[DP5 - Kebencian]
Aku sedang menjemur pakaian saat kulihat motor Dhika memasuki halaman. Rumah sedang kosong, berhubung Ayah sedang bekerja dan Dhito pergi untuk mengurus event. Dhika tidak mengatakan apapun, melainkan langsung masuk ke dalam rumah setelah memarkirkan motornya.
"Dhik."
Aku menyusulnya. Kulihat, dia langsung berjalan menuju kamarnya. Bau rokok amat tajam mengikuti langkahnya. Sungguh, aku tidak pernah keberatan jika dia merokok atau apalah. Tapi ganja? Hal itu sudah keterlaluan. Aku tidak mau Dhika jadi seperti Ayah.
Jangan salah, dia benci Ayah. Sangat benci. Salah satu hal yang membuatnya jarang pulang adalah Ayah. Kebencian ini sudah dimulai semenjak Ayah mulai rutin pulang dengan mabuk—sekitar tiga tahun yang lalu, saat Dhika masih SMP. Perlahan-lahan, perang dingin itu makin membeku. Dhika jarang pulang—jika iya pun hanya dia lakukan saat Ayah sudah bekerja. Ayah pun tidak menanyakan soal Dhika padaku atau Dhito.
Tapi kulihat, Dhika justru semakin mirip dengan Ayah. Ia dulu sering bercerita, bahwa semasa SMA termasuk salah satu orang terpenting, karena berhasil menduduki jabatan pemimpin dari geng anak nakal di sekolahnya. Dhika pun jadi Komandan—jabatan yang memang dia peroleh akibat mundurnya Ruben, tapi tetap saja dipegangnya kini. Mereka berdua mencandu rokok dan menenggak minuman keras. Satu-satunya "kemajuan" dari semua itu adalah ganja. Ayah belum mengganja—atau setidaknya, begitulah yang aku tahu.
"Apa sih?" Dhika tidak memperhatikanku, malah membongkar isi lemarinya. "Gue pulang bukan karena gue kangen."
Aku menghela napas. "Iya, gue tau. Lo mau minta duit ya?"
Tangan Dhika berhenti bergerak. Dia termenung, sebelum pada akhirnya menggeleng. "Gue nggak layak lo kasih duit."
"Kenapa? Lo mau beli ganja?"
Wajah Dhika merah padam. Dia bangkit dan berjalan ke arahku. "Bukan urusan lo."
Pintu dibanting di depan mukaku. Tebakanku benar. Aku hanya berharap dia tidak terjebak ke dalam urusan berbahaya lainnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro