
Chapter 1
1825 : amerta
(a) (kl) abadi
SUARA gelegar yang berasal dari balok penyangga papan rumah disertai kilatan guntur ribut di tengah hujan lebat membuat gadis yang meringkuk di sudut ruangan, menggigil ketakutan. Kelopak matanya sudah membengkak dengan rasa perih karena terlalu menghabiskan banyak pita suara untuk sekadar meminta pertolongan. Namun, usahanya justru berakhir sia-sia. Tubuh gemetarnya hanya ditemani dengan ruangan minim cahaya dan beberapa gantung boneka yang seakan-akan akan memakannya lewat tatapan mata.
Napasnya makin memburu ketika pintu ruangan kumuh berukuran 15 hasta terbuka. Sosok di hadapannya mendekat dengan tangan terjulur ke arah leher. Jemari lentik yang dilumuri cat kuku yang seharusnya tampak jelita, kini dihiasi dengan bercak darah segar. Gadis yang belum melewati masa pubertas kian resah. Pita suaranya tak mampu berucap sepatah kata pun. Lisan terasa membeku meski hatinya menjerit pilu.
Terlebih kala terdengar suara lirih yang mampu mengguncangkan seluruh tubuhnya. “Ikuti saya ....” Beberapa kali dia memejamkan mata, tangan menakutkan yang hendak mendekatinya makin membuatnya histeris. “Siapa pun itu ... to ... long!”
“Kyraaa!”
Teriakan yang amat familier membuatnya lega. Kemudian disusul dengan guncangan pada tubuh mungil yang bermandikan keringat dingin, membuat kesadaran gadis tersebut menjadi terjaga sempurna.
“Oh, God! Kamu tak apa, ‘kan?”
Satu pelukan erat menyambut kesadarannya dari bunga tidur paling buruk. “A-aku ... tak apa.”
“Serius? Kamu tidak bercanda, bukan? Aku khawatir, tahu!”
“I-iya. Aku tak apa.” Gadis dengan piama bermotif kartun dari Negara Ginseng tersenyum simpul. Dia meraih tangan yang memiliki kepalan lebih besar darinya. “Kamu tidak usah panik begitu. Aku cuma dapat mimpi buruk saja.”
“Bagaimana bisa aku nggak khawatir kalau kamu terus tidur dalam keadaan gelisah?” Omelannya tidak berhenti sampai di sana. Dia mencebikkan bibirnya seraya mencengkeram bahu Kyra. “Dengar,” Pandangan matanya menyiratkan rasa resah sekaligus keinginan untuk melindungi, “jika kamu punya masalah, jangan ragu untuk cerita padaku, oke? Sekecil apapun cerita yang kamu miliki, bahkan yang terkonyol sekalipun. Ceritakan, bagi denganku. Paham?”
Gadis dengan rambut berantakan khas orang bangun tidur, tak kuasa untuk tidak menarik sudut bibirnya agar melengkung. Kyra balik memeluk orang di hadapannya dengan wajah haru. “Kamu memang paling terbaik Hana!”
•oOo•
Kota satu-satunya yang sederajat dengan provinsi di Indonesia sekaligus menjadi pusat peradaban yang dijuluki Batavia pada masanya, kini sedang ramai dengan kemacetan lalu lintas. Berbagai pengguna jalan seolah-olah berlomba menjadi penguasa jalanan yang enggan mengalah. Terlebih ketika hak pejalan kaki terancam akibat pengendara yang senewen, menyerobot tempatnya tanpa urat malu.
Tata kota yang tidak humanis dikarenakan menurunnya interaksi sosial akibat gaya hidup yang individualis, mengakibatkan penduduk di kota tidak partisipatif. Makanya, tidak heran jika mengatakan Kota Sejuta Impian memiliki reputasi angka kejahatan paling tinggi di Nusantara.
Kyra memandang sendu gedung-gedung pencakar langit yang memenuhi tatanan kota. Penghijauan yang digadang-gadang pun membuatnya resah, karena sepertinya tidak pernah terlaksana seperti impiannya. Beruntung dirinya berada dalam ruangan yang memiliki pendingin udara yang cukup—walaupun berakibat menjadi penyumbang yang mengikis lapisan ozon—tetapi layak untuk ungkapan lega karena tubuhnya terlindungi dari paparan menyengat sang bintang besar, Matahari.
“Kamu yakin untuk cukup kuat berdiri di sana seharian?” Pria dengan setelan kasual yang harga pakaiannya bisa ditaksir melebihi empat digit berderap, mendekati Kyra yang refleks menoleh.
“Entahlah,” Pandangan Kyra kembali tertuju pada objek diluar jendela kaca besar, “kamu sendiri, tumben ke sini?”
“Cuma iseng. Lagi pula tidak ada yang bisa dilakuin ketika libur sekolah. Membosankan.”
Kyra mencibir, “Bosan, bosan. Kamu malah orang paling produktif yang pernah aku temui, tahu!”
Pria yang beda generasi dua tahun di atas Kyra, menyejajarkan wajahnya. Terlihat pantulan potret kedua orang tersebut pada dinding kaca. “Aku tidak tahu, tuh. Karena yang pasti ... makhluk cantik di sampingku itu bersedia jadi sumber inspirasi.”
“Hiii, sinting!” Kyra menepis tangan Akalanka—putra sulung pemilik Bachtiar Group—yang merusak tatanan rambutnya dengan dalih gemas karena Kyra jarang-jarang menguncir rambut sebahunya.
“Haha, daripada banyak protes ayo ikut Kakak.” Akalanka menyeret Kyra dengan tangan yang bertumpu pada leher jenjang gadis setinggi letak paru-parunya.
“Aghh ... lepasin, Kak! Jangan main tarik-tarik kayak sapi, seenaknya dong!”
“Kamu kalau nggak dipaksa, pasti kabur. Sudah nurut saja.”
Akhirnya Kyra terpaksa mensejajarkan langkahnya dengan Akalanka yang menuntun Kyra menuju lantai tiga puluh, tempat bagi petinggi perusahaan berada.
“Kamu bawa hasil ulanganmu yang kemarin, ‘kan? Jangan pakai alasan serupa dengan yang lalu-lalu.”
Mampus! Kyra memang memiliki tingkat ingatan paling minim di keluarganya. Dia menggerutui aib yang melekat tersebut. Akalanka menggandengnya melalui pintu besi berukuran besar yang akan otomatis terbuka ketika berhasil menscan kartu dengan akses khusus, diberikan pada orang-orang tertentu.
“Ah, tenang saja. Kakak punya salinannya.” Akalanka dengan santai menunjukkan nilai mengerikan yang terlihat pada gawai keluaran baru miliknya.
Kali ini Kyra berharap semoga orang tuanya tidak memiliki riwayat jantung yang akan kambuh saat melihat nilainya yang mengenaskan, jika dibandingkan dengan kemampuan Akalanka yang berada di langit.
•oOo•
Dia berjalan tak acuh ke arah lift terbatas yang hanya disediakan perusahaan untuk anggora keluarga jika berkunjung. Meskipun mendapatkan tatapan memuja sekaligus rasa penasaran dari orang-orang, dengan temperamennya yang cuek, pasti sedikit orang saja yang mendapatkan atensinya.
Pria dengan setelah kardigan yang dibuatkan oleh penggagas fesyen ternama, dipadukan dengan celana bahan hitam yang harganya tidak tanggung-tanggung mampu menafkahi tiga keluarga sederhana selama sebulan, melekat sempurna pada tubuhnya yang tinggi-atletis dengan bahu lebar yang kata orang pelukable.
Dia cenderung menghindari basa-basi yang memuakkan, dengan headphone berwarna serupa dengan manik mata hitam legam, menutupi kupingnya dan tampang yang terkesan dingin dengan raut datar yang mampu memesona meskipun irit dalam menunjukkan ekspresi.
“Oh, kamu datang ke sini? Jarang-jarang sekali.” Akalanka menyambut kehadirannya.
Usai salam ala kadarnya yang rata-rata dibalas dengan deheman saja, dia menghampiri pria paruh baya dengan setelan jas rapi, duduk pada singgasana kekuasaannya. Senyuman yang berhasil mencetak kerutan pada bawah kelopak mata menunjukkan usianya yang memang tidak semuda dulu, tetapi memiliki tubuh bugar jika dilihat dari total usianya.
“Kamu selalu membanggakan seperti Kaka, Al,” seru Zahair Bachtiar—pemilik Bachtiar Group—perusahaan yang bergerak di bidang finansial, media, ritel, gaya hidup, hiburan, dan sumber daya alam.
Akalanka yang dipanggil menggunakan nama masa kecilnya memprotes, “Pa, bukannya sudah kukatakan untuk tidak memanggilku dengan sebutan itu, memalukan.” Pandangan Akalanka jatuh pada Alister yang hanya mengulas sedikit senyum ketika mendapatkan pujian dari pria paruh baya yang mereka panggil “Papa”.
“Setidaknya katakan sesuatu, Bung!” Akalanka berbisik pada pria yang setahun lebih muda darinya. “Papa menantikannya, tuh,” katanya sambil menyikut perut pria yang sukar bertutur kata. Seakan-akan perkataan dari mulutnya akan mendatangkan emas jika dia sekali berbicara. Pria menyebalkan memang!
“Terima kasih, Pa.” Ungkapan tanpa ekspresi itu, sudah mampu membuat Zahair balas tersenyum. Bukan jenis senyuman penuh citra perusahaan untuk rekan bisnisnya, melainkan senyuman tulus khas seorang ayah yang bangga pada buah hatinya.
Saat Akalanka hendak protes karena sikap Alister, Zahair segera menghentikannya. “Ka, bagaimana tentang progresmu untuk mengikuti Olimpiade? Lancar atau ada yang perlu Papa bantu?” Peralihan percakapan yang dilakukan Zahair membuat pria tersebut tenggelam dalam percakapan dengan putra sulungnya.
Dalam ruangan yang luas jika hanya ditempati oleh satu orang saja, kini mendadak senyap dan suasana menyebalkan yang selalu Kyra hindari, akhirnya kembali terulang.
Alister memang duduk di samping sofa yang sama dengan Kyra, tetapi terlihat bahwa pria tersebut membangun dinding tak kasat mata yang selalu membatasi interaksinya. Walaupun mengetahui akhir dari percakapan yang dia yakini akan membuatnya jengkel, sebagai orang bergelar Bachtiar, Kyra mengalah untuk memulai menyapanya.
“Kak ...,”
Tidak ada sahutan apapun. Sepi. Alister bahkan sibuk memainkan gawai, padahal Kyra yakin kalau-kalau pria itu hanya buang-buang waktu dengan membaca situs-situs yang tidak bisa Kyra pahami.
“Kak Ali!” Kali ini Kyra sengaja meninggikan intonasinya. Bahkan Akalanka dan Zahair pun mampu mengalihkan atensi padanya.
“Kenapa, Ky?” tanya Akalanka. Dia melirik pada Alister yang tampak mengabaikan seruan dari adiknya.
“Heh, Al!”
“Apaan?” Alister menoleh paksa pada Akalanka yang bersikap seperti gunung hendak meletus saja.
“Dari tadi Kyra manggil, lo nggak denger, huh?”
Penggunaan lo-gue yang jarang digunakan Akalanka menunjukkan dua hal : marah atau gugup. Sudah jelas alasan dia kali ini karena apa, ‘kan?
Alister berdecap. Tanpa menoleh sedikit pun pada orang-orang yang berada satu ruangan dengannya, dia melangkah keluar ruangan. Kedua tangan Alister terkepal. Dia juga turut mengabaikan panggilan dari Akalanka yang menyerukan namanya. Hatinya sudah panas sekaligus terbakar, seperti ada yang menekan tengkuknya hingga terasa sesak.
Sial!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro