Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(13) ● Modus Gagal

ANAK basket terbiasa berlatih di lapangan indoor. Apalagi disaat perlombaan antar sekolah di depan mata. Semakin terlihat sibuk mereka mempersiapkan diri untuk pertandingan.

Jadi wajar banyak siswa yang keluar-masuk pintu lapangan indoor. Seharusnya begitu, tetapi tiga perempuan yang berdiri menghalangi pintu, menjadikan beberapa dari anak basket mendengkus, sesekali menyuruh si perempuan menyingkir.

Seolah enggan peduli, ketiganya tidak beringsut, masih serius berdebat tidak jelas.

"Serius Zi lo itu lebih keras kepala dibanding kucing hamil di depan rumah gue," Shena tampak bersungut-sungut. "Apa susahnya sih lo kasih ini ke dia. Ayolah!"

Malas memandang benda di tangan Shena. Linzy menarik napas lelah. "Shen, gue cuma nggak mau dia nganggep gue itu salah satu bagian dari perempuan alay. Harus berapa kali gue bilang!"

"Lo nggak teriak-teriak alay kayak penonton bayaran di TV! Lo cuma ngasih minuman ini ke Lian. Emangnya ngasih minuman jadi bagian dari perempuan alay gitu?" alis Shena terangkat sebal.

Linzy menggeram tertahan. Lima menit waktu mereka bertiga terkuras hanya karena perdebatan tidak jelas ini. Ralat, Retta tidak terlibat. Perempuan itu kelihatan malas untuk ikut berdebat.

"Itu juga salah satu trik modus kan?" Linzy bertanya kesal. "Jadi sama aja, alay-alay juga! Lagian gue ke sini cuma mau ngeliat dia latihan. Sebatas itu!"

Shena berdecih. "Lo pengen Lian peka sama perasaan lo. Tapi lo aja nggak ada pergerakan sedikit pun, justru lo cuma diam doang kayak orang bego!"

Linzy mendadak panas. "Oh! Maksud lo gue harus berubah jadi agresif, ngedeketin dia duluan. Nempel-nempel terus supaya dia peka?"

Rasanya Shena ingin menggetok kepala sahabatnya dengan sapu. "Ya nggak gitu juga lah! Yang ada ilfeel dianya!" Lalu perempuan bermata sipit itu membuang napas lelah sementara Linzy mengawasi wajah Shena yang berubah lesu.

"Sebenarnya gue bingung, jadi cewek itu serba salah. Deketin duluan dikira murahan, nungguin dia peka eh, malah keburu diambil orang."

"'Hati seorang Shena pun berbicara' Bagus tuh buat judul ftv para Ibu-Ibu rumpi!" timpal Linzy kelewat malas. "Bener gak, Ta?"

"Hahaha," Shena menyela, tertawa garing. "Lucu banget lo, sampe gak ngakak gue!"

"Eh udah dong debatnya! Malu diliat orang." Telinga Retta sudah penat, mendengar perdebatan mereka. Lalu dia berpaling pada Shena. "Ya, maklumin aja sih, Shen. Mungkin Linzy gugup, bingung mau ngomong apa ke Lian. Itu udah biasa kan, disaat lo mau deketin gebetan. Jadi nggak usah diperpanjang!"

Senyum sumringah Linzy terulas lebar, tanpa perintah dia memeluk Retta. "Ah, that's true real my friend!"

Lidahnya terjulur meledek. Shena memelotot menatapnya.

"Ya nggak bisa gitu dong, Ta." Perdebatan pun masih berlanjut, Linzy merasa tak terima dengan Shena yang tidak ingin menyerah. "Kalo misalnya, Lian nggak tau perasaan Linzy, gimana kalo nanti tiba-tiba ada cewek yang deketin dia, terus Lian terima. Terus Linzy mewek, nangis nggak jelas. Nanti kita juga yang kena imbasnya!"

"Kok lo ngomong gitu sih?!" Linzy tak terima.

"Gue ngomong sesuai kenyataan hidup ya!"

Hela napas Retta terdengar memecah di antara perdebatan. "Mending kalian minggir dari pintu, gue mau ngasih minum ke Regha."

Linzy pun Shena menoleh pada Retta. Mengerti arah pembicaraan sang sahabat. Memang niat awal mereka ke lapangan indoor pada waktu jam istirahat, hanya karena mengikuti Retta yang ingin memberikan pacarnya handuk dan minuman. Lalu tiba-tiba Shena ikut mengusulkan itu pada Linzy. Memberikan Lian minuman.

Ah sial, seharusnya dia tidak perlu ikut kalau tahu akhirnya akan ada pemaksaan.

"NGGAK!" Dia dan Shena bersamaan berucap.

"Ta, kita lagi debat ini. Belum selesai. Ya kali lo tinggal gitu aja, nanti siapa yang nentuin pemenangnya!" Shena berseru protes.

"Shen, otak lo geser ya?!" Bergidik ngeri Linzy. "Sejak deket Ricky lo jadi absurd tau nggak, mending jauhin dia deh!"

"Eh, enak aja!" Shena yang tidak terima kali ini. "Karena dia gue nggak bakalan jomblo lagi, tinggal tunggu tanggal jadian. Emang lo, yang masih mau nunggu Lian sampe lumutan!"

Bagai disengat, mulut Linzy ternganga.

"Udah selesai kan kalian debatnya?" instrupsi Retta datar. "Kalian minggir dari pintu sekarang!"

Masih tidak bergerak mereka berdua.

"AWAS!"

Iris Retta terlihat menyeramkan. Yang pantas mendorong keduanya untuk menyingkir.

"Kenapa jadi galakkan Retta?"

"Lagi PMS doi mungkin!" Shena hanya mengedikan bahu. Keduanya menatap sahabat mereka yang mulai melangkah masuk ke dalam lapangan indoor.

Saat tubuh Retta sudah menghilang di balik pintu. Shena menoleh pada Linzy. "Kita main gunting-kertas-batu aja kalo gitu. Mau nggak?"

Kedua alis tipis Linzy terangkat tak mengerti. Sebelum akhirnya otak memproses cepat. "Ini masih bahas topik yang tadi?!"

Anggukan Shena menjadi jawaban.

"Kalo lo menang lo nggak perlu ngikutin perintah gue, tapi kalo gue yang menang lo harus mau ngasih minuman ini ke Lian. Gimana?

Bingung Linzy dengan tekad Shena yang besar. "Emang buat apa sih? Nggak perlu."

"Itu demi kebaikan lo."

Diamnya Linzy untuk berpikir. Sebelum kepalanya bergerak mengiyakan. Keduanya berancang-ancang memulai permainan.

"Gunting-kertas-batu," sehabis ucapan itu terlontar dari bibir Shena. Keduanya menjulurkan tangan masing-masing.

Iris kelabu Linzy membelalak sempurna. Sedang Shena memekik senang. Tentu dari situ, siapapun bisa menebak pemenangnya.

°°°°

"Tuhkan Lian lagi ngobrol sama Regha."

Sehabis mempacu keberaniannya, barulah Linzy dan Shena masuk ke dalam ruang. Titik yang sama mereka perhatikan. Lian tengah serius membahas pertandingan lusa besok bersama Regha. Retta pun tampak berdiri di samping pacarnya dan tak diacuhkan.

"Terus kenapa kalo Lian lagi ngobrol sama sepupu lo? Regha juga tau lo suka sama Lian. Bahkan lebih dulu tau."

Linzy cemberut, mengeratkan genggaman pada botol minum plastik di tangan. "Tapi Shen, kayaknya..."

"Nggak ada tapi-tapi!" tegas Shena lalu mendorong Linzy lebih maju, yang hampir meluncurkan umpatannya. "Semoga berhasil oke, gue bakal mantau lo dari jauh. Gue mau ke Ricky dulu." kekesalan Linzy belum berkurang, Shena mendorong lebih dekat.

Citranya hampir hancur, kalo dia tidak cukup pintar mengatur refleksnya. Untung saja tidak ada kejadian seorang cewek yang jatuh di depan gebetannya hanya karena ingin pendekatan. Itu benar-benar memalukan!

Linzy menoleh, rasanya ingin menerkam sahabatnya itu. Namun, dia sudah lebih dulu berlalu mendekat ke Ricky, sang pujaan. Ia bertanya-tanya, sebenarnya sejak kapan Shena dan ketua kelas di kelasnya itu begitu dekat?

"Lo di sini juga, Zi?" itu suara Lian. Mendadak seluruh organ tubuh seperti mati rasa, pengecualian untuk jantungnya.

"Ngapain lo?" Bagus. Pertanyaan sang sepupu, sedikit mengalihkan detaknya. Sontak kepala terangkat, membalas tatapan Regha.

"Ini, gue mau ... mau ini ..." Ingatkan Linzy untuk merutuki kegugupannya. Sekarang.

"Lo berdua udah selesai debatnya?" Retta menyela.

"Debat?" Regha bingung. "Sama siapa? Zion?"

Kontan Linzy merasa emosi. "Kok ke Zion?"

Regha sebatas mengedikan bahu. "Ya, kan emang lo biasanya debat sama Zion. Siapa lagi kalo bukan sama dia."

"Gue bukan debat sama Zion tapi sama Shena!" Penjelasan Linzy sedikit berlebihan karena kesal.

"Tumben?" Lian baru kembali berbicara. "Tapi bagus sih, nggak haruskan lo berdebat sama dia setiap hari."

Cowok yang kini memakai jersey basket kebanggaan sekolah, memang tengah membelanya atau apa sih? Linzy menatap Lian, lelaki itu tersenyum. Saat itu juga emosinya sedikit terbuang.

"Lo ke sini mau ngapain?" alih Regha ke hal lain.

"Lo bawa minum?" Pertanyaan Linzy bukan jawaban yang Regha minta.

"Gue nggak perlu bawa minum," ucapnya, sedikit angkuh. Gatal tangan Linzy ingin menggetok. "Lo nggak liat di sana." Linzy mengikuti sudut mata Regha lalu melebar netranya. Botol minuman itu berjejer di dekat tas milik sepupunya.

Linzy berdecih. Sudah terbiasa dengan keangkuhan Regha yang menyebalkan. "Ta, terus lo ngapain bawa minum kalo pacar lo aja udah dapet dari fansnya?!"

Bisikan Linzy dibalas Retta dengan senyum. Sebelum ikut berbisik. "Tenang, walaupun botol minum Regha banyak. Tapi cuma botol minuman dari gue yang dia ambil."

Niatnya ingin mengompori. Tetapi kenapa jadi Linzy yang kesal sendiri?!

"Yah, padahal gue pengin ngasih minuman ke lo juga, Gha. Sebagai sepupu yang baik," Linzy berdalih ke topik lain. Ini salah satu rencananya.

"Minuman? Tumben lo perhatian ke gue?" heran Regha. "Ada maunya lo pasti!"

"Ish apaan sih! Nggak-lah, gue emang selalu perhatian. Lo-nya aja yang nggak pernah sadar."

Meruntuhkan segala kegugupan yang kembali menyerang. Linzy tanpa basa-basi, mengulurkan botol minuman di tangan. Persis di depan wajah Lian.

"Dibanding minuman ini buat sepupu gue yang gak tau terima kasih. Mending ini buat lo, Yan. Lo haus kan?"

Setidaknya cara ini sedikit membuat Lian tidak mengira dirinya yang ingin modus dalam pendekatan.

"Ah sori, Zi gue nggak bermaksud buat nolak tapi..." Lian menoleh ke belakang, menunjukkan pemandangan yang sama dengan yang dia lihat di dekat tas Regha. Perbandingannya tidak berbeda jauh. Tas Lian dikelilingi botol minuman plastik.

"Thanks before, Zi. Tapi maaf gue nggak bisa..."

"Ah, nggak pa-pa kok." Rasa kecewa tak dapat dia hindarkan. Sesak akan penolakan baru kali ini Linzy rasakan.

Namun, Linzy ditarik untuk tersentak kala botol minum di genggamannya tertarik ke belakang. Kejadian itu berlalu begitu cepat, dia bahkan hanya terbisu menatap telapak tangan yang mendadak kosong.

"Kalo Lian nggak mau mending minumannya buat gue aja. Kebetulan gue haus!"

Suara itu tidak asing. Dia bahkan sangat mengenalinya. Sontak kepalanya langsung berpaling ke belakang. Sesak yang datang tadi justru berubah jadi kemarahan yang tak terkendali.

Pandangan Regha dan Retta bertemu, seolah sangat tahu apa yang akan terjadi setelahnya.

Keheningan yang merebak pada sekitar, perlahan tercairkan oleh suara tawa Lian. Dia menoleh pada Linzy yang terdiam, wajah putihnya terlihat memerah.

"Nggak pa-pa, Zi. Buat Zion aja, dia haus katanya." Senyumnya berusaha menenangkan, entah menenangkan Linzy atau dirinya sendiri. "Lagian dikit lagi bel masuk bunyi, gue duluan ya!" lelaki itu pamit, berjalan mendekati tasnya dan membawa beberapa botol di tangan.

Untuk sejenak Lian dan Zion bersitatap. Sama-sama mengulas senyum. Sedang pada Regha, Lian menepuk cowok itu dan berlalu.

Kemarahan Linzy meningkat bersamaan dengan tangan yang mengepal. Di sebelahnya, Zion tanpa penuh dosa sudah meneguk botol untuk ke tiga kalinya. Air sisa setengah di dalam botol.

"Lo sengaja. Iya kan?!" Sejak tadi, dia menahan luapan emosinya di depan Lian. Dia hanya tidak ingin merusak citranya di depan seseorang yang dipujanya.

Sungguh... mimpi apa dia semalam? Sampai seluruh keberanian yang dia bangun, menjadi hal yang sia-sia sekarang.

Alis Zion terangkat sebelah. "Lian aja nyantai, kenapa lo harus marah-marah?"

"Jelas aja gue marah!" Retta meringis di sebelah Regha, takut sang sahabat kehilangan akal hanya karena emosi. "Itu minuman buat Lian, kenapa jadi lo yang minum?!"

"Oh jadi lo sekarang ngaku kalo minuman ini sebenernya emang buat Lian, bukan Regha." tawa singkat cowok itu seolah meledek Linzy.

Shena tergopoh-gopoh mendekati keadaan yang berubah mencekam itu. "Udah, Zi nggak usah dilanjutin."

Sementara Regha menarik lengan Zion, menyuruh sahabatnya menghentikan adu bicara mereka. Zion tetap bergeming, justru dia kian menciptakan suasana panas dengan menceletuk, "Jadi dugaan gue bener," Senyum mengurai manis di sana. "Lo suka Lian?"

"Shut fucking your mouth!" Linzy kalap, menarik ujung jersey basket yang Zion kenakan, hingga mata itu bertemu dengan jarak yang menipis. "Lo nggak tau apapun tentang gue!"

Seakan perkataan dia tidak butuh balasan apapun, Zion tak mengacuhkan perkataan tadi. "Selera lo nggak buruk juga, tapi gue nggak pernah nyangka kalo cewek galak kayak lo suka sama Lian, sang kapten basket." Lelaki itu tertawa. "Mainstream banget bukan, kayak cewek kebanyakan."

Kepala Linzy rasanya ingin pecah. "Wajar aja bukan kalo banyak cewek yang naksir sama dia," Linzy berucap seolah dia mengakui argumen Zion. Tapi masa bodoh, Linzy tak peduli. Kemarahannya sudah tak terkendali lagi.

"Dia hebat, banyak piala yang dia dapatin di pertandingan antar sekolah. Sedangkan lo, lo itu apa, Yon? Lo itu nggak lebih dari seonggok sampah."

"Lo udah keterlaluan sekarang, Zi!" Masa bodoh, teguran Regha Linzy tak pedulikan.

Zion pun tidak terusik pada kalimat kasar yang terlontar dari bibir perempuan itu. "Tapi cowok yang lo bilang seonggok sampah ini, juga ikut andil di pertandingan basket antar sekolah itu, kalo lo lupa."

Udara kembali tergenggam di tangan, bersamaan dengan mata berubah seperti belati. Tanpa adanya kata lagi, Linzy menarik kedua sahabatnya keluar ruangan.

Regha hanya bisa menghela napas—karena lagi-lagi Linzy mengajak Retta pergi darinya. Dia menoleh pada Zion yang terdiam memandang punggung Linzy. "Nggak usah masukin hati ucapan Linzy, Yon."

"Gue udah biasa nerima kata kasar Linzy," senyum kecilnya terbit. "Jadi santai aja."

TBC(12-07-18)

●●●●

Di sini Linzy jahat banget :( Zionnya juga iseng. Maafkanlah ya, sifat dia emang begitu.

Sejauh ini gimana part ini? Ada yang udah nebak alasan sebenernya Linzy benci Zion?

Masih abu-abu sih ya wkwk. Belum keliatan emang konflik-nya :)

Danke
Aping💋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro