Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(11) ● Meet

SUASANA lapangan indoor pada siang hari tampak lengang. Bangku tribun yang biasanya didominasi oleh keramaian teriakan para murid yang menonton pertandingan yang sering diadakan di sekolah, terlihat kosong tanpa penghuni. Terkecuali di bagian tengah, ada satu sosok lelaki yang duduk di sana.

Cahaya dari jendela yang berada di setiap atas dinding, terlihat menelusup memberi penerangan. Keheningan tak pelak merambat di sekitarnya. Hanya suara bola yang memantul di lapangan yang terdengar di telinga.

Pandangan Zion mengamati kedua sahabatnya yang tengah bertanding basket, sekadar untuk main-main pada waktu jam kosong. Ketiganya memilih lapangan indoor karena tidak ingin menganggu rapat yang tengah diadakan di ruang guru. Mereka jelas tidak ingin suara dari perempuan alay menganggu rapat para guru.

Kebisuan Zion menjadi saksi kedua sahabatnya saling mengejar berusaha merebutkan bola jingga di sana. Peluh keringat sudah bermunculan di wajah Zion, tanda bahwa cowok itu sempat ikut serta bersama kedua sahabatnya itu.

Namun, karena merasa kelelahan, dia memutuskan untuk beristirahat di bangku tribun.

Regha dan Arven terlihat sangat fokus pada permainan mereka. Suara pun tidak terdengar mengisi sunyi. Di sana, Regha tengah berusaha menghalangi Arven yang hampir mencetak poin. Cukup hebat, Arven pun bisa menghindar.

Sampai akhirnya, Arven melempar bolanya, bola pun melayang, sedikit lagi akan masuk ke dalam ring. Namun, sepertinya ketua osis kita lupa, dia tengah bertanding melawan siapa.

Dari arah belakang, Regha membawa tubuhnya melompat. Seolah beban tubuhnya sama sekali tidak menjadi masalah. Dan dengan gerakan cepat, lelaki itu mendorong bolanya ke arah lain.

Dan bola pun gagal masuk saudara-saudara! Zion tertawa di tempat sambil bertepuk tangan heboh.

Ada dua hal yang membuat Zion merasa hidupnya berada di awang-awang. Pertama, menjaili Linzy, dan berhasil memancing kekesalan perempuan pirang itu setengah mati. Dan kedua, tentu saja melihat wajah kemerahan menahan amarah yang terlukis di wajah Arven.

Teman satunya itu jarang mengekspresikan emosinya. Hanya kedataran yang setiap hari ditunjukkan di muka umum. Namun, jangan salah, Arven pernah marah seperti orang lain. Arven pun pernah tertawa.

Tetapi mungkin itu bisa dihitung dengan jari.

Dan gelak tawa Zion pun tak tertahankan lagi. Arven menoleh padanya dan mendelik tajam. Tetapi itu bukan Zion namanya yang akan menghentikan tawa hanya karena tatapan dingin Arven.

"Sedih banget jadi lo, Ven. Main bola aja ditikung dari belakang. Apalagi kalo punya pacar."

Regha ikut tertawa.

"Justru lo yang ditikung, lo gak ngaca hah?!" Arven berujar sinis.

Senyum Zion melebar. "Gue jarang ngaca. Kasian kacanya nanti, kalah silau sama kegantengan gue."

"Gue boleh muntah nggak?"

Wajah datar Arven kala berkata malah kelihatan lucu di mata Zion. Tergelak kembali dia.

"Diam bego! Nggal lucu!" Arven tak tahan untuk tidak mengumpat pada Zion.

"Aih ... babang Arven kalo udah marah serem banget, kayak banteng ngamuk." Zion makin terbahak. "Jangan marah-marah mulu, Ven. Nanti malam minggu nggak dapat jatah lo!"

Wajah Arven sudah bertambah merah, siap meledakkan seluruh emosinya. Zion sudah berancang-ancang, untuk melakukan langkah seribu, jika kiranya dia mendapat kemurkaan Arven.

"Astaga, gue lupa," Zion berwajah sok polos. "Lo mana mungkin jalan malam minggu sama cewek kalo lo aja nggak punya cewek. Lo kan jomblo. Jomblo akut!"

Setelahnya, dia langsung melangkah menuju tangga turun. Di lapangan, Arven siap melemparkan bola basket ke arahnya. Namun, terlambat, Zion sudah melangkah keluar menuju pintu dan menutupnya. Dia dapat merasakan punggungnya yang bersandar pada pintu sedikit terhentak karena bola yang dilempar Arven.

Dia semakin tergelak. "Ketos nggak boleh ngerusak fasilitas sekolah, Ven! Nanti gue laporin lo ke Bu Bety, mau?!" Zion berteriak di balik pintu, lalu dia mengamati dari kaca yang tertempel di pintu, melihat Arven yang masih berdiri di lapangan seperti siap membunuh.

Lalu semakin terlihat menyebalkan, Zion meledek Arven dengan juluran lidah.

Dan dia langsung berlari menuju kantin tanpa peduli dengan sahabatnya itu.

Zion berjalan ke mesin minuman sesaat setelah tiba di kantin. Memasukan uang dua puluh ribuan di sana. Menekan tombol minuman yang dia inginkan. Tak butuh waktu lama, tiga botol minuman sekarang berada di tangannya.

Mesin minuman itu terletak di dekat pintu kaca pembatas antara kantin dan taman. Kala itulah telinganya menangkap suara dari sana. Dia terdiam, mencoba fokus pada suara tersebut.

Rasa penasaran itu memaksanya melangkah mendekati pintu pembatas, lalu kaca yang menjadi sekat otomatis terbuka.

Kakinya melangkah masuk ke sana. Rerumputan luas membentang di taman yang baru selesai dibangun tiga bulan yang lalu oleh kepala sekolah. Taman yang menjadi tempat hukuman Zion bersama Linzy kemarin. Eh kok ke Linzy?

Ukuran taman ini memang lebih luas dibanding, taman tak terpakai samping gudang. Tempat Zion menyendiri.

Di tengah arena taman, suara gemericik air mancur menemani sunyi ikan di kolam. Lima pohon besar menjulang tinggi. Dan beberapa bangku panjang yang menebar tidak beraturan.

Dia melangkah lebih dalam. Sampai kakinya terpaku di dekat salah satu pohon besar. Kelopak mata Zion tersipit, melihat perempuan bertubuh mungil tengah melompat-lompat di dekat pohon seperti ingin mengambil sesuatu di sana.

Tidak bisa dicegah, Zion memeriksa punggungnya; bolong atau tidak? Melirik kaki, menapak di tanah atau tidak?

Bego! Zion tersadar dari ketololannya. Mana ada setan di siang bolong! Adanya sundel bolong! Lha....

Ditepisnya pikiran yang mulai melantur tidak jelas. Dia melangkah lebih dekat ke arah perempuan itu. "Butuh bantuan?"

Perempuan berponi itu terperanjat, sebelum menoleh cepat. Dan tanpa Zion duga, dia justru melangkah mundur. Alis Zion sontak terangkat, menatap aneh perempuan mungil yang memiliki iris bening bewarna caramel itu.

Untuk sesaat keduanya terdiam. Zion tidak bisa bersuara, terfokus pada kepolosan dan ketakutan yang terpancar di iris bening miliknya. Dibuat tertegun dirinya, baru kali ini, dia bersumpah baru kali ini dia melihat tatapan polos itu. Bukan tatapan genit, manja, ataupun nakal yang selama ini mengitari hidup Zion.

"Eh nggak usah takut," dia tersadar kala melihat si perempuan justru berjalan semakin ke belakang. Tangannya terangkat, seolah menahan langkah yang perempuan. "Gue bukan setan kok. Ya, mungkin setan jail, iya."

Langkah mundur si perempuan berhenti. Takut-takut, mengangkat kepala membalas tatapan Zion. Mungkin lelucon garing itu berhasil mencairkan suasana.

"Lo butuh bantuan?" Sekali lagi Zion bertanya. Yang perempuan justru menggigit bibir bawahnya. Tidak ada suara yang ingin dikeluarkan.

Nih cewek gagu kali ya! Zion membatin.

"Halo," dia melambaikan tangan di depan wajah perempuan. "Kacang lagi mahal, Neng sekarang. Seenggaknya kalo nggak mampu beli, jangan ngacangin orang."

Yang perempuan tersadar. Irisnya jatuh kembali pada netra gelap Zion. Dia menunjuk ke arah dahan pohon tanpa adanya kata. Alis Zion tertaut, sebelum terpaksa mengikuti arah tunjuk perempuan itu dan terbelalak setelahnya.

Dia kembali melirik ke kaki perempuan. Dan baru menyadari bila perempuan itu hanya memakai sebelah sepatu.

"Kok bisa sepatu lo nyangkut di pohon?"

Tangan perempuan itu memilin satu sama lain. Kepalanya pun kembali tertunduk. "Tadi..." Suaranya terdengar pelan. "Tadi ada kakak kelas yang iseng, ngelempar sepatuku ke pohon," jelasnya sedikit terbata.

"Siapa?" tanya Zion. Dia agak tidak suka saat ada kakak kelas yang terlihat iseng kepada adik kelasnya.

Melihat postur tubuhnya Zion sangat yakin jika perempuan ini adalah adik kelasnya. Lagipula bila dia satu angkatan dengan Zion, sudah pasti Zion mengenalnya. Ditambah lambang kelas yang terjahit di bahu kiri, tebakan Zion tidak keliru lagi.

Perempuan itu menggeleng. "Nggak tau, tapi kayaknya anak kelas dua belas."

Meresponnya, Zion hanya menganggukkan kepala, dia menitipkan ketiga minumannya pada perempuan itu, yang langsung didekapnya di dada. "Tunggu sini. Gue ambilin sepatu lo."

Tanpa peduli dengan responnya lagi, Zion memanjat pohon tinggi itu. Bermodal pada salah satu lekuk lubang di batang pohon, dia memanjat pohonnya sebelum berpijak pada salah satu ranting terendah.

Agak sedikit kesusahan Zion untuk meraih sepatunya. Namun, setelah berhasil, dia terlihat mudah untuk turun dan melompat.

"Nih," Zion menyodorkan sepatu hitam miliknya. Dia menerimanya sedikit kikuk. Lalu juga mengembalikan ketiga minuman Zion.

Sepatunya dia dekap di dada. Zion hanya diam memandang perempuan yang sekarang kembali menggigit bibir bawahnya.

Refleks tangan Zion bergerak dengan sendirinya, menarik bibir perempuan itu agar terlepas dari gigitannya sendiri, si perempuan tersentak. "Jangan digigit gitu bibir lo, nanti berdarah. Lagian santai aja sama gue, gue bukan buronan yang harus lo takutin."

Diam, tanpa Zion sadari sudut bibir perempuan itu sedikit terangkat. "Makasih Kak..." katanya terhenti, melirik bet nama yang tersemat di seragam Zion. "Kak Fal—"

Ucapannya tak dapat dilanjut, karena tangan Zion mendadak terulur. "Zion."

Lirikan singkat dia berikan pada tangan terulur Zion.

Zion tidak harus bersusah payah untuk melirik name tag milik gadis itu. Karena pada akhirnya dia menyambut tangan Zion dan menyebut namanya sendiri. "Zarlin."

Senyum Zion terukir kian lebar. Dan membuat perempuan bernama Zarlin itu ikut-ikutan mengangkat kedua sudut bibirnya lebih terangkat. Jabatan mereka terlepas.

"Oke, Zarlin gue duluan ya!" Dagu terbelah Zion nampak karena senyum lebarnya. Zarlin tertegun.

Dan tanpa kata lagi, Zion berbalik dan pergi. Zarlin terdiam, memandang punggung kakak kelasnya yang menjauh. Dan entah kenapa senyum tidak bisa ditahan untuk tidak mengembang sempurna.

°°°°

"Lo dari mana aja sih?"

Sepertinya Zarlin baru mendaratkan diri di kursinya, saat Nara, teman sebangkunya bertanya.

"Aku dari musholla kan kamu tau itu."

"Ya iya gue juga tau." Tak pelak bola mata Nara bergerak jengkel. "Maksud gue kok lama banget."

"Tadi ada orang iseng," Zarlin mulai bercerita. Lebih dulu mengeluarkan buku tulisnya sebelum membuka mulut lagi. "Pas aku keluar musholla sepatuku hilang tiba-tiba. Aku cari kemana-mana, sampe akhirnya ketemu di taman. Nyangkut di pohon."

"Serius?!" Netra Nara melebar. Sangat terkejut sepertinya. "Gila nggak ada kerjaan kayaknya tuh orang. Lo tau dia siapa?"

Zarlin menggeleng. "Nggak, tapi kayaknya anak kedua belas. Karena tadi pas ada di musholla emang ada kumpulan kakak kelas cowok di sana."

Decakkan kesal lidah Nara tak tertahankan. Merasa tak suka temannya dikerjai orang-orang seperti itu. Dia sudah berteman lama dengannya. Dari SD kelas tiga sampai kelas sepuluh SMA. Sebenarnya Zarlin sempat bersekolah di SMA lain beberapa bulan. Sebelum akhirnya pindah sekolah dan sekelas dengannya lagi.

Setiap kali ditanya kenapa pindah sekolah? Zarlin menjawab kalau tidak ada yang mau berteman dengannya selain Nara. Zarlin memang anak pendiam dan terlalu polos untuk mengerti dunia luar yang sesungguhnya.

"Terus gimana lo bisa ngambil sepatu lo itu. Nggak mungkin lo manjat pohon kan?"

Mendadak Zarlin tersenyum. Senyum yang membuat alis Nara tertaut.

"Kenapa senyam-senyum?"

"Aaa itu," Zarlin tersadar, meringis setelahnya. "Tadi ada yang nolong."

Senyum penuh arti, Nara seketika mengerti arah pembicaraan ke arah mana. "Cowok?" tebaknya.

"Hah?" Zarlin tergagap. Pipinya memerah.

Tawa Nara kontan berderai. "Aahh akhirnya Zarlinku yang polos ini bisa mengenal cowok hm? Siapa dia? Pasti kalian kenalan kan tadi?"

Godaan Nara memperparah rona yang tercipta di pipi Zarlin. "Iya, kakak kelas ... Kak Zion."

Iris Nara seolah ingin keluar dari sangkar saking keterkejutnya. "Apa? Kak Zion?!"

"Emang kenapa?"

"Astaga Zarlin!" Nara kesal karena kepolosan Zarlin. Entah kali ini memang terlalu polos atau bodoh. "Kak Zion itu yang minggu kemarin jadi topik anak kelas." Melihat Zarlin masih menautkan alis. Nara mengembuskan napas lelah. "Pemutusan di kantin, ingat?"

"Aku nggak tau soal itu, kamu kan tau aku waktu itu lagi di kelas."

"Karena sekarang udah tau, mending lo jauhin dia." Sorot Nara terpancar serius. "Gue yakin dia cuma mau modus sama lo tadi."

Kali ini Zarlin yang terkejut. "Kok kamu ngomong gitu?!"

"Karena emang itu kenyataanya, Zar!"

Senyum kecut Zarlin terulas. "Kamu nggak boleh gitu Ra, aku yakin tadi Kak Zion nolongin tulus, bukan cuma alasan modus."

Nara memilih mengalah. "Kenapa lo seyakin itu?"

"Karena matanya," kata Zarlin lalu terdiam, terbayang ketulusan yang terpancar di mata kakak kelasnya itu. Dari awal bersekolah di sini, Zarlin tidak pernah tahu-menahu tentang gosip di sekolah. Lebih tepatnya dia yang memang mengurung diri.

"Ketulusan dan kejujuran selalu terlihat dari matanya kan? Mata gak bisa bohong, Ra."

°°°°

Langkah Zion bergema di koridor. Tangannya masih memegang tiga botol minuman. Dia ingin kembali ke lapangan indoor, memberi kedua temannya minuman yang dibelinya tadi.

Sampai kakinya mendadak terasa kaku. Terhenti di pijakan. Iris gelapnya jatuh pada sosok perempuan yang tengah mengobrol dengan teman perempuannya.

Seketika itu juga ingatan akan pertemuannya dengan Zarlin menelusup, mengelilingi isi pikiran. Ingatan itu justru memaksa Zion untuk melangkah ke masa lampau. Masa di saat mos dulu, waktu yang mempertemukannya dengan perempuan yang berdiri di sana.

Perempuan di sana, Linzy menoleh, baru menyadari keberadaan Zion yang berdiri sejak tadi. Sorot tidak suka jelas terpancar di iris kelabu itu. Dia mendengkus, sebelum langkahnya perlahan menjauh tanpa melihat ke arah Zion lagi.

Tidak akan bisa Zion melupakannya. Bagaimana tatapan Linzy saat Zion mengajaknya berkenalan. Uluran tangan perkenalan yang justru terabaikan begitu saja.

Awalnya hanya rasa tidak suka karena Zion yang menggoda kakak kelas di kala mos, hingga di detik mereka yang terkena hukuman, dan membawanya pada kejadian yang membuat kebencian itu membara di diri Linzy.

TBC(26-06-18)

●●●●●

Maaf baru bisa update :(
Sinyal di kampung susah banget dicari, ilang-ilang mulu kayak doi *lah wkwk.

Semoga karena kelamaan gak up, gak lupa sama chapter sebelumnya ya :)

Danke
Aping💋


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro