Chapter 9
[Name] mematut dirinya di depan cermin berkali-kali, memastikan tidak ada sesuatu yang aneh darinya. Namun entah kenapa sekarang dia merasa begitu... berlebihan?
"Apa seharusnya aku menggunakan rompi saja, ya?" Tanya gadis itu lebih pada dirinya sendiri.
Ini kencan pertamanya dengan Ajax. Secara harfiah, memang seperti itu. Ini adalah kencan resmi pertama mereka dan dia jadi tegang karena itu—tegang? Kenapa aku harus tegang?
Tartaglia selalu bahkan hampir setiap hari membawanya ke suatu tempat yang sejujurnya sangat ia nikmati, membuatnya seakan mereka sedang berkencan. Tapi kenapa ia harus merasa gugup sekarang? Bukankah akan sama seperti jalan-jalan sore dengan pemuda itu setiap mereka memutuskan untuk pulang sekolah bersama?
Membicarakan pulang sore bersama, Tartaglia selalu mengantarnya dengan aman dan menurunkannya setelah [Name] memastikan jaraknya cukup aman dari rumahnya. Jika ada yang berpikir Tartaglia terlalu takut untuk menurunkan [Name] sampai di depan rumahnya, itu salah; justru [Name] yang takut jika Tartaglia melakukan itu karena orang tua [Name] tidak mengizinkan gadis itu untuk berpacaran—ya, setidaknya untuk saat ini.
Dia tidak tahu pertanyaan macam apa yang akan diajukan orang tuanya jika mereka melihatnya kembali setelah diantar Tartaglia. Oleh karena itulah, sebisa mungkin [Name] menghindari Tartaglia bertemu dengan orang tuanya.
Untuk alasan ini juga [Name] menolak Tartaglia menjemputnya ke sekolah dan kencan hari ini. Lalu tiba-tiba [Name] menggeleng. "Tidak, seperti ini saja."
[Name] melangkah keluar dari kamarnya, merasa sedikit lebih tenang setelah memutuskan untuk tidak mengubah penampilannya lagi. Meskipun ada kegelisahan di sudut hatinya, dia tahu bahwa mengubah penampilannya berulang kali hanya akan membuatnya semakin gugup.
Jadi dia pun menuruni tangga rumahnya dengan hati-hati, dan tepat ketika ia sampai, gadis itu mendapati Ayahnya sudah duduk sambil di temani secangkir kopi dan televisi yang sedang menampilkan berita pagi ini di ruang keluarganya di sana.
Ibunya muncul dari dapur dengan sebuah senyuman hangat di wajahnya. "Kau ingin pergi, [Name]? Sudah rapi sekali."
[Name] tersenyum tipis. Setelah meletakan tas kecilnya di atas nakas, dia melenggang menuju dapur. "Iya, dengan teman-temanku yang biasa," jawabnya.
"Ah, begitu rupanya."
[Name] tertawa canggung dan menutupinya sambil menyibukan diri dengan mengambil piring di dalam rak untuk Ibunya. Dia berpikir—aku akan minta maaf pada Ayaka dan Yoimiya.
"Tolong berikan ini pada Ayahmu," seraya berkata demikian, Ibunya menyodorkan sepiring telur dadar kepada [Name].
[Name] mengambil piring telur dadar itu dengan hati-hati dan berjalan kembali ke ruang keluarga di mana ayahnya duduk. Saat dia meletakkan piring itu di meja di hadapan ayahnya, pria berusia akhir 40-an tahun itu bertanya usai meneguk kopinya, "kenapa kau sudah rapi sekali pagi ini?"
"Ah, hanya jalan-jalan dengan teman-teman," jawab [Name] sambil mencoba bersikap tenang.
Ayahnya mengangguk, terlihat tidak curiga. "Baiklah, jangan pulang terlalu malam."
"Kau akan pergi sekarang?" Tanya Ibunya setelah wanita itu ikut bergabung di meja makan. "Tidak ingin sarapan dulu?"
[Name] tersenyum kecil. "Tidak perlu, aku akan sarapan di jalan."
"Baiklah."
"Aku pergi dulu."
[Name] segera bergegas kembali ke pintu masuk, merasa lega karena tidak ada pertanyaan lebih lanjut. Setelah mengambil tasnya, dia melangkah keluar rumah dan menutup pintu dengan pelan di belakangnya.
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
Jika perhitungannya tepat, seharusnya [Name] sudah sampai di titik kumpul tepat di waktu ini. Namun yang Tartaglia temui bukanlah kekasihnya, melainkan orang yang hanya sekadar dikenalnya.
"Oh?"
"Ini kebetulan sekali, Tartaglia," sapa gadis itu ramah sambil tersenyum manis.
"Aku terkejut melihatmu dan—" manik Taetaglia bergulir, mendapati pemuda berambut sebiru langit yang berdiri di belakang gadis di depannya. "—Ketua OSIS dan Wakil Ketua OSIS di sini."
Ayaka tertawa kecil. "Aku dan Thoma yang merencanakan ini diam-diam untuk Kakak."
"Walaupun begitu, dia tetap curiga dengan yang kami rencanakan," sambung Thoma yang berdiri di samping Ayato.
Ayato tersenyum, lalu matanya bergulir ke arah Tartaglia dan bertanya, "tolong panggil aku Ayato seperti biasa, lagi pula ini bukan sekolah."
Tartaglia menggedikkan bahunya dan tersenyum miring. "Baiklah, Ayato."
"Jarang melihatmu di luar sekolah seperti ini," sembur Ayato lagi. "Menemani adik-adikmu bermain?"
"Tidak, tidak kali ini." Tartaglia menggeleng, dia tersenyum lebih dan menjawab, "aku pergi dengan—"
"Ajax, maaf aku terlambat." Dan seorang gadis muncul dihadapannya tiba-tiba. "Apa kau sudah... oh?"
Itu [Name]. Akhirnya dia datang.
"[Name] ...!"
"Ayaka!" Sapa [Name] ceria, dia menggenggam kedua tangan Ayaka dengan senang. "Aku tidak tahu kau akan datang. Kenapa tidak mengatakannya padaku?"
"Sebenarnya aku sempat ingin menawarkannya padamu tempo hari," jelasnya. "Tapi kau bilang kau ingin berkencan dengan Tartaglia di akhir pekan."
"Ah...." [Name] mengangguk, dia tersipu hingga rona merah di wajahnya bertambah. "Maaf, aku tidak menyadarinya."
"Tidak apa-apa." Ayaka terkekeh, dia menambahkan, "tapi kita bertemu di sini, jadi itu bukan masalah."
"Iya." [Name] tersenyum lebih dan mengangguk.
"Aku akan pergi dulu. Nikmati waktu kalian berdua."
Kemudian Ayaka dan dua pemuda di belakangnya pergi dari sana, memasuki pintu masuk taman hiburan sementara meninggalkan [Name] dengan Tartaglia di sana. Sepergian ketiga orang itu, [Name] mengalihkan eksistensinya ke arah Tartaglia yang masih berdiri mematung sambil menatapnya.
Menyadari kebisuan pemuda itu, [Name] memanggilnya, "Ajax?"
"Oh? Ah, maaf." Tartaglia menggeleng dan tersenyum canggung. "Ada apa?"
[Name] sedikit menyipitkan matanya. "Kenapa malah melamun?"
Tartagalia segera menggeleng, dia menarik dua sudut bibirnya lebih. "Tidak—maksudku, ya. Maafkan aku. Kau sangat cantik hari ini."
Tartaglia tersenyum lebar. Pujian yang ia berikan bukanlah sekadar basa basi, melainkan karena ia bersungguh-sungguh sekarang.
Satu-satunya waktu ia bisa bertemu dengan [Name] hanya ketika waktu mereka bersekolah. [Name] selalu menolaknya ketika Tartaglia mengundangnya pergi keluar pada akhir pekan sebelumnya dengan alasan tugas sekolah dan klubnya—dengan kata lain, Tartaglia tidak pernah melihat [Name] berpakaian selain mengenakan seragam sekolahnya.
Seragam yang biasa dikenakan gadis ini berganti menjadi kemeja kerah tinggi yang terlihat begitu elegan, berpadu sempurna dengan blazer yang pas di tubuhnya. Celana bahan yang dikenakannya selaras dengan kemejanya, membuat penampilannya semakin sempurna.
Namun, yang paling menarik perhatian Tartaglia adalah rambut [Name]—dan [Name] jelas punya alasan untuk selalu mengikat rambutnya dan Tartaglia bersyukur dengan itu. Biasanya, rambutnya selalu diikat saat mereka bertemu di sekolah, tapi hari ini dia dibiarkan tergerai dengan indah di punggungnya. Tidak sadarkah gadis ini kalau itu membuatnya terlihat sangat manis sekarang?
"Oh...." [Name] menundukkan kepalanya dengan canggung. "... terima kasih."
Dan sesungguhnya, Tartaglia sangat menyesal sekarang. Jadi dia mendekati [Name] dan berbisik, "seharusnya aku berpakaian lebih baik untukmu hari ini. Maafkan aku."
[Name] menelengkan kepalanya dengan bingung. "Apa ada masalah?"
"Tidak ada." Tartaglia menarik diri, dia menarik dua sudut bibirnya sedikit. "Hanya saja—aku yang mengajakmu untuk berkencan tetapi aku seperti tidak terlihat berusaha sedikit pun."
"Ah, begitu." [Name] mengangguk, mengalihkan pandangannya sejenak dan mendongak kembali. "Menurutku tidak begitu, tidak perlu dipikirkan. Aku lebih suka kau yang seperti ini."
"Ya?" Sesungguhnya, Tartaglia sangat terkejut sekarang hingga tidak sadar bahwa ia memasang ekspresi yang konyol. "... maksudmu ...?"
"Kau selalu terlihat menonjol, Ajax," kata [Name] seolah itu hal yang biasa. "Ingin terlihat seperti apa pun, kau akan tetap tampan. Jadi jangan kau pikirkan hal sepele seperti itu."
"...."
"Kalau begitu, ayo masuk." [Name] meninggalkannya yang masih membeku di sana.
Tartaglia mematung sejenak. Pujian yang tulus dari [Name] benar-benar membuatnya merasa istimewa. Dia memperhatikan [Name] yang mulai melangkah menuju pintu masuk taman hiburan dengan langkah ringan.
Pemuda itu menggeleng, menyentuh tengkuknya dan tertawa geli pada dirinya sendiri. "Betapa bodohnya diriku sekarang," katanya lebih kepada dirinya. Dia memutar tubuhnya dan berteriak, "tunggu aku, [Name]! Aku ikut!"
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
Tanpa [Name] duga, taman wisata siang itu begitu sesak dipenuhi penduduk kota. Kendati demikian, [Name] dan Tartaglia sangat menikmatinya.
Begitu memasuki area wisata, mereka lantas disambut berbagai macam wahana yang menawarkan permainan seru dan menantang, atau kedai yang menjual cinderamata khas tempat wisata itu termasuk makanan, aksesoris, bahkan boneka raksasa.
Dan Tartaglia—ya, dia sudah menghabiskan hampir setengah jam berkutat pada permainan memanah.
"Ajax, sudahlah. Kau tidak perlu memaksanya jika memang tidak bisa," ujar [Name] lelah setelah ia merasa bosan melihat Tartaglia terus bermain seorang diri.
"Tunggu!" Sergahnya. "Biarkan aku mencoba yang satu ini, aku yakin tidak akan meleset."
Setelah mengatakan itu dengan sangat percaya diri, Tartaglia tidak membuktikannya. Tembakannya tetap meleset dari sasarannya.
"Ah, aku tidak tahu lagi—!" Kemudian ia melempar anak panahnya dengan tangan kosong dan—jleb!—dengan ajaib, anak panah itu melesat dan mengenai tengah sasaran.
"!?"
"Lihat! Itu tepat mengenai sasarannya!"
"Ajax, ini bukan Darts! Oh, Arhon—!" Teriak [Name] frustasi. "Itu pelanggaran! Pelanggaran!"
Tartaglia mendesah dan mulai merajuk. "Padahal itu tetap kena sasarannya...."
Namun [Name] tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, sungguh. Tepat ketika Tartaglia melempar anak panahnya dan langsung mengenai sasaran, dia benar-benar terkejut hingga sempat tak bisa berkata apa-apa. Bukan hanya [Name], bahkan orang disekitarnya termasuk penjaga kios juga sama terkejutnya dengan gadis itu.
Tetapi, aturan tetaplah aturan. Walaupun Tartaglia mengenai sasarannya, ia tetap melanggarnya karena melempar anak panahnya bukan memanahnya dengan busur.
"Oh! Lihat dia ...!" Seorang gadis disekelilingnya berbisik. "Dia hebat sekali!"
"Tidak mungkin—!"
"Dia mengenai semua sasarannya!"
"Dan lagi...." Gadis lainnya terkekeh. "Dia sangat tampan. Apa aku bisa meminta nomor ponselnya, ya?"
Mendengar itu, [Name] yang merasa tertarik lantas mengikuti arah pandang para gadis dan kerumunan yang tak jauh di depannya. Di antara para pengunjung yang berdiri di depannya sekarang, sekilas [Name] bisa melihat seorang pemuda bertumbuh jangkung dengan rambut sebiru langit yang lembut di sana.
"Ayato...." [Name] bergumam.
Dilihat dari posturnya yang tegap sempurna, fokusnya yang lurus pada sasaran di depannya saat ini, Ayato benar-benar sedang mengunci target dihadapannya seolah ia tidak akan melepaskan mangsa di sana.
Setelah memastikan jarak dan kekuatan menembaknya, Ayato melepas anak panahnya dan—jleb!—panahnya menancap sempurna pada titik sasaran di sana. Semua orang secara refleks bersorak untuknya dan bersamaan dengan itu, manik violet berkilau pemuda itu bertemu dengan miliknya.
[Name] merasakan jantungnya berdegup lebih cepat saat pandangannya bertemu dengan Ayato, dan tanpa sadar membuat gadis itu mengalihkan perhatiannya dengan canggung dan kembali melihatnya sebelum Ayato memberikan senyuman tipis dan mengangguk sebagai salam.
"Sepertinya kita punya pesaing di sini," ujar Tartaglia dengan nada bercanda. "Aku tidak tahu kalau dia juga ahli dalam memanah."
"Ya, aku juga," jawab [Name] seolah ia secara refleks mengatakan hal itu.
"Kita bertemu lagi, [Name]," sapa Ayaka ketika gadis itu melihat dan datang menghampirinya.
[Name] tersenyum padanya. "Iya. Ngomong-ngomong, Kakakmu sangat hebat seperti biasa."
Ayaka terkekeh kecil, melirik ke arah Ayato yang kini sedang berbincang dengan beberapa pengunjung lain yang mengagumi kemampuannya. "Terima kasih. Kakak memang selalu ahli dalam hal-hal seperti ini," jawabnya dengan rendah hati.
"Mengingat Ayaka pernah mengalahkannya dalam kendo," sambung Thoma. "Aku yakin dia tidak akan mengakuinya."
"Tentu saja, itu pertarungan yang adil," Ayato tiba-tiba menyambung. Pemuda itu lantas melirik ke arah [Name] dan Tartaglia bergantian, sementara ia sudah memegang boneka kelinci berukuran besar di tangannya. "Kulihat tampaknya kalian juga sedang sibuk."
"Ah...." [Name] tersenyum kaku. "Iya."
"Hei, pasangan yang serasi di depanku ini," panggil pria penjaga kios tempat Tartaglia memainkan permainan memanahnya. "Silakan ambil hadiahnya."
[Name] segera menoleh bersamaan dengan Tartaglia, lantas memberikan ekspresi bingung. "Bukankah kami tidak bisa mendapatkan hadiahnya?"
"Itu jika kekasihmu tidak mengenai sasarannya." Penjaga kios itu tertawa geli. "Caranya melempar anak panah cukup menghibur, anggap saja ini hadiah karena sudah membuatku tertawa. Silakan terima ini."
"Ah, terima kasih banyak." Sambil mengatakan itu, [Name] menarik kedua sudut bibirnya naik dan menerima dua gantungan ponsel yang diberikan pria itu.
[Name] meniliknya di atas telapak tangan. Itu bukan gantungan biasa, melainkan dibuat sepasang. Berbentuk dua ekor rubah yang saling melengkapi posisinya layaknya Yin dan Yang ditambah liontin kecil di ujungnya.
Kemudian tiba-tiba Tartaglia meraih salah satunya dan memasangkan itu di ponselnya. Begitu selesai, ia segera menunjukannya pada [Name] dan berkata, "bagaimana menurutmu?"
[Name] tersenyum tipis. "Bagus."
"Berikan milikmu," pinta Tartaglia. "Aku akan memasangkannya untukmu."
"Tidak perlu, aku bisa—"
"Tidak apa-apa, berikan saja."
Dan Tartaglia segera mengambil ponsel [Name] usai pemuda itu mendesaknya, memasangkan gantungan lainnya tepat di sana dengan sempurna. "Terima kasih, Ajax," ucapnya lembut.
Tartaglia tersenyum puas. "Sama-sama. Sekarang kita punya barang lain yang serasi."
Ayato yang melihat interaksi mereka dari dekat, tersenyum tipis dan berkomentar, "kalian berdua terlihat sangat cocok."
"...." Pada detik itu, ada perasaan tidak nyaman kala mendengar Ayato berkata demikian dan tubuhnya menegang karena itu. Namun pada akhirnya, [Name] tetap tersenyum dan menjawab, "ah... terima kasih, Ayato."
"Aku tahu itu." Seraya berkata demikian, Tartaglia tiba-tiba melingkarkan tangannya di bahu [Name] dan menatap Ayato. "Kita tidak akan pernah tahu apa kita akan cocok kalau belum menjalaninya, bukan?"
"?!" [Name] segera mendongak, menyadari kini Tartaglia bahkan tidak melihatnya sama sekali.
"...." [Name] menggulirkan bola matanya dan sekilas ia menyadari senyum Ayato yang menghilang sesaat. Dia lalu membalas, "kau benar."
Kemudian suasana berubah canggung.
"Ngomong-ngomong, apa yang akan kalian lakukan setelah ini?" Tanya Ayaka berusaha mencairkan sekelilingnya saat ini. "Masih ingin berkeliling atau istirahat?"
"Aku mungkin... akan istirahat sebentar untuk membeli camilan."
"Kupikir kita juga harus istirahat dulu," sambung Thoma. "Sudah hampir melewati jam makan siang, tidak baik menundanya terus."
"Kalau begitu, bagaimana jika kita pergi bersama?" Usul Ayaka. "Apa tidak masalah?"
"...."
Sesungguhnya [Name] merasa sangat tidak nyaman sekarang. Entah kenapa, dia merasa harus segera membawa Tartaglia pergi dari sini mengingat sikapnya yang terasa ganjil sekarang. Terlebih cara ia merangkulnya sedikit membuatnya tidak nyaman. Tangannya terasa kaku dan kasar, entah apa Tartaglia menyadarinya atau tidak tapi ia yakin dengan itu.
Tetapi sebelum memutuskan itu, [Name] mendongak untuk melihat ke arah Tartaglia. Namun tiba-tiba Tartaglia tersenyum dan menjawab, "tentu saja, kenapa tidak?"
"Sudah diputuskan."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro