FF(10) ● Mood Rusak
SEHARIAN ini mood Linzy benar-benar hancur karena keputusan sepihak yang diambil Bu Santi untuk menjadikan dirinya perwakilan kelas di pensi nanti. Sudah berbagai cara Linzy upayakan agar Bu Santi menggantikan posisinya dengan orang lain.
Bukan apa-apa, dia tidak ingin berurusan dengan Zion. Bertemu di kelas saja, cowok itu berhasil membuatnya terus meledak karena kesal. Lalu bagaimana bila setiap hari dipertemukan. Setiap hari harus bertatap muka. Membayangkannya saja sudah merusak hari menyenangkan Linzy.
Sebelumnya pun dia sudah berbicara empat mata dengan Bu Santi memberikan alasan masuk akal supaya Bu Santi membatalkan menjadikannya salah satu kandidat. Jelas obrolan mereka masih dia ingat.
"Saya nggak mungkin bisa jadi perwakilan kelas, Bu," jelas Linzy saat dering bel istirahat kedua berkumandang, di depan mulut pintu, menghentikan Bu Santi yang hendak melangkah keluar kala itu.
"Kenapa nggak bisa?" tanya guru mudanya itu. Mata indahnya terhalang kacamata yang bertengger.
"Kan Bu Santi tau kalau saya anak ekskul fotografi." Langsung saja Linzy menjawab dengan jawaban yang sudah dipersiapkannya. "Dan Bu Santi pasti juga tahu sesibuk apa anak ekskul fotografi kalo ada event kayak gini. Saya bakalan sibuk moto sana moto sini, foto itu kan untuk dokumentasi sekolah."
Kepala wali kelasnya mengangguk. "Ibu tau, Zion juga anak fotografi kan?" Tak pelak Linzy menganggukkan kepala, mengangkat kedua sudut bibir gurunya. "Tenang aja Linzy kamu nggak usah memikirkan itu, semuanya sudah Ibu persiapkan, termasuk izin ke pembina ekskul kamu untuk tidak membebani kamu dalam tugas ekskul."
Mata Linzy terbelalak.
"Pembina kamu juga udah setuju, jadi kamu tidak perlu pusing memikirkan itu. Oke? Kamu cukup disuruh fokus ke penampilan kamu bersama Zion nanti." Bu Santi mengakhiri katanya dengan senyum sebelum berbalik dan berjalan pergi.
"Gue bilang juga apa, Bu Santi pasti udah nyiapin itu semua." Mendengar Linzy menceritakan percakapannya bersama Bu Santi beberapa menit lalu membuat Shena akhirnya angkat suara.
Hela napas Linzy menjadi respon. Dia tidak tahu harus mengatakan apalagi, hari ini suasana hatinya di dalam mode buruk membuatnya lebih banyak diam dibanding berceloteh seperti biasa.
"Ya udah sih Zi terima aja keputusannya Bu Santi, lagian itu kan hitung-hitung buat penambahan nilai lo!" Retta juga ikut bersuara.
Mendengar ucapan Retta Linzy juga tak menjawab. Memilih mengamati suasana kantin di istirahat kedua. Lalu lalang orang menciptakan bising di sana. Ditambah suara anak-anak yang mengantri di stan makanan kian meningkatkan kegaduhan yang tercipta.
Tidak jauh dari arah tangga menuju kantin—karena kebetulan Linzy bersama kedua temannya memilih kantin atas—mereka duduk menikmati makan siangnya.
Shena dan Retta saling pandang melihat kebisuan Linzy. Mereka berdua pada akhirnya memutuskan ikut terbisu karena tidak kunjung mendapat respon perempuan pirang itu. Tidak ada tanda-tanda dia ingin membuka mulut untuk berbicara, setelah selesai bercerita tadi. Justru sibuk dengan mengemut lollipop di tangannya.
"Serius, Zi lo jangan diam gitu kenapa. Serem tau!" Shena berbicara lagi. Tapi temannya tetap tak acuh. "Ngomong gitu, cerewet kayak biasanya. Ini bukan lo banget tau nggak!"
"Ih!" Linzy kesal karena ucapan terakhir Shena. "Lo nggak ngerti banget sih, teman lo lagi di keadaan 'mood malas ngomong', tapi masih aja disuruh ngomong."
"Ya lagian lo itu aneh kalo diam gitu, bukan Linzy banget gitu lho. Ngerti nggak?"
"Nggak!"
Jawaban singkat Linzy membuat Shena jadi keki sendiri.
"Udah nggak usah bahas pensi, masih lama ini," lerai Retta. "Oh iya, ngomong-ngomong itu lollipop dari Mr. L atau lo bawa dari rumah?"
Mr. L adalah nama yang Linzy buat untuk penganggum rahasianya. Diambil dari awal huruf 'lollipop'. Huruf L.
Secepat itu dia menegakkan tubuhnya. Senyum pun kembali terangkat. "Dari dia," jawabnya. "Lollipop yang gue bawa masih ada di tas, belum gue makan."
Retta melirik Shena dan mengangkat kedua sudut bibirnya membentuk senyum kecil. Setidaknya pengalihan topik ini berhasil menarik Linzy untuk tersenyum kembali.
"Gue aja jadi penasaran sama dia. Lo penasaran? " tanya Retta.
"Nggak perlu ditanya, Ta," balasnya lalu terdiam sejenak. "Setiap kali gue nemuin lollipop di loker, gue selalu bertanya-tanya. Sebenarnya dia itu siapa? Kenapa dia nggak pernah nunjukkin wajahnya di depan gue? kenapa harus diam-diam suka sama gue?"
Retta dan Shena hanya menyimak.
"Tapi kadang gue juga takut, kayak lo lagi diuntit sama orang diam-diam. Ngerti nggak sih?"
Senyum Retta terulas. Kepalanya pun mengangguk. "Lo nggak mau nyari tau dia siapa gitu? Mungkin ada orang yang lo curigain?"
"Nggak ada." Lalu Linzy terdiam.
"Jangankan lo, Ta." Shena berbicara sambil menyeruput orange juice-nya. "Gue juga penasaran selama ini, itu orang kayak nggak ada kerjaan gitu lho. Kalo dia emang suka sama Linzy seharusnya dia nunjukkin wajahnya dan ngomong langsung."
"Mungkin dia nggak berani." Linzy membelanya.
Shena berdecak. "Nggak berani itu cuma untuk cowok-cowok pengecut."
"Shen, kita kan nggak tau kenapa cowok itu milih suka sama Linzy diam-diam. Mungkin ada alasannya." Retta memberikan pendapatnya.
"Iya juga, sih. Tapi kan, seharusnya dia itu berani ngungkapin perasaannya ke Linzy. Seenggaknya tunjukkin mukanya aja lho, Ta." Shena masih tak terima.
"Lagian kalo misalnya dia ngomong langsung dan nunjukkin wajahnya di depan Linzy. Apa Linzy bakalan nerima dia?" Retta berpaling menatap Linzy. "Lo bakalan terima dia dan lupain perasaan lo ke Lian atau lo tetep pertahanin Lian di hati lo?"
Dia termangu. Perkataan Retta menyentil Linzy. Seperti ada bongkahan yang menimpa kepalanya. Membuat seluruh fokus terbuyarkan. Hanya kata-kata Retta yang terserap. Apa saat penganggum rahasianya itu menunjukkan dirinya, Linzy akan berpaling dari Lian atau justru tetap mempertahankannya? Selama ini dia tidak pernah memikirkan itu.
"Ini persoalan beda, Ta. Linzy pasti tetep pertahanin Lian. Ya, walaupun kita tau kalo dia yang selalu ngebuat Linzy senyam-senyum pas datang ke sekolah pagi-pagi. Tapi kan Linzy sukanya sama Lian bukan dia," papar Shena. Linzy yang sejak tadi malas berbicara hanya menyimak kedua temannya berdebat.
"Ribet gini ya jadinya, Lian, Mr. L, bingungkan lo mau milih siapa?" Retta ikutan pusing.
"Kurang, Ta, seharusnya tiga orang." Linzy dan Retta kompak menautkan alis tak mengerti. "Lian, Mr. L, dan Zion. Zion juga ikut andil di situ."
"Apaan sih!" Linzy jadi keki mendengar nama Zion terselip di sana. "Kenapa Zion dibawa-bawa?!"
Tawa Shena terdengar menggema. "Ya kan, Zion juga selalu bawa cerita di hidup lo, Zi. Kalo Lian sama Mr. L mungkin bagian bikin lo selalu senyum, tapi kalo dia bagian bikin tensi darah lo naik!"
Retta ikut-ikutan tertawa. Linzy hanya bisa mengerut kesal. Hu-uh dasar!
"Tapi lo pernah kepikiran nggak sih bisa aja Lian selama ini sebenarnya suka sama lo, dan diam-diam dia yang ternyata jadi penganggum rahasia lo." Retta mencoba bergurau.
"Nggak lucu, Ta!" kesal Linzy mendengar kesimpulan khayalan Retta terlebih tawa perempuan itu. "Pliss ya, nggak usah buat gue berharap terlalu tinggi."
"Eh, iya." Shena ikut-ikutan mengerjai Linzy. "Gue nggak pernah kepikiran itu lho. Mungkin aja kan!"
"Apa-apaan sih lo berdua!" Linzy jadi gondok lagi.
Tawa Shena berhenti, matanya tertuju pada arah tangga—pintu kantin. Matanya yang sipit kian disipitkan melihat langkah seseorang yang sepertinya mendekati meja mereka.
"Zi, Zi." Shena mengguncang-guncangkan tubuh Linzy di sebelahnya.
"Apa sih?!"
"Kayaknya Lian pengin ke sini deh."
Iris Linzy membulat. Dia menoleh ke arah yang ditunjuk Shena. Seketika irisnya tak terbendung lagi. Langkah cowok itu semakin dekat ke arah meja mereka.
"Keep calm, keep calm!" titah Shena, sedang Linzy sudah bisa merasakan pacuan gila jantungnya sendiri. "Tarik napas buang, tarik napas buang!"
Emosi Linzy jadi semakin terpancing. "Lo kira gue mau ngelahirin. Hah?!"
Pun Retta hanya geleng-geleng kepala melihat mereka.
"Lagi quality time bertiga nih ceritanya." Suara itu menggantung merdu di telinga Linzy. Menciptakan tubuhnya kian beku. Ramainya kantin seolah teredam, kalah dengan suara jantungnya sendiri.
"Hai, Yan. Kenapa ke sini?" Retta angkat suara. Sementara Linzy, dia tidak bisa berbicara mulutnya memilih terkunci.
"Cowok lo kemana, Ta?" tanya Lian, sesekali irisnya memandang Linzy yang menunduk, menikmati jus mangganya. Samar, senyum kecil Lian terangkat. "Gue nyari Regha dari tadi nggak ketemu, tumben lo nggak sama dia?"
"Oh lo nyari Regha?" Kalimat tanya Retta seakan menjadi pertanyaan hati Linzy juga. Linzy kira, ada sesuatu yang ingin dibacarakan cowok itu padanya. Tapi ternyata dia mencari sepupunya. Arghh seharusnya dia tidak boleh berharap terlalu tinggi!
"Tadi kayaknya dia nyari Zion deh," ucap Retta masih teringat ucapan Regha tadi. Ini hanya perasaan Retta atau memang wajah Lian sedikit berubah saat nama Zion tersela di antara kata-katanya.
"Oh oke," Lian tersenyum. "Kalo gitu gue duluan ya, gue harus cari Regha buat ngomongin pertandingan basket untuk lusa nanti." Setelahnya lelaki itu pamit dan beranjak pergi.
Barulah Linzy bisa mengembuskan napas lega. Menarik seluruh oksigen untuk paru-parunya yang terasa kosong. Ah shit! Bahkan setelah cowok itu berlalu pergi, jantungnya masih berdentum tak menentu.
"Lo liat ekspresi Lian, pas gue sebut nama Zion tadi nggak?" Retta mengawali percakapan. Membuang hening yang sempat sejenak tercipta.
"Maksudnya?" Alis Shena menekuk. Tak terkecuali Linzy.
"Ekspresinya berubah keruh gitu? Nalar maskud gue?"
Tawa Linzy singkat. "Perasaan lo aja kali! Mereka kan teman satu ekskul, masa Zion sama Lian punya masalah. Lagian, Lian itu orangnya open sama siapa aja, Ta. Kadang aja mereka suka bercanda kok."
"Gue serius!" Ekspresi Retta tidak bisa dibilang bercanda. "Apa mungkin mereka punya masalah pribadi?"
"Paling masalah nggak jauh-jauh dari basket." Shena mengangkat bahu tak acuh.
Linzy mengangguk ikut menyetujui opini Shena.
°°°°
Keheningan yang meluruh bersama ketenangan. Menarik kelopak mata Zion untuk memejam. Telinganya terpasang mendengar petikan gitar dari tangannya sendiri. Daun besar yang menaunginya dari terpaan panas mentari, kian menciptakan sunyi yang sengaja dia butuhkan.
Yah ... setidaknya hanya saat ini.
Di taman tak terpakai samping gudang, tanpa orang-orang berlalu lalang menjadi tempat Zion menyendiri. Terduduk santai menyandar di pohon besar yang menjulang tinggi.
Mata Zion terpejam, sedang kedua sudut bibirnya dibiarkan melengkung sempurna. Dia menunjukan pada matahari bahwa rasa bahagia itu masih ada. Walau tertusuk perih terkadang kembali menjebaknya.
"Lo ternyata di sini?"
Suara itu membuang segala hening yang tercipta. Pejaman mata Zion refleks terbuka. Menemukan keberadaan Regha dan Arven yang entah sejak kapan berdiri di depannya.
Memang sudah berapa lama Zion di sini? Hingga kedua sahabatnya mencari? Ah bahkan Zion sendiri pun lupa karena terlalu hanyut akan kesendiriannya.
"Lo nyari gue?" Bodohnya Zion bertanya.
Iris hitam Regha bergerak jengkel seketika. "Bego pake nanya!"
Zion terkekeh, seringaian jahil melukis erat di wajah. "Gue tau gue ngangenin tapi kalian berdua nggak perlu capek-capek nyari."
"Apa kata lo aja!" Arven berkata datar. Bergerak duduk di samping lelaki berambut acak-acakkan itu dan ikut bersandar.
"Gue nyari lo bukan tanpa alasan," ucap Regha. Rautnya terlihat datar. "Linzy marah-marah karena bakalan duet sama lo! Dia yang kesal, tapi gue sama Retta yang kena imbasnya!"
"Cewek lo disandera sama sepupu lo sendiri?!" Zion terpingkal. Regha pun hanya bisa menyaksikan malas gelak tawa cowok itu. "Lo kan udah kenal tabiat sepupu lo yang selalu PMS setiap hari. Jadi wajar aja dia begitu."
"Linzy jarang marah-marah kecuali kalo udah berdebat sama lo!" sahut Regha dongkol.
Zion makin tergelak. Dipaksa menghentikan tawa yang berderai. Dia menoleh pada Arven yang terdiam, wajah lelah tampak di sana. "Kenapa lo?"
"Nggak, capek aja ngurus persiapan pensi," ujar Arven. Zion tersenyum prihatin, menepuk pundak sahabatnya.
Zion sangat paham, sahabatnya ini menjabat sebagai ketua osis. Bertanggung jawab akan segalanya. Seluruh persiapan pensi berada di tangan. Jika dia lalai sedikit saja. Dapat dipastikan, acara itu tidak akan berjalan lancar seperti yang guru-gurunya inginkan.
Regha perlahan ikut duduk di atas rerumputan. Tak perlu merasa panas, karena daun besar di atasnya siap menaungi mereka bertiga.
"Jadi sekarang lo udah tau gue sama Linzy gak bisa ikut jalanin tugas ekskul?" Zion berganti topik.
"Kak Atar udah ngasih tau gue sebelumnya—sebelum Linzy mencak-mencak tadi," jelas Regha. Temannya yang menjabat sebagai ketua ekskul fotografi. "Jadi gue udah tau duluan!"
Sudah diputuskan karena perintah Bu Santi, Zion dan Linzy jelas saja tidak bisa menjalankan tugas ekskul mereka untuk mengabadikan moment-moment selama pensi, tugas yang mereka jalankan untuk dokumentasi sekolah.
"Jadi gue nggak usah ikut diskusi kan?" tanya Zion.
Si orang yang ditanya memelotot. "Teteplah walaupun lo nggak bakalan dapet tugas tapi tetep aja lo kebagian diskusinya."
Dengkusan tak ditahan Zion lagi. Dia kira kali ini dia benar-benar bebas dari tugas ekskul-nya. Ternyata tidak juga!
"Kita diskusi berempat! Nanti di café!" ujar Regha tak terbantah.
Zion tercengang di tempat. Kalimat Regha terasa janggal. "Berempat? Arven nggak ikut?" kali ini dia menjatuhkan seluruh perhatiannya pada Arven yang terduduk santai di sebelahnya.
"Gue memutuskan untuk keluar ekskul fotografi," adalah kalimat tenang Arven.
"What?!" Zion sungguh tidak bisa menyembunyikan rasa kejutnya lagi. "Kenapa lo pengen..." diambang gantung perkataan Zion, teringat sesuatu. Dia mengerti situasi pada akhirnya. "Lo keluar ekskul karena posisi lo sekarang?"
Anggukan menjadi jawaban. Pandangan Arven menerawang ke depan. "Ya, gue udah sibuk sama kewajiban gue sebagai ketos, jadi terpaksa gue harus keluar dari semua ekskul yang gue jalanin, kecuali basket."
Zion mengangguk mengerti. "Itu keputusan yang bagus!"
Teringat hal lain, Zion mengganti topik lagi. Dia menoleh pada Regha dan bertanya. "Sekesal apa sepupu lo tadi?"
Sedikit menoleh Regha, dia tertawa singkat mengingat sang sepupu yang marah-marah tanpa alasan. Bahkan menyuruhnya makan sendiri, tanpa mengajak kekasih yang berstastus sebagai sahabat sepupunya itu.
"Yang jelas kesal banget, kayak udah mau makan orang."
Tawa Zion kembali meluncur. "Linzy banget. Wajar aja sih dia begitu, dia kan emang benci banget sama gue."
Arven dan Regha hanya saling lirik tanpa kata. Memandang senyum yang bertengger sempurna di wajah Zion. Dagu terbelahnya tampak menghiasi. Petikan asal Zion pada gitar di pangkuan, membuat sunyi itu entah kenapa jadi agak melakonis.
"Lo kalo ada masalah cerita aja, Yon." Arven berucap. Zion tahu walau wajah cowok itu selalu terkesan datar dan cuek. Namun, sifat kepeduliannya selalu ada.
Kedua sudut bibir Zion kian tertarik ke atas. Bertambah lebar. Dia tiba-tiba bangkit berdiri, ditatapnya kedua teman yang memandangnya penuh tanya.
"Cie-cie dua squidward perhatian banget sama spongebob!" Zion mencoba berjayus. Tapi kedua temannya sama sekali tidak tertawa. Hanya dia yang tertawa. "Tenang aja, lo berdua tau hidup gue selalu happy-happy aja, dora aja kalah happy sama gue."
Keduanya temannya justru kian membisu. Menciptakan hawa canggung yang terasa tak mengenakan. Zion berdeham. "Garing banget ya, oke gue tau."
Regha geleng-geleng kepala, Zion sudah tertawa lagi.
"Gue mau ke cewek gue dulu. Lo tetep mau di sini?" Arven dan Regha kompak tak menjawab. "Gue duluan, ya mas Bro!"
Tubuh Zion berbalik membawa gitar di tangan dan langkahnya pun mengambil alih, perlahan meninggalkan Regha dan Arven yang membisu menatap punggung lelaki itu.
"Lo percaya?" tanya Arven.
"Dan lo pikir gue sebego itu untuk langsung percaya."
"Entah sampe kapan dia begitu." Arven menghela napas.
"Kita tunggu aja, sampe dia mau terbuka. Pasti ada saatnya nanti."
TBC(11-06-18)
Jangan lupa vote ya!
Danke
Aping💋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro