Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[DP12 - Dandelion Kuning]

Salah satu wanita paling berpengaruh dalam hidupku dan Dhika adalah ibunya—Bunda Lia. Masih patah hati karena Ibu memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, aku tidak mau berdekatan dengan Bunda. Tapi ia betulan sabar denganku. Mau tak mau, aku luluh. Dan dalam banyak hal, justru Bunda Lia-lah yang menjadi ibuku.

Aku tumbuh besar sebagai anak yang pendiam dan tidak punya banyak teman. Sampai sekarang pun begitu. Jadi, saat Bunda Lia hadir dan mau mendengarkanku, aku jadi dekat sekali dengannya. Kami membicarakan banyak hal-hal perempuan yang tidak dipahami Ayah dan Dhito (yang, yah, memang masih kecil). Aku jadi lebih dekat dengan Bunda Lia ketimbang Ibu atau siapapun di dunia ini.

Umurku delapan saat kabar itu kuterima. Bunda Lia meninggal saat melahirkan Dhika. Entah apa yang sebenarnya terjadi padanya—komplikasi, atau penyakit, aku tidak paham. Yang jelas, aku marah. Pada diriku yang pernah membencinya. Pada Dhika yang sebetulnya tidak bersalah. Pada nasib yang seolah ingin menghukumku. Aku benci pada semua orang waktu itu, termasuk diriku sendiri.

Pada akhirnya, aku mulai belajar mencintai Dhika dan menerima kenyataan bahwa dia tidak bersalah. Bahwa tidak ada yang bersalah atas kematian Bunda. Dua tahun kemudian, baru aku berani datang ke makamnya. Menangis lagi, tapi sekarang, bukan tangis marah, tapi tangis kehilangan. Sekaligus bahagia karena ia sudah tenang di sana.

Sejak Dhika kelas satu SD, dia memulai ritual itu. Bahwa kami harus mengunjungi makam Bunda minimal dua kali setahun—setiap pembagian rapor hasil ujian semester. Apapun hasilnya. Dhika bersikeras Bunda harus tahu hasil ujiannya. Dia akan membacakan semuanya, dari nilainya hingga komentar para guru.

Tahun ini, aku tidak yakin Dhika ingin menghadapi Bunda Lia. Dia tidak naik kelas dan berperilaku buruk akhir-akhir ini. Aku tidak yakin apa yang dia rasakan. Tapi Dhika diam saja saat kami berjalan mendekati makam Bunda Lia. Tidak terlihat gejolak emosi apapun padanya.

"Halo Bunda." Aku berlutut di dekat nisan. Dhika mengikuti. "Kami datang."

Sekuntum dandelion kuning—bunga kesukaan Bunda—yang layu tampak menyedihkan di atas makam. Aku mengambilnya dan menggantinya dengan yang baru. Dhika tampak kaku, namun tak urung meletakkan hasil ujiannya di bawah dandelion itu.

Sunyi. Dhika menunduk diam, entah apa yang sedang dia pikirkan. Aku bisa menebak—menyalahkan diri sendiri dan sebagainya—tapi aku tidak ingin menghakiminya. Aku turut andil dalam segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya saat ini.

"Dhik—"

"Maaf, Bunda, aku nggak pantas jadi anakmu."

Dhika berdiri dan berlari menjauh. Kabur dari sini dengan motor, dengan cepat menghilang dari pandanganku. Aku menghela napas. Pernyataan Dhika barusan memecahkan sisa harapan terakhir yang kumiliki.

Dandelion kuning itu tampak layu. Bunda, bantu aku....



a/n

double update krn kayaknya sempet miss kemarin. ehe :))

btw dandelion kuning itu ada artinya lho. tapi aku lupa *disepak*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro