FF(16) ● Pertengkaran
Pertengkaran orang tua anak yang terkena imbasnya.
Hancurnya keluarga lagi-lagi anak yang menderita.
°°°°°
LATIHAN hari ini tidak menghasilkan apa-apa. Kebanyakan bercanda dibanding seriusnya. Berjam-jam waktu Linzy terkuras hanya untuk mendengar lelucon dan tingkah Zion yang tidak waras. Memang ada saat Zion dan dirinya mencoba serius tetapi itu tidak pernah bertahan lama.
Cara Zion memainkan gitar sudah jelas menunjukkan hebatnya bakat lelaki itu. Terlebih dengan suaranya yang terbilang merdu. Mungkin kalau Zion tidak menunjukkan bakatnya sebatas untuk bahan candaan atau guyonan. Linzy tidak akan menutup mata soal kehebatannya.
Dia sudah kesal duluan, setiap kali Zion dan kawanan gilanya berkumpul di depan papan tulis sambil bernyanyi. Sudah bisa ditebak yang akan menjadi bahan ledekkan nyanyian mereka. Linzy hanya bisa diam tanpa menggubris, berusaha menulikan telinga. Meski terkadang dia hilang kendali, dan melemparkan mereka semua dengan penghapus papan tulis.
Bahkan selama berjam-jam yang terbuang itu, mereka belum menentukan lagu yang akan mereka nyanyikan. Linzy sudah kesal dan ingin cepat pulang, kebetulan matahari beberapa menit lagi meninggalkan horizon, ikut berpulang ke peraduannya.
Latihan mereka ditunda, mungkin akan dilanjutkan di hari senin pulang sekolah. Di ruang musik. Sekalian juga mereka ingin meminta pendapat Bu Santi untuk lagu yang akan mereka bawakan saat acara pensi nanti.
Zion mengantar Linzy sampai di tempat mobilnya terparkir. "Sori," ucap yang lelaki. Menghentikan gerakan Linzy membuka pintu mobil. "Gue mau serius latihan tadi, tapi ... entah kenapa kalo di samping lo gue nggak pernah bisa serius. Penginnya jail aja gitu."
Tanpa banyak kata untuk menjawab. Linzy hanya menutup pintu mobilnya kencang. Melaju meninggalkan Zion begitu saja.
Kelembapan yang tertinggal sehabis hujan yang mengguyur beberapa jam lalu juga menciptakan beberapa genangan di jalan. Hujan deras tadi kini berganti menjadi rintik kecil. Sedikit membuat kaca depan mobil Linzy basah.
Mobil biru itu masih merayap di jalan sampai lajunya perlahan memelan karena telah mencapai tempat tujuan. Diinjak gasnya penuh untuk bisa menanjaki rumah bergerbang hitam keemasan di salah satu perumahan elit di daerah Pondok Indah tersebut.
Linzy pun mematikan mobilnya, hendak turun jika saja Pak Dayat—satpam rumahnya, yang tadi juga membuka gerbang—cepat-cepat menghampiri, yang memaksa Linzy menurunkan kaca mobil.
"Kenapa, Pak?"
"Itu, Non. Anu itu ... anu." Pak Dayat tergagap seolah bingung menjelaskan.
"Anu apa Pak?" Linzy tertawa.
"Itu Non, Nyonya dan Tuan udah pulang dari relasi bisnisnya masing-masing," jelas Pak Dayat takut-takut.
Keruh diwajah tidak bisa Linzy tahan. Tawanya lenyap disertai tangan mencengkeram setir dengan erat.
Kalimat 'masing-masing' yang terlontar dari mulut Pak Dayat menyuruh Linzy untuk menelan pil pahit. Mengingatkan hubungan kedua orang tuanya yang tidak pernah berjalan harmonis. Keegoisan semata yang berusaha masing-masing pertahankan.
Bahkan mereka tidak lagi memberikan sedikit perhatian pada putri semata wayangnya. Putri satu-satunya. Putri yang seharusnya mereka jaga dan lindungi.
Mata hati kedua orangtunya telah tertutup oleh ego dan harga diri. Tidak ada waktu yang mereka berikan, tidak ada canda tawa yang mereka bagi. Hanya uang yang setiap bulan mereka kirim untuk memenuhi kebutuhannya.
Andai mereka tahu, jika bukan uang yang Linzy butuhkan. Dia hanya menginginkan perhatian dan kebersamaan yang sudah tidak didapatkan lagi.
Sejenak saja ... Linzy merasakan itu.
Tetapi bukankah pemikiran itu sangat bodoh. Apa yang dia harapkan? Kebersamaan orang tuanya? Ck ... harapan itu terlalu melambung tinggi. Bagaimana bisa Linzy mengharapkan sesuatu yang akan selamanya menjadi mimpi. Mimpi tidur yang tidak mungkin terjadi. Mama-papanya tidak mungkin duduk bersama lalu berbagi tawa. Pertemuan mereka hanya akan menimbulkan pertengkaran tanpa ujung.
Pertengkaran. Teriakan. Bentakkan.
"Non Linzy." Suara Pak Dayat menyentak Linzy pada realita. Dia menoleh ke arah satpamnya itu, memaksakan senyum di atas rasa sesak yang mulai merayap.
"Bagus dong Pak, mereka udah pulang, apalagi bisa bareng begitu. Itu kayak keajaiban bukan?" Senyum Linzy sangat lebar, tertegun Pak Dayat dibuatnya. Jelas saja lelaki berusia kepala lima itu tahu permasalahan di antara kedua orang tuanya.
Pak Dayat sudah bekerja di rumahnya, sejak dia kecil. Bahkan Pak Dayat ikut dibawa saat dia bersama keluarga pindah ke Bali. Pak Dayat tidak punya siapapun selain istrinya yang juga bekerja di rumahnya, Bi Marni, sebagai pembantu sekaligus pengasuh Linzy saat kecil. Jelas kedua pasangan suami-istri itu ikut dibawa ke sana.
Linzy turun dari mobil dengan cengiran lebarnya. "Udah dulu ya, Pak. Linzy masuk dulu ke dalam, Linzy udah kangen sama mereka."
Seusai memberikan kunci mobil untuk Pak Dayat bisa memasukkannya ke garasi. Dia langsung melangkahkan kaki meninggalkan satpamnya yang mematung tak percaya.
Baru saja kaki Linzy menginjak karpet berbulu di ruang tamu. Terdengar bantingan barang di ruang tengah, ruang yang seharusnya menjadi tempat keluarga berkumpul berbagi cerita. Seketika tangan Linzy gemetar. Sekuat mungkin dia mengeratkan genggaman di tali tasnya.
"Kamu pikir aku bodoh!" Itu teriakan mamanya. "Aku tahu apa yang kamu lakukan di pertemuan bisnis kamu, Van!"
"Saya nggak melakukan apapun yang salah di sana." Terdengar suara papanya membela diri. "Itu cuma pertemuan bisnis biasa. Kamu lebih percaya dengan perkataan orang lain dibanding suami sendiri!"
"Perkataan orang lain lebih bisa dipercaya dibanding perkataan kamu yang penuh kebohongan, Van!" Kekehan penuh getir mamanya terdengar. "Lagipula mana ada pertemuan bisnis, tanpa klien lelaki di sana!"
"CLARA!"
Bentakan itu menggema di seisi rumah. Telinga Linzy berdengung sakit. Setidaknya sakit itu tidak sebanding dengan sesak yang kini menghimpit, menggantung dirinya untuk sulit bernapas. Dia sudah biasa mendengar pertengkaran mereka, tapi kenapa masih saja sulit untuk bersikap biasa saja?
Kenapa tubuhnya masih terasa lemah? Kenapa kakinya masih selalu gemetaran hingga memaksanya untuk berpegangan pada meja laci di dekatnya?
Perlahan tapi pasti, Linzy berjalan mendekat ke ruang tengah. Keterpaksaan yang harus dilakukannya karena tangga menuju kamarnya di lantai dua berada di ruang penuh pertengkaran itu.
Tenang dia melangkah, menampilkan sosok yang sama sekali tidak terganggu dengan adu pendapat mereka. Semampu mungkin Linzy menahan keinginan untuk menangis. Mengeluarkan perih yang menjebak di dadanya ini.
Sampai kaki Linzy tidak sadar menginjak pecahan guci di lantai. Menimbulkan bunyi, disusul hening yang melingkupi. Perdebatan mereka berhenti, menoleh bersamaan pada anak perempuannya.
Linzy membeku.
"Kamu udah pulang Linzy?" suara Jeovan, papanya terdengar memutus hening. Sorot marah yang tadi tergambar sedikit memudar menunjukkan kelembutan. Walau senyum tidak mengiringinya saat mengeluarkan pertanyaan.
Diam tanpa berniat menjawab. Linzy justru terpaku menelisik wajah papanya setelah hampir sebulan tidak pernah berjumpa. Tidak ada yang berubah kecuali kantung mata yang menghitam tampak lelah.
Jeovan masih mengenakan setelan kantornya. Kemeja putih dengan dasi cokelat yang dilonggarkan menggantung di leher. Jas pun tersampir di lekukkan sikunya.
Iris kelabu itu mencerminkan betapa miripnya anak perempuan dengan ayahnya itu. Rambut pirang kecokelatan yang sedikit terlihat acak-acakan sang ayah, menjadi jawaban untuk setiap pertanyaan darimana warna rambut Linzy berasal.
Mereka sangat mirip, sudah pasti. Jadi wajar saja dulu Linzy sangat manja dengan sang Papa. Sikap yang sudah tidak ditunjukkan lagi sekarang.
Rantaian kenangan yang dulu terangkai bersama papanya seketika musnah hanya karena kesalahan yang papanya lakukan. Kesalahan yang hingga kini Linzy sulit untuk lupakan.
"Lebih baik sekarang kamu ke kamar Linzy, bersihkan badan kamu sebelum turun untuk makan malam."
Perintah Jeovan menarik paksa otak Linzy untuk berhenti memikirkan yang sudah berlalu.
Makan malam bersama obrolan cerita, jelas tidak akan terjadi. Sudah bisa ditebak akhirnya akan seperti apa. Makan malam yang kosong hanya ada dia sendiri atau ditemani salah satu dari mereka. Entah Mama atau papanya. Tapi yang jelas tidak mungkin mereka berdua akan duduk bersama di meja makan.
Linzy punya segalanya, bahkan dia bisa dapatkan apapun yang dia inginkan. Tetapi kenapa keinginan terbesarnya soal kebahagian tidak pernah bisa dia dapatkan?
Setelah mengulang ucapan yang tadi, Jeovan berlalu. Masih sempat kedua orang tuanya saling tatap, sebelum terputus karena Clara yang memalingkan muka.
Tidak tahan berada di situasi yang sesak dan panas, Linzy ingin buru-buru naik ke atas, masuk ke kamar dan tidak perlu turun untuk makan. Namun, langkah yang belum sempat mencapai tangga itu terpaksa berhenti karena panggilan Clara.
Terpaksa Linzy memutar tubuh, memandang penuh kedataran Sang Mama yang masih tampak anggun dengan setelan kantornya. Haknya beradu di lantai selagi kakinya melangkah mendekat.
"Habis dari mana kamu?" Bukan pelukan kerinduan yang Linzy dapatkan, setelah hampir sebulan Clara pergi meninggalkannya sendirian tanpa siapapun kecuali para pekerja di rumahnya, melainkan pertanyaan bernada angkuh dan wajah tanpa sedikit pun senyum itu.
"Anak gadis baru pulang jam segini, bukannya itu keterlaluan Linzy?"
Karena kejadian perselingkuhan sang papa lima tahun lalu, sikap Clara berubah drastis. Clara bukan lagi sosok Ibu penyayang dan penuh perhatian. Wanita di depannya terlalu dingin tak tersentuh apalagi sikap angkuh yang ditunjukkan, Linzy tidak lagi mengenal sosok ibunya yang dulu.
Dulu, Clara meski sibuk untuk berangkat ke kantor masih menyempatkan diri membuatkannya sarapan. Meski kelelahan sepulang kerja, dia menyempatkan diri datang ke kamarnya dan mencium keningnya penuh sayang.
"Kamu nggak dengar pertanyaan Mama?!" bentak Clara.
Linzy merindukan mamanya yang penuh kasih sayang. Tidak pernah mamanya dulu membentak, walau dalam keadaan marah sekalipun.
Karena perih dan sesak yang semakin parah mengurungnya, Linzy tidak menggubris pertanyaan Clara dan berniat menaiki anak tangga.
"Jawab dulu pertanyaan Mama Linzy, habis dari mana aja kamu baru pulang disaat matahari pun mau pulang?!"
"Linzy, kamu nggak tuli kan?!"
Berusaha cepat Linzy menaiki anak tangga, ingin cepat tiba di kamarnya. Setidaknya hening lebih baik dibanding di keadaan penuh sesak itu. Sampai kaki Linzy mendadak terpaku mendengar panggilan mamanya.
"ZIZI!"
Tubuh Linzy mematung. Di belakang, suara hak mamanya terdengar menyusul menaiki tangga hingga berhenti di sampingnya.
"Mama harus manggil nama kecil kamu dulu, baru kamu mau berhenti?!"
Linzy menoleh, matanya mulai memerah. "Linzy berhenti karena Linzy nggak suka sama panggilan itu!" tanpa sadar suaranya meninggi.
Siapapun bisa melihat mata Clara yang terkejut walau sejenak. Suara mamanya terdengar geram saat berbicara, "Kalo kamu emang nggak suka sama panggilan itu, kenapa kamu nggak jawab pertanyaan Mama tadi?!"
"Kenapa Linzy harus jawab pertanyaan Mama?" Kali ini Clara tidak bisa menyembunyikan ekspresi kagetnya. "Selama sebulan Mama ninggalin Linzy, cuma kirim uang lewat ATM. Terus sekarang Mama nanya seolah Mama peduli?" kepala Linzy menggeleng penuh ironi. "Mama nggak pernah peduli sama Linzy!"
Secepat kalimat yang Linzy katakan, secepat itu pipinya pun mendapat tamparan. Suara itu begitu kencang sampai menarik tiga ART perempuan yang sebenarnya sedang sibuk di dapur. Termasuk Bi Marni, wanita yang pernah mengurusnya saat kecil.
Keempat-nya terpaku shock lalu menatapnya penuh iba. Mereka mengasihani Linzy.
Dia benci ini! Dia tidak butuh dikasihani! Dia tidak butuh! Linzy langsung berlari menaiki anak tangga, meninggalkan Sang Mama yang tekunci diam.
Bantingan pintu terdengar hingga lantai bawah. Linzy mendaratkan diri di ranjang, menelungkupkan tubuh untuk menutupi isakan pedih yang sejak tadi ditahannya.
Selama sebulan Clara tidak menelponnya, lebih tidak menanyakan kabar apapun. Dia sibuk dengan pertemuan bisnisnya sampai melupakan dirinya yang merasa sepi ditinggali. Lalu setelah pulang, mamanya itu justru bertanya dengan angkuh bukannya memeluk atau menanyakan kabarnya.
Jeovan pun sama saja. Seolah menunjukkan rasa perhatian, padahal nyatanya dia ikut meninggalkan Linzy selama sebulan untuk pekerjaan.
Bukannya menyambut kelelahan Linzy setelah pulang sekolah hari ini dengan menyenangkan atau kebersamaan. Kedua orang itu justru menyambutnya dengan pertengkaran mereka.
Kalau waktu bisa terulang, Linzy ingin kejadian itu tidak pernah terjadi. Berharap perselingkuhan papanya tidak pernah ada. Berharap keluarganya masih dipenuhi tawa dan bahagia.
Diubah posisi, untuk terlentang memandang langit kamar. Warna hiasan lampu berbentuk lollipop di langit kamarnya, berganti-ganti karena tangan iseng Linzy menekan remote pengatur warnanya. Setidaknya hanya itu yang bisa mengurangi rasa sesak yang menjebak, sekaligus isakan yang tidak kunjung hilang.
Karena getaran ponselnya, perhatian Linzy teralihkan. Dia mengambil ponsel di tas, yang tergeletak di sampingnya.
Melihat nama sang penelpon seketika tangisan Linzy makin menjadi-jadi, tumpah ruah di sisi wajah. Dia sekuat mungkin menuntut sang tirta untuk berhenti. Susah payah Linzy menggeser layar sebab tangannya yang gemetar.
"Halo!" suara Regha terdengar di seberang.
"Kenapa, Gha?" Padahal Linzy sudah semaksimal mungkin mengubah nada suaranya untuk tidak serak, namun, hasilnya sia-sia.
Regha terdiam lama di sana, "Gue denger dari Bokap, orang tua lo udah pulang. Lo nggak pa-pa?"
"Ya, mereka udah pulang." Linzy menjawab pelan. "Emang gue kenapa?" dia balik bertanya disertai tawa.
"Cih, jangan bohong sama gue?!"
"Plis ya, Gha." Genggaman di ponsel Linzy mengencang lantaran desakkan air mata. "Sekali gue bilang nggak pa-pa. Berarti gue emang nggak pa-pa."
Hela napas Regha seolah menembus ponselnya saking lelahnya. "Gue sepupu lo, Zi. Kenapa lo juga harus nutup diri lo seolah gue orang lain?!"
"Drama deh, serius gue nggak kenapa-napa." Suara Linzy diubah seceria mungkin, meyakini Regha.
"If you're okay? Why are you crying?"
Telak. Regha langsung memberikan pertanyaan bagai bom. Sulit bagi Linzy menjinakkannya dengan jawaban.
"Who's crying? I'm not."
Tawa hambar Regha seolah menertawakan Linzy. "Lo nggak bisa nipu gue sama suara serak lo, Zi. Kenapa lo susah banget buat jujur?"
"Kalo jujur cuma jadi beban buat orang lain. Kenapa gue harus ngelakuin itu?"
Kebisuan Regha di sana, menarik sempurna ujung bibir Linzy. "Believe me, I can solve my own problems. I'll be fine."
Linzy berusaha meyakinkan Regha dan ... dirinya sendiri. Dia mematikan telepon tanpa menunggu respon, saat itulah pertahanannya runtuh, tirtanya mengalir melewati sudut bibirnya yang terangkat sempurna.
Sekali lagi, Linzy bersikap seolah dia baik-baik saja, hanya karena tidak ingin orang lain terbebani lukanya.
●●●●●
Satu kata untuk part ini?
Semoga feelnya nyampe ya :)
Makasih yang udah selalu mampir❤❤
Danke
Aping💋
〘Bonus pict; Don't cry Linzy〙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro