Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(12) ● One years ago(1)

Satu tahun lalu...

HARI ketiga mos kali ini benar-benar melelahkan. Sudah berjam-jam para peserta MOPDB disuruh berdiri. Kaki mulai terasa penat dan berdenyut. Keringat pun sudah mengusamkan wajah mereka. Suara kepala sekolah yang berpidato di depan seolah hanya angin lalu yang masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Otak tidak mungkin bisa diajak berpikir di saat seperti ini.

Akhir kata kepala sekolah disambut tepuk tangan yang meriah, seolah juga ikut merayakan akhir dari kepenatan yang menjerat mereka sejak tadi.

Sebagai ganti karena Kepala Sekolah beranjak pergi dari panggung, ketua osis menggantikan posisi. Mentitahkan mereka semua untuk duduk teratur di lapangan, setidaknya itu usaha untuk mengurangi rasa pegal mereka.

Patuh. Semua lantas mengikuti perintah. Duduk teratur di barisan kelasnya masing-masing.

Di kanan-kiri panggung kecil di depan—tempat ketua osis berdiri—para anggota osis dengan almamater osis kebanggaan SMA Taruna Jaya tampak berjejer rapi. Terlihat tegas dan ramah secara bersamaan.

Setelah beberapa kata ketua osis sampaikan. Pada akhirnya dia mengumumkan kalau saatnya mereka untuk bermain games. Sorakkan semangat menyambut. Gemuruh tepuk tangan terdengar.

Permainan ini hanya untuk anak didik baru yang ingin ikut serta. Bagi yang tidak ingin mengikut sertakan diri, mereka boleh menonton di pinggir lapangan. Disuruhnya beberapa anak yang ingin mengikuti permainan, duduk membentuk lingkaran di tengah lapangan.

Para osis ikut andil di dalam permainan. Dibagi tim kakak kelas dan tim adik kelas. Beberapa detik setelahnya, permainan dimulai. Sorakkan semangat dari pinggir lapangan mengisi sekeliling. Beberapa tawa terdengar karena melihat kakak kelasnya kesulitan keluar dari lingkaran yang terbentuk.

Permainan kucing-tikus tampak menyenangkan untuk mereka. Suara riuh rendah tepuk tangan mendominasi sekitar. Antusiasme mereka kian memuncak saat salah satu Kakak osis yang ikut andil berusaha melarikan diri dari kejaran adik kelas baru.

Tawa mereka semakin menjadi-jadi, menciptakan gema kebahagian.

Di pinggir lapangan untuk peserta yang tidak ikut andil. Linzy terlihat antuasias. Kelopak matanya tampak menyipit karena tawa yang mengikat. Posisinya kini dibalik, kakak kelas harus berusaha mengejar adik kelasnya.

Mos kali ini diadakan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Saat Linzy SMP tidak ada permainan diadakan kala mos, mungkin ada tapi itu hanya sebatas kakak kelas yang ingin mengerjai adik kelas barunya.

Dulu, hanya otoriter yang mereka pergunakan untuk menindas adik kelasnya, menekan mereka untuk mengikuti perintah yang tidak masuk akal. Dan tahun lalu pemerintah resmi menghapus tentang peloncoan.

Ketika SMP dulu Linzy bersekolah di Bali karena sang Papa membuka cabang perusahaan di sana. Perbedaannya tidak jauh berbeda dengan di Jakarta.

Meski para panitia itu menyuruh mereka dengan hal yang terasa janggal. Namun, itu tetap mendapat sedikit kesenangan tersendiri untuk para peserta. Kenangan yang mungkin tidak akan terlupakan untuk mereka.

"Alig juga si Vian kecil-kecil." Shena di samping Linzy tertawa. Teman perempuannya itu menyebut teman kelasnya di MOS. Si murid baru paling kecil di antara seluruh anak didik baru.

Tubuhnya yang sangat pendek, membuat lelaki itu mudah berkelit dari kejaran kakak kelas.

"Karena badannya kecil, jadi susah buat ketangkep," ucap Linzy sambil tergelak.

"Iya sih, mungkin kalo Ipan yang dikejar langsung ketangkep itu." Shena makin tergelak, menyebut nama teman mosnya yang kali ini berbadan besar. Satu angkatan banyak yang memanggil Ipan dengan sebutan Giant—salah satu tokoh besar yang suka memukul Nobita, serial Doraemon—katanya karena badannya yang besar dan juga tinggi.

Jahat sebenarnya. Tapi entah kenapa lucu.

Di hari pertama mos, selain Regha sang sepupu, Linzy sudah berhasil menemukan teman yang seru untuk diajak mengobrol. Beruntunglah dia yang mudah berbaur di tengah banyaknya orang. Sifatnya yang terlihat ceria memudahkannya untuk menemukan teman.

Linzy akui, dia memang mudah berbaur di tengah keramaian. Namun, dia tidak terlalu suka memiliki banyak teman. Baginya teman sedikit lebih baik, dibanding banyak, tapi mereka tidak benar-benar mengerti dirinya.

Dari hari pertama, hampir setiap detik dia menghabiskan waktu bersama Shena—teman barunya. Atau nama lengkapnya Shena Kinara. Dan Linzy lebih suka memanggilnya dengan Shenana. Mereka berdua berasal dari sekolah yang berada di luar kota, yang pantas membuat Linzy merasa nyambung mengobrol dengannya.

Di kelas mos, Linzy sudah hampir berkenalan dengan semua teman barunya. Terutama kaum perempuan. Hanya beberapa anak lelaki yang Linzy kenal di kelas. Lebih tepatnya anak lelaki yang masuk di list 'Pantas dijadikan teman' versi Linzy.

"Shen, gue ke toilet dulu," izin Linzy.

Shena berpaling dari permainan yang dilihatnya sejak tadi. "Mau gue anterin?"

"Nggak perlu, gue bisa sendiri."

"Oke, hati-hati." Shena mengangkat tangannya.

Mengangguk. Linzy langsung melangkah meninggalkan sisi lapangan.

°°°°

Setelah menunaikan tujuannya ke toilet, Linzy langsung berjalan mendekati wastafel, membasuh kedua tangan. Cermin di depan menunjukan bayangan perempuan berambut pirang kecokelatan sebahu, hidung mancung, bibir merah muda tanpa memakai liptint. Bayangan itu tersenyum, mengikuti gerakan Linzy.

Melangkah keluar toilet. Linzy berjalan di koridor, kembali menuju lapangan. Tiba di sana, seketika alis Linzy menyatu, melihat permainan yang telah selesai. Bukan, permainan masih berlanjut sepertinya. Tapi ada sesuatu yang membuat permainan itu membutuhkan jenak.

Lingkaran yang tadinya terbentuk kini justru berganti menjadi kerumunan.

Meski begitu, Linzy masih bisa melihat kakak kelas perempuannya yang tengah berdebat dengan seorang anak lelaki—yang Linzy sangat yakin dia pernah melihat di kelas mosnya. Tapi seperti yang dia jelaskan tadi, bila dia tidak banyak berkenalan dengan anak lelaki di kelas.

Dia lantas duduk di tempatnya kembali—samping Shena. "Itu kenapa?"

"Lihat aja," ujar Shena sambil cekikikan.

"LO CURANG MAKANYA HARUS DIHUKUM!" Suara itu berasal dari Kak Tania, sekertaris osis—perempuan tercantik dijejeran Para osis.

"Kenapa saya doang Kak yang dihukum? Kan itu juga ide dari teman-teman saya," jawab si lelaki tanpa wajah dosa.

"Tapi cara lo itu gak banget, pakai gombalin gue segala." Wajah Tania memerah, entah karena marah atau hal lain.

"Jadi kakak baper sama gombalan saya?"

Wajah Tania kian memerah di bagian pipi. Walau begitu, matanya nyalang memandang adik kelas lelaki di depannya.

"Lo kayaknya benar-benar pengin dihukum ya?!" Ketus Tania geram.

"Ya Allah, Kak. Demi pantat Nicky Minaj yang nggak pernah tepas-tepos!" Si lelaki mengangkat telunjuk dan jari tengahnya. "Saya disuruh tadi, Kak. Sumpah!"

"Dan lo pikir gue peduli!"

Mendengar percakapan di antara mereka, Linzy menarik kesimpulan. "Dia godain Kak Tania tadi?"

Shena tertawa lagi. "Iya, itu biar tim kita menang tadi. Curang emang sih, tapi lucu aja jadinya!"

Dalam hati, Linzy berdecih jijik melihat lelaki itu yang masih gencar membela diri.

"Lagian Kak Tania ogeb banget, udah benar lagi lari gesit tadi, tapi denger gombalan receh Zion dia langsung berhenti lari, ya udah ketangkep," jelas Shena terpingkal-pingkal.

"Zion?"

Shena menoleh mendengar kalimat Linzy yang bernada tanda tanya. "Astaga itu nama cowoknya, dia kan sekelas sama kita. Lo nggak kenalan sama dia?"

Terbisu Linzy. Kenalan? Cowok itu jelas tidak pantas masuk di list pertemanan Linzy. Tipikal cowok yang suka mempermainkan perempuan. Playboy sudah pasti. Lalu untuk apa Linzy berkenalan dengan lelaki yang seharusnya dijauhi?

°°°°

"Lo ke kantin duluan aja, gue nyusul nanti." Linzy berucap sambil bangkit berdiri bersamaan dengan Shena.

Permainan tadi menjadi kacau. Tidak akan dilanjut karena Tania benar-benar murka pada lelaki bernama Zion itu. Sudah diputuskan jika Zion akan mendapat hukuman. Sebenarnya itu sedikit lebay, hanya karena gombalan receh, Tania menghukum seseorang.

Tapi apa peduli Linzy? Dia sama sekali tidak peduli dengan lelaki itu!

Alhasil lantaran permainan tidak bisa dilanjut. Para osis memberi waktu untuk seluruh peserta didik baru mengistirahatkan diri. Memperbolehkan jajan di kantin atau memakan bekal yang dibawa.

"Emang lo mau ngapain?" tanya Shena. Mereka masih berdiri di pinggir lapangan.

Kepala Linzy menoleh, ditatapnya temannya yang bermata sipit itu. "Gue mau nyari sepupu gue dulu. Tenang aja nanti gue ke kantin kok."

"Oke," Shena mengangguk, melukis senyuman. "Gue duluan ya!"

Linzy balas tersenyum dan mengamati Shena yang melambaikan tangan lalu menghilang di ujung belokkan koridor.

Pandangan Linzy menjelajah pada sekitar. Banyak teman kelas lain yang tampak duduk-duduk di tengah lapangan dan berkerumun. Para lelaki terlihat mengobrol di bangku yang tersedia di koridor, pinggir lapangan.

Dia mendengkus, sebab tidak menemukan sang sepupu yang entah hilang kemana sejak tadi. Bibirnya mencebik sebal.

"Regha kemana sih?!" ujarnya geram.

Matanya kembali mencari. Berulang kali dia melakukan itu sampai pada akhirnya dia mengembuskan napas lelah. "Ah bodo amat sama dia!"

Kaki Linzy terhentak kesal, lalu memilih pergi. Dengan wajah cemberut, dia melangkah di koridor. Mengutuk Regha yang setiap dicari selalu hilang seperti hantu. Tentu saja dia kesal. Seharusnya sepupunya itu paham, Linzy tidak memiliki siapapun di sini. Teman SMP, semua temannya ada di Bali.

Setelah selama tiga tahun bersekolah di Bali, dia kembali ke Jakarta. Orang tua Linzy menyolahkannya bersama Regha supaya lelaki itu bisa menjaganya. Selalu ada di sampingnya saat dia butuh seseorang.

Tapi apa, dari tadi pun dia tidak ada di samping Linzy. Menyebalkan!

"Awas aja nanti gue aduin ke Tante Seli!" Linzy masih misuh-misuh.

Hingga telinganya menangkap suara Regha yang memanggil namanya. Sontak saja kepalanya menoleh. Dilihatnya Regha bersama Arven—temannya, berjalan mendekat. Dia mendengkus, sebab kedongkolan yang membludak, dia berjalan menjauh.

"Linzy, Zi!" Di koridor, Regha meneriaki namanya. Masa bodoh, dia tak peduli.

Beberapa pasang mata menoleh padanya, menatapnya penuh rasa heran. Oke, dia benci keadaan ini, dimana kala semua orang menatapnya bagai melihat cewek terbodoh karena memilih pergi dari panggilan cowok, yang kata mereka cowok tertampan.

Ck ... apanya yang tampan kalau cowok itu menyebalkan? Oke Linzy akui sepupunya memang tampan. Tapi sikap sok angkuhnya itu yang terkadang membuat Linzy menyesal. Kenapa dia harus memiliki sepupu seperti itu?

Ya, walau Linzy tahu ada perubahan yang terlihat jelas dari Regha. Cowok yang dulunya suka membanggakan ketampanannya, sok keren, angkuh. Mendadak berubah jadi pendiam dan mudah tersenyum.

Pergelangan Linzy tertarik ke belakang. Menuntut langkahnya terhenti. Dipaksa menoleh, Linzy langsung mengempaskan tangannya saat tahu siapa yang menahan.

"Ngapain lo?!" Linzy berucap ketus.

"Jangan ngambek gitu dong, Zi. Gue kan tadi lagi ngumpul sama temen-temen kelas gue," jelas Regha memasang raut menyesal.

Linzy memalingkan wajah. Sedikit terkikis rasa kesalnya kala melihat wajah nelangsa sang sepupu.

"Nih," Dituntut lagi kepala Linzy untuk menoleh. Memandang tangan Regha terulur bersama lollipop di genggaman.

"Lo pikir gue gampang buat disogok? Hah?!" teriaknya kian kesal.

Arven baru tiba di samping Regha, mungkin karena melihat Linzy tadi menjauh, sepupunya itu meninggalkan sahabatnya untuk mengejar Linzy.

Ketiganya sontak semakin menjadi seluruh pusat perhatian dari orang-orang yang berlalu lalang. Yang menciptakan api kemarahan Linzy terasa ingin meledak, apalagi setiap komentar yang mereka lontarkan.

"Njir, keren gila satu cewek direbutin dua cogan!"

"Gue sih kalo jadi dia udah tepar di jalan ditatap dua cogan kayak gitu."

"Apalagi dikasih lollipop gitu sama Regha, pusat perhatian kakak kelas. Gila iri gue jadi dia!!"

"Lo nggak liat tatapan dingin Arven tuh, gila gue langsung beku njir!"

Menggeram Linzy dalam hati. Kalau dilihat-lihat tensi darahnya sudah diambang batas. Siap dia ledakkan sekarang.

Bila saja Regha tidak mengulas senyum manisnya. Menunjukkan satu lesung di pipi kanan. Api kemarahan Linzy padam begitu saja. Dia mendengkus sekali lagi. Mengambil lollipop di tangan Regha sedikit kasar.

"Gitu dong, jangan ngambek terus kayak tadi, jelek tau!" ucap Regha sambil mengacak rambut Linzy.

"Gue masih kesel ya sama lo!" karena gengsi tentu saja dia tidak ingin langsung memaafkan.

"Oh iya, Zi gue mau kenalin lo—"

"Oi, Gha."

Kalimat Regha tak dapat terselesaikan. Dari arah belakang seseorang menyerukan namanya. Seketika itu juga Linzy menoleh dan terkejut. Lelaki yang menggoda kakak kelasnya tadi tengah melangkah mendekat ke arah mereka.

"Nah ini, Zi, maksud gue." Regha tersenyum tanpa peduli dengan Linzy yang memandang tak suka lelaki yang kini tengah berada di rangkulan sepupunya. "Gue mau ngenalin lo sama teman gue. Kalian satu kelas, kan?"

Di pijakannya Linzy hanya terpaku, bingung dengan amarah yang membekuknya. Entah dia masih kesal dengan Regha atau fakta sepupunya ingin mengenalkannya dengan seseorang, yang sejak awal melihatnya saja dia tidak suka.

"Zion yang minta gue buat ngenalin dia ke lo!" Regha berbisik, Linzy tidak merespon.

Komentar semakin menggila.

"Jadi tiga cogannya!"

"Apa ini yang namanya beli dua bonus satu?!"

"Itu Zion yang godain Kak Tania tadi kan?"

"Gue yakin sebenarnya Kak Tania tadi baper, pura-pura sok jual mahal aja!"

Cowok itu memang tampan. Bahkan cukup tampan untuk berjejer dengan Regha dan Arven. Tapi untuk apa ketampanan jika dia tidak bisa menjaga hati perempuan. Bukannya begitu?

"Zion," pikiran Linzy langsung melayang pergi. Tangan lelaki itu terulur ke arahnya.

Mengamati tangan dia dalam diam, Linzy benar-benar tidak bisa menutupi rasa tidak sukanya.

"Linzy," jawabnya, membiarkan tangan Zion menggantung tanpa balasan uluran.

Regha sontak menoleh tidak suka pada Linzy. Namun, dia tak peduli.

"Oh oke," Zion terkekeh canggung menarik tangannya ke saku celana.

"Lo yang godain Kak Tania, tadi kan? Pakai gombalan receh lo?!" tanyanya, menimbulkan hening di sekitar.

"Lo apa-apaan sih, Zi!" tegur Regha.

Perempuan berambut pirang itu masih terlihat tak acuh. "Udah ah, duluan. Gue mau ke kantin!" pamitnya tanpa menunggu respon ketiga cowok di sana.

Regha dan Arven tentu tidak bisa menyembunyikan kebingungannya. Lebih lagi Arven, pertama kali bertemu Linzy, dia langsung bisa mengakrabkan diri karena sikap ceria perempuan itu. Hanya butuh beberapa hari untuk mereka dekat.

"Sori, Yon. Dia emang agak sensitif sama cowok..."

"Dia ada trauma sama cowok?" Zion memotong.

"Ah, bukan..." Regha sulit menjelaskan. "Dia ada sedikit problem—sori gue nggak bisa jelasin."

Senyum Zion tampak, menggangguk maklum.

TBC(02-07-18)

●●●●

Nggak pusing kan ya bacanya karena terlalu banyak narasi dibanding percakapan? :)

Makasih yang masih setia mampir :*

Danke
Aping💋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro