Chapter 47
Wriothesley menuntun [Name] ke meja yang sudah disiapkan. Ketika ia menarik kursi untuk gadis itu, dia tersenyum dengan senyuman yang penuh pesona sebelum berkata, "Silakan duduk. Hari ini, kau akan menikmati layanan yang terbaik dari kami."
Meski merasa canggung dengan perhatian yang berlebihan dari Wriothesley, [Name] tersenyum kecil dan duduk dengan sopan. "Terima kasih."
Sementara Wriothesley mulai menjelaskan menu istimewa yang disediakan kafe yang dibuka di kelasnya, [Name] sesekali mencuri pandang ke arah Tartaglia yang kini sedang sibuk melayani tamu lain. Sesungguhnya, dia cukup tertegun saat melakukannya. Ini pertama kalinya bagi [Name] memperhatikan pemuda itu seperti ini, bagaimana pun baginya Tartaglia selalu jujur bahkan dengan apa yang dirasakannya—baik tentang hal yang tak disukainya dan dibencinya—dengan gamblang; dan melihatnya seperti ini rasanya berbeda dari pemuda yang senang menebar pesona sambil tersenyum lebar dan tertawa ramah kepada semua gadis yang ditemuinya.
"Dia selalu seperti itu," kata Wriothesley memecah lamunannya.
"Maaf?" [Name] menoleh ke arah Wriothesley yang mengambil duduk pada kursi di depannya. "Apa maksudmu?"
"Kau terlihat seperti baru pertama kali melihatnya seperti itu," jelas Wriothesley, dia menyilangkan kedua tangannya di dada dan bersandar pada kursi di belakangnya. "Ya, wajar saja. Dia memang tipikal orang yang mudah disalahpahami. Aku yakin kau pasti tahu itu."
"Ah, iya." [Name] mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali.
[Name] tidak akan mengatakan kalau dirinya sangat memahaminya, tetapi dia memang memahaminya. Walaupun Tartaglia jujur dengan apa yang dirasakannya, dan sering kali ia mengucapkannya begitu saja, sulit untuknya membedakan apa yang dirasakannya berarti hal yang positif atau negatif. Itu sepertinya dirinya yang merajuk karena [Name] tidak membalas pesannya atau ketika [Name] menolak rencana berkencannya. Pada awalnya Tartaglia akan terlihat marah dan kecewa padanya, tapi detik berikutnya dia akan bersikap biasa seolah itu bukan apa-apa. Bahkan ketika [Name] meminta maaf untuk itu, Tartaglia hanya akan menyunggingkan senyumannya sambil berkata, "itu bukan masalah" atau "jangan dipikirkan".
Sejujurnya, sedikit banyak hal itu membuat [Name] berpikir, apa Ajax sungguh merasa tidak masalah dengan itu?
"Apa aku boleh bertanya satu hal padamu?"
Nada suara Wriothesley terdengar berbeda daripada sebelumnya. Tidak ringan atau pun terdengar acuh padanya. Intonasinya terdengar serius, selaras dengan bagaimana pemuda itu menatapnya sekarang.
"Tentu," jawab [Name] singkat.
"apakah kau benar-benar menyukai Tartaglia?"
Pertanyaan itu menghentikan detak jantung [Name] sejenak. Dia terdiam, bibirnya sedikit terbuka tetapi tak ada kata yang keluar. Mengapa Wriothesley tiba-tiba bertanya seperti itu? Apakah selama ini perasaannya begitu transparan hingga orang lain bisa melihatnya dengan jelas? Lebih dari itu, kenapa ia sekarang sulit untuk menjawabnya?
Terakhir ketika Lumine menanyakan hal yang serupa, [Name] sempat berpikir untuk menjawabnya dengan jujur tentang rahasia kecil yang disimpannya dalam hubungannya, tetapi saat Wriothesley yang bertanya kepadanya... kenapa rasanya begitu sulit? Dia sudah tahu jawabannya, tetapi entah kenapa hatinya ingin menyangkalnya—atau, mungkinkah dia hanya tidak ingin mengakuinya?
"Aku hanya penasaran," lanjutnya, suaranya tenang. "Kalian berdua terlihat dekat, dan aku melihat bagaimana Tartaglia memandangmu. Tapi... apa yang kau rasakan terhadapnya?"
[Name] meremas ujung gaunnya di bawah meja, mencoba menenangkan pikirannya. Apakah dia benar-benar menyukai Tartaglia? Tentu, dia memikirkan Tartaglia lebih sering dari yang diinginkannya. Kekhawatiran tentang pemuda itu selalu muncul, entah saat Tartaglia terlambat membalas pesannya atau ketika dia terlalu sibuk dengan hal-hal lain. Dan perasaan itu... dia merasa cemas ketika Tartaglia tidak ada di sekitarnya.
Namun, apakah itu karena ia menyukainya? Bukankah itu hanya perasaan bertanggungjawabnya karena sudah menipunya selama hampir setengah tahun ini?
"Aku sering mendengarnya mengeluh tentang Ayato Kamisato," kata Wriothesley menambahkan, bahu [Name] tiba-tiba menegang kala nama pemuda itu muncul sekarang. "Apa kau tahu kalau Ayato sering memperhatikanmu?"
Tidak, tentu saja tidak. Bahkan saat Tartaglia yang terlihat ketakutan saat membawanya pergi begitu pemuda itu melihatnya sedang bersama Ayato tempo hari, [Name] tidak pernah mengetahuinya. Dia tidak pernah menyadarinya.
"Tidak, aku tidak tahu," aku [Name]. "Tapi mungkin kau salah paham, dia melakukan itu hanya karena aku adalah teman dekat adiknya. Dia hanya sedang menilaiku apa aku cukup baik untuk adiknya atau tidak."
[Name] akui kalau kata-katanya terdengar sarkastik, tapi itulah yang terjadi. Ayato sudah mengatakannya, bukan? [Name] adalah teman Ayaka, tidak lebih. Pemuda itu melakukan semua itu semata karena dia khawatir dengan lingkaran pertemanan adiknya yang ia sayangi.
Mendengar hal itu, Wriothesley mendengus dan tersenyum miring ke arahnya. "Benar, mungkin aku hanya salah paham. Maafkan aku."
"Syukurlah kalau kau mengerti."
"Sebagai permintaan maafku." Sambil berkata begitu, Wriothesley menyodorkan menu kudapan manis kepada [Name] dan menunjuk sederet makanan di sana. "Kau bebas memilih salah satu makanan penutup di sini, aku yang akan traktir."
[Name] terkejut sesaat dengan tawaran Wriothesley yang mendadak itu. Melihat deretan menu yang dia tunjuk, jelas saja, menu itu bukanlah sesuatu yang dia bisa pilih tanpa berpikir dua kali. Sebuah menu penutup yang harganya bisa langsung menguras uang saku hariannya saat itu juga. Namun, Wriothesley hanya menatapnya dengan senyum tipis yang entah bagaimana, seperti menyembunyikan sesuatu di balik tawaran tersebut.
"Uh... tidak perlu," [Name] berkata, merasa canggung. "Aku bisa membayar makananku sendiri."
Wriothesley hanya tertawa kecil. "Aku yang menawarkan, jadi kau tidak perlu khawatir. Anggap saja ini sebagai bentuk maafku atas pertanyaanku tadi."
"Tidak perlu," balas [Name] tegas, tidak berniat memberikan celah kepada Wriothesley. "Tolong Blueberry Mousse dan Rosehip Tea-nya satu."
Wriothesley tertegun, dia terkekeh pelan dan berdiri dari kursinya, menunduk kepada [Name] dan berkata, "saya mengerti, Nona."
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
[Name] duduk di mejanya, mencoba menikmati Blueberry Mousse yang terlihat sempurna dan secangkir Rosehip Tea yang harum. Tapi entah mengapa, rasanya tidak seperti yang ia bayangkan. Setiap sendok mousse yang ia ambil terasa hambar di lidah, dan tehnya, yang seharusnya memberikan sensasi menenangkan, justru membuatnya semakin resah.
Tatapannya terus terpaku pada Tartaglia yang sedang sibuk melayani tamu lain. Dia tersenyum hangat, dengan gerakan yang elegan, mempersilakan seorang gadis untuk duduk, membungkuk sedikit saat menyajikan minuman, bahkan sesekali melemparkan candaan ringan yang membuat para tamunya tertawa kecil. Gadis-gadis itu tersipu malu, beberapa bahkan berani melemparkan pandangan menggoda ke arahnya lalu memegang tangannya. Tartaglia tampak ramah dan sopan, tapi justru itulah yang mengganggu pikiran [Name].
[Name] terus menatapnya, tidak menyadari betapa tajam tatapannya. Ada sesuatu yang menusuk di dalam dirinya setiap kali Tartaglia melayani orang lain, terutama para gadis itu. Ia tahu, seharusnya ini bukan hal yang besar. Lagipula, Tartaglia hanya menjalankan tugasnya sebagai pelayan kafe, dan senyum serta keramahan itu adalah bagian dari pekerjaannya. Tapi tetap saja, melihatnya bersikap begitu santun kepada orang lain membuat perasaan tidak nyaman muncul di dadanya, meremas perutnya.
Dia menyesap tehnya pelan-pelan, mencoba untuk menenangkan diri. Namun, semakin ia melihat Tartaglia tersenyum kepada gadis lain, semakin perasaan itu mengganggunya. Bibirnya mengerut tanpa sadar.
Bukankah kau bilang ke sini untuk melayaniku? Tapi apa yang dilakukannya sekarang? Lalu—ctak!—dia mengiris bagian kecil dari hidangan penutup yang lembut itu dengan kasar. Dasar menyebalkan ...!
Sejak awal, suasana hatinya memang sudah memburuk dan sekarang bertambah buruk karena pikiran tentang Tartaglia yang sedang menggoda para gadis itu tidak sekadar hanya ada di benaknya saja, tapi benar-benar terjadi dihadapannya.
Dan sekarang pemuda itu tengah mengulurkan sebelah tangannya kepada seorang gadis, sementara yang sebelahnya lagi tepat di dada, dia menundukkan kepalanya dan tersenyum lembut. "Silakan nikmati hidangannya, Nona," katanya.
Gadis itu tersipu, dengan kaku membalas, "te-terima kasih ...!"
Di tengah lamunannya, Wriothesley kembali dengan senyuman tipis di wajahnya. "Bagaimana rasanya?" tanyanya, menyadari tatapan [Name] yang tampak jauh.
"Oh, ini... enak," jawab [Name], meski ia tahu kata-katanya terdengar datar dan tanpa emosi.
Wriothesley mengangkat alis, seakan tahu apa yang terjadi. "Kau yakin?"
[Name] tersentak sedikit mendengar pertanyaan Wriothesley. Ia mencoba meneguk tehnya sekali lagi, berharap perasaannya tenang. Namun, sensasi di mulutnya tetap sama—mousse itu tidak lebih dari sekadar makanan manis, dan teh yang seharusnya membawa kedamaian malah terasa hambar.
"Ya," jawabnya cepat, meskipun nada suaranya tetap datar. "Enak."
Wriothesley menatapnya, senyum tipis masih menghiasi wajahnya, tapi tatapan matanya seolah mencoba membaca lebih dalam apa yang sedang dipikirkan gadis itu. "Kau terlalu sibuk memikirkan sesuatu yang lain, mungkin?" katanya sambil melirik sekilas ke arah Tartaglia, yang kini sedang berbicara dengan sekelompok gadis lain di sudut ruangan.
[Name] terdiam sejenak, hatinya mendadak berdegup lebih kencang. Apakah Wriothesley tahu? Atau... apakah perasaannya benar-benar sejelas itu terlihat dari luar?
"Tidak," jawabnya cepat, sedikit defensif. "Aku hanya... tidak begitu lapar saja."
Wriothesley mendesis dan tersenyum miring. "Tidak begitu lapar, ya...." katanya sambil melirik sekilas ke arah Tartaglia, yang kini sedang berbicara dengan sekelompok gadis lain di sudut ruangan.
"Bagaimana kalau mencoba cup cake yang istimewa ini, Nona—ah, maaf...." Sambil berkata demikian, pemilik suara berat itu menyodorkan nampan yang penuh cup cake di atasnya dari arah belakang. [Name] mendongak untuk melihat pemuda berambut sebiru langit malam itu. "Nyonya muda."
"Kau sudah datang, Kaeya," sapa Wriothesley sambil menarik satu kursi di depan [Name], satu kakinya naik ke dengkul kakinya yang lain dan bertopang dagu.
"Tentu saja." Kaeya tertawa ramah, lalu dengan gamblang berkata, "kudengar ada pria bodoh yang meninggalkan seorang nona cantik di sini, jadi aku datang lebih awal untuk menemani dirinya yang kesepian."
Wriothesley tertawa. "Begitu, ya."
"Percakapan kalian terdengar menarik." Suara pria lain yang ikut bergabung ke dalam percakapan tak lain adalah Tartaglia, meski dia tersenyum tetapi [Name] bisa melihat dahinya yang berkerut samar. Saat Tartaglia menoleh ke arah [Name], dia menyunggingkan senyuman lebar. "Maaf karena sudah membuat Anda menunggu, Nona. Saya sudah menyiapkan Macaron dan Madeline sebagai hidangan penutup untuk Anda."
Alis [Name] terangkat sebelah. "Tapi aku tidak memesannya."
"Ini pesanan pribadi atas nama Ajax."
"Ah...." [Name] ber-sweatdrop-ria dan tersenyum kaku. Aneh rasanya mendengar Tartaglia menyebut namanya seperti itu, terutama ketika ia tersenyum begitu lebar kepadanya. "... terima kasih banyak, tapi aku—"
"Maaf, tapi Tuan Ajax tidak menerima penolakan dari Anda, Nona."
Perempatan di dahi [Name] muncul, dengan kata lain dia ingin memaksa [Name] untuk menerimanya. Lantas tanpa menunggu [Name] mengatakan sesuatu kepada pemuda itu, Tartaglia meletakan wadah tingkat yang penuh kue itu di atas mejanya.
Tartaglia kemudian beralih ke arah Wriothesley yang duduk di sebrang [Name]. "Dan kau," cetusnya, dia menatap pemuda itu tajam. "Bisa kau menyingkir dari kursiku sekarang?"
Wriothesley terkekeh dan tersenyum, jelas mengerti arah percakapan Tartaglia saat ini dan menjawab, "aku masih belum selesai melayani Nona [Name] dan kau tahu aturannya, 'kan? Aku yakin kau tak akan keberatan menungguku sebentar lagi."
Tartaglia menyipitkan matanya, ekspresi di wajahnya berubah serius dan kini perempatan di dahinya muncul. "Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku dan seharusnya akulah yang melayani dia, bukan kau," katanya dengan intonasi setengah bercanda tetapi cukup tegas untuk membuat atmosfer di antara mereka menjadi sedikit lebih tegang.
Wriothesley tertawa ringan, dia masih duduk di kursi yang sama sambil bersandar pada kursinya. Pemuda itu menyilangkan tangannya di dada dan melirik ke arah [Name] yang kini tampak bingung sekaligus canggung. "Apa ini? Sekarang kau bersikap seperti kekasihnya setelah meninggalkannya seperti itu," katanya.
"Aku memang kekasihnya," semburnya. Dia menunjuk Wriothesley dengan kesal dan berkata, "dan kuperingatkan padamu, aku tidak meninggalkannya. Jadi pergilah dari tempatku sekarang, Wriothesley."
Wriothesley akhirnya berdiri, mengangkat tangan tanda menyerah. "Baiklah, baiklah. Aku pergi sekarang," katanya, dia masih tertawa kecil menanggapi betapa seriusnya Tartaglia sekarang. Kaeya yang sejak tadi menyimak percakapan mereka mendengus dan tersenyum miring.
"Sepertinya ini sudah waktunya kami meninggalkan kalian berdua," kata Kaeya dengan senyum setengah mengejek. "Selamat menikmati waktu kalian, Tuan dan Nyonya."
Setelah keduanya pergi meninggalkan keduanya dalam kesunyian, Tartaglia menarik napas panjang dan duduk di kursi yang sebelumnya digunakan Wriothesley. "Maaf aku lama," katanya dengan agak canggung, kendati demikian ia tetap tersenyum kepadanya. "Bagaimana makanan di sini? Apa sesuai dengan seleramu?"
"Iya, enak."
"... apa kau ingin minum sesuatu? Aku akan—"
"Tidak perlu. Aku sudah kenyang."
"Setelah ini, apa kau—"
"Tidak kemana pun."
"...."
Jika ada yang menceletuk saat ini [Name] bersikap sangat menyebalkan, memang ia sedang melakukannya. Sengaja atau tidak, [Name] tidak tahu. Dia tidak yakin. Hanya saja dia merasa sangat buruk sejak tadi bahkan hampir kehilangan nafsu makannya. Dongkol juga? Tentu saja.
Tidak tahukah Tartaglia kalau melihat pemuda itu sekarang rasanya [Name] seperti ingin mencakar-cakar wajahnya?
"Hei," Tartaglia mencondongkan wajahnya sedikit, mencoba mengundang perhatian [Name] yang terus memandang ke arah lain. "Apa kau masih marah karena yang tadi?"
[Name] tidak menjawab, hanya mendengus pelan sambil memainkan sendok di tangannya. Rasa kesal yang menggelagak dalam dirinya semakin sulit untuk diabaikan. Bukannya ia sengaja dan bermaksud untuk marah, tapi sulit untuk menahan perasaan itu setelah menyadari ada beberapa gadis di sana yang secara sengaja menggoda bahkan menyentuh Tartaglia sambil melirik ke arah [Name], mengenali dirinya dalam balutan riasan yang tebal ini. Mereka tahu dalam situasi ini Tartaglia tidak akan bisa menolaknya karena sudah aturan di dalam kafenya, karena itulah mereka melakukannya.
Pada awalnya dia merasa biasa saja, tidak terlalu terpengaruh provokasi para gadis yang bersikap manja pada Tartaglia, dia bahkan bisa mengabaikannya. Namun kali ini—sekarang—entah kenapa itu begitu mengganggunya.
Ajax bukanlah milik mereka, seharusnya mereka tidak sembarangan bermanja seperti itu hanya karena ada kesempatan. Apa mereka pura-pura tidak sadar kalau Ajax itu—[Name] tertegun, segera menyadari sesuatu di sana—Ajax adalah kekasihku....
"[Name]?" panggil Tartaglia, [Name] mendongak dan melihatnya menatapnya lurus dengan kedua alisnya yang naik karena cemas.
[Name] mendesah pelan, merasakan wajahnya mulai memanas. "Maaf karena aku bersikap sangat menyebalkan sekarang," akunya. "Aku tidak bermaksud untuk melakukannya, hanya saja...."
[Name] menutup mulutnya kembali. Kala itulah Tartaglia bangun dari kursinya, lalu sambil menyampirkan mantel yang ia ambil dari coat rack berkata, "tidak apa-apa. Aku justru senang karena kau marah sekarang."
"...."
Gadis itu mendongak, netranya mendapati Tartaglia tersenyum padanya begitu lembut. Tanpa sadar dia mengeratkan mantel yang dikenakan pada bahunya lebih menempel padanya. Pada saat itulah ia sadar kalau Tartaglia mungkin menyadari ketidaknyamanan [Name] lantaran sejak tadi ada beberapa orang yang mulai memperhatikan dirinya, terutama karena pandangan itu datangnya dari para pria di sekitarnya.
"Ngomong-ngomong, apa kau tahu kalau sikap cemburumu sangat menggemaskan sekarang?" sembur Tartaglia sambil tersenyum lebar.
"A-aku tidak cemburu ...!" jawab [Name] cepat. Suaranya yang sedikit gemetar mengkhianati perasaannya.
Tartaglia terkekeh, senyum jahil muncul di wajahnya ketika ia sudah kembali duduk. "Oh, ayolah. Kau jelas cemburu. Aku bisa merasakan tatapanmu sejak tadi dan sekarang."
"Tapi aku tidak cemburu!" [Name] membalas lebih tegas.
"Kau cemburu."
"Sudah kubilang, aku tidak cemburu!" Potongan kecil dari mousse yang ada di tangan [Name] hampir terpental ketika dia menekankan kata-kata itu. Namun begitu, melihat Tartaglia yang masih tersenyum, dia mendesah lelah. "Kau menyebalkan."
"Dan kau manis saat marah."
"...."
"[Name]?"
"... diamlah, kau menyebalkan ...!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro