Chapter 11
1825 : berbagai
(n) (kl) mempunyai persamaan; berbanding; bertara
PERJALANAN menuju Rumah Sakit Gatot Subroto terbilang cukup lancar karena hanya menempuh waktu setengah jam saja. Beruntung, mereka tidak terkendala kemacetan ibu kota yang menjadi makanan sehari-hari pengguna jalan di Kota Metropolitan. Kyra mendapatkan jadwal untuk membesuk Nadira bertepatan dengan jadwal besuk Akalanka. Sehingga, mereka sepakat untuk mengunjungi Nadira bersamaan.
Kyra sudah bersiap-siap sejak pagi buta, bahkan jam tidurnya kian terpangkas akibat insiden dini hari lusa lalu. Keluarga Bachtiar memang menerapkan sistem jadwal untuk membesuk Nadira. Apalagi dengan segudang peraturan ketat dari pihak rumah sakit yang jumlah pengunjung serta waktu kunjungannya terbatas.
Ruang ICU yang terbilang steril dan berada dibawah pengawasan langsung dokter spesialis, dokter jaga dan perawat yang kompeten, secara teratur memantau kondisi Nadira yang kondisi tubuhnya terhubung dengan berbagai peralatan medis melalui selang dan kabel.
Ketika hendak masuk ke ruangan ICU, tempat Nadira mendapatkan perawatan dari kondisi koma, Kyra dan Akalanka lebih dulu mencuci tangan dan memakai pakaian medis steril yang disediakan pihak rumah sakit untuk tiap pengunjung yang memasuki ruangan ICU. Setelah itu, baru kehadiran mereka dipersilakan oleh para petugas medis.
Dalam ruangan yang kental dengan nuansa putih-biru dan aroma antiseptik yang menjadi ciri khas rumah sakit, membuat Kyra makin merasa sesak. Terlebih, saat matanya melihat tubuh Nadira yang serupa dengannya dikelilingi berbagai selang, dimulai dari mesin monitor yang menampilkan grafik kinerja organ tubuh, lalu terdapat ventilator sebagai alat bantu napas yang dipasangkan lewat mulut.
“Hai, Nad-nad. Gimana kabarmu sekarang?” sapa Akalanka yang lebih dulu mengajak Nadira bercengkerama.
Kyra masih berdiri kikuk di samping mesin defibrillator atau alat kejut jantung yang digunakan ketika kondisi jantung mendadak berhenti.
“Ky? Kamu mau nggak ngobrol dulu sama Nadira?” Akalanka menunjukkan gawai yang menampilkan sebuah panggilan, terlihat penting. “Aku harus angkat panggilan ini dulu. Titip Nadira, ya!” Dia lantas pergi terburu-buru dari ruang ICU, meninggalkan Kyra yang dilanda kecanggungan.
“Hm, ha-hai, Nadira.” Kyra menipiskan bibirnya kemudian berdecap pelan. Situasi seperti ini bukan keadaan yang dia inginkan. Dia mencoba merelakskan tubuh dengan duduk di samping brankar yang menampung tubuh Nadira yang terpasang selang makan pada bagian hidung, lalu ada selang infus untuk memberikan nutrisi pada tubuh dan selang keteter yang dipasangkan langsung untuk membantunya membuang urine.
Kyra menatap selang yang menancap pada tubuh Nadira dengan ngeri. Pikirannya menerka-nerka, jika teknologi makin maju, mungkin saja dia juga tidak perlu memejamkan matanya untuk sekadar tertidur. Keadaan Nadira merupakan salah satu dari definisi manusia yang bergantung pada peralatan medis untuk bertahan hidup. Bahkan, kondisi yang tidak bisa memberikan respons dari tiap suara, sentuhan dan rasa sakit, katanya akan menemukan titik akhir, waktu bagi Nadira untuk kembali sadar. Namun, tentu saja hanya Tuhan yang tahu kapan tepatnya waktu tersebut.
Kyra memberanikan diri untuk menggenggam tangan Nadira yang tampak serupa ukurannya dengan tangannya yang mungil. “Bahkan ukuran tangan kita pun mirip, lho, Nad. Kamu yakin, nggak mau lihat kembaranmu ini, hm?”
Entah kebetulan atau memang begitulah rencana Tuhan. Ketika pertemuan Kyra dan Zahair tidak dikarenakan suatu alasan—yang sampai saat ini belum bisa yakini persepsinya—tidak biasa. Secara keseluruhan, penampilan fisik Kyra dibilang sangat mirip dengan Karenina Nadira Bachtiar.
Sebagai orang yang terlahir dari rahim yang berbeda dan keturunan yang tidak sama pula, keidentikan mereka terbilang cukup tak wajar. Di mulai dari segi bentuk wajah beserta detail mata, hidup, pipi bahkan mulut dan bentuk tubuh sekalipun, semuanya adalah sama!
“Hm ... tahu, nggak, Nad, pemikiran konyolku, tuh, bilang kalau kita itu sebetulnya satu keluarga. Sedarah gitu. Kayak disinetron yang bilang kalau kita itu bayi tertukar gitu.” Kyra tertawa pelan, meski Nadira tidak menanggapinya, tetapi ada orang yang mengatakan jika pasien yang koma bisa saja dapat mendengarkan apa yang diucapkan, walaupun tidak memberikan respons secara langsung. Namun, proses tersebut dibilang efektif untuk masa pemulihannya.
Entahlah. Aku hanya bisa mencoba semampuku saja.
•oOo•
Akalanka menenteng dua kotak makan siang. Karena dia yakin, kepergian yang mendadak barusan, Kyra pasti belum menyantap makan siangnya. Kakinya berderap cepat menuju ruang ICU.
Setibanya Akalanka di tempat Nadira di rawat, dia melihat Kyra yang asik bercerita dengan Nadira. Fisik dan suara kedua orang tersebut seperti pinang dibelah dua, yang membedakan mungkin hanya tabiat dan perintilan benda kesukaan. Selebihnya, mereka memang benar-benar tampak seperti saudara kembar. Namun, hingga kini Zahair sama sekali belum mengkonfirmasi terkait dugaan tersebut. Papanya itu cenderung akan mengelak dari pembicaraan ketika dia ditanyakan soal asal-usul Kyra.
“Sudah pernah Papa katakan sebelumnya, ‘kan? Anggap aja, Papa beruntung nemuin dia di jalan. Dia lagi butuh bantuan dan Papa menawarkan bantuan itu. Clear.”
Sahutan Zahair saat itu terbilang apatis. Dia tak membiarkan seorang pun mengulik ataupun mempertanyakan kedudukan Kyra dalam keluarga Bachtiar. Bisa dibilang, Zahair akan tampak lebih over posesif, jika ada orang-orang yang melakukan hal yang mengusik privasinya.
Makanya, bukannya Akalanka atau Alister tidak ingin menyelidiki hasil tes DNA Kyra dan Nadira, tetapi juga mereka makin penasaran dengan sikap Zahair yang seolah-olah menutup-nutupi kehidupan masa lalu Kyra dan membuat perempuan itu seolah-olah memiliki identitas yang baru ketika resmi menjadi bagian dari Bachtiar.
Sebenarnya apa yang pernah Kyra alami dan berusaha Papa tutupi?
“Anda hendak masuk?” Seorang perawat yang secara intensif ikut menjaga perkembangan Nadira, menyapanya dengan senyuman ramah.
“Ah, tidak. Saya hanya ingin mengajak orang yang ada di sana untuk makan siang bersama.” Akalanka mengisyaratkan lewat dagu keberadaan Kyra yang sedang bersama Nadira.
Perawat itu pun menganggut paham. “Baik, kalau gitu, saya pamit dulu. Tolong segera beritahu kekasih Anda agar secepatnya meninggalkan ruang ICU,” Perawat tersebut menunjukkan rekam medis Nadira sekilas pada Akalanka, hanya sebagai isyarat pengusiran. “Dokter jaga akan segera ke sini dan melakukan pemeriksaan pada Nona Karenina.”
Selepas kepergian perawat barusan, Akalanka masih dibuat cengo. “Kekasih, katanya? Apa tampangku itu mirip Om-om pedofil? Ck, bener-bener, deh.”
Kyra keluar dari ruang ICU tak lama kemudian. Dia memandang Akalanka dengan raut bingung. “Kakak, sakit? Dari tadi aku liatin, Kakak geleng-geleng kepala terus.”
“Nggak. Kakak nggak sakit. Tapi kayaknya beneran bakalan sakit kalo lama-lama di sini.” Tangan Akalanka menarik tangan Kyra supaya mengikuti langkahnya menuju kafetaria rumah sakit. “Kamu belum makan, ‘kan? Ayo, makan bareng!”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro