Chapter 5
Setelah berkonsultasi kepada teman-temannya dan sekali lagi mereka mengejeknya bahwa dia sangat bodoh, Tartaglia mengakuinya.
Oh, dia sangat menyayangi keluarganya terutama ketiga adik terkecilnya khususnya Teucer. Dia tidak akan segan untuk menceritakan apa pun tentang mereka dan apa saja yang sering ia lakukan demi mereka: menemani mereka untuk bermain, mengantar mereka berbelanja, membawakan makanan, bahkan mentraktir mereka. Semuanya. Itu bukan hal yang aneh karena Tartaglia memang suka membicarakan mereka dan semua temannya sudah tahu hal itu.
Namun ketika dia menceritakan hal itu kepada [Name], dan melihat reaksi gadis itu justru membuatnya cemas. Jadi dia mengonsultasikan masalah ini kepada teman-temannya. Menceritakan semuanya tanpa terkecuali kepada mereka. Namun tiba-tiba Diluc dengan wajah datarnya berkata, "kau bodoh, ya?"
"Memang bodoh," Kaeya menceletuk.
"Tidak diragukan lagi." Wriothesley juga, sementara Itto hanya mengedikkan bahunya.
"Kenapa lagi!?" Tartaglia berseru frustasi.
Ada yang bilang kalau punya teman yang satu frekuensi akan terasa menyenangkan, tapi kenapa kawan-kawannya terasa sangat menyebalkan? Mereka adalah orang-orang garda terdepan yang akan mengejeknya lebih dulu!
Betul, ini kedua kalinya dia menceritakan keresahannya sejak ia memutuskan untuk berkencan dengan [Name]. Tapi lagi-lagi teman-temannya mengatakan hal yang sama seperti sebelumnya dan sungguh itu sangat menjengkelkan hingga ia berpikir—mungkin aku harus berhenti menceritakan hal ini pada mereka.
Namun dia mengurungkan niatnya. Saat ini yang paling dibutuhkannya adalah perspektif orang lain. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang salah dari niatnya untuk mempertemukan [Name] dengan adik-adiknya, dia sudah biasa melakukan hal itu jadi bagian mana yang aneh?
Dia menyukai [Name] dan dia adalah gadis yang baik, jadi bukankah tidak masalah jika Tartaglia mengenalkan gadis itu lebih cepat kepada adik-adiknya? [Name] juga terlihat tidak seperti tidak bisa menghadapi anak-anak, atau—apa aku tidak terlalu menunjukan ketertarikanku padanya?
Seolah tahu apa yang sedang dipikirkannya, Kaeya menyebur, "kau belum lama berpacaran dengannya."
Wriothesley mengangguk lalu menjawab setelah mengambil bola basket di kakinya. "Dan kau sedang memacarinya bukan akan menikahinya," katanya.
"Tidak heran kalau reaksinya seperti orang yang merasa terbebani," sambung Diluc. "Ternyata kau benar-benar bodoh, ya."
"Apa yang kau anggap biasa, belum tentu biasa untuknya," kata Kaeya lagi sambil menyampirkan handuk kecil di bahunya. "Beri dia waktu dan ruang untuk menyesuaikan diri, Tartaglia. Kalian baru saja memulai ini."
"Dan jika kau ingin dia mengenal keluargamu," lanjut Wriothesley. "Lakukanlah perlahan. Tunggu saat yang tepat untuk melakukannya."
Tartaglia tersenyum tipis. "Kupikir kalian hanya kawan yang menyebalkan, ternyata berguna juga."
Itto dengan cepat menggoda, "Bro, siapa bilang kami tidak berguna?"
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
"Ada apa, Ajax?" tanya [Name]. "Apa ada sesuatu yang aneh dariku?"
Tartaglia menatap mata [Name]—warna [eye color] yang terang dan dalam, lebih berkilau dari miliknya—dan diluar dugaan, ia melihat kilasan sikap yang tenang daripada biasanya padahal sebelumnya [Name] selalu bersikap waspada padanya.
"Aku telah berpikir kalau mungkin aku terlalu terburu-buru denganmu, aku minta maaf," jawabnya.
"Baiklah," ucap [Name], intonasinya terdengar hampir seperti bertanya-tanya. Dia melanjutkan, "dan aku terkejut mendengarmu berkata demikian."
"Karena aku menyukaimu, kau tahu," kata Tartaglia tegas hingga kini ia menjadi sorotan di tengah Kantin.
Mata [Name] melebar. Biasanya Tartaglia tidak bersikap segamblan ini mengingat dia selalu begitu terbuka pada orang lain, tetapi ia tidak ingin [Name] merasa terbebani dan ragu apa dia tertarik padanya atau tidak. Dia hanya ingin memperjelasnya.
Bagaimana pun [Name] sudah menjadi kekasihnya, dia sudah memutuskan itu sejak ia menerimanya. Wajar kalau [Name] merasa ragu dengan perasaannya padahal mereka tidak pernah berbicara sama sekali sebelum ini, jadi dia ingin memastikan kalau [Name] mengetahuinya.
"Sebenarnya aku masih penasaran," ucap [Name] hati-hati. "Tentang apa yang telah kulakukan hingga kau menerima pernyataanku."
"Tidak ada," aku Tartaglia. "Tetapi, kurasa memang karena suratmu dan perhatian itu sepadan."
"Maksudmu ketertarikan?"
Tartaglia terkekeh. Kepekaan [Name] agak memikatnya. "Ya, kau benar."
"Dengan kata lain, kau tidak menyukaiku tetapi kau tertarik padaku?"
"Tetapi kau memang memiliki daya tarik," gumam Tartaglia dengan berani, dan kini seluruh pasang mata mengarah lagi padanya.
Pipi [Name] merona, dan Tartaglia menyadari bahwa ketika [Name] merona, warna merah itu segera memenuhi seluruh wajahnya. Dia berdeham dengan canggung dan berkata, "kau tahu bukan itu yang sedang coba untuk kukatakan."
"Aku menyukaimu," ucap Tartaglia lagi, lebih tegas. "Jika bukan saat hari aku menerimamu, maka itu pada minggu sebelumnya setelah kau memberiku surat itu."
Mata [Name] sarat akan kebingungan, dan dia menggeleng-geleng pelan sebelum kembali mencoba fokus pada bekal di depannya. Ah, dia sudah menduga reaksi ini. Pasti rasanya sulit untuk percaya. Tartaglia mungkin akan melakukan hal yang sama jika saja dia memiliki seseorang yang begitu disukainya sebelumnya. Mengetahui orang yang disukai memiliki perasaan yang sama dengannya justru membuat dia meragukan dirinya sendiri.
"Kau tahu bukan kalau perasaan seperti itu sering muncul tiba-tiba?" ujar Tartaglia santai, seakan ia sudah biasa mengatakan hal seperti itu kepada banyak gadis.
"Kau hampir tidak mengenalku cukup baik sebelum aku memberimu surat itu."
Dan untuk banyak alasan, Tartaglia sangat benci ketika [Name] mengungkit hal itu. Dia tidak bisa mengelak karena itu memang benar, dia baru mengenal [Name] setelah gadis ini memberinya surat cinta itu, dan mungkin dia tidak akan pernah tahu kalau [Name] hidup jika gadis itu tidak memberinya surat.
Namun sejak surat itu tiba di tangannya, Tartaglia merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu tentang [Name] yang menarik perhatiannya. Mungkin itu cara [Name] tertawa, atau cara matanya berbinar saat membicarakan hal yang disukainya, atau mungkin hanya kehadirannya yang terasa hangat dan menyenangkan. Hal-hal kecil itulah yang membuat Tartaglia mulai memikirkan [Name] lebih sering dari yang diharapkannya.
Lalu pergi berkencan dengannya bukan hal yang buruk, itu menyenangkan. Tartaglia menyukainya. Gadis itu selalu mendengarkannya berbicara ketika dia mengatakan semua dan segalanya. Terutama ekspresinya, tidak tahukah [Name] kalau ekspresinya itu begitu menyegarkan?
"Aku tahu," Tartaglia mengakui dengan lembut. "Oleh karena itu, aku ingin lebih mengenalmu. Mungkin kau pikir kalau aku terlambat melakukannya, tetapi aku ingin tetap melakukannya. Dan aku tidak bisa berhenti memikirkannya."
[Name] tertawa, seakan kata-katanya terdengar menggelikan. "Aku merasa kau seperti sudah sering mengatakan hal itu."
"Ya, kepada adik-adikku. Mereka akan marah jika aku tidak mengatakan hal itu."
"Oh!" [Name] mengerlingkan bola matanya, bahunya terlihat lebih santai daripada sebelumnya dan dia tersenyum. "Aku ikut prihatin. Tiba-tiba aku merasa mereka akan mulai merajuk karena memperebutkan perhatian Kakak laki-lakinya."
Tartaglia tertawa kecil, mengangguk. "Ya, terutama Teucer. Dia selalu menuntut perhatian penuh dan kata-kata manis. Dia tidak bisa tidur kalau aku tidak mengucapkan selamat malam dengan baik."
"Aku bisa membayangkannya." [Name] tersenyum kecil.
"Lalu ada Tonia, adik perempuanku tersayang dan Tuan Putri di keluarga kami." Tartaglia tersenyum lebar, membayangkan permainan Ksatria dan Tuan Putri yang sering dimainkannya dengan si bungu ketiga. "Dia selalu ingin aku menjadi Ksatrianya."
"Tentu saja, kau sangat berharga untuknya."
"Dan sekarang, aku ingin mencoba menjadi seseorang yang berharga untukmu juga," jawab Tartaglia, tatapannya melunak.
Kata-kata itu membuat [Name] terdiam sejenak, mencerna makna di balik pernyataan Tartaglia. Dia pernah menekankan hal seperti ini sebelumnya, berkata bahwa ia menerimanya bukan karena perasaan tidak enak dan ia yakin seharusnya [Name] sadar apa maksudnya. Namun ia tetap mengatakannya lagi.
Tidak, sejak awal memang ada sesuatu dari [Name]. Tentang janji untuk memberitahu gadis ini ketika ia menyukai orang lain, dia benar-benar tidak bisa membaca tujuannya. Benarkah itu karena [Name] takut jika dirinya dilukai? Apa ini seperti mekanisme pertahanan dirinya? Atau... ada hal lain tentang itu?
"Aku serius," jawab Tartaglia mendesaknya. "Bisa kau percaya padaku sekarang, [Name]?"
Dan pada detik itu Tartaglia sadar kalau pertanyaannya begitu ambigu, seolah diantara mereka tidak ada apa pun dan "sepasang kekasih" hanyalah status belaka.
[Name] menatapnya dengan mata yang masih penuh dengan keraguan, tapi ada kilatan harapan yang mulai memancar di sana. Dan setelah keheningan yang panjang, [Name] akhirnya berkata, "aku mempercayaimu."
Mendengar kata-kata itu, Tartaglia merasakan gelombang kelegaan mengalir melalui dirinya. Jawaban [Name] mungkin singkat, tetapi sangat bermakna untuknya dan untuk berbagai alasan yang tidak dapat ia jelaskan, dia merasa begitu bahagia.
"Bagaimana kalau kita pergi ke tempat favoritku akhir pekan ini?" usul Tartaglia, mencoba meringankan suasana. "Ada tempat memancing yang ingin kudatangi."
Namun [Name] hanya tersenyum penuh makna, dan saat Tartaglia mengharapkan jawaban bagus dari gadis itu, dia menjawab, "aku menolaknya."
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
Pada momen itu, Tartaglia mulai merajuk.
Jika ada yang mengira Tartaglia akan memaksanya dan mungkin menculiknya pada akhir pekan, sayang sekali karena dugaan mereka meleset. Dia justru melakukan tindakan yang sangat konyol untuk alasan yang konyol.
Tartaglia terus mengirimnya pesan teks, dari permohonan hingga rayuan manis. Dia bahkan mencegalnya saat melihat [Name] pergi melewati kelasnya, berusaha meyakinkannya untuk mengubah rencana akhir pekannya. Bahkan, ketika [Name] datang ke kelasnya untuk bertemu dengan gurunya, Tartaglia tidak segan-segan berteriak, "Kau tidak bisa meninggalkanku begitu saja, [Name]!"
Pada detik itu, [Name] sangat ingin memukul belakang kepala atau menendang punggung pemuda itu. Sungguh. Namun yang bisa [Name] lakukan hanya berusaha menahan senyuman kaku di wajahnya meski ujung alisnya berkedut kesal mendengar rengekan pria itu.
"Kau... tidak berniat menyerah, ya?" tanya [Name] pasrah setelah ia berusaha mengabaikan Tartaglia yang terus memandanginya selagi dia mencoba fokus pada lukisan di depannya. Oh, sungguh. Dia bahkan mengganggunya saat [Name] sedang di tengah kegiatan klubnya sekarang.
"Ya," jawab Tartaglia tanpa ragu sedikit pun, senyum lebar terukir di wajahnya.
[Name] menghela napas panjang. Energinya benar-benar terkuras habis selama beberapa hari ini dan dia sangat lelah sekarang. Dia menatap Tartaglia yang masih menatapnya dengan penuh harap dan sedikit rasa bersalah mulai menyelinap ke dalam hatinya.
[Name] menggeleng. "Tidak, tidak bisa."
"Kenapa?" tanya Tartaglia setengah berteriak. "Aku janji tidak akan mengganggu rencanamu pada hari Sabtu, hanya hari Minggu. Bagaimana?"
Justru aku paling tidak ingin diganggu pada hari Minggu, pikir [Name] lelah. Rasanya seperti semua energinya telah diperas hingga tetes terakhir, dan dia hanya ingin istirahat tanpa gangguan.
"Sebenarnya apa yang ingin kau lakukan pada akhir pekan?" tanya pemuda itu akhirnya.
"Oh? Apa kau lupa, Tartaglia?" sambung Yoimiya yang sibuk merakit sesuatu di atas mejanya. "Ada pertemuan komite untuk Festival Tahunan Sekolah, dan [Name] perwakilan dari kelas kami dengan Ayaka."
Saat mendengar itu, Tartaglia menoleh ke arah [Name] yang hanya dibalas dengan senyuman penuh maknanya dan dia kembali melanjutkan lukisannya.
"Maaf, aku tidak tahu," gumam Tartaglia rendah, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri hingga Yoimiya mungkin tidak mendengarnya.
"Bukan salahmu."
Dan [Name] menyadari itu. Dia tidak mengatakan apa alasannya dan menolak Tartaglia. Mungkin karena dia merasa tidak seharusnya pemuda ini mengetahui apa pun yang dilakukannya—Ya, bagaimana pun ini pengalaman pertamanya menjalin kasih dengan seseorang dan dia tidak punya petunjuk tentang apa yang biasanya para pasangan lakukan.
Jika [Name] ingat lagi, orang yang selalu menghubungi lebih dulu adalah Tartaglia. Dia selalu mengirimkannya pesan apa pun tentang apa yang dilakukannya dengan adik-adiknya, masakan apa yang dibuatnya hari itu, atau rencananya. Dan [Name] hanya menanggapinya seperti biasa.
Sekarang [Name] merasa semakin buruk setelah memikirkan itu. Saat ia menoleh untuk melihat ekspresi Tartaglia, pemuda itu menjadi lebih tenang selagi dia memainkan rambut [hair color] [Name], entah apa yang dilakukannya dan gadis itu tidak berniat mengganggu pemuda berambut ginger itu.
Ini lebih baik daripada terus mendengarnya merajuk, pikirnya.
Lalu setelah beberapa saat, [Name] berhenti dan memandangi lukisannya dalam diam.
"Aku seperti pernah melihatnya," celetuk Tartaglia.
"Imitasi karya Gustav Klimt yang berjudul 'The Kiss'," sambung Albedo yang muncul dari arah sampingnya. "Tapi sepertinya kau tidak membuat lukisan prianya sedang mencium si wanita."
"Iya, karena mereka sedang berdansa," jawab [Name].
Tentu saja [Name] tidak mungkin membuat lukisan erotika seperti itu untuk pamerannya nanti, jadi dia mengimitasinya dan membuat kedua model sedang berdansa bukan bercinta seperti milik Gustav Klimt. Selain itu—
"Ini belum selesai, bukan?" Tanya Albedo lagi.
[Name] terdiam sejenak, masih menatap lukisannya. "Iya. Begitulah."
"Jangan paksakan dirimu, [Name]," tutur Albedo perhatian. "Dan jangan terlalu tegang, kau pasti bisa menyelesaikannya."
"Terima kasih, Albedo."
Kemudian Albedo pergi dari sana. Albedo benar, dia terlalu tegang. Wajar saja, kehidupan masa SMA-nya yang tenang dan damai berakhir hanya karena satu kesalahannya. Tidak mungkin ia bisa tidak merasa tegang setelah semua yang terjadi, belum lagi pikiran kalau mungkin Tartaglia akan mengetahuinya dan marah padanya terus menghantuinya. Ia mendesah.
"Ada apa?" Tanya Tartaglia yang berdiri di belakangnya dan menunduk untuk melihat ke arahnya sambil memegang kedua bahunya yang kecil.
"Tidak ada apa-apa," jawab [Name] sambil mendongak.
"Kau mendesah."
"...." [Name] terdiam sejenak, dia menjawab, "kupikir aku butuh suasana baru."
"Kalau begitu, bersantailah. Aku biasa melakukan itu."
Benar, bersantai. [Name] jelas membutuhkan itu saat ini. Dia butuh suasana baru untuk meringankan pikirannya, apa pun selain tentang masalah komite dan pamerannya. Tapi ia tidak yakin kemana dirinya harus pergi untuk bersantai mengingat Ayaka dan Yoimiya juga sibuk sepertinya, terutama Ayaka.
"Ajax," pangil [Name] akhirnya, suaranya terdengar rendah.
"Ya?"
"Bagaimana kalau minggu depan?" Tanya [Name] memastikan, Tartaglia terdiam dengan bola matanya yang sedikit melebar. "Aku tidak bisa kalau kau tetap ingin pergi akhir pekan ini, tapi akan kuusahakan pada pekan depan. Tidak apa-apa?"
"Ah, boleh! Tentu saja, pekan depan. Kau sudah janji, mengerti?"
"Aku bilang—" [Name] mendesah. "Sudahlah. Intinya aku sudah mengatakannya padamu."
"Aku tahu."
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
Halo Reader Mikajeh dan para buciners Ajax Childut Tartaglia a.k.a Tatang 🥹🫶🏻 apa kabar semuanya? Semoga baik-baik aja, ya!
BTW—ehek!—sebelum ada yang bertanya, "bagian serunya pas chapter berapa, Thor??" Sebenernya di chapter 7 dah seru, tp menurutku pribadi di chapter 11 awokawoka 🤣 di awal-awal emang lagi manis-manisnya gitu ye, 'kan 😌 baru nanti setelahnya berliku-liku dikit, draft yang kubikin juga udah masuk plot ending jd aman ya—jd aku mw berenti nulis work ini dlu dan lanjutkan work yg sebelah ehe—dan kurleb selesainya mungkin Februari 2025… atau lebih lama, krn ada extra chapter soalnya wkwkwk 😂 itu aja dari Mikajeh, sampai jumpa di chapter selanjutnya~ see ya!
Xoxo,
Mikajeh
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro