Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 39 ⚠️

Hari itu, musim semi di bulan April.

Aroma bunga yang harum menyeruak ke dalam indra penciumannya, pemandangan bunga-bunga yang bermekaran dengan indah memenuhi visinya. Ini adalah awal yang baru bagi seorang gadis muda di tahun ini.

Masa SMA.

Banyak orang berkata, masa SMA adalah masa bagi seorang gadis untuk mulai menunjukkan cahayanya. Masa-masa indah yang diliputi berbagai macam warna. Kehidupan baru penuh makna dimana seseorang baru menemukan jati dirinya sebelum tumbuh menjadi orang dewasa sepenuhnya layaknya bunga yang indah. Sama seperti gadis itu—[Name].

Baru saja ia mengentakkan kakinya di halaman sekolahnya, orang-orang mulai mengerumuninya sambil menawarkan kegiatan klub yang ada di sekolah, memberinya selebaran sampai kertas pendaftaran dari klub tertentu.

Aku... tidak bisa lewat—!

Setelah asal menerima selebaran yang diberikan kepadanya, satu per-satu, [Name] berhasil melewati para siswa dari tahun kedua dan ketiga itu. Namun dia tidak diizinkan bernapas lega manakala merasa ada tangan seseorang yang menyentuh bagian belakang tubuhnya. [Name] membeku, dengan tangan yang bergetar sambil memeluk dirinya, dia mendorong semua siswa dihadapannya dan berlari dari sana.

Langkahnya terasa berat seiring dengan detak jantungnya yang semakin cepat. Napasnya terengah-engah, bercampur dengan kepanikan yang merambat ke seluruh tubuh. Ia bahkan tidak bisa melihat jelas ke mana kakinya melangkah, hanya mengikuti naluri untuk menjauh dari kerumunan yang barusan begitu ramai dan menekannya.

Musim semi yang seharusnya menyenangkan kini terasa dingin dan menyesakkan bagi [Name]. Kepalanya penuh dengan kebingungan dan perasaan tidak nyaman yang tak bisa ia jelaskan. Tangannya masih bergetar, seolah merasakan kembali sentuhan yang membuatnya merasa begitu kotor. Di antara berbagai bisikan, suara tawa, dan hiruk-pikuk para siswa di belakangnya, ia terus berlari tanpa henti.

Hingga akhirnya, ia sampai di tempat yang lebih sepi—halaman samping sekolah, di mana gedung-gedung sekolah tinggi menjulang seakan memagari dirinya dari segala hiruk pikuk yang ada di luar. Daun-daun pepohonan dan bunga berguguran di sekelilingnya, tetapi keindahan tersebut tak mampu menenangkan hatinya yang bergejolak.

Dia berhenti sejenak, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal, tapi rasa takut itu masih menggantung di udara, membuatnya tidak bisa benar-benar merasa aman. Kepalanya tertunduk, tangan meremas kertas-kertas selebaran yang tadi ia dapat tanpa sadar, dan tubuhnya terasa lemah. Dia hanya ingin semuanya berhenti sejenak, agar ia bisa bernapas lega, agar semua perasaan ini hilang.

Namun, saat ia mengangkat kepalanya, mata [Name] menangkap dua sosok pemuda di kejauhan. Mereka berdiri di bawah pohon besar, mengenakan seragam yang sama dengannya, dan mereka tampak lebih tua dari dirinya—mereka jelas seniornya. Hati [Name] berdebar lagi, bukan karena ketakutan, tetapi karena keraguan. Apakah mereka bisa membantunya?

Dengan enggan, ia melangkah mendekati mereka. Rasa cemas masih bergelayut di hatinya, tapi dia tidak bisa terus bersembunyi atau lari. Dia harus tahu di mana ruang guru, tempat yang seharusnya menjadi tujuan awalnya. [Name] mengambil napas dalam, ia memberanikan diri untuk berbicara.

"Permisi," ucapnya, suaranya sedikit bergetar. "Apakah kalian tahu di mana ruang guru? Aku baru di sini dan—"

Salah satu dari mereka menoleh dan tersenyum tipis. "Oh, siswa baru ya?" tanyanya, nada suaranya terdengar santai tetapi ada sesuatu yang membuat [Name] merasa tidak nyaman ketika mendengarnya.

Pemuda itu bertukar pandang dengan temannya yang kemudian ikut tersenyum. "Kami tahu, ikut saja kami. Akan kami tunjukkan," sambung seorang lainnya.

[Name] mengangguk ragu. Ada sesuatu yang aneh dari cara mereka tersenyum, tapi dia terlalu bingung untuk memperhatikan lebih serius. Mereka mulai berjalan dan [Name] mengikuti mereka, dengan tetap waspada. Namun, semakin jauh mereka melangkah, semakin sepi daerah yang mereka tuju. Tidak ada siswa lain di sekitar. Jalanan yang mereka lewati sunyi dan terpencil, jauh dari keramaian yang sebelumnya ia tinggalkan.

"... maafkan saya, Senior," kata [Name] masih ragu. "Apa ini benar-benar tempatnya? Karena sepertinya—"

"Tentu saja. Sebelah sana gedung olahraga satu, kalau ini gedung ketiga."

Langkah [Name] terhenti. Dia mulai merasa ada yang tidak beres. "Sepertinya... aku akan kembali ke jalan utama saja," ujarnya, mencoba untuk bersikap sopan. Namun, sebelum dia sempat berbalik, salah satu dari mereka mendekat dan menggenggam pergelangan tangannya dengan kasar.

"Tunggu dulu, kenapa buru-buru?" Sergahnya, suara pria itu terdengar rendah. Senyuman ramah yang sebelumnya ia tunjukkan kini terasa ganjil. "Kita baru saja bisa bersenang-senang."

Hati [Name] seketika mencelos. Rasa takut yang tadi ia rasakan kini berubah menjadi kepanikan yang tak tertahankan.

"Tidak! Lepaskan aku!" serunya, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman mereka. Pemuda yang satu lagi mendekat, tangannya meraih bahu [Name], mendesaknya.

"Jangan berteriak," kata pria kedua, dia tersenyum lebar dengan tangan yang masih menahan bahunya. "Tidak perlu panik. Hanya sebentar saja."

"Tidak ...!" Desis [Name], dia terus memberontak untuk melepaskan diri. "Aku tidak—!"

BUAGH!

Seorang pemuda berambut oranye muncul dan langsung menghantam kedua pria itu dengan tendangan dari kakinya, menjauhkan [Name] dari hadapan kedua pemuda sebelumnya. Sebelum gadis itu sempat mengatakan sesuatu kepadanya, pemuda itu berteriak, "pergi dari sini, sekarang!"

Dan [Name] berlari, pergi dari hadapannya. Ke tempat dimana dia bisa merasa aman.

─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───

Tartaglia mengembuskan napasnya dengan malas. Dia benar-benar hampir lupa kalau hari ini adalah hari penerimaan siswa baru, tidak heran sekolahnya tampak begitu penuh dan sesak oleh orang-orang yang asing yang tak pernah dilihatnya.

Dan sesungguhnya, dia tidak terlalu menikmati hari ini. Tidak ketika ia baru saja mendapatkan surat peringatan setelah menyelamatkan seorang wanita dari dua orang pria brengsek yang membawanya ke dalam gang sempit dan gelap dengan memberi mereka beberapa bogem mentah. Ironi yang menggelikan. Padahal dia tidak melakukan kesalahan.

Tartaglia sangat tidak suka para pria bajingan seperti itu, dia membencinya. Semakin membencinya setelah tahu kakak perempuannya pernah hampir mengalami hal yang tak menyenangkan karena mereka. Ia bisa melontarkan segala macam kata-kata yang dapat menjadi hinaan kepada para pria brengsek seperti itu. Tapi sekarang dia disalahkan hanya karena memukul orang seperti mereka? Ini konyol!

Jadi dia pun pergi.

Pergi mencari tempat dimana dia bisa menenangkan dirinya, setidaknya jauh dari teman-temannya lantaran khawatir mereka akan terkena getah suasana hatinya yang buruk. Tartaglia suka dikelilingi orang lain terutama dengan teman-temannya, tapi tidak setiap waktu ia suka dikelilingi orang lain. Tentu saja. Dia tetap membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri.

Ia berjalan tanpa suara melalui koridor, mengarah ke gedung olahraga di samping gedung utama sekolahnya. Ia yakin setidaknya di tempat sepi yang tenang itu, dia bisa menemukan kenyamanan di sana. Tapi saat ia berada di penghujung jalan setapak dihadapannya, ia mendengar sesuatu yang menarik perhatiannya.

"Tidak! Lepaskan aku!"

Tidak? Lepaskan aku—oh, ini jelas sebuah pemaksaan. Tartaglia tidak berniat menjadi pahlawan bagi siapa pun, tapi jelas dia tidak bisa membiarkan hal seperti ini terus berlangsung di depannya. Jadi dia berlari ke arah sumber suara, mencari suara gadis itu.

Begitu ia melihat dua orang siswa dari tahun ketiga mengelilingi gadis itu dan menghimpitnya di sana, dia mengerang. Ia berlari cepat ke arah mereka, menampilkan ekspresi paling tegas dan pongah yang bisa ia berikan lalu—BUAGH!—mehantamkan wajah mereka dengan tendangannya yang kuat.

Pemuda lainnya segera mundur, tetapi ia terlalu lambat untuk menghindari serangan berikutnya. Dengan satu tinju yang keras, pemuda itu tersungkur. Melihat mereka hendak membalas serangannya barusan, Tartaglia menolehkan pandangannya untuk melihat ke arah gadis itu dan berteriak padanya, "pergi dari sini, sekarang!"

Sebelum sempat memastikan apa gadis itu sudah pergi atau belum apalagi untuk mengingat wajahnya manakala sebuah tinju terarah kepadanya, Tartaglia kembali fokus kepada kedua pemuda itu dan terus melayangkan tinju-tinjunya yang kuat ke arah mereka, menendangnya hingga mereka terjerembab, menginjak tubuh mereka.

Saat itu Tartaglia tidak tahu kalau apa yang dilakukannya saat ini akan membuat ia dipaksa untuk beristirahat di rumahnya selama lima hari.

─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───

[Name] berhenti, mencoba menenangkan degupan jantungnya. Kakinya sudah tidak kuat lagi jika ia dipaksa untuk berlari sekali lagi, sungguh.

Jika bukan karena pemuda berambut jingga itu, hal-hal buruk pasti sudah terjadi padanya sekarang. Namun membayangkan bagaimana pemuda itu dipukuli kedua senior itu, membuat perasaan tidak enak segera menyerangnya, tetapi ia juga tidak bisa kembali, tidak ada yang bisa dilakukannya. Dia menggigit bibirnya, merasa bersalah karena meninggalkan pemuda itu sendirian dengan dua senior yang jelas-jelas lebih kuat dan brutal darinya.

Oleh karena itulah ia memaksakan dirinya untuk berjalan dan mencari bantuan, seorang guru atau karyawan sekolah. Kemudian setelah dia berbelok pada koridor di depannya, ia mendapati seorang guru berambut kecoklatan gelap dengan aksen kuning di ujungnya sedang berbicara dengan seorang siswa berperawakan tinggi dengan rambut biru di sana.

"Maaf, Pak," suaranya terdengar pelan dan sedikit bergetar, tapi cukup untuk menarik perhatian mereka. Sang guru dan siswa berambut biru itu berbalik menatapnya dengan tatapan penasaran.

"Ada apa?" Tanya sang guru dengan nada lembut.

"Di... di belakang gedung olahraga," kata [Name], suaranya terdengar terbata-bata. "Ada dua senior... mereka mencoba melakukan sesuatu padaku, tapi seorang siswa datang dan—dan—dia bertarung melawan mereka."

Wajah guru itu berubah tegang mendengar penjelasan [Name]. "Apa kau terluka?" tanyanya cepat, [Name] menggeleng sebagai jawaban.

"Tidak, aku baik-baik saja. Tapi siswa itu... dia bertarung sendirian. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya sekarang. Mungkin mereka—"

"Tenanglah, tenang. Semuanya akan baik-baik saja." Sambil berkata begitu, sang guru menyentuh kedua bahu [Name]. "Aku akan pergi memeriksanya."

Sang guru menoleh ke arah pemuda berambut biru itu dan mengangguk, keduanya pun segera pergi setelah sempat meminta [Name] untuk menunggu di sana. Namun [Name] mengikuti kedua orang itu di belakang dengan cemas, dia ingin memastikan semua yang terjadi secara langsung. Memastikan bahwa pemuda berambut oranye itu akan baik-baik saja.

─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───

Tartaglia berdiri dengan sempurna di antara kedua senior dihadapannya, berdiri sebagai seorang pemenang tunggal. Dia menarik salah satu kerah dari dua orang itu dan mengancam mereka, "kalau aku lihat kalian melakukan hal seperti itu lagi, berikutnya akan kupastikan kalian tidak akan bisa kembali ke sekolah."

Kedua pemuda itu bergidik dengan ancaman Tartaglia, mereka meringkuk menahan sakit setelah Tartaglia melepaskan tangannya dari mereka.

Kemudian Tartaglia menoleh, mencari keberadaan gadis itu. Bagaimana pun dia harus memastikan keadaannya baik-baik saja mengingat bagaimana ekspresinya saat kedua pria itu mencegatnya, sudah dipastikan kalau dia sangat ketakutan saat itu.

Ah, benar. Dia meminta gadis itu untuk pergi dari tempat ini, jadi mungkin dia—"kenapa kau masih ada di sini!?"

"... apa?" Gadis berambut pirang berpotongan pendek dengan manik kuning-keemasan itu mengernyitkan dahinya. "Apa maksud—"

"Aku sudah memintamu untuk pergi dari sini, tapi kenapa kau masih di sini?" Potong Tartaglia cepat. "Apa kau bodoh?"

Tapi gadis itu tiba-tiba mendenguskan napasnya dan tersenyum miring. Dia menyilanykan tangannya di dada dan membalas, "maksudmu agar tidak ada yang melihat kejadian ini?"

"Apa ...?" Dahi Tartaglia berkerut. "Ada masalah apa—"

"Tartaglia, sepertinya surat peringatan tidak cukup untukmu."

Tartaglia memutar matanya, mengembuskan napas panjang saat melihat Zhongli dan Ayato berdiri di ujung koridor, memperhatikannya dengan tatapan yang sarat akan penilaian. Tentu saja mereka akan muncul, seolah-olah punya radar khusus yang selalu aktif saat dia terlibat dalam keributan.

"Bukan aku yang pertama kali membuat keributan ini, kalau itu yang kalian pikirkan," Tartaglia mendengus, masih merasa frustrasi. Meskipun dia tahu tindakannya tadi mungkin akan berujung pada masalah yang lebih besar, dia tetap merasa apa yang dia lakukan sudah benar.

Zhongli melangkah maju dengan tenang, seperti biasa. "Menyelesaikan masalah dengan kekerasan tidak akan pernah memberikan solusi yang baik, Tartaglia," ucapnya bijak, meskipun ada ketegasan dalam suaranya. "Kau tahu itu, bukan?"

Tartaglia mendengus, namun tidak menjawab. Dia sudah terlalu sering mendengar ceramah semacam ini. Sebagai salah satu siswa yang cerdas dan berbakat, Tartaglia selalu menjadi perhatian, baik dalam hal positif maupun negatif. Tapi dalam hal ini, dia merasa tidak ada yang salah. Kedua pria itu pantas mendapatkannya.

Sementara itu, Ayato hanya mengamati, memperhatikan gadis berambut pirang yang masih berdiri tidak jauh dari Tartaglia. "Dan... siapa namamu?" tanya Ayato.

"Aku... Lumine," jawab gadis itu ringan. "Siswa baru tahun ini."

Tartaglia melirik Lumine, sedikit bingung karena dia merasa gadis itu tampak sangat berbeda dari gadis yang diselamatkannya tadi. Tapi dia tidak ingin ambil pusing, toh hanya menganggap mungkin itu hanya perasaannya saja.

"Masalah ini akan kita selesaikan di ruanganku," kata Zhongli mengakhirinya. "Tartaglia, kau ikut aku sekarang. Lalu, Ayato... tolong panggilkan walinya untuk segara datang ke sekolah."

"Saya mengerti."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro