[DP3 - Permainan Peran]
"Aku pulang."
Sunyi. Aku mendesah. Tidak heran. Tempat ini tidak pernah terasa seperti rumah. Dhito sering pulang larut karena belajar dengan temannya atau mengurusi event kampusnya. Dhika jarang pulang, sedikit serupa dengan Ruben, hanya saja dia masih rajin pulang untuk mandi dan tidak perlu berpura-pura tidak pernah tidur di sini. Sementara penghuni rumah satu lagi....
"Woo-hoo! Naya pulang."
Ayah keluar dari arah kamar mandi, dengan wajah memerah dan bau alkohol yang teramat menyengat. Aku mendesah lagi. Sepulang kerja, ia selalu pergi ke bar. Petugas bar sudah terlalu hafal sehingga mereka selalu mengantarnya pulang, kadang dalam keadaan sangat mabuk, kadang dalam kondisi setengah sadar. Beruntung atasannya tidak memecatnya—toh, ia adalah seorang kuli bangunan.
Dulu kami hidup bahagia. Meski hanya berprofesi kuli bangunan, Ayah selalu punya jiwa arsitek dalam dirinya dan bercita-cita membangun rumah yang lebih besar. Hanya aku, Ayah, dan Ibuku, Naya. Namun sejak ketahuan selingkuh, Ibu meninggalkan kami, dan Ayah menikah lagi dengan selingkuhannya. Aku punya dua adik tiri, Dhito dan Dhika. Dan cita-cita Ayah tetap tidak berubah.
Kami cukup bahagia. Rancangan Ayah semakin lengkap, ditambah lagi saat mendengar kabar kehamilan ibu tiriku. Kehadiran Dhika seolah menjadi penyemangatnya untuk menyelesaikan rancangannya. Namun semenjak ibu Dhika meninggal, Ayah kehilangan semangatnya untuk hidup dan mulai mabuk-mabukan untuk melarikan diri dari kenyataan. Dan satu-satunya orang yang disebutnya dalam keadaan mabuk adalah ibuku, satu-satunya wanita yang mungkin pernah ia cintai.
Ayah memelukku—menimpaku, lebih tepatnya. Alkohol dalam napasnya sungguh menyengat. Ia terus membisikkan nama Ibu selagi aku memapahnya menuju kamarnya serta menidurkannya. Ayah langsung terkapar, dan aku menyelimutinya perlahan-lahan.
"Aku mencintaimu, Nay...."
Dengan bisikan selembut mungkin, aku membalas, "Aku juga mencintaimu," dan mengecup pipi Ayah.
Setiap malam nyaris selalu melakukan hal yang sama, jelas, hatiku remuk. Melihat Ayah yang seolah-olah tidak lagi bernyawa, merindukan Ibu setiap malam. Memerankan sosok Ibu yang selamanya tidak akan tergantikan. Aku menutup pintu kamar Ayah sambil menghela napas.
Semua ini mulai terasa melelahkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro