Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(1) ● Masa Liburan

PUSAT perbelanjaan kota sepertinya sudah terbiasa dengan keramaian. Terlebih lagi di masa liburan tahun baru, mengundang banyaknya orang untuk membuang waktu karena bosan. Kentara saja kebahagian terpancar di raut orang yang tengah hilir mudik di dalam mall tersebut.

Banyak anak remaja yang pergi hangout bersama teman-temannya. Selagi sekolah mereka meliburkan seluruh anak didiknya. Menikmati detik demi detik bersama sahabat.

Tetapi sepertinya keceriaan para pengunjung tidak bisa memberi kebahagian ke salah satu remaja perempuan itu. Dari sekian banyaknya remaja yang pergi bersama kawan-kawannya. Hanya gadis itu yang duduk sendirian sambil berbicara pada layar ponsel.

Wajahnya terlihat sangat kesal, mulutnya juga tak henti-henti mengeluarkan segala kekesalan pada layar ponsel di tangannya.

"Gue udah nunggu lo sejam, Ta. Dan lo bilang nggak jadi datang!" Dengusan kesal sekali lagi keluar dari bibir pink-nya.

Raut menyesal sang sahabat terlihat jelas di depan layar ponsel milik perempuan itu. "Sorry, Zi. Gue lupa kalo punya janji sama Regha."

Linzy, perempuan keturunan Italy, yang memiliki rambut pirang kecokelatan itu memutar mata, lelah sekaligus dongkol. Sungguh sahabat yang sangat baik, membiarkan temannya menunggu sendirian, tanpa siapapun yang menemani.

Sejam lebih Linzy menunggu Retta datang di mall seperti rencana mereka berdua untuk menghabiskan waktu liburan yang tinggal dua hari lagi—sebelum masuk sekolah kembali.

Tetapi lihatlah, sahabatnya mengingkari janji, hanya karena lupa dengan janjinya bersama sang pacar.

"Kalo emang lo udah janji sama Regha, kenapa lo kemarin ngejawab 'iya' pas gue ajak hangout?!"

Linzy memandang malas wajah Retta yang meringis di depan layar.

"Gue bener-bener minta maaf, Zi. Gue nggak ada maksud biarin lo nunggu di mall. Gue udah duluan janji ke Regha kalo mau jalan sama dia. Sebelum lo minta gue janji buat nemenin lo jalan-jalan," jelas Retta teramat sangat menyesal. "Karena gue nggak mau liat lo sedih karena nolak ajakan lo, ya udah kemarin gue terima aja."

Senyum kecil yang terukir di bibir Retta, menambah tingkat kekesalan Linzy. "Ya udah. Semoga Have fun ya jalan sama Regha."

"Zi—"

Kalimat yang ingin terucap dari Retta terpaksa terputus. Karena Linzy langsung menyentuh tombol merah. Menghentikan videocall mereka.

Hentakan kaki ke lantai berulang kali terdengar. Linzy melakukannya, hingga menarik beberapa orang yang berlalu lalang.

Linzy meremas tas selempang miliknya. Kesal. Jangan ditanya lagi, kedongkolannya sudah berkali-kali lipat di banding terakhir kali. Dia bangkit berdiri dari bangku yang sejam telah dia duduki. Celana jeans melekat indah di kaki jenjangnya.

Napasnya tak beraturan, menampakkan tulang leher yang menambah kesempurnaan seorang Linzy. Kecantikan itu sangat tampak melekat di kepribadiannya, mata lentik yang mengerjap beberapa kali, menambah kesan pertama orang untuk terus menatapnya.

Linzy cantik, tentu saja. Tapi kenapa predikat jomblo tidak pernah tersingkirkan darinya? Terlalu pilih-pilih, mungkin. Linzy memang tidak asal memilih siapa yang akan menjadi singgahan hatinya.

Dia hanya tidak ingin tersakiti, yang akan berujung pada patah hati. Lalu setelah patah hati berasa ingin melakukan bunuh diri.

Oh jelas sekali itu bukanlah seorang Felinzy Lavira. Dia tidak akan pernah menjadi gadis bodoh yang mengejar cinta sang lelaki. Terlebih, banyaknya lelaki berengsek di dunia ini.

Iris kelabu itu mengedar pada sekeliling. Tapi tak berapa lama, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Alis tipis Linzy tertaut. Dia menyipitkan mata, meyakinkan dirinya jika dia tidak salah melihat orang.

Di salah satu bangku yang tersedia di mall. Mata Linzy tertarik memandang lelaki bersama perempuan yang duduk di sebelahnya. Tangan lelaki itu melingkar di bahu perempuan.

Saat Linzy yakin dia tidak salah melihat, senyum miring itu lantas terulas di bibirnya. Ide jahat sudah berputar di otak perempuan cantik itu. Mungkin Linzy tidak akan melakukan hal jahat kalau saja perempuan yang ada di sebelah Zion itu adalah pacarnya—Laras.

Ya! Cowok itu Zion. Atau lebih lengkapnya Falzion Herlangga. Cowok absurd tapi terlalu pintar untuk bisa mengelabui banyaknya perempuan untuk menjadi pacarnya.

Dasar buaya! Linzy mendengus jijik. Dia melangkah ke belakang tembok yang menjulang. Mengintip sedikit dari jarak dekat. Mengambil ponselnya di dalam tas. Linzy memulai aksi jahatnya. Dia memotret kedua pasangan itu dalam sekali jepret.

Sempurna! Linzy tersenyum senang. Dia kira hari ini akan membosankan karena datang sendiri ke tempat ramai seperti ini. Tapi ternyata tidak juga.

"Lo tercyduk, Yon!" ucap Linzy terkekeh sendiri. Entah kenapa aksi Linzy hampir mirip seperti penguntit. Tapi tidak apa-apa, yang terpenting adalah Linzy bisa menghilangkan rasa kesalnya.

Tangan Linzy bergerak lincah di atas ponsel, menggulir layar. Mencari nama Laras. Dan mengirim foto tersebut pada perempuan yang bersatus sebagai pacarnya Zion itu.

"Mampus!" gumamnya pelan.

Linzy menggenggam ponsel, dan kembali menoleh ke titik yang tadi. Terkejut Linzy dibuatnya, karena melihat bangku panjang itu telah ... kosong.

Kemana perginya dua orang itu?!

Sesaat Linzy terdiam, berpikir. Sepertinya Linzy hanya meninggalkan perhatian ke ponsel beberapa menit. Tapi mereka berdua telah menghilang dari tempatnya.

"Lo nyari gue?"

Linzy merasa jantungnya dicabut secara paksa dari rongga. Apalagi suara yang terdengar tidak asing di telinga. Mengatur detak jantungnya untuk berpacu gila. Dia pelan-pelan memutar tubuh. Dan meneguk ludahnya susah payah kala memandang lelaki yang berdiri tepat di belakangnya.

Semampu mungkin Linzy membalas tatapan Zion. Wajah santai lelaki dan wajah tegang perempuan tampak berperang di sana. Membiarkan sunyi melingkupi.

Linzy tertangkap basah. Lalu dia harus melakukan apa? Dia tidak bisa kabur dari tempatnya. Salah satu tangan Zion tersandar di tembok, mengurung Linzy.

"Buat apa gue nyari lo?!" ketus Linzy. Dia harus bisa bersikap galak seperti biasa untuk menyingkirkan kegusarannya. "Jangan kegeeran!"

Cengiran andalan cowok itu terulas. "Masa? Gue nggak percaya."

Linzy memutar matanya malas. "Gue nggak nyuruh lo untuk percaya ke gue! Percaya tuh ke Tuhan bukan ke gue!"

Justru senyum yang kian lebar itu ingin sekali Linzy lempar pakai sepatu. "Gue boleh minjem ponsel lo?"

"Buat apa?" Linzy terkejut.

"Nggak usah sok polos, Zi." Iris gelap Zion bergerak jengkel. "Lo moto gue kan tadi?"

Jantung Linzy semakin berdetak tidak beraturan. Bukan-bukan karena dia deg-degan berada dekat dengan Zion. Tentu saja itu tidak akan terjadi. Dia hanya merasa dirinya ... ketahuan.

"Apaan sih! Jangan asal nuduh lo!" ucap Linzy garang. "Lagian ngapain gue moto lo, kurang kerjaan!"

Zion mendengus geli. "Nggak usah ngelak! Gue udah tau." Lelaki itu menipiskan jarak antara mereka. "Siniin ponsel lo!"

"Nggak!"

"Siniin!" paksa Zion.

"Sekali gue bilang nggak! Ya enggak!" balas Linzy keras kepala.

"Keras kepala! Siniin ponsel lo, Zi!" Kesabaran Zion semakin menipis.

"Bodo amat!" seru Linzy sambil mendorong tubuh Zion dan berjalan meninggalkan cowok itu.

Zion melotot, mengejar langkah Linzy.

Tatapan Linzy menunduk ke lantai bawah dari teralis kaca yang menjadi penghalang setiap pinggir.

Saat itu Linzy lengah. Dibuat tersentak dia saat ponsel yang berada di genggaman tertarik ke belakang. Dia membalikkan tubuh. Memelotot pada si tersangka.

"LO APA-APAAN SIH, YON! BALIKIN!" Linzy berusaha meraih ponselnya. Namun, Zion cukup cerdik. Dia menyembunyikan ponsel Linzy di belakang tubuh.

"BALIKIN YON!"

"Nggak," balas Zion tenang.

Berusaha mungkin Linzy mengambil hak ponselnya. Dan Zion pun tak mau kalah. Dia terus menunjukkan ketangkasan tangannya untuk terus menghindari tangan Linzy.

Sampai satu titik di tengah pergulatan sengit di antara mereka. Linzy menyenggol tubuh Zion, hingga tangan cowok itu tergelincir dan ponsel yang berada di genggamannya terlempar, melewati teralis kaca yang menjadi penghalang.

Mereka berdua membeku melihat ponsel yang melayang jatuh ke bawah. Setelahnya terdengar bunyi ponsel pecah di lantai satu dan menarik perhatian dari semua pengunjung.

Linzy ternganga, menyaksikan gerakan slowmotion sang ponsel yang berakhir mengenaskan. Ponselnya terjatuh berkeping-keping ke lantai bawah, mematikan seluruh kehidupan Linzy dalam sekejap.

"LO?!" Linzy mengacungkan telunjuk pada Zion. "Gue nggak mau tau lo harus gantiin, Yon!"

"Kenapa gue harus gantiin?" tanya Zion bingung. "Kan lo yang nyenggol gue, sampe hp lo jatoh. Jadi itu bukan salah gue-lah."

Linzy semakin geram, tangannya mengepal erat. Ingin sekali rasanya Linzy ikut melemparkan tubuh Zion seperti nasib ponselnya itu. "Lo harus gantiin!"

"Nggak," ucap Zion santai.

Tingkat emosi Linzy sudah di ambang batas. "LO BENER-BENER YA YON!" geram Linzy, napasnya tidak beraturan karena ingin meledak oleh emosi. "I hate you!"

Perkataan itu mengundang senyum di wajah Zion. "Me too."

Setelahnya, Linzy berlari menjauh, berniat mengambil ponselnya yang terjatuh di lantai satu. Meninggalkan cowok yang akan selamanya Linzy benci.

TBC(17-04-18)
     APING♡


○○○○

Mainstream? Tapi insya allah cerita ini gak semainstream itu.

Makasih untuk yang mau mampir ke cerita Zion❤

Don't forget to
vote or comment ☆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro