika Linzy tersipu.

"Awal gue pikir, gue salah karena ngasih permen manis kesukaan anak kecil itu buat lo. Tapi ternyata, gue nggak sepenuhnya salah. Justru gue bener karena ternyata lo emang suka lollipop."

Warna rambu lalu lintas yang berubah merah, menghentikan hilir mudik kendaraan di jalan. Termasuk mobil Lian.

"Lo tau gue suka lollipop karena ngeliat gue setiap hari makan lollipop. Atau dari Regha?" Ada keinginan Linzy untuk bertanya begitu. Jadi refleks dia langsung tanyakan.

"Dua-duanya." Lian memberikan perhatian sepenuhnya pada Linzy sekaligus kegugupan itu. "Hampir setiap hari gue ngeliat lo makan lollipop dan Regha langsung ngejelasin kalo lo suka permen manis itu." Ada jeda sejenak, "Regha juga cerita banyak tentang lo."

"Pasti cerita buruk semua kan?" Sangat bisa ditebak semua cerita Regha. Awas saja kalau cowok itu sungguh-sungguh menceritakan keburukan Linzy.

"Nggak juga," Karena kata penuh makna Lian. Linzy mendadak penasaran. Dia sepenuhnya menatap lelaki di sampingnya. "Dia cerita kalo lo suka lollipop, pelangi, dan rainbow cake. Ketiga benda itu bakalan buat lo lupa sama segalanya. Itu bener?"

Perempuan yang ditanya diam, tertegun dengan semua yang Lian ucapkan. "Iya," jawabnya pelan pada akhirnya.

"Kenapa?"

"Nggak ada alasan khusus, suka aja." Linzy berpaling, memandang luar jendela. Jelas itu kebohongan. Ketiga benda itu memang selalu menarik perhatiannya. Sejenak melumpuhkan otaknya untuk terfokus.

Masing-masing dari ketiga benda itu punya persamaan, sama-sama memiliki warna lebih dari satu. Ketiganya menjadi kesukaan Linzy karena dia mendapat pelajaran dan kesimpulan dari mereka.

Hidup di dunia itu bukan hanya tentang satu warna melainkan banyak warna. Mungkin saat ini Linzy masih terdampar di lubang hitam. Tapi ada saatnya dia terbawa pergi bersama pelangi, yang berwarna-warni. Dan hidupnya bisa berubah manis seperti lollipop dan rainbow cake.

"Regha juga cerita kalo lo pernah pingsan cuma karena ada tikus di taman rumah lo?"

Otak Linzy seperti ditarik paksa. Lebih dia tidak percaya dengan perkataan lelaki itu. "Apa? Regha cerita tentang itu?!" Refleks suara Linzy meninggi.

"Iya." Lian seperti menahan tawa. Sialan memang Regha! "Itu juga bener?"

Dia memilih tidak menjawab. Gila! Ini aib namanya.

Tawa Lian menyembur keluar. Bukannya marah, Linzy justru tertegun.

"Nggak usah malu gitu," Senyum Lian tenang membawanya untuk terhanyut. "Setiap orang pasti punya cerita lucu pas kecil, jadi santai aja."

Melihat pipi Linzy yang bersemu. Lian lagi-lagi tertawa, tanpa sadar tangannya bergerak untuk mengacak rambut perempuan itu.

Sadar karena hal yang tidak seharusnya dilakukan. Lian menarik tangannya sekaligus membuang muka. Lalu menginjak gas karena kebetulan lampu lalu lintas kembali berubah warna.

Sedang perempuan di sebelahnya, tersenyum tanpa diketahui. Degup jantungnya kian menggila dan tak tahu kapan berhenti. Kalau memang ini mimpi, jangan bangunkan Linzy saat ini, ya Tuhan!


●●●●●

Untuk part ini Zion khusus dikurung wkwk. Linzy bebas :v

Suka Lian tydack? *Linzy maksa nanya*

Makasih yang selalu mampir, diam2 baca, terus yg vote. Sayang kalian pokoknya :*

  〘 Lian jangan senyum :v 〙  

  〘 Linzy gugup  -__- 〙  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro