Chapter 10
1825 : apatah
(pron) (kl) kata tanya untuk menanyakan sesuatu yang tidak memerlukan jawaban
RUANG keluarga kediaman Bachtiar menjelang pukul dua dini hari, menjadi tempat untuk diadakan rapat dadakan untuk membahas hal yang terjadi di kamar Kyra. Kamar seorang anak perempuan biasanya menjadi tempat paling sensitif, terlebih ketika tamu yang mendatanginya adalah lawan jenis. Meskipun memiliki hubungan darah sekalipun, jika keduanya orang yang terlibat dalam sebuah ruangan apalagi dengan minimnya pencahayaan, hal-hal buruk pun bisa saja terjadi.
Jika hubungan darah juga dipermasalahkan ketika dua orang berlawanan jenis berada dalam satu ruangan, maka akan makin runyam perkaranya jika tidak memiliki hubungan darah sama sekali. Kini, dua orang yang menjadi tersangka pada rapat dadakan keluarga—dengan keberadaan Akalanka yang turut hadir—menantikan keputusan sang kepala keluarga setelah Kyra dengan tergagap-gagap menjelaskan kronologi alasan Alister berada di kamarnya.
Ah, tentu saja sempat terjadi perang urat antara Kyra dan Alister saat penjelasan tersebut. Belum lagi tanggapan Akalanka yang biasanya bersikap tenang, sekarang ini matanya tidak luput untuk memberikan tatapan mengancam pada laki-laki yang tampak tenang-tenang saja.
“Mata lo minta dicongkel, ya?” Alister memandang remeh pada Akalanka, “biasa aja kali matanya. Selow ...”
Akalanka meskipun terbiasa dengan sikap urakan Alister dan menyayangkan kapasitas luar biasa otak laki-laki itu yang tidak sebanding dengan kelakuannya yang bikin geleng kepala, menggertakkan gigi. Dia sudah sabar-sabar untuk tidak memberikan kepalan tangannya pada wajah dewa milik Alister.
“Lanka, duduk!” interupsi Zahair, tegas.
Terpaksa menuruti titah sang ayah, padahal amarahnya belum terlampiaskan. Untuk itu, dia mengubah minatnya hingga teralihkan pada Kyra yang terlihat gugup dengan tangan yang saling memilin. Terlihat jelas kantung mata yang menghitam dan bengkak, bekas tangis membuatnya jadi makin iba. Belum lagi, pakaian yang dikenakan Kyra sudah tampak berantakan dan kusut. Jika menilik dari cerita Kyra barusan, amarah karena dia tidak berada di saat Kyra sedang membutuhkan kehadirannya makin membuat Akalanka membenci dirinya sendiri karena tidak sanggup menjaga adiknya sendiri.
“Jadi, itu alasannya Alister ada di kamarmu, Kyra?”
Ditanyai demikian oleh orang yang sempat memergokinya dalam situasi ambigu, membuat Kyra jadi kikuk. Namun, meski mengingat tidak ada karangan dari apa yang dia ceritakan pada Zahair, Kyra tetap saja merasa sungkan. Bahkan untuk sekedar menganggukkan kepalanya saja, sudah susah baginya.
“Iya, Pa. Jadi, Papa nggak usah khawatir. Lagian dia juga bukan tipeku, tuh,” jawab Alister, mewakili Kyra yang tampak kesusahan untuk bersuara.
Diam-diam, Kyra menggumamkan terima kasih dan beragam umpatan atas tindakan Alister barusan. Dia hampir saja menunjukkan senyum pencitraannya, saat Akalanka berseru dengan nada tinggi dan mukanya juga terlihat merah padam, seperti menahan gejolak amarah. “Alister!”
Sang empu yang namanya dipanggil tampak tidak berkeinginan mengibarkan bendera putih, dia balas menantang kakaknya, “Apa? Mau gelut? Ayo!”
“Alister! Akalanka!” Zahair menengahi keduanya. Kemudian menghembuskan napas lelah. Mengurusi dua anak perempuan sepertinya akan jauh lebih baik baginya, jika dibandingkan lelahnya meladeni kerusuhan akibat dua orang bergender serupa dengannya.
Sekilas, Zahair melirik pada jam dinding yang sudah menunjukkan lama mereka mengadakan rapat dadakan tersebut. Dia lantas bangkit. Lalu, mengusap lembut kepala Kyra dan menampilkan seulas senyum.
Kyra yang diperlakukan sedemikian oleh Zahair, mengerjap-ngerjap. Dia terhenyak dengan perhatian Zahair yang seolah-olah tiada batas baginya. Padahal, jika dipikir-pikir, dia hanya orang asing yang memiliki keberuntungan karena dipungut oleh keluarga Bachtiar, seperti kata Alister dulu. Dirinya memang harus tahu diri, tahu batasan dan tidak melulu menimbulkan masalah bagi keluarga ini.
Kyra terisak. Dia menutup mukanya. Kelakuannya malah membuat Zahair panik, “Eh, Kyra, kamu kenapa? Papa ada salah kata sama kamu?” Zahair berjongkok, sehingga sejajar dengan Kyra. Gelengan dari Kyra tidak mempan membuang rasa khawatir bagi Zahair. “Apa, tadi, Papa terlalu keterlaluan sama kamu, ya? Kamu merasa sakit hati?”
Akalanka yang awalnya berdiri berjarak dari Kyra, karena keberadaan Alister sebagai tersangka berada di samping gadis itu, sedangkan posisi Akalanka yang sedang memulai perang dinginnya dengan sang adik. Kini berderap mendekati, mengabaikan keberadaan Alister. “Ky, mau ke kamar aja? Istirahatin,” ajak Akalanka. Dia sempat melayangkan tatapan sinis Alister sebelum perhatiannya tercurahkan pada adik perempuannya.
Kyra berhenti menangis. Selain karena malu, dia juga tidak ingin makin membuat anggota Bachtiar jadi kian khawatir padanya. Dia mengusap bercak sisa-sisa tangisnya dengan pelan—dan malu. Kekehan kecil berhasil membuat ketiga orang yang berada di sekitarnya menghembuskan napas lega. Mereka takut jika Kyra mengalami hal semacam depresi, misalkan.
Apa yang gue khawatirin, sih! Otak gue pasti kena masalah. Bingung dengan pemikirannya, Alister segera berlalu setelah mengucapkan kata, “Duluan.”
Saat kakinya menapaki anak tangga pertama, dia mendengar suara sengau Kyra mengatakan, “A-aku hanya bersyukur, Papa sama Kakak-kakak begitu peduli padaku yang bukan siapa-siapa.”
Zahair hendak membantah kalimat Kyra. Orang brengsek mana yang membuat putrinya merasa bukan siapa-siapa di keluarga Bachtiar-nya! Namun, Kyra memberikan isyarat berupa gelengan kepala dan senyuman yang menghangatkan hati orang-orang yang melihatnya, agar Zahair tidak dulu memotong kalimatnya.
“Meski kita nggak punya hubungan darah sekalipun, kasih sayang dan cinta yang kalian berikan padaku, sungguh besar.” Kyra menambahkan gerakan tangan yang memeragakan bentuk “besar” yang dia maksud. Dia juga terkekeh pelan. “Sebelumnya, walaupun aku pernah mendapatkan perhatian serupa, tapi perhatian dari kalian adalah yang terbaik.” Kyra lantas memeluk Zahair yang masih berjongkok untuk menyesuaikan tingginya dengan Kyra yang duduk di sofa.
“Papa adalah ayah terbaik di seluruh dunia!” ucap Kyra dengan semangat. Matanya kembali berkaca-kaca ketika melanjutkan kalimatnya, “kalau aku diberikan kesempatan di kehidupan selanjutnya, aku selalu ingin Papa menjadi ayahku lagi. Terlepas dari status apapun Papa. A-aku ... hanya mau Papa jadi Papaku.” Kyra membenamkan kepalanya di belakang leher Zahair.
Sementara Zahair yang mendapatkan ungkapan tulus dari putrinya, merasa terharu dengan ungkapan tersebut. Dia menepuk-nepuk sayang punggung Kyra. “Ingat, Kyra. Walaupun Papa adalah seorang laki-laki yang tidak bisa mengucapkan kata-kata manis seperti kalimatmu barusan. Papa akan selalu menjadi laki-laki yang akan selalu ada untukmu.”
Zahair mengurai pelukan Kyra. Dia mengusap air mata putrinya yang kembali mengalir. “Kamu akan selalu menjadi putri kebanggaan Papa,” ucapnya. Dia mengecup kening Kyra cukup lama, sebagai salah satu bentuk untuk menyalurkan betapa berharga dan sayangnya Zahair pada Kyra sebagai bagian dari keluarganya.
“Udah jangan nangis lagi. Nanti mata kamu jadi segede katak pas bangun tidur,” ledek Akalanka sambil mengusap-ngusap kepala Kyra.
“Iih, Kakak ...!” Ekor mata Kyra menangkap sosok Alister yang berdiri di lantai dua dan masih mengamati dirinya dari kejauhan tersebut. Kemudian saat Alister menyunggingkan senyuman sekilas dan beranjak pergi, Kyra segera menutupi mukanya lagi.
Zahair dan Akalanka kembali panik. Mereka mengira Kyra akan kembali menangis. Padahal sebelumnya, Kyra terlihat baik-baik saja. Kepala Akalanka mendongak dan memerhatikan Alister dari jauh.
“Ky, kamu baik-baik, aja, ‘kan?” Akalanka curiga, jika Alister berbuat yang tidak-tidak. Namun, ternyata dugaannya salah. Kyra tampak baik-baik saja.
Kyra mengangguk. Sikapnya membuat kedua laki-laki yang mengkhawatirkannya jadi bingung. “Aku ... cuma malu,” cicit Kyra dengan suara pelan, tetapi mampu terdengar oleh dua orang yang memiliki keminiman dalam masalah kepekaan.
“Oalah, cuma malu, toh. Papa kirain apaan.” Kemudian terdengar suara tawa dari Zahair dan Akalanka yang merasa lucu dengan tingkah manis Kyra, menghiasi kesunyian pada dini hari di kediaman Bachtiar—untuk pertama kalinya—yang sering kali dirundung kesedihan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro