Chapter 38
Tartaglia sudah memastikan bahwa ia terlihat begitu sempurna hari ini. Kali ini bukan kemeja dan jaket bahannya, tetapi pakaian lengkap dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Ia bahkan tidak lupa mengenakan topi fedora di kepalanya.
Ya, bagaimana pun dia akan berkencan.
Dia tidak ingin hanya [Name] yang terlihat sangat baik pada kencan mereka, dia pun ingin melakukan hal yang sama terutama karena gadis itu sendiri yang merencanakan kencan ini. Dia harus membuat kenangan berkencannya seindah dan sesempurna mungkin.
Oleh karena itulah ia membawa kamera digital miliknya untuk itu.
Dengan topi fedora yang pas di kepalanya dan setelan yang membuatnya terlihat seperti model di majalah mode, dia memastikan bahwa setiap detail dari penampilannya sempurna. Kamera digital tergantung dengan aman di lehernya—siap menangkap setiap momen indah dihadapannya. Bukan hanya momen kebersamaan mereka, tapi juga setiap ekspresi yang mungkin muncul di wajah [Name]. Itu adalah salah satu hal yang paling dia sukai—senyum, tawa, bahkan sedikit kerutan di dahi gadis itu ketika dia sedang sangat serius. Semua itu adalah bagian dari kenangan yang ingin dia abadikan.
Awalnya Tartaglia hendak pergi menjemput [Name] untuk jalan bersama, tetapi gadis itu memintanya untuk pergi lebih dulu karena Ibunya meminta ia melakukan sesuatu untuknya. Oleh karena itulah, dia seorang diri di tengah pusat perbelanjaan ini usai berbicara dengan kakak laki-laki pertamanya sementara menunggu [Name] datang.
"Wah, dia tampan sekali," bisik-bisik seorang gadis di belakangnya.
"Siapa orang yang sedang ditunggunya, ya?"
"Apa sebaiknya kucoba untuk ajak berbicara saja?"
Tartaglia melempar senyuman manis. Tidak, ini bukanlah yang dia inginkan. Dia terlihat seperti ini untuk [Name], bukan untuk orang lain. Tapi dimana gadis itu—kemudian ponselnya berdering. Itu dari [Name]
Tartaglia dengan cepat menjawab panggilan itu di ponselnya. "[Name]? Apa kau sudah sampai?"
「 aku sudah sampai 」katanya dari balik ponsel. 「 kau ada dimana? 」
"Aku—" mata Tartaglia berhenti melihat sekeliling kala mendapati seorang gadis yang amat dikenalnya berdiri di sana. Dia tersenyum. "Aku sudah melihatmu. Jangan bergerak dari tempat itu, kau mengerti?"
「 aku mengerti. 」
Kemudian sambungan telepon itu terputus, Tartaglia kembali memasukan ponselnya ke dalam saku dan mempersiapkan kameranya di tangan.
Dia memandang seorang gadis dengan kemeja garis bernuansa putih dengan rok sepanjang lututnya berwarna biru yang sangat pas di tubuhnya, berdiri sambil memandang ke sekelilingnya dengan tatapan menerawang. Sesekali gadis itu mengarahkan ponselnya ke depan, memotret pemandangan di depannya. Tidak jarang ia terlihat tengah menyelipkan rambutnya yang terurai di balik telinga—dan Tartaglia diam-diam terus memotret gadis itu di sana.
Saat Tartaglia sedang melihat gadis itu melalui viewfinder di kameranya, [Name] menoleh kepadanya, lalu tersenyum sambil melambaikan sebelah tangannya. Tartaglia menarik kedua sudut bibirnya naik dan menurunkan kamera di tangannya dan menghampiri gadis itu.
Ketika Tartaglia sampai di depan [Name], dia menghentikan langkahnya sejenak, memberikan tatapan penuh kekaguman. "Kau terlihat cantik sekali hari ini," katanya dengan suara lembut, masih memegang kameranya di satu tangan.
[Name] sedikit tersipu. "Terima kasih, kau juga... terlihat sangat berbeda hari ini. Topi fedoranya bagus," jawabnya dengan senyum tipis di wajahnya. "Ngomong-ngomong, apa rencana lain yang kau maksud adalah membawa kamera?"
Tartaglia tersenyum hingga menunjukkan deretan gigi putihnya. "Iya. Aku juga tidak ingin kalah dari gadis yang mengajakku berkencan hari ini."
[Name] terkekeh pelan, merasa geli dengan sikap percaya diri Tartaglia yang tidak biasanya. Dia mengangguk beberapa kali. "Sejujurnya, itu cukup membuatku terkejut," kata [Name] ringan.
"Jadi...." Tartaglia tersenyum lebih. Dia mengulurkan tangannya untuk [Name] raih. "Apa kau siap menjadi modelku hari ini?"
[Name] menerimanya. "Aku siap."
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
Tartaglia tersenyum penuh kemenangan saat [Name] menerima uluran tangannya. Ada sesuatu yang istimewa di hari ini, dan dia bertekad untuk membuat setiap detiknya berharga. Mereka berdua berjalan beriringan menuju pintu masuk galeri seni digital, di mana proyeksi visual yang luar biasa memenuhi ruangan. Nuansa modern dan interaktif dari tempat itu segera membangkitkan suasana hangat dan artistik. Cahaya warna-warni berpendar di dinding, langit-langit, hingga lantai, dan menciptakan ilusi yang membuat siapa pun terkesima.
Begitu mereka melangkah masuk, Tartaglia segera menyadari bahwa tempat ini benar-benar sempurna untuk mengabadikan momen kebersamaannya dengan [Name]. Visual lukisan dari nama-nama pelukis terkenal yang tak ia tahu namanya tampak megah dan bercahaya memenuhi dinding, seolah membawanya masuk ke dalam lukisan yang hidup. Sementara itu, musik lembut mengalun di sekitarnya, memberikan nuansa yang menenangkan dan mengesankan.
"Wow...." Bisik [Name], matanya terbuka lebar saat ia menatap pemandangan di depannya. "Aku tidak pernah membayangkannya akan seperti ini."
Tartaglia menoleh padanya, senang melihat ekspresi kagum di wajah gadis itu. "Bagaimana menurutmu?"
"Bagus sekali," jawab [Name] dengan suara pelan, masih terpesona oleh tampilan visual yang terus berubah di sekitarnya. "Ini seperti berada di dalam mimpi."
Tartaglia mengangkat kameranya, memotret [Name] yang sedang terpesona oleh pemandangan tersebut. "Dan kau adalah bagian terbaik dari mimpi ini," gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri.
[Name] menoleh padanya. "Apa kau mengatakan sesuatu?"
Tartaglia hanya tersenyum dan menggeleng. "Tidak ada."
Keduanya melanjutkan langkah mereka di dalam galeri, menelusuri setiap sudut yang dipenuhi proyeksi seni digital yang megah. Sesekali, Tartaglia berhenti untuk memotret [Name] dalam berbagai sudut—kadang saat dia berdiri di depan proyeksi lukisan terkenal, atau saat dia terdiam menikmati alunan musik yang mengiringi. Setiap foto yang dia ambil terasa istimewa, karena dia tahu bahwa momen-momen ini tidak akan terulang lagi.
"Jadi alasanmu membawa kamera...." [Name] menoleh, mengulas senyuman samar di balik cahaya remang-remang disekitarnya.
"Memotretmu, tentu saja." Sambil menjawab ringan, Tartaglia menggedikkan sebelah bahunya. "Sudah kukatakan kalau kau akan menjadi modelku hari ini, bukan?"
"Ah...." [Name] mengalihkan pandangannya dan tersenyum canggung. "Kupikir kau hanya bercanda."
Tartaglia tergelak, dia tersenyum lebih. "Tidak. Tentu tidak, aku memang ingin seperti ini. Kita tidak bisa menyianyiakan momen seperti ini, 'kan?"
[Name] tertegun sejenak, dia mengembangkan senyuman samarnya di sana. "Iya."
"Ditambah, tempat ini memang sangat bagus dan menenangkan." Sambil bilang begitu, Tartaglia menatap sekeliling sejenak sebelum melihat ke arah [Name] kembali. "Terima kasih karena sudah mengajakku ke sini."
"Katakanlah itu pada kakak laki-lakimu." [Name] berjalan beberapa langkah ke depan, lalu berbalik untuk melihat ke arah Tartaglia. "Dia yang memberimu tiket ini, 'kan? Aku juga harus bicara padanya langsung."
"Aku yakin seharusnya kita bertemu dia di sekitar sini." Tartaglia mendekat, berdiri di samping [Name] dan menatap proyeksi di depannya. "Ingin bertemu dengannya?"
[Name] mengangguk. Kemudian keduanya berjalan beriringan bersama.
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
Di tengah nuansa artistik galeri digital, [Name] dan Tartaglia terus melangkah sambil menikmati setiap visual yang bergerak di sekitar mereka. Suasana yang tercipta dari perpaduan cahaya, warna, dan suara benar-benar membawa mereka ke dunia lain—seolah-olah mereka berada di dalam lukisan yang hidup.
Tartaglia, seperti biasa, tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Dia terus memotret [Name] dalam berbagai pose alami—baik saat dia sedang terpesona oleh visual yang memukau di depannya, atau saat mereka bercanda ringan tentang proyeksi seni yang tampak begitu nyata.
Sesekali, [Name] menoleh ke arah Tartaglia sambil tersipu saat menyadari bahwa dirinya sedang menjadi fokus lensa kamera. "Aku merasa seperti selebritas hari ini," katanya sambil menyipitkan mata karena sorotan cahaya yang berpendar.
"Benar, dan aku fotografer pribadimu," balas Tartaglia dengan senyum yang tidak pernah hilang dari wajahnya. "Aku tidak tahu tentang seni, tapi aku tahu tentangmu. Jadi kemana lagi aku harus fokus?"
"... karena itulah fungsi penjelasan singkat di lukisannya, 'kan?"
"Hei, Ajax!" Teriak seseorang dari arah depan mereka, pemuda itu tampak melambaikan tangan ke arahnya. "Akhirnya aku menemukanmu di sini."
"Kak Axel...."
Begitu Axel dan seorang pria berpakaian formal menghampirinya, Axel menoleh ke arah [Name] dan tersenyum lebar. "[Name] juga. Bagaimana menurutmu? Sepertinya kau sangat menikmatinya, ya?"
[Name] hanya tersenyum dan tertawa kecil sebagai jawaban. Saat itulah Tartaglia berkata, "tentu saja. Ngomong-ngomong, terima kasih untuk tiketnya, Kak Sergio."
"...."
"Ayo katakan sesuatu, Kak! Jangan diam saja." Axel memukul punggung pria berpakaian formal dan berkacamata itu beberapa kali. "Kau akan membuat [Name] takut padamu."
"...." Saat mendengar itu, pria berambut oranye yang tersisir ke belakang hingga menampakan dahinya dan bermata biru menoleh ke arah [Name]. "Kuharap kau menikmatinya."
[Name] sedikit terkejut pada awalnya, akhirnya gadis itu menunduk ke arah Sergio dan membalas, "terima kasih banyak untuk tiketnya. Pamerannya sangat luar biasa, saya pastikan akan menikmatinya dengan baik."
Kemudian terjadi keheningan di antara mereka. Tartaglia tersenyum kaku dan Axel tertawa kencang sambil memukul-mukul punggung Sergio. "Kenapa kau jadi kaku sekali seperti kanebo kering, Kak!? Berhentilah, kau membuatku malu!" Lalu Axel kembali beralih kepada Tartaglia dan [Name] bergantian. "Kalau begitu, aku akan pergi sekarang. Nikmatilah kencan kalian berdua."
Saat itulah Sergio dan Axel pergi dari hadapan mereka, untuk sesaat Tartaglia bisa melihat [Name] mematung sambil menatap kedua kakak laki-lakinya menghilang dari pandangan.
"[Name]?" Panggil Tartaglia, [Name] tersentak dan mendongak ke arahnya. "Kau baik-baik saja? Kau terus melihat mereka?"
"Ah, maafkan aku...." [Name] kembali menoleh ke arah depan dan menjelaskan, "kupikir kakak laki-lakimu yang paling tua akan terlihat seperti... bagaimana aku mengatakannya, ya ...?"
Tartaglia terkekeh. Dia mengangguk dan tersenyum samar. "Lebih eksentrik?"
"Iya!" [Name] mengangguk cepat, mengakui. "Aku mengira sifat kalian tidak akan berbeda karena Kak Irina juga sedikit seperti itu. Karena itu aku... agak terkejut melihatnya."
Tartaglia tergelak. "Banyak yang mengatakan itu, tapi Kak Sergio memang cenderung lebih diam dan tak banyak bicara. Dia orang yang kaku dan serius."
"Ah...."
"Kau tidak perlu khawatirkan dia, dia hanya bingung harus bicara apa padamu."
Jika Tartaglia ingat kembali bagaimana Sergio memberi dia dua tiket untuk pameran hari ini, dia benar-benar tidak habis pikir. Tiba-tiba dia datang ke kamarnya, lalu tiba-tiba memberinya tiket dan berkata, "pergilah dengan kekasihmu" dengan wajah datarnya itu, lantas berbalik dan pergi dari sana. Sangat Sergio.
Setelah itu, Tartaglia sempat mendengar Irina merajuk karena Sergio tidak memberinya tiket, dan saat itulah Sergio dengan wajah tanpa dosanya berkata, "kau tidak memiliki kekasih, jadi aku memberikannya pada Ajax". Tentu saja pada detik itu, Irina memukul ulu hatinya dengan kuat.
"Kita pergi sekarang?"
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
Di bawah rindangnya pepohonan taman yang sejuk, Tartaglia dan [Name] duduk di sebuah bangku, menikmati sejenak ketenangan setelah perjalanan panjang mereka sepanjang pagi itu. Udara terasa segar, dan matahari mulai perlahan-lahan naik, memberi kehangatan tanpa terlalu menyengat.
[Name] sibuk menatap layar kamera digital Tartaglia, terkekeh pelan setiap kali ia menemukan foto yang menurutnya lucu. "Kapan kau ambil foto ini?" tanyanya sambil memperbesar sebuah foto yang menampilkan dirinya seolah sedang menggapai sesuatu pada bayangan lukisan di hadapannya. "Oh, ini... kenapa hanya fotoku?"
Tartaglia yang duduk sedikit gelisah di sebelahnya, menggaruk tengkuknya dengan canggung. "Karena kau... sangat cantik, kau tahu," jawabnya sambil tersenyum tipis. "Tapi... kalau kau merasa tidak nyaman, aku bisa menghapusnya...."
Wajah [Name] merona seketika. Sesungguhnya, dia sedang tidak bermaksud untuk menggoda gadis ini, tapi dia benar-benar seperti yang terlihat. Cantik dan memesona. Tartaglia tidak bisa mengalihkan lensa kameranya selain kepada dirinya di sana. Terlebih tidak hanya sangat menikmatinya, [Name] benar-benar serius sampai sering kali mengabaikan Tartaglia sementara dia terus membaca teks yang muncul di sana.
Namun tiba-tiba [Name] tersenyum lembut dan menggeleng. "Tidak, aku tidak keberatan. Selama kau tidak menggunakannya untuk... kau tahu...."
"Tidak, tentu saja tidak!" Sergah Tartaglia cepat, tahu apa yang dipikirkan gadis itu sekarang. "Aku hanya akan mempostingnya seperti biasa."
[Name] mengerlingkan bola matanya. "Kau selalu melakukan itu, Ajax."
Tartaglia tersenyum penuh makna. Dia berdeham dan bertanya dengan suara yang sedikit lebih rendah, cemas kalau-kalau [Name] berubah pikiran, "jadi... aku boleh menyimpannya?"
[Name] menoleh, memandangi Tartaglia sejenak sebelum mengangguk. "Kau boleh menyimpannya."
Namun di dalam hati, Tartaglia merasa sayang kalau foto-foto itu hanya untuk dirinya sendiri. Baginya, dunia harus tahu bahwa [Name] adalah kekasihnya—seseorang yang membuat dunianya terasa lebih sempurna. Karena itulah dia tidak bisa menahan diri untuk tidak memperlihatkannya.
Tapi tiba-tiba, pertanyaan yang semulanya ia pendam muncul lagi di dalam kepalanya. Menggeliat menuntut jawaban.
Dia menoleh ke arah [Name], menatapnya sebentar sebelum akhirnya mengumpulkan keberanian untuk bicara. "Aku ingin tanya sesuatu," katanya pelan, nadanya sedikit gugup.
[Name] menoleh. "Ada apa?"
Tartaglia menelan ludah, merasa sedikit cemas dengan apa yang akan ia katakan. "[Name], kau pernah bilang kalau kau pernah melihatku bertikai sebelumnya," kata Tartaglia, sesekali ia menoleh-nolehkan pandangannya dengan canggung. "Kapan... kapan kau melihatku saat itu?"
"... kenapa tiba-tiba kau menanyakan hal itu?"
"Tidak, itu... maksudku...." Tartaglia mendesah, mencoba menenangkan dirinya. "... aku tahu kalau ini sangat terlambat karena kita sudah menjalaninya sejauh ini, tapi aku ingin tahu... apa yang membuatmu akhirnya menyukaiku?"
"...." Namun detik itu, [Name] hanya terdiam dan menatapnya. Entah kenapa kala itu, dia tidak bisa melihat ekspresi [Name].
Dia takut. Sangat takut saat ini. Jika benar apa yang dibicarakan Wriothesley dan Kaeya adalah alasan mengapa [Name] mulai menyukainya, sementara Tartaglia sama sekali tidak mengingatnya—lebih tepatnya, dia benar-benar lupa—itu artinya dia telah menganggap sesuatu yang sangat berharga bagi [Name] sebagai hal yang sepele. Itulah yang membuatnya sangat ketakutan sekarang.
"Kau benar-benar tidak mengingatnya, Ajax?" Tanya [Name], intonasinya yang biasa kini terdengar menusuknya.
"... maafkan aku."
[Name] terdiam sekali lagi. Dia menurunkan tangannya dan memandang ke depannya sejenak sebelum menoleh untuk melihatnya, menatap lurus ke arah matanya.
"Lebih dari satu tahun yang lalu, saat hari pertama masuk sekolah tahun ajaran baru... kaulah yang menyelamatkanku, Ajax."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro