[DP9 - Troubled]
Dhito
Pintu kamar Dhika terkunci saat aku hendak masuk. Aku mengintip melewati lubangnya. Kuncinya tidak ada, untunglah. Sejak Dhika suka mengunci diri di kamar, aku jadi punya keahlian membobol pintu. Bukan apa-apa, aku hanya khawatir terjadi sesuatu padanya.
Dhika punya kecenderungan untuk... melukai. Bukan melukai diri sendiri, untungnya. Dhika suka menusuk kertas dengan pensil, menghancurkan ayam yang akan dia makan dengan garpu sebelum benar-benar memakannya, dan lain-lainnya. Aku tidak tahu mengapa dia melakukannya. Aku hanya beranggapan itu karena dia menyimpan sendiri kemarahannya. Satu-satunya cara melampiaskannya adalah dengan merusak. Melukai.
Dia sedang tiduran di atas tempat tidur tanpa kaus ketika aku masuk. Sepertinya dia kepanasan. Aku tidak yakin apakah itu karena dia sedang memulihkan diri dari pestanya semalam atau karena kamarnya yang ada di timur ini terkena cahaya langsung dari matahari, namun dia tampak kelelahan. Aku meletakkan gelas berisi air putih di meja dan menutup tirai.
"Lo kok bisa masuk?" tanyanya dengan suara serak.
"Bisa dong, kenapa enggak." Aku berdiri di dekat jendela. "Lo kenapa?"
Dia bangkit untuk duduk dengan sedikit kesulitan. "Ugh, entah, efek samping kali."
"Lo gila."
"Emang."
Aku menghela napas. "Dhik, lo masih muda. Hidup lo masih panjang. Kenapa lo—"
"Nggak usah ceramah soal gue masih muda dan hidup gue masih panjang. Hidup panjang pun percuma kalau kayak gini."
"Kayak gini" yang dimaksud Dhika pasti soal keluarga kami. Aku jelas tahu keluarga berantakan seperti ini bukan kondisi yang bagus untuk dia bertumbuh. As cliché as it sounds, Dhika jadi anak nakal seperti itu karena keluarga ini juga. Bagiku, tahap itu tidak pernah terjadi, karena kebencianku pada hidup dan kondisi diubah menjadi bahan bakar untuk mengubah haluan hidupku. Mungkin aku terlalu fokus pada diriku sendiri sehingga lupa bahwa Dhika tertatih-tatih mencoba bertahan.
Egois. Douchebag. Jerk. Semua itu pernah keluar dari mulut Dhika dan dia tujukan padaku. Dan bukankah aku memang semua itu?
"Lo benci bokap, lo benci Kak Dhira, lo benci gue. Fine. Tapi itu nggak berarti lo harus lari ke narkoba." Aku menatap adik yang sama sekali tidak mau menatapku. "Lo benci keluarga ini, tapi lo justru jadi lebih buruk dari itu."
"Oke, gue emang mewarisi gen buruk bokap dan nyokap, so what?" Dhika menantangku nyalang. "Justru gue nemuin rumah di hal-hal yang lo anggap sampah."
Aku terkejut. Masalah Dhika jauh lebih serius dari yang kupikirkan. "Lo...."
"Apa? Troubled? Gue udah tau dari dulu."
"Gue bisa bantu elo."
"Gue nggak butuh bantuan lo."
Aku terperenyak. Sunyi menguasai ruangan ini, cukup lama hingga akhirnya Dhika mengusirku. Aku keluar, dengan perasaan campur aduk.
Aku tidak mengenali Dhika. Dia sudah benar-benar di luar jangkauanku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro