Chapter 49
"Ajax? Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau masih ada tugas pelayanan di kelasmu?" Tanyanya, tidak dapat menyembunyikan sedikit kebingungannya.
Tartaglia hanya mengangkat bahu, ekspresi cerianya tidak berubah. "Tugas? Oh, itu selesai kemarin. Aku bekerja keras sampai hari terakhir ini, dan sekarang aku bebas! Jadi, aku pikir ini saat yang tepat untuk menebus kencan yang gagal tempo hari. Apa kau ingin pergi bersamaku?"
Tanyaannya begitu lugas dan langsung, seperti selalu. Tidak ada keraguan dalam suaranya. Senyum di wajahnya semakin melebar, memberi kesan bahwa ia benar-benar menantikan hari itu—hari terakhir festival yang sangat berarti baginya.
[Name] masih bingung, meskipun ada sedikit senyum yang mulai terbit di sudut bibirnya. "Kau yakin? Apa adikmu tidak datang hari ini? Adikmu kan pasti ingin sekali menghabiskan waktu bersamamu."
Tartaglia terkekeh. "Oh, jangan khawatir tentang itu. Mereka sudah puas kemarin. Lagipula, aku bisa meluangkan waktu untukmu sekarang. Jadi, apa jawabmu?"
[Name] merasakan sesuatu yang aneh di dalam dadanya—entah kegembiraan atau kelegaan. Pekerjaan panitia festival yang selama ini menyita waktunya sudah selesai, dan ini kesempatan langka untuk menghabiskan waktu bersama Tartaglia, meskipun perasaannya masih bercampur aduk. Namun, melihat senyum tulus di wajah pemuda itu, dia merasa bahwa ini adalah keputusan yang tepat.
"Baiklah, aku akan ikut," jawabnya akhirnya, sedikit ragu namun dengan senyuman yang mulai terlihat lembut.
"Oh! Tidak kusangka kau akan langsung menjawabnya," kata Tartaglia, lalu dia tertawa kecil. "Aku benar-benar minta maaf soal itu. Kali ini, aku pastikan tidak ada gangguan dari siapa pun."
Dengan sebuah anggukan dari [Name], mereka berdua akhirnya keluar dari kelas. Keramaian festival di luar sudah semakin terasa—panggung musik yang menyala dengan warna-warni, anak-anak berlarian, dan aroma manis makanan yang memenuhi udara. Suara riuh rendah memenuhi suasana, namun di antara kebisingan itu, kedua remaja itu berjalan berdampingan, tak terburu-buru, seakan menikmati setiap detik yang mereka lewati bersama.
Tartaglia mendekat sedikit, suara tertawanya yang khas memenuhi udara. "Sebenarnya, aku sudah membuat beberapa rencana untuk kita berdua hari ini."
"Rencana?"
"Kau akan segera melihatnya."
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
Suasana festival semakin riuh dengan suara tepuk tangan dan sorakan yang bergema dari panggung utama. Pemenang lomba berbagai kegiatan mulai diumumkan satu per satu, dan di antara keramaian itu, Tartaglia berjalan di samping [Name], matanya berbinar penuh semangat. Mereka menuju ke arah tribun penonton untuk menonton pengumuman pemenang lomba, suasana hangat dan ceria mengelilingi mereka. Di udara, aroma popcorn dan makanan ringan yang laris manis menambah suasana festival yang kental dengan keceriaan.
"Oh, benar. Kelasmu memenangkan juara pertama untuk basket antar pria, bukan?"
Tartaglia menoleh ke [Name] dengan senyum lebar yang selalu menyertainya. "Ya, kau benar," ucapnya dengan nada bangga, matanya yang cerah berbinar, seperti seseorang yang baru saja meraih kemenangan besar. "Itu memang pertandingan yang sengit, tapi kami berhasil memenangkannya."
"Maaf karena tidak menonton pertandingannya sampai akhir, Ajax," kata [Name] dengan agak menyesal.
"Jangan dipikirkan," sambil bilang begitu, Tartaglia menarik tangan [Name] untuk digenggamnya. "Justru aku yang seharusnya berterima kasih padamu."
[Name] menoleh dengan ekspresi bingung. "Berterima kasih untuk apa?"
Tartaglia kemudian mendekatkan wajahnya ke arah [Name], matanya sedikit menyipit dengan senyuman nakal yang tak terhindarkan. Dia berbisik, "apa aku harus menunjukkannya agar kau ingat dengan yang kau berikan saat itu?"
[Name] terdiam sejenak, otaknya mencerna kata-kata Tartaglia. Wajahnya yang semula tenang langsung memerah, menahan napasnya yang tiba-tiba terasa lebih berat. Kenangan itu muncul dalam benaknya begitu jelas—sebuah ciuman singkat yang diberikan secara spontan di tengah keramaian saat dia memberikan semangat kepada Tartaglia. Ciuman itu seharusnya hanya sebuah gestur kecil, sebuah dorongan bagi pemuda itu yang sedang berjuang keras. Tetapi entah kenapa, sekarang, kenangan itu terasa berbeda, terlalu nyata, dan lebih membingungkan dari yang ia duga.
"S-Sudah, jangan...." [Name] tergagap, berusaha mengalihkan pembicaraan dengan cepat. Wajahnya semakin memerah, dan dia segera menyiku perut Tartaglia dengan lembut, seolah meminta agar dia tidak melanjutkan kata-katanya. "Jangan ungkit itu di sini! Bagaimana jika ada yang mendengarnya ...!?"
Tartaglia hanya tertawa kecil, sebuah tawa khasnya yang selalu berhasil membuat suasana lebih ringan, namun ada sorot di matanya yang tak bisa disembunyikan—sorot yang mengandung kebahagiaan, serta sedikit keingintahuan.
"Ah, baiklah, baiklah," jawabnya dengan nada yang menggoda, tetapi senyum yang menari di bibirnya menunjukkan bahwa dia tahu [Name] merasa canggung. "Tapi aku tetap ingin berterima kasih padamu."
Mata [Name] menatap ke bawah, mencoba menghindari tatapan penuh arti Tartaglia. Hatinya berdegup cepat, tapi dia berusaha keras untuk tetap tenang, tidak membiarkan perasaan itu menguasainya. "Kau yang meminta itu."
"Ya, dan kau memberikannya meski bukan itu maksudku."
"Jangan buat aku menyesal karena sudah melakukannya, Ajax."
Tartaglia hanya tersenyum lebih lebar mendengar ucapan [Name]. Ia mengangkat kedua tangannya seolah menyerah, tetapi nada canda dalam suaranya tak bisa disembunyikan. "Baiklah, baiklah, aku mengerti," ujarnya dengan kedipan kecil, membuat rona di wajah [Name] semakin dalam.
Sebelum [Name] sempat menanggapi, suara pembawa acara dari atas panggung utama menarik perhatian mereka. "Selamat kepada kelas 3-A atas kemenangan mereka dalam pertandingan basket antar pria! Tim yang luar biasa ini telah menunjukkan kekompakan, strategi, dan semangat juang yang luar biasa!"
Sorakan menggema di sekitar mereka. Tartaglia menepuk dadanya dengan bangga, lalu menoleh ke [Name] sambil menampilkan senyum andalannya. "Lihat? Aku sudah bilang, kami yang terbaik."
[Name] hanya mendesah sambil tersenyum tipis. "Iya, iya, kau hebat, Ajax," ucapnya dengan nada datar, meski matanya yang mencuri pandang ke arahnya menunjukkan rasa bangga yang tak bisa disembunyikan.
Namun, momen itu tak bertahan lama. Ponsel Tartaglia bergetar di sakunya, dan dia merogohnya dengan sedikit enggan. Ketika dia melihat nama yang tertera di layar, ekspresinya berubah sedikit serius. "Wriothesley? Apa lagi yang dia inginkan sekarang?" gumamnya, setengah pada dirinya sendiri.
Dia mengangkat panggilan itu. "Halo? Hei, aku sedang sibuk sekarang, bisakah kita bicara nanti?" katanya dengan nada yang masih terdengar santai. Tapi suara dari ujung sana membuat senyum Tartaglia sedikit pudar. Ekspresinya berubah menjadi waspada.
"Ini tentang [Name]," kata Wriothesley di ujung telepon, nada suaranya tegas dan mendesak.
Tartaglia langsung menegakkan tubuhnya, matanya melirik ke arah [Name] yang kini melihatnya dengan tatapan bingung. "Apa maksudmu? Apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya sedikit lebih rendah dan serius dari sebelumnya.
Wriothesley menjawab cepat, namun kata-katanya sulit terdengar oleh [Name] yang hanya menangkap potongan-potongan kecil percakapan itu. Tartaglia menutup telepon dengan helaan napas panjang, lalu menoleh ke arah [Name].
"Maaf, sepertinya aku harus pergi sebentar," katanya, nadanya penuh penyesalan. "Wriothesley memintaku untuk menemuinya. Katanya ini penting, dan entah bagaimana, ini ada hubungannya denganmu."
[Name] mengerutkan kening. "Dengan... aku? Apa maksudnya?" tanyanya, tetapi Tartaglia mengangkat tangannya pelan, seolah meminta maaf.
"Aku juga tidak tahu. Tapi aku akan mencari tahu. Kau tetap di sini, oke? Aku tidak akan lama."
Namun, saat Tartaglia mulai melangkah pergi, dia berhenti sejenak dan menoleh kembali. Matanya yang cerah kini sedikit lebih serius, tapi masih ada kehangatan di sana. "Sebenarnya, aku ingin kau ikut. Tapi jika kau merasa lebih nyaman menunggu, aku juga tidak akan memaksamu."
[Name] menggigit bibirnya, ada rasa ingin tahu yang besar di hatinya. Namun, keraguan membayangi pikirannya, dan dia hanya menggeleng perlahan. "Aku akan menunggu di sini. Pergilah, aku akan baik-baik saja."
Tartaglia menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil dan mengangguk. "Baiklah. Jangan pergi terlalu jauh, ya. Aku akan kembali secepat mungkin."
Dan dengan itu, dia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan [Name] yang berdiri di tengah keramaian festival, hatinya berdebar-debar dengan berbagai pertanyaan yang mulai menghantui pikirannya. Apa sebenarnya yang sedang terjadi?
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
Tartaglia berjalan dengan langkah cepat menuju lokasi tempat Wriothesley menunggunya. Suasana di sekitar agak jauh dari hiruk-pikuk festival, lebih sepi namun tetap dihiasi lampu-lampu dekorasi yang menggantung rendah, menciptakan bayangan panjang di aspal. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, pikirannya berkecamuk dengan kekhawatiran. Jika ini memang benar ada hubungannya dengan [Name], dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Sesampainya di lokasi, Wriothesley sudah berdiri bersandar pada tembok, lengan terlipat di dada. Wajahnya terlihat tenang, tapi ada ketegangan di matanya yang mengindikasikan bahwa apa pun yang akan dibicarakannya adalah hal serius. Begitu Tartaglia mendekat, Wriothesley berdiri tegak dan langsung memulai pembicaraan.
"Aku tidak akan bertele-tele. Aku mendengar sesuatu dari Faylene," kata Wriothesley tanpa basa-basi. Suaranya datar, nyaris dingin.
Mendengar nama itu saja sudah cukup untuk membuat Tartaglia menyipitkan mata. "Faylene? Apa hubungannya dengan ini?" tanyanya, alisnya berkerut, ekspresinya menunjukkan ketidaksenangan yang mulai muncul.
Wriothesley menghela napas panjang sebelum menjawab, "Dia berniat untuk menyabotase backdrop panggung utama. Rencananya adalah menayangkan sebuah video saat acara puncak nanti."
Tartaglia menyipitkan mata lebih dalam, rahangnya mengeras. "Video apa?"
"Sebuah rekaman dari beberapa waktu lalu. Aku yakin kau tahu apa yang kumaksud." Wriothesley berhenti sejenak, melihat reaksi Tartaglia yang kini tampak lebih serius. "Aku sudah mencoba berbicara dengannya. Dia bilang, jika aku ingin dia membatalkan rencana itu, aku harus membawamu menemuinya."
"Bawa aku padanya. Aku akan menyelesaikan ini."
Faylene menunggu mereka di salah satu ruangan kecil di belakang area festival, tempat yang cukup jauh dari keramaian. Ketika Tartaglia masuk, dia langsung menyambutnya dengan senyuman manis yang penuh kepura-puraan. Dengan gerakan yang dibuat-buat, dia menyisir rambutnya ke belakang, lalu berjalan mendekat dengan langkah lembut, seperti seorang aktris di panggung drama.
"Ah, Tartaglia," ucapnya dengan nada manja, matanya berbinar seperti seseorang yang baru saja bertemu dengan tokoh idolanya. "Aku tahu kau akan datang. Aku yakin kau tidak akan meninggalkan sesuatu yang berharga begitu saja."
Tartaglia hanya berdiri tegak, tubuhnya sedikit condong ke depan, menandakan ketidaksabarannya. Matanya menusuk Faylene dengan tatapan tajam. "Berhenti bertele-tele, Faylene. Apa yang sebenarnya kau rencanakan?"
Faylene tersenyum kecil, lalu dengan tenang meraih ponsel dari sakunya. Dia membuka sebuah folder video dan memutar sebuah klip singkat. Tartaglia tidak butuh waktu lama untuk mengenalinya—itu adalah rekaman dari kejadian beberapa waktu lalu saat Tartaglia menyelamatkan gadis itu dengan Ayato, tetapi kini mengancam untuk disebarluaskan ke seluruh sekolah.
Tartaglia mengepalkan tangannya, giginya berderit menahan amarah. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya, suaranya rendah namun penuh ancaman.
Faylene mengangkat bahu seolah tidak peduli, tetapi senyum nakalnya menunjukkan bahwa dia menikmati situasi ini. "Kau, Ajax," jawabnya ringan, matanya menatap lurus milik Tartaglia dengan kilatan berbahaya. "Aku menginginkanmu. Jika kau menjadi milikku, aku akan menghapus video ini. Tapi jika tidak...."
Tartaglia menahan napas sejenak, rahangnya mengeras. Hatinya berkecamuk, antara amarah terhadap Faylene dan ketakutan akan dampak jika video itu tersebar. Dia tahu betapa pentingnya harga diri [Name], dan dia tidak akan membiarkan gadis itu menjadi sasaran penghinaan publik.
Dia menatap Faylene dengan dingin, matanya seperti bara api yang menyala-nyala. "Jika itu yang kau inginkan, kau harus tahu satu hal," katanya perlahan, suaranya sedingin es. "Aku tidak pernah tunduk pada ancaman, dan aku tidak akan pernah menjadi milikmu."
Faylene memberikan ekspresi sedih yang dibuat-buat sebelum akhirnya tertawa. "Ah, lucu sekali. Kau bahkan menngatakan hal yang persis sama seperti [Name]."
"...."
"Kalian berdua tidak memberiku pilihan...."
Faylene mendekati monitor di dekatnya, jemarinya yang ramping bergerak di atas layar ponsel untuk memutar video tersebut. Namun sebelum dia sempat menyentuh tombol "play," Tartaglia dengan cepat menangkap pergelangan tangannya. Sentuhannya tidak kasar, tapi cukup kuat untuk menghentikan gerakannya.
"Faylene," suara Tartaglia terdengar rendah, lebih lembut daripada ancaman, namun penuh dengan sesuatu yang berbeda—ketegasan bercampur rasa iba. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi ini bukan kau yang aku kenal dulu."
Faylene tertegun sesaat. Bibirnya sedikit terbuka, ingin membalas, namun terhenti oleh tatapan Tartaglia yang begitu tulus. Matanya menatap dalam, seakan mencoba menemukan sosok yang ia yakini masih ada di sana. "Faylene yang aku kenal," lanjutnya, "bukan seseorang yang akan melakukan ini. Dia gadis yang cerdas, kadang menyebalkan, dan tak jarang keras kepala—tapi dia selalu punya alasan untuk apa yang dia lakukan. Dia berani melawan arus kalau itu berarti melakukan sesuatu yang benar."
"Diam," gumam Faylene, meskipun ada getaran dalam suaranya. "Kau tidak tahu apa yang aku rasakan, Ajax. Kau tidak pernah tahu."
"Aku tahu cukup banyak," jawab Tartaglia, menunduk sedikit agar wajah mereka sejajar. "Dan aku tahu kau lebih baik dari ini. Aku tahu kau cukup kuat untuk mengatasi semua ini tanpa harus menghancurkan orang lain."
Faylene menunduk, tangannya yang masih digenggam Tartaglia mulai bergetar. "...."
"Bukankah ketiga teman yang selalu bersamamu kini sudah menjauh?" Tanya Tartaglia mencoba menekannya, membuatnya mendengarkan. "Ini bukanlah dirimu. Kau bukan orang yang sejahat ini."
"Lalu kenapa...." katanya pelan, hampir terdengar seperti gumaman. "Kenapa kau hanya peduli pada [Name]? Kenapa kau tidak pernah melihatku ...!?"
"Karena dia melihatku, Faylene," ujarnya dengan suara rendah. "Dia melihatku dengan cara bagaimana kau ingin aku melihatmu."
Faylene akhirnya jatuh terduduk, bahunya terguncang oleh tangis yang mulai pecah. Tangannya terkulai di samping tubuhnya, dan ponselnya terlepas, meluncur ke lantai dengan bunyi pelan. Tartaglia berlutut di depannya, mengambil ponsel itu dengan hati-hati.
Dia menatap Faylene dengan tatapan lembut namun penuh permohonan. "Biarkan aku menghapus ini," katanya, suaranya nyaris seperti bisikan. "Mari kita akhiri di sini, Faylene. Kau tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun, termasuk aku."
Butuh beberapa detik, tetapi akhirnya Faylene mengangguk kecil. Air matanya mengalir tanpa henti, dan dia tidak mencoba untuk menghentikannya. Tartaglia menghapus video itu tanpa ragu, memastikan semua salinan yang ada di ponsel itu lenyap sepenuhnya.
Ketika dia selesai, dia menaruh ponsel itu di samping Faylene dan meletakkan tangannya di bahunya dengan lembut. "Aku minta maaf karena tidak bisa membalas perasaanmu," katanya jujur. "Aku mencintai [Name], dia kekasihku."
Faylene tidak menjawab, hanya menangis dalam diam.
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
Keramaian festival tetap meriah, tetapi suasana hati [Name] perlahan berubah menjadi gelisah. Dia menatap ke arah jalan di mana Tartaglia tadi menghilang, pikirannya dipenuhi berbagai spekulasi. Apa hal yang bisa begitu mendesak hingga Tartaglia harus pergi meninggalkannya di tengah-tengah kencan mereka?
"Haruskah aku menyusulnya?" Gumam [Name] pelan, matanya masih terpaku ke arah yang sama. Namun, sebelum ia benar-benar memutuskan, sosok Tartaglia muncul kembali, berjalan dengan santai seolah tak ada yang terjadi. Rambutnya sedikit berantakan, dan dia mengusap tengkuknya sambil tersenyum hangat.
"Maaf sudah membuatmu menunggu," katanya begitu ia cukup dekat, nada suaranya terdengar ceria seperti biasanya. Dia langsung mengambil tempat duduk di samping [Name].
[Name] menghela napas lega, tetapi ia tak bisa sepenuhnya menutupi rasa khawatirnya. "Apa urusannya sudah selesai?"
Tartaglia mengangguk sambil mengambil tempat kosong di samping [Name]. "Sudah," jawabnya ringan. Sorot matanya sedikit terlihat berbeda dari biasanya, membuat [Name] merasa ada sesuatu yang disembunyikan.
Tiba-tiba, Tartaglia menyandarkan kepalanya di atas kepala [Name]. Gerakan itu begitu santai dan natural, tetapi cukup membuat [Name] tersentak kecil. Wajahnya langsung memerah, dan dia segera berbisik dengan agak panik, "Apa yang kau lakukan? Kau tahu kalau semua orang bisa melihatnya, 'kan?"
Namun Tartaglia hanya tertawa pelan, suaranya terdengar seperti gumaman yang lembut. "Biarkan saja mereka melihatnya," katanya dengan santai, matanya terpejam sejenak. "Aku ingin istirahat sebentar. Hari ini cukup melelahkan."
[Name] mencoba menjauhkan kepalanya, tetapi gerakan Tartaglia terlalu santai dan berat untuk dilawan. Akhirnya dia menyerah, tetapi tetap melirik sekitar dengan canggung, memastikan tidak ada yang memperhatikan mereka.
"Kau benar-benar keras kepala," katanya setengah mendengus, tetapi dia tidak benar-benar marah. Dalam keheningan yang nyaman itu, [Name] akhirnya memberanikan diri bertanya. "Apa... ada sesuatu yang terjadi?"
Tartaglia membuka matanya perlahan. Dia tersenyum tipis, senyuman yang memiliki campuran rasa lega dan sedikit lelah. "Ya, ada sesuatu," akunya jujur. "Tapi aku sudah menyelesaikannya. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan lagi."
[Name] mengernyit, tidak sepenuhnya yakin dengan jawaban itu. Namun, ada sesuatu dalam suara Tartaglia—kehangatan dan ketulusan yang membuatnya tidak ingin mendesaknya lebih jauh. Dia hanya mengangguk pelan. "Baiklah. Tapi kalau ada apa-apa, kau harus memberitahuku, ya?"
Tartaglia mengangkat kepalanya, lalu menatap [Name] dengan senyuman yang kali ini terasa lebih cerah. "Tentu," katanya sambil mengacak-acak rambut [Name] dengan lembut, membuat gadis itu memprotes pelan. "Kau benar-benar perhatian, ya. Itu membuatku semakin menyukaimu."
Wajah [Name] kembali merona. Dia memalingkan wajahnya dengan cepat, tetapi senyum kecil tetap tersungging di bibirnya. "Jangan mengatakan hal seperti itu di sini sekarang," gumamnya pelan.
Tartaglia hanya tertawa lagi, dan suara tawanya membawa kehangatan yang entah bagaimana menghapus semua keraguan di hati [Name]. Meskipun dia tahu Tartaglia mungkin tidak sepenuhnya jujur, dia memilih untuk percaya. Untuk malam ini, itu sudah cukup.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro