Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 42

"Baiklah, tiba-tiba aku terpikirkan sesuatu yang bisa kuminta darimu."

"Katakan."

"Aku ingin kesepakatan yang lain."

"... apa maksudmu?" Alis [Name] mengernyit, segera menyadari situasinya akan semakin sulit.

"Aku akan tetap memberikanmu videonya secara gratis," jawabnya, dia tersenyum lebar seolah itu bukanlah apa-apa. "Tapi aku ingin membuat kesepakatan yang lain denganmu."

"...."

"Aku tidak akan menyebarkan videonya," ucapnya. Dia menyilangkan kakinya dan melanjutkan, "sebagai gantinya, kau harus mengakhiri hubunganmu dengan Ajax."

Awalnya [Name] mengira ia akan bereaksi seperti biasa ketika mendengar permintaan Faylene padanya lantaran dia sudah menduga hal seperti ini sebelumnya, tapi nyatanya tidak seperti itu. Tubuhnya tiba-tiba saja menegang, seakan ia tidak siap mendengar hal itu.

Permintaannya sederhana, tepat sasaran, bahkan seharusnya memudahkannya membuat keputusan. Sejak awal, [Name] memang tahu bahwa hubungannya dengan Tartaglia tidak pernah benar-benar berlandaskan perasaan yang tulus dari hatinya. Itu semua hanya salah paham, ketergesa-gesaan, dan dorongan dari keadaan yang tidak seharusnya terjadi. Tapi, kenapa ketika permintaan itu akhirnya terucap dari mulut Faylene, ketika ia memiliki alasan untuk mengakhirinya, tubuhnya justru menegang? Kenapa ada rasa sakit yang muncul seolah permintaan itu memotong lebih dalam dari yang seharusnya?

Bukankah ini memang yang ia inginkan selama ini? Bukankah dia sendiri yang selalu merasa bersalah setiap kali bersama Tartaglia, merasakan beban berat berpura-pura menyukai pemuda itu? Ini adalah kesempatan untuk menghentikan segalanya, untuk bebas dari hubungan yang ia anggap sebagai kesalahan besar dalam hidupnya.

Namun, semakin dia berusaha meyakinkan dirinya, semakin jelas keraguan itu tumbuh di hatinya. Bayangan wajah Tartaglia muncul di benaknya—senyumnya, cara dia memandang dengan penuh perhatian, suara tawa ringan yang selalu muncul saat mereka bersama. Tartaglia bukan orang yang buruk, bahkan dia adalah salah satu dari sedikit orang yang benar-benar peduli padanya sampai di titik dimana dia meminta izinnya hanya untuk menciumnya.

Tapi cinta... itu adalah hal yang berbeda.

Benar begitu, bukan?

Sesungguhnya dia tidak merasakan apa pun saat ini, 'kan?

Namun, suara hatinya seakan menentangnya. Apa benar itu yang ia rasakan? Apa benar dia tidak pernah memiliki perasaan sedikit pun untuk Tartaglia? Atau mungkin, selama ini ia hanya terlalu takut untuk mengakuinya? Mungkin kelelahan yang dirasakannya bukan karena berpura-pura mencintai pemuda itu, tapi justru karena menahan perasaan yang sesungguhnya.

"Bagaimana? Apa kau sudah memutuskannya?" Kata Faylene ketika mereka bertemu kembali, dia tersenyum miring. "Aku sudah sangat murah hati padamu, lho."

[Name] mendesis, murah hati? Ya, dia sangat murah hati dan itu jelas tawaran yang seharusnya muda untuk ia terima. Tapi bahkan setelah beberapa hari meminta pertimbangan, setelah kasusnya bahkan sudah selesai, [Name] tetap bimbang untuk memutuskannya.

"Akhiri hubunganmu dengan Ajax," kata-kata Faylene itu berulang kali terngiang-ngiang di kepalanya, seperti sebuah palu yang terus mengetuk pikirannya. Dulu, [Name] mungkin akan menganggap itu sebagai sebuah solusi. Namun sekarang, justru sebaliknya. Ada sesuatu yang berubah. Perasaan yang dulu rumit salah kini terasa lebih kompleks—sebenarnya, ada apa dengan hati dan perasaannya?

"Apa yang kau tunggu?" Faylene mengangkat alis, memperjelas keheranannya. "Kau ingin aku menyebarkan videomu? Kau tahu bukan kalau aku bukanlah orang yang sesabar itu?"

"...."

Tiba-tiba, bayangan Tartaglia kembali muncul di benaknya. Kali ini lebih kuat, lebih nyata. Bukan hanya senyumnya, tapi juga kenangan saat dia pertama kali memanggilnya "Ajax", saat mereka tertawa bersama, saat dia merasakan pelukan hangatnya—dan saat ia berciuman dengannya.

Dan untuk pertama kalinya, [Name] merasa takut kehilangan Tartaglia.

"Aku... tidak bisa putus dengannya," akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutnya. "Jika kau ingin menyebarkan video itu, lakukan saja."

Faylene terdiam sejenak, seakan terkejut mendengar jawaban itu. "Apa kau pikir setelah aku menyebarkan video ini, Ajax akan tetap ingin bersamamu? Kau sangat naif, [Name]."

"Aku tidak tahu," jawabnya jujur, sorotnya lurus dan tegas. "Tapi aku tidak bisa membiarkanmu memutuskan hidupku. Jika aku akan membuat kesalahan, maka biarlah itu kesalahan yang kubuat sendiri."

Kemudian, sebelum Faylene mengatakan sesuatu padanya, Tartaglia muncul di sana.

[Name] mendesah, entah kapan Faylene akan mulai menyebarkan videonya dan menunggu momen itu justru membuatnya tegang. Iya, memang benar yang diucapkannya. Meski Tartaglia sudah tahu apa yang terjadi padanya—dan mungkin seluruhnya, termasuk masa lalunya—tidak ada jaminan pemuda itu masih akan tetap bertahan begitu video itu tersebar.

"[Name], tolong jawab soal berikutnya di papan tulis," pinta Faruzan, membuyarkan lamunannya.

"Iya, Bu Faruzan."

─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───

[Name] menghelakan napasnya lelah, matanya memandang ke arah luar jendela kelasnya dalam diam. Kegiatan sekolahnya berjalan seperti biasa, tidak ada masalah apa pun selama beberapa hari ini, seakan tampak baik-baik saja.

"[Name], bisa tolong angkat tanganmu sebentar?" Pinta Chiori sambil menahan bagian yang longgar dari pakaian yang dikenakannya.

"Ah, iya. Maaf," katanya sambil merentangan kedua tangannya ke samping. "Begini?"

"Iya. Sekarang diam, aku akan mengukurnya dulu...."

Benar, acara tahunan sekolah sudah di depan mata, sebaiknya dia fokus untuk menyelesaikan agenda penting untuk kelasnya termasuk kostum yang akan dia kenakan pada acara utamanya.

Setelah terakhir kali mengukurnya, Chiori yang masih tidak puas lantaran lengannya yang terlalu rendah dan warnanya yang kurang gelap untuk menonjolkan karakter dari tema yang didapatkan kelasnya, dia masih berniat untuk menyesuaikannya lagi.

Selain itu, dia masih memiliki persiapan untuk kios yang akan dibuka oleh kelasnya setelah Ayato menyetujui proposalnya. Meski semuanya tampak berjalan sesuai jadwalnya, tapi justru itu membuat [Name] semakin cemas. Apa mungkin sebentar lagi akan terjadi sesuatu yang besar?

"Hei, [Name], kau masih bersamaku, kan?" Chiori menepuk ringan bahu [Name], membuatnya tersadar.

"Oh, iya. Maafkan aku, Chiori," [Name] mengangguk cepat, berusaha mengembalikan fokusnya. Pikirannya memang terlalu jauh.

Chiori yang sedang menata pakaian di sekeliling tubuh [Name], menghela napas. "Kau terlihat sedikit... terpikirkan sesuatu," katanya.

"Begitulah. Mengingat sudah banyak yang terjadi belakangan ini." Sambil berkata begitu, [Name] mengembuskan napasnya lelah.

"Eloffe, bisa kau berikan kain yang lebih tebal?" Chiori meminta tanpa mengalihkan pandangan dari [Name]. Eloffe segera menyodorkan kain gelap yang tampak berkilauan di bawah sinar matahari.

Di pojok ruangan, Ayaka tengah memberi sulaman pada kain yang sudah dipotong sebelumnya. Dia sesekali melirik ke arah [Name] dengan rasa penasaran, tetapi tak mengatakan apa pun. Sementara itu, Yoimiya tengah menyiapkan aksesoris tambahan yang akan dipasang di kepala serta bahunya.

"Lengannya kurang mengembang. Harus ditambah renda di bagian belakangnya," kata Chiori tegas, menarik ujung lengan yang menjuntai terlalu rendah. "Eloffe, tolong ambilkan kain ungu yang ada di sebelah sana."

"Iya."

Selagi Chiori masih berkutat dengan jari-jarinya, dia berucap, "bukankah belum lama ini kau berkencan dengannya? Tartaglia, maksudku."

"Ya!?" [Name] tersentak, sedikit heran lantaran Chiori tiba-tiba mengungkit hal itu. "Apa—"

Chiori berhenti sejenak, menatap [Name] dengan tatapannya yang tajam sambil tersenyum misterius. "Kau tahu bukan kalau Tartaglia bukan orang yang senang menyembunyikan hal-hal seperti itu?"

"Ah... iya...." [Name] mengalihkan pandangannya. Dia benar-benar memahaminya. "Apa... dia melakukan sesuatu lagi?"

"Tentu saja," Chiori menjawab langsung. Dia menolehkan kepalanya ke arah pintu dan berkata, "lihat saja, sudah sejak tadi dia terus menunggu di depan sana sambil menatapmu."

"Huh!?"

[Name] refleks menoleh, saat itulah ia bisa melihat Tartaglia yang menyembulkan kepalanya sambil melihat ke arahnya dengan tatapan tidak sabar penuh rasa antusiasme. Jelas dia bermaksud untuk tidak mengganggu, tetapi tetap ingin melihat apa yang tengah [Name] lakukan.

"Apa yang dia lakukan di sana ...?" gumam [Name] pelan.

"Dia sudah menunggumu sejak tadi," ujar Chiori sambil mengencangkan sedikit kain di sekitar pinggang [Name]. "Mungkin dia penasaran denganmu atau mungkin ingin langsung membawamu pergi."

[Name] tertawa renyah dan tersenyum penuh makna mendengar sindiran Chiori. Jika tebakannya tepat, mungkin Tartaglia sudah memposting foto-fotonya saat kencan tempo hari di akun media sosialnya.

Yoimiya yang baru saja menyelesaikan aksesoris yang dibuatnya, mendekat sambil tersenyum jahil. Dia berkata, "sepertinya aku merasa dia semakin menempel padamu seperti permen karet, [Name]."

"... permen karet?"

"Iya." Sambil menjawab demikian, Yoimiya memasangkan aksesoris di kepalanya. "Coba kau ingat lagi, dia selalu muncul setiap kali melihatmu, 'kan?"

"...."

Setelah [Name] pikirkan, itu memang benar. Terakhir kali Tartaglia tiba-tiba muncul saat [Name] membeli minuman kaleng usai kegiatan klubnya, Tartaglia juga tiba-tiba menghampirinya saat [Name] sedang kegiatan olahraga dan memberinya minuman, pun saat ia sedang membawa buku-buku dari ruang guru ke kelasnya demikian.

"Kupikir... begitu," kata [Name] akhirnya.

"Tidakkah dia bersikap semakin manis padamu?" Yoimiya menyipitkan matanya curiga sambil menyikut [Name].

"Yoimiya...." [Name] mencoba menanggapi, tetapi kata-katanya seakan terperangkap di tenggorokan. Benarkah demikian? Sejak kapan semuanya terasa begitu intens?

Ayaka mengangkat matanya dari kain yang sedang disulamnya dan menatap [Name] dengan lembut. "Selama dia tidak melakukan hal-hal yang tak diinginkan [Name]," ucap Ayaka. "Kupikir... itu bukan masalah."

Sejujurnya, ya. Itu bukan masalah. Selama ini Tartaglia selalu memperlakukannya dengan hormat, tidak pernah sekali pun dia melakukan hal-hal yang mungkin membuat dia membencinya. Bahkan ketika mereka berciuman—wajah [Name] tiba-tiba terasa panas.

Ya, itu luar biasa. Rasanya begitu luar biasa. [Name] merasa dirinya meleleh. Demi Archon, dia pasti sudah meleleh saat itu dan dia tidak membencinya.

Kemudian saat Tartaglia mulai memangut bibirnya lebih, [Name] terengah-engah. Kulitnya terasa panas seperti terbakar dan tangannya diam-diam mulai merasakan ketegangan yang sama sambil menyentuh rahang pemuda itu. Tartaglia jelas sudah menyalakan hasrat dalam dirinya, sesuatu yang tak dapat [Name] kendalikan. Kemudian dirinya menuntut lebih, ingin merasakan kulit pemuda itu bersentuhan dengan kulitnya.

Dia menginginkan Tartaglia. Oh, betapa dia menginginkannya hanya dari sebuah ciuman sederhana itu. Ia seharusnya tidak meraskaan hal itu, dia tidak boleh menginginkan pemuda yang sudah ia tipu tanpa ia ketahui. Tapi dia menginginkannya sampai hampir lupa caranya untuk bernapas.

Ini salah, amat sangat salah. Dia tahu seharusnya dia tidak memberikan ciuman itu kepada Tartaglia ketika dia memintanya, tapi hatinya berkata lain. Karena itulah ia bersikeras untuk tetap berkepala dingin, memastikan dia tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya juga menginginkan pemuda itu.

"[Name], kau baik-baik saja?" Tanya Ayaka cemas ketika gadis itu kini berdiri di depannya. "Wajahmu merah...."

"Eh? Be-benarkah...." [Name] tertawa getir. "Mungkin aku kepanasan. Pakaiannya lumayan tebal...."

"Apa kau ingin aku membuka jendelanya?"

"Iya, tolong lakukan itu," ucap [Name], berusaha mengalihkan perhatian Ayaka darinya. "Terima kasih banyak, Ayaka."

"Eloffe, bisa tolong sedikit sesuaikan di bagian pundaknya?" suara Chiori memecah kecanggungan [Name]. "Kita hampir selesai."

"Baik," jawab Eloffe sambil bergerak cepat untuk membantu Chiori.

Saat Eloffe dan Chiori sibuk menyesuaikan pakaian di sekitar pundak [Name], Ayaka membuka jendela untuk membiarkan angin segar masuk. Hembusan angin sejuk langsung terasa, meredakan panas yang dirasakan [Name], baik dari kostum maupun pikiran-pikiran yang berputar di kepalanya.

Chiori melangkah mundur, menatap hasil kerja mereka dengan kritis. "Sudah lebih baik sekarang. Bagian pundaknya lebih tegas dan menonjolkan karakter kuat yang kita inginkan."

[Name] menunduk, memandangi dirinya sendiri dalam kostum yang tampak megah dengan kain tebal berwarna gelap dan aksen ungu yang elegan di sepanjang tepiannya. Tampilan yang kuat, misterius, dan memikat—sempurna untuk acara puncak festival tahunan sekolah.

"Untuk tanduk dan boleronya mungkin akan selesai minggu depan kalau tidak ada kendala," kata Yoimiya kepada Chiori sambil berkacak pinggang. "Apa tidak masalah, Chiori?"

Chiori mengangguk. "Tidak masalah. Tapi jika kau kesulitan, kau bisa membawanya, aku akan membantumu."

"Bagaimana rasanya, [Name]?" Tanya Ayaka begitu ia selesai menata bagian punggungnya. "Apa ada yang membuatmu tidak nyaman?"

[Name] tersenyum dan menggeleng. "Tidak, semuanya terasa nyaman."

Sebetulnya, cukup nyaman. Mengingat dirinya belum dirias dan aksesoris yang dikenakan masih kurang, jadi rasanya sekarang cukup nyaman. Dia sudah bisa membayangkan rasanya akan sepanas apa begitu hari festival dan dia harus mengenakan kostum ini tiba.

"Kurasa kita kekurangan...." Mata Chiori mengerling ke sekitar ruangan, lalu berhenti ke arah Tartaglia yang mengintip dari balik pintu. "Kau—Tartaglia!" Tartaglia tersentak, refleks menunjuk dirinya dengan telunjuknya sendiri. "Iya, ke sini sebentar."

Untuk sesaat [Name] berpikir, betapa luar biasanya Chiori bisa memanggilnya begitu.

"Kita butuh sudut pandang lain," jelas Chiori. "Artinya perspektif orang luar, jadi tolong jangan bias dan katakan dengan sejujurnya. Bagaimana menurutmu?"

Saat Chiori bertanya begitu, Tartaglia melirik ke arah [Name], menatapnya dari atas kepala sampai bawah kaki, seketika membuat ia sedikit gugup.

"Cantik," kata Tartaglia akhirnya, Chiori refleks menusuk pinggangnya dan wajah [Name] memanas.

"Sudah kubilang jangan bias!" Cetus Chiori sambil menyilangkan tangannya di dada.

"Ma-maaf," ringisnya. "Maksudku tentu saja cantik, hanya saja... tidakkah kau pikir ini terlalu berbahaya?"

Alis Chiori terangkat sebelah. "Berbahaya?"

"Bagian punggungnya terlalu terbuka," Tartaglia menjawab dengan ekspresi amat serius.

"...." Chiori melengos pergi, lalu berkata dengan malas, "itu artinya sudah cukup. Terima kasih untuk pendapatnya." Kemudian sambil membereskan sisa jarum dan kain di meja, dia menambahkan, "aku akan pergi sebentar untuk mengambil beberapa barang."

Mendengar hal itu, Eloffe, Yoimiya dan Ayaka mengikuti Chiori di belakangnya, meninggalkan [Name] dengan Tartaglia di dalam ruangan.

[Name] hanya bisa menghela napas manakala dirinya masih memikirkan tentang bagaimana Tartaglia menatapnya begitu intens hingga membuatnya takut sesaat. Lebih dari itu, sejujurnya memang bagian punggunya dibuat sedikit terbuka meski ditutup dengan jubah rendah. Mungkin sebenarnya itu hanya cara Chiori mengurangi ketidaknyamanan [Name] saat acara nanti, jadi itu tidak terlalu jadi masalah.

"Tapi apa maksudnya berbahaya?" Kata [Name] bergumam, lebih kepada dirinya sendiri.

Tartaglia yang mendengar itu menceletuk, "seperti yang kukatakan, itu berbahaya." [Name] menoleh, mendongak untuk melihatnya. Lalu Tartaglia berbisik, "aku tidak suka kalau orang lain harus melihatmu seperti ini. Ini membuatku cemas."

"!?"

[Name] merasakan jantungnya berdebar kencang mendengar kata-kata Tartaglia. Dia tak menyangka Tartaglia bisa berbicara begitu terus terang, apalagi dalam nada yang sedikit posesif seperti itu. Meski begitu, ada sesuatu yang aneh dalam cara Tartaglia mengatakan hal tersebut—seolah dia benar-benar peduli, tapi juga takut kehilangan sesuatu.

"Tapi...," kata Tartaglia lagi, kali ini terlihat senyuman lebar di wajahnya. "Kau memang cantik."

"Terima kasih, Ajax...."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro