Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 34

"Oh, kau sudah datang."

"Aku terkejut kau ada di sini," kata Tartaglia, dia melirik ke arah [Name] dengan ekspresi agak terkejut. "Ngomong-ngomong, apa yang sedang kau lakukan?"

Tartaglia menunduk ke arah [Name], melihatnya dari atas sampai bawah, melihat apa yang sedang dilakukan gadis itu saat ini.

[Name] sedang duduk di lantai ruang keluarganya bersama Teucer dan Irina, tangannya sibuk merakit bagian-bagian kecil lego yang berserakan di depannya. Pandangannya fokus pada potongan-potongan plastik warna-warni itu, mencoba menyusun bentuk yang diinginkan. Di sebelahnya, Teucer baru bergabung setelah anak laki-laki itu memanggil Tartaglia untuk keluar dari kamarnya.

[Name] menoleh sejenak, mengangkat alis, sebelum menunduk lagi pada legonya. "Merakit gedung Avangers. Teucer bilang dia sudah lama ingin membuatnya bersamamu, tapi dia berubah pikiran. Jadi kami merakitnya bersama sejak tadi."

Tartaglia tertawa. "Begitu. Syukurlah karena kau juga menikmatinya."

Tartaglia akhirnya ikut duduk di samping [Name], mencoba melihat bagaimana gedung lego mereka mulai terbentuk. Namun sebelum dia sempat duduk lebih dekat pada gadis itu, Tonia dengan cepat melompat di antara mereka, duduk tepat di tengah dan memisahkan [Name] dan Tartaglia.

[Name] menatapnya sekilas dengan bingung, tetapi tidak berkata apa-apa dan hanya tersenyum pada gadis itu. Saat itulah ia bisa melihat Tonia yang melihatnya dengan pandangan kurang menyenangkan: alisnya berkerut, garis bibirnya sedikit turun, dia tampak seperti anak-anak yang marah padanya—tapi kenapa dia marah padaku?

[Name] mengangkat bahunya, tak ingin terlalu mempermasalahkannya. Dia tahu Tonia memang sangat dekat dengan Tartaglia, jadi wajar kalau dia selalu ingin dekat dengan kakak laki-lakinya yang satu ini. Alih-alih menghiraukannya, [Name] kembali fokus pada gedung lego yang hampir selesai.

Setelah beberapa waktu, mereka skhirnya selesai merakit legonya. Teucer bersorak senang, bertepuk tangan atas pencapaian mereka, sementara Tonia memandang hasil kerja mereka dengan penuh kebanggaan. "Akhirnya selesai!" Teucer bersorak bangga. "Ini bagus sekali! Terima kasih karena sudah membantuku, Kak [Name]!" Lalu matanya bergulir ke arah jemari [Name] yang memerah. Dia dengan cemas bertanya, "... jarimu memerah, Kak [Name] tidak apa-apa?"

[Name] tersenyum, dia menggeleng pelan. "Tidak, aku baik-baik saja. Ini bukan apa-apa."

"Benarkah?" Tanya Teucer lebih, dia semakin terlihat khawatir.

"Perlihatkan tanganmu padaku, [Name]," pinta Tartaglia, dia mengangkat tubuh dan bergeser untuk mendekati [Name].

Belum sempat Tartaglia melihat tangan gadis itu, tiba-tiba di sampingnya Tonia berteriak, "ah! Sakit! Tanganku merah, ini sakit ...!"

[Name] dan Tartaglia tertegun mendengar teriakan Tonia. Gadis kecil itu memegangi tangannya, wajahnya dibuat-buat seolah sedang kesakitan. Tartaglia langsung beralih ke adiknya dengan raut khawatir, sementara [Name] hanya mengerutkan kening dengan heran. Dia heran bukan karena Tonia yang tiba-tiba teriak, tapi dia heran karena saat Tartaglia beralih kepadanya, gadis itu sekali lagi menatapnya dengan ekspresi kurang menyenangkan.

... lagi-lagi? Sebenarnya dia ada masalah apa denganku?

"Kau baik-baik saja, Tonia?" Tartaglia segera berjongkok di samping adiknya, memeriksa tangannya dengan seksama. "Mana yang sakit? Biar Kakak lihat."

Tonia mengulurkan tangannya, membiarkan Tartaglia melihatnya sejenak. Saat itulah Teucer menyembur, "padahal belum lama kau merakitnya, bagaimana bisa jemarimu lecet secepat itu?"

"I-itu karena aku tidak berhati-hati!"

"Oh, begitu." Teucer melengos, percaya begitu saja. Dia kembali beralih pada [Name] dan memegang tangannya. "Kalau begitu aku yang akan menyembuhkan Kak [Name]!" Teucer berdeham, sambil mengusap jemari [Name] dengan lembut, dia berkata, "hilanglah, rasa sakit, hilanglah, keburukan. Pergilah, sembuhkan luka ini. Pergilah, jadikanlah lebih baik. Pergilah, sebentar lagi akan sembuh."

Kemudian Teucer meniup tangan [Name] dan gadis itu terkekeh karenanya. Benar, Teucer memang seperti ini. Saat membuat janji waktu itu pun demikian. Jadi [Name] berkata, "terima kasih. Berkatmu rasa sakitnya sudah hilang."

Teucer tersenyum lebar. "Syukurlah. Kalau begitu, kita bisa bermain lagi setelah ini."

Saat itulah ia bisa merasakan sepasang bola mata terus mengarah padanya. Kala [Name] menoleh, ia mendapati Tartaglia tengah menatapnya terang-terangan. "Ada apa?" Tanya [Name] menginterupsi.

Tartaglia menggeleng dan tersenyum. "Apa masih terasa sakit? Aku akan mengurusmu setelah selesai dengan Tonia."

[Name] mengangguk. "Semua baik-baik saja, terima kasih. Ini hanya sedikit memerah, tidak terlalu serius."

"Sungguh?" Tanya Tartaglia lebih, masih tidak yakin. "Biarkan aku—"

"Kak Ajax," panggil Tonia, dia menahan tangan Tartaglia dan menggenggamnya, kemudian mendongak. "Ayo kita bermain permainan peran. Kau sudah berjanji, 'kan?"

"Iya, tapi—"

"Aku jadi Tuan Putri dan Kakak jadi Kesatria yang menyelamatkanku!" Desaknya.

Tartaglia mendesah pelan, dia tersenyum kecil. "Baiklah, Tuan Putri. Kesatria ini siap melayani." Lalu, dengan senyum lebih lebar, dia menoleh ke [Name]. "Kau ingin ikut bermain, [Name]?"

Namun, sebelum [Name] bisa menolak lebih jauh, Teucer dan Irina bergabung dengan semangat untuk mengajak [Name] ikut serta. "Ayo, [Name], biasanya kita semua ikut bermain! Kali ini kau juga harus bergabung. Jangan cuma duduk saja!" Ujar Irina.

"Benar!" Sambung Teucer. "Kak [Name] harus ikut, aku bisa jadi kesatria untukmu!"

"Tidak apa-apa, bergabunglah, [Name]," kata Irina sekali lagi.

"Kuberitahu padamu, [Name]," sambung Axel yang tiba-tiba bergabung dengannya. "Mereka tidak akan mulai sampai kau ikut, percayalah padaku."

"Ah...." Setelah dibujuk kedua orang itu, [Name] akhirnya menyerah. Dia mengangguk pasrah. "Baiklah... kalau begitu. Tapi aku ingin peran yang sederhana."

─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───

Akhirnya [Name] memasuki plot akhir yang sedang seru-serunya dimana sang penyihir—Maleficent—yang berubah menjadi seekor naga dibunuh oleh pangeran untuk membalaskan kutukannya pada sang Putri Tidur, Aurora. Sang pangeran akan melemparkan pedangnya ke jantung sang penyihir yang berubah menjadi naga dan membunuhnya hingga menjadi abu. Tapi karena tidak mungkin Tartaglia melempar pedangnya, jadi dia akan menusukkannya tepat di jantung [Name]. Pada saat itulah [Name] akan berpura mati dan Tartaglia bisa melanjutkannya ke bagian selanjutnya. Cerita pun berakhir.

[Name] pun berjalan ke tengah ruangan yang sudah ditata sedemikian rupa, sehingga cukup untuk menjadi panggung kecil di sana. Kini dia saling berhadapan dengan Tartaglia, berdiri tegak menghadapnya layaknya seorang penyihir gelap sekaligus peri yang kuat.

"Ini tidak bisa dibiarkan," kata [Name] pongah. "Kau harus melawanku dan kekuatan gelap dari kedalaman Abyss yang kubawa bersamaku, bersiaplah!"

Sial! Ini sungguh memalukan dan [Name] hampir ingin berteriak melakukannya, tetapi jika dia tidak sungguh-sungguh, Tonia akan terus mengomelinya lantaran ia tidak serius memerankan Maleficent.

"Maleficent, kita hentikan pertarungan yang sia-sia ini," kata Tartaglia terdengar dramatis.

[Name] sedikit tertegun, dia tidak ingat kalau sang Pangeran pernah meminta hal semacam ini pada Maleficent. Kendati demikian, [Name] tidak ingin mengambil pusing dan ikut berimprovisasi. [Name] mendongak dengan angkuh, lalu membalas, "setelah apa yang sang Raja tanah ini perbuat, kau pikir aku bisa memaafkannya begitu saja?"

"Aku tidak akan membunuhmu," katanya tiba-tiba. Tartaglia lantas mengulurkan tangannya dan menambahkan, "tidak perlu ada pertumpahan darah lagi, kita hentikan sampai di sini."

[Name] membisu, mulai bertanya-tanya dalam benaknya, sebenarnya ini permainan peran untuk cerita apa? 

Tartaglia yang tetap teguh dengan perubahan narasi yang diciptakannya, melanjutkan sambil memangkas jaraknya, "kutukanmu hanya lahir dari rasa sakit dan pengkhianatan, tapi kita tidak perlu terus-menerus berperang. Aku memilih perdamaian."

Apa dia mencoba mengubah cerita sehingga membuatnya tidak terlalu tragis dengan tidak adanya adegan pembunuhan yang dilakukan sang protagonis dan menggantinya dengan adegan saling memaafkan khususnya kepada karakter penjahatnya? Oh, sungguh. Ini jadi cerita yang terdengar sangat manis tapi memang seharusnya seperti ini mengingat ada Teucer yang sedari tadi begitu antusias memainkannya.

Teucer berseru, "Ya, Kak Ajax benar! Tidak perlu ada pertarungan lagi! Kita bisa hidup damai!"

Tartaglia melanjutkan, mengambil langkah lagi dan berhenti tepat dihadapannya. "Aku tahu kesedihanmu, Maleficent, tapi tidak ada gunanya menambah penderitaan lebih lama lagi."

[Name] memandang Tartaglia. Dia sungguh terbiasa untuk memainkan permainan seperti ini sampai sejenak membuatnya terperangah hingga tanpa sadar gadis itu mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Tartaglia. "Ajax...." [Name] tersentak, dia berdeham canggung. "maksudku... Pangeran...."

Sekali lagi, [Name] sangat ingin berteriak. Terlebih sekarang Tartaglia tersenyum menyeringai kepadanya, menahan tawanya di sana seolah sedang bersenang-senang melihatnya begitu canggung dan kikuk seperti orang bodoh. Setelah ia pikir lagi, sejak tadi Tartaglia terus tersenyum geli ke arahnya dan membuatnya sangat malu.

"Jika itu keinginanmu, maka—"

"BERHENTI!" Teriak Tonia tiba-tiba, wajahnya terlihat sangat marah. "Ceritanya tidak seperti ini! Penyihir seharusnya menolak permintaan Pangeran dan terjadi pertarungan!"

"Tapi, Tonia," kata Tartaglia, mencoba membuat adik perempuannya mengerti. "Ceritanya akan lebih bagus kalau seperti ini."

"Tidak, ini tidak bagus!" Sanggahnya. Tonia menoleh ke arah [Name] dengan ujung alisnya yang naik. "Dan kau salah memanggilnya. Kak Ajax memang pangeran, tapi kau tidak bisa memanggilnya begitu saja."

"... maafkan aku."

"Baiklah, lanjutkan seperti seharusnya!"

[Name] mendesah pendek, kembali menjiwai peran Maleficent. Dengan penuh wibawa, ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, seolah memanggil kekuatan kegelapan dari Abyss. "Tidak ada kedamaian yang bisa kau tawarkan padaku, Pangeran. Hanya kematian yang bisa menebus penghinaan yang telah menodai tanah ini!"

Tartaglia yang kini kembali berperan sebagai sang Pangeran, menarik pedang kayunya dan memposisikan tubuhnya seolah siap menyerang. "Jika itu pilihanmu, maka aku tidak punya pilihan lain selain menghentikanmu di sini!"

Tonia yang mengawasi dari samping, mengangguk puas melihat alur cerita kembali ke jalur yang seharusnya. "Itu baru benar!"

Teucer yang berada di belakang mereka ikut berseru, "Ayo, Kak Ajax! Kau bisa mengalahkan penyihir jahat itu!"

Dengan keyakinan yang baru, [Name] melangkah maju, menatap Tartaglia dengan tatapan yang penuh amarah. "Maka datanglah, Pangeran! Hadapi kekuatanku!" Ia lalu melangkah mundur, seolah sedang bersiap untuk berubah menjadi seekor naga dan—

"[Name]!"

—[Name] memejamkan matanya dengan panik manakala ia hampir saja terjatuh dengan punggung yang lebih dulu menyentuh tanah jika saja Tartaglia tidak menahan punggungnya.

"[Name], kau baik-baik saja?" tanya Tartaglia dengan cemas, suaranya menggema di antara dinding ruang keluarga yang kini dilanda keheningan. Seluruh energi dramatis dari permainan mereka tampak sejenak berhenti ketika ia menahan [Name] yang hampir terjerembab ke belakang.

Mata [Name] yang tadinya terpejam kini terbuka lebar, menatap Tartaglia dari jarak yang sangat dekat. Wajah Tartaglia begitu serius, jauh dari senyuman geli yang ia perlihatkan sebelumnya. Detik-detik hening terasa begitu panjang, membuat [Name] semakin canggung. Sementara tanpa ia sadari sebelumnya, tangannya berpegangan erat di lengan dan bahu Tartaglia.

"A-aku baik-baik saja," balas [Name] dengan nada terputus-putus, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. "... bisa kau lepaskan aku sekarang?"

Tartaglia menatapnya sejenak lagi, seolah memastikan bahwa [Name] benar-benar baik-baik saja sebelum akhirnya mengambil langkah mundur dan membantu gadis itu berdiri dengan lebih sempurna.

Tonia melambaikan tangan ke arah Tartaglia dan [Name], lalu melanjutkan dengan penuh kekesalan, "Pangeran harus melawan, bukan merawat Maleficent! Seharusnya kau biarkan saja dia terjatuh!"

"Tonia...."

"Dan kau," Tonia menyalak, sekali lagi menoleh ke arah [Name]. "Perhatikan langkahmu, jangan ceroboh lagi."

"Aku mengerti...."

─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───

[Name] mendesah lelah. Ini pertama kalinya dia bersungguh-sungguh melakukan sesuatu yang seharusnya tidak perlu sampai sejauh ini dilakukannya.

Dan aku hampir gila karena ini....

Kalau bukan karena Tonia yang terus berteriak setiap kali [Name] membuat kesalahan dan meminta ia mengulangnya, sudah pasti ini akan selesai lebih cepat daripada yang seharusnya.

"Kau baik-baik saja, [Name]?" Tanya Irina ketika ia mendengar [Name] mendesahkan napasnya dengan lelah untuk kesekian kalinya. "Maafkan aku, seharusnya aku bisa lebih tegas pada Tonia."

[Name] mengulum senyuman tipis dan menggeleng. "Tidak masalah. Bagaimana pun Tonia masih anak-anak, setidaknya aku ingin menjaga mimpinya."

Irina tiba-tiba terkekeh. "Kau terdengar seperti Ajax."

[Name] menunduk, dia mengelus kepala Teucer yang kini berada di pangkuannya dan sudah tertidur di sana. Sesungguhnya, meski sangat melelahkan, dia pun sangat menikmatinya. [Name] tidak memiliki saudara yang sedarah dengannya dan baginya ini pengalaman yang cukup berharga—atau mungkin sebetulnya, dia hanya sangat menikmati kebersamaannya dengan anak-anak.

"Aku juga ingin minta maaf atas sikap Tonia padamu," kata Irina tiba-tiba. "Itu... dia sangat menempel dengan Ajax, karena itulah dia bersikap sangat sensitif padamu... kau tahu, mungkin dia...." Irina terdiam sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. Dia lalu melanjutkan dengan suara berbisik, "... dia cemburu padamu."

[Name] mengangguk perlahan beberapa kali. Dia bergumam, "... cemburu padaku...."

Dia mengusap lembut rambut Teucer, sambil merenung dalam diam. Tonia sangat menyayangi Tartaglia dan [Name] bisa memahaminya, mengingat bagaimana Tartaglia selalu begitu peduli dan protektif pada adik-adiknya. Mungkin dari sudut pandang Tonia, kehadiran [Name] dalam kehidupan Tartaglia seperti mengambil sebagian perhatian yang seharusnya hanya untuk dirinya seorang terutama karena mereka sama-sama perempuan.

"Aku tidak pernah menyangka kalau dia merasa begitu," bisik [Name], lebih pada dirinya sendiri daripada kepada Irina.

Irina tersenyum lembut dan berkata, "kau tak perlu khawatir. Ini bukan hal besar, dan aku yakin seiring waktu, dia akan terbiasa dengan kehadiranmu."

"Terima kasih, Kak Irina."

Seharusnya [Name] merasa sangat bersyukur sekarang karena ada salah seorang anggota keluarga Tartaglia yang menolaknya. Bagaimana pun dia tidak ingin terlalu terikat pada keluarganya mengingat dia akan segera mengakhiri hubungannya dengan Tartaglia.

Namun kenapa perasaannya terasa buruk memikirkan hal itu sekarang? Mengapa ia merasa sangat sulit sekarang? 

Penolakan gadis kecil itu terus terngiang di kepalanya. Meskipun [Name] mencoba meyakinkan dirinya bahwa reaksi Tonia hanyalah perasaan cemburu yang kekanak-kanakan, tetapi mengapa penolakan itu membuatnya resah? Mengapa ia justru merasa takut hingga membuat dadanya berdegup kencang karena gugup?

"Oh, benar. Setelah ini kau harus kembali, kan?" tanya Irina lagi. "Ajax yang akan mengantarmu, pergi saja ke kamarnya di atas. Tinggalkan saja Teucer di sini, aku yang akan membawa dia ke kamarnya."

"Aku mengerti."


































─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───

Halo para Reader Mikajeh yang dateng demi Mas Tatang dan selamat datang kepada para Reader baru di lapak ini~! 🥰 apa kabar semuanya? Semoga baik-baik aja, ya! 😉

BTW aku mau diklaimer dikit karena ini cukup penting yak ☺️ mungkin yang baca voiceline dan story Tartaglia tau kalo Tonia ini karakternya lebih dewasa, tapi perlu kuingatkan kalo Tonia di sini usianya 12 tahun jadi aku nyamain mental anak-anak 12 tahun 🥹 kalo di in-game, berdasarkan perhitungan HC-ku, Tonia usianya kisaran 18-19 tahun karena adek-adeknya yang gatau soal "kerjaan" Tartaglia cuman Teucer, sisanya tau semua jadi mari sisihkan karakter Tonia itu di sini kek yang kubilang sebelumnya ya ☺️

Alesan doi protective banget sama Tartaglia ya kayak tipikal adek perempuan yang nempel banget sama Abangnya yang super duper baik, perhatian, dan bonus lainnya lah makanya kesannya doi kek Brocon awokawoka—kuakui itu 🏃🏻‍♀️💨 Tapi ya gais, gw kalo punya Abang kek Tatang juga bakal gw gate-keeping njir 🙂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro