Chapter 29
Hal yang paling tidak diinginkan Tartaglia terjadi: [Name] datang menemuinya langsung.
Walaupun sudah sedari lama Tartaglia menginginkan [Name] untuk datang ke rumahnya dan bertemu dengan saudara-saudaranya, sebetulnya ini hal yang patut disyukuri. Namun ia tidak bisa senang dengan itu menyadari bagaimana situasinya sekarang. Jelas ini bukanlah hal yang bagus.
Jadi selama beberapa saat, Tartaglia terus mematung dengan ekspresi panik sementara [Name] menatapnya dengan tatapan menyelidik. Gadis itu jelas sudah mengetahui sesuatu. Apa itu dari teman-temannya? Siapa? Saat kedua sobatnya yang paling menyebalkan itu memunculkan wajah mereka, Tartaglia tidak bisa menyembunyikan ekspresi kesal yang ditunjukkan untuk Wriothesley dan Kaeya di sana sementara kedua orang itu tersenyum seolah tidak melakukan masalah yang besar.
"Ajax, siapa yang—oh!" Sapa Irina dari balik punggung Tartaglia, menyembulkan wajahnya di sana. "[Name]!"
"Kak Irina? Kenapa kau ada—"
Kakak perempuannya itu segera menyela Tartaglia dan menghampiri [Name], menggenggam kedua tangan gadis itu dan tersenyum ceria. "Akhirnya kau datang! Kau tahu, aku sangat menantikan waktu untuk bertemu denganmu lagi!"
"Itu...." [Name] melirik ke arah Tartaglia dengan ekspresi meminta penjelasan.
Irina yang segera menyadari arti tatapannya itu berkata, "oh, apa aku belum mengatakannya padamu? Ajax itu adik laki-laki yang kumaksud, kau kekasihnya, 'kan?"
Tartaglia merasakan panas di wajahnya saat Irina mengungkapkan hubungan mereka tanpa basa-basi. Sementara itu, [Name] hanya bisa menatap Irina dan Tartaglia bergantian, mencoba mencerna informasi yang baru saja diungkapkan. "Kak Irina... adalah kakakmu?" [Name] bertanya dengan nada ragu, meski jawaban sudah jelas di depan matanya.
Tartaglia hanya mengangguk pelan, tidak tahu harus berkata apa. "Iya, Kak Irina adalah kakakku," jawabnya singkat.
Irina tersenyum, menarik [Name] lebih dekat, membuat gadis itu sedikit terkejut. "Jangan salahkan dia, [Name]. Ajax memang tidak terlalu sering membicarakan semua kakak tertuanya," katanya dengan nada bercanda, meskipun ada kebenaran di baliknya. "Tapi aku sangat senang akhirnya bisa bertemu lagi denganmu. Kau tahu, dia sering terlihat seperti orang bodoh setiap kali sibuk dengan ponselnya."
"Kak, tolong jangan buat dia tidak nyaman," gumamnya dengan nada setengah protes. Kenapa Irina harus membicarakan hal yang tidak perlu dihadapan [Name]? Meskipun itu benar, tapi dia tidak ingin [Name] tahu sikap konyolnya setiap kali dia sedang berkirim pesan dengan gadis itu.
Namun Irina hanya tertawa kecil, melepas genggamannya pada tangan [Name] dan menepuk bahunya dengan lembut. "Oh, jangan khawatir. Aku hanya bercanda," katanya, sebelum berbalik menuju dapur. "Aku akan buatkan kalian teh. Kalian bisa berbicara di ruang tamu sementara aku siapkan sesuatu."
"Oh, terima kasih atas sambutannya, Kak Irina," sambung Kaeya, memecah kecanggungan di antara Tartaglia dan [Name]. "Maaf mengganggu. Aku masuk."
Kemudian Wriothesley mengekori di belakang, dia melirik ke arah Tartaglia dan tersenyum tipis. "Aku masuk. Permisi."
Tartaglia menghela napas panjang setelah Wriothesley dan Kaeya masuk, menyadari bahwa ia sekarang benar-benar terpojok. Semua hal yang ia khawatirkan akhirnya tiba—dan ia tidak punya jalan keluar lagi. [Name] masih berdiri di depan pintu, tampak sedikit canggung tetapi juga ingin tahu. Di tengah kegelisahan Tartaglia, ia juga merasakan rasa hangat yang aneh melihat gadis itu di rumahnya. Sesuatu yang selalu ia inginkan, tetapi bukan dalam keadaan seperti ini.
"Ajax...." [Name] akhirnya membuka suara setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya. "Kenapa kau tidak pergi ke sekolah?"
Itu adalah pertanyaan yang retoris. Sudah pasti [Name] tahu apa alasannya, tetapi ia tetap bertanya. Itu artinya apa yang diinginkan [Name] bukan agar ia mendengarnya langsung dari Tartaglia, melainkan mendengar kejujurannya. Walaupun dia tahu gadis ini akan bertanya tentang hal itu, tapi bagaimana dia bisa menghindari pertanyaan ini?
"Maaf. Aku... tidak ingin kau khawatir," jawab Tartaglia pelan, mengalihkan pandangannya. "Aku tidak ingin kau merasa terbebani, tapi aku sadar kau punya hak untuk tahu. Jadi, aku akan menceritakan semuanya."
[Name] mendesah dan mengalihkan pandangannya, lantas ia bergumam, "... menceritakan semuanya...."
"Aku berjanji," kata Tartaglia meyakinkan [Name]. Gadis itu akhirnya melihat kedua bola matanya lagi. "Aku akan mengatakan semua yang ingin kau tahu. Tapi... bisakah kau masuk dulu ke dalam?"
"...."
Tartaglia terkejut. Seharusnya dia tidak terkejut. Namun tetap saja ia tidak bisa tidak terkejut melihat ekspresi [Name] yang biasanya selalu terlihat tenang dengan senyuman tipis di wajahnya yang manis berubah menjadi sangat serius dengan tatapan yang menusuk. Setiap kali Tartaglia berpikir ia tahu segalanya tentang [Name], berusaha mengingat setiap detail pada gadis ini, sesuatu dalam dirinya berubah dengan cepat seperti sekarang ini.
Ia segera tahu bahwa dirinya tidak akan pernah bisa melarikan diri dari gadis ini. Takkan pernah bisa. Aura [Name] sekarang terasa seperti Skirk, teman sekampus Irina yang sering datang ke rumahnya.
"[Name]?"
[Name] mendesah. "Aku akan masuk."
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
"... aku punya saran untukmu, terserah apa kau ingin mengikutinya atau tidak. Keputusannya ada padamu. Bagaimana?"
"Aku akan dengarkan dulu."
"Hari ini aku—kami—ingin pergi ke rumah Tartaglia, memberinya salinan untuk pelajaran hari ini," jelas Kaeya padanya. "Kalau kau ingin tahu lebih jelas tentang masa hukumannya, sebaiknya kau dengarkan langsung dari orangnya."
Itu gagasan yang sangat masuk akal. Tentu, itu benar. Mendengarnya dari Tartaglia langsung adalah pilihan yang terbaik, tetapi jika dia pergi ke rumah pemuda itu tiba-tiba, sesungguhnya [Name] merasa kurang nyaman meskipun Wriothesley dan Kaeya ikut bersamanya. Namun pada akhirnya, [Name] memutuskan untuk ikut dengan mereka dan berbicara pada Tartaglia.
Sebelumnya ia sempat terkejut mendengar Irina adalah kakak perempuan Tartaglia. Oh, dia memang pernah mendengar Tartaglia membicarakan tentang kakak perempuannya, tetapi dia tidak pernah menyebutkan namanya sekali pun. Dia terlalu sering menyebut nama Anthon, Tonia, terutama Teucer pada banyak kesempatan.
Tetapi, mari sisihkan hal itu terlebih dahulu karena begitu [Name] mengungkit tentang alasan ketidakhadiran Tartaglia hari ini di sekolah, pemuda itu langsung terdiam dan mengalihkan pandangannya. [Name] sempat menduga kalau mungkin Tartaglia tidak akan menjawab pertanyaannya sama sekali, menghindarinya, atau yang paling tidak diinginkannya dia akan berbohong padanya. Akan tetapi pada akhirnya, pemuda itu berjanji untuk mengatakan semua yang ingin [Name] ketahui.
"Silakan duduk dan tidak perlu ragu," kata Tartaglia. "Anggap saja seperti rumah sendiri. Aku akan membawakan sesuatu untukmu."
[Name] mengangguk, lalu menatap sekeliling sambil berjalan di tengah ruang tamu bergaya klasik dan mewah, dengan chandelier kristal, cermin besar dengan bingkai berornamen, dan foto-foto yang menghiasi hampir seluruh dinding di sekitarnya dengan berbagai macam ukuran, dari yang terkecil sampai sangat besar.
Foto keluarganya.
Tidak heran Tartaglia tidak pernah ragu menceritakan tentang keluarganya, [Name] bisa melihat kehangatan keluarga besarnya hanya dari foto-foto yang terpasang di dinding ruang tamu. Mulai dari foto-foto Tartaglia ketika masih lebih muda dari sekarang, saat ia berkumpul bersama keenam saudaranya yang lain, bersama ketiga adiknya yang paling kecil, sampai foto keluarga lengkapnya. [Name] bisa langsung mengenali Tartaglia di sana lantaran dirinya yang terlihat paling menonjol.
"Kau benar-benar dekat dengan saudaramu, ya...." gumam [Name].
"Iya. Karena itulah bagiku, keluarga adalah yang terpenting." [Name] menoleh ke belakang, mendapati Tartaglia berdiri di sana sambil membawa nampan di tangannya, membuyarkan lamunan [Name] di sana. "Duduklah, aku membawakan teh dan kudapan untukmu."
"Terima kasih," ucapnya saat dia duduk di sofa, baru sadar kalau Wriothesley dan Kaeya yang sebelumnya duduk di sana sudah berpindah ke ruangan lain.
Tartaglia meletakkan nampan di atas meja di depan [Name], lalu duduk di sebelahnya. Sejenak, mereka hanya diam, menikmati keheningan yang sangat canggung ini. [Name] menatap secangkir teh yang beruap di depannya, sementara Tartaglia menatap ke arah lain, berusaha mencari cara untuk memulai pembicaraan lagi.
"Jadi...." Tartaglia akhirnya membuka suara, intonasinya sedikit ragu. "Apa yang ingin kau ketahui dulu?"
[Name] menatap Tartaglia dengan tegas, lalu bertanya, "kenapa kau pergi mendatangi mereka lagi? Apa yang kau dapatkan setelah memukul mereka seperti itu?"
"Segalanya," jawab Tartaglia singkat. Dia lalu menjelaskan, "aku tidak bisa diam saja setelah melihat apa yang mereka lakukan padamu; dan mereka—mereka... mengatakan hal-hal yang tidak pantas tentangmu. Hal-hal yang sangat menghina, dan aku tidak bisa menerimanya. Aku tahu mungkin aku harus menahan diri, tapi... saat itu, aku hanya berpikir untuk melindungimu, bahkan jika itu berarti aku harus bertindak bodoh."
[Name] mendengarkan, lebih tepatnya itu karena dia bingung harus bersikap seperti apa dan bagaimana cara dia membalasnya. Selama ini Tartaglia selalu memberikan semua dan segalanya, memastikan dirinya merasa nyaman, berusaha memahaminya, dan sekarang—dia benar-benar bodoh!
[Name] mendesah, lantas mengerutkan dahinya dengan tidak nyaman. "Tolong jangan jadikan aku alasan untuk kau bertindak seperti itu, Ajax."
"Maaf. Aku tahu kau tidak ingin aku terlibat dalam masalah ini," lanjut Tartaglia dengan nada lebih rendah. "Tapi aku tidak bisa diam saja saat mereka terus menghinamu. Kau tidak tahu apa yang ada si dalam otak pria brengsek seperti mereka. Mereka lebih dari pantas mendapatkan itu."
"...."
"Aku tahu kau terkejut melihatku yang menjadi... sangat liar seperti ini," katanya, suaranya terdengar semakin rendah. Tartaglia benar-benar merasa takut padanya. Tapi kenapa dia begitu? "Kau tidak perlu mencemaskanku, aku bisa mengurus diriku sendiri. Tapi kumohon, tolong jangan—!?"
Dan [Name] segera mempertanyakan sesuatu di dalam benaknya—mungkinkah Tartaglia tidak ingin dia melihatnya yang sedang berkelahi? Apakah dia berpikir [Name] akan membencinya begitu gadis itu melihatnya seperti itu? Oh, tidak mungkin!
"—membencimu?" Kata [Name] menyambung usai Tartaglia menahan suaranya di sana, bahu pemuda itu tersentak seketika. Dugaannya tepat. "Kenapa aku harus membencimu?"
"Eh?" Tartaglia mendongak, kerutan di dahinya tidak hilang di sana. "Karena aku berandalan dan kau tidak ingin memiliki kekasih sepertiku setelah tahu itu."
"...."
Alis [Name] naik sebelah. Dia tidak mungkin tidak mengetahui reputasi Tartaglia yang luar biasa. Benar, dia seorang berandalan yang tidak akan segan memukul orang yang ada dihadapannya jika orang itu dianggap telah layak untuk diajaknya berkelahi.
Namun perkelahian yang dilakukan Tartaglia selalu beralasan dan dia selalu mengundang orang untuk diajaknya berkelahi, karena itulah dia tidak dikeluarkan dari sekolah sampai detik ini.
Tidak tahukah Tartaglia kalau [Name] pernah melihat dia memukul seorang siswa tahun ketiga saat ia masih di tahun keduanya tepat pada hari penerimaan siswa baru hampir satu setengah tahun yang lalu?
[Name] mengembuskan napasnya sekali lagi, lalu dia berkata, "aku tidak membencimu karena itu, lagi pula aku sudah pernah melihatmu memukul orang seperti itu. Apa kau sadar kalau sekarang kau terancam akan dikeluarkan dari sekolah?"
"Aku tahu...."
Ini tahun ketiganya, terlalu berisiko untuknya. Jika Tartaglia dikeluarkan dari sekolah dengan catatan karena berkelahi dengan siswa dari sekolah lain, seluruh sekolah disekitarnya memiliki alasan kuat untuk tidak menerima siswa sepertinya. Dia tahu itu tetapi tetap melakukannya? Benar-benar sangat bodoh! Tolol!
"Tapi aku benar-benar tidak bisa membiarkan mereka bebas setelah apa yang mereka lakukan," Tartaglia akhirnya berkata dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. "Aku tidak berpikir panjang waktu itu. Aku hanya merasa... marah, tak berdaya, dan aku tahu, mungkin tindakanku salah, tapi aku tidak menyesal melakukannya."
[Name] menatap Tartaglia dengan perasaan campur aduk. Ia bisa merasakan ketulusan di balik kata-kata pemuda itu, namun juga kebodohan yang sama besarnya. "Tapi dengan begitu, kau hanya memberi mereka alasan untuk menyebutmu tidak lebih baik dari mereka. Kau tahu itu, bukan?"
"[Name]—"
"Aku tidak ingin kau mempertaruhkan masa depanmu hanya untuk membalas dendam atas sesuatu yang terjadi padaku. Itu bukan yang aku inginkan darimu," kata [Name], dia sudah lelah lantaran terus menahan beban emosinya di sana. "Apa kau tidak bisa mengerti itu? Kau tidak perlu melindungiku dengan cara seperti itu, Ajax. Aku hanya—"
Lalu Tartaglia mendongak, dan [Name] bisa melihat matanya yang berkilat-kilat mengharapkan sesuatu darinya.
"—aku hanya ingin kau ada di sampingku, itu saja."
Kemudian keduanya terdiam. Lebih tepatnya itu karena [Name] berusaha untuk tidak mengatakan apa pun lagi pada Tartaglia, menghindari kemungkinan dia akan mengatakan sesuatu yang dapat menyakiti hati pemuda di depannya ini.
Di samping itu... entah kenapa [Name] merasa harus mengatakan itu; bukan semata ingin mengatakannya, melainkan untuk membuatnya lebih tenang.
"Aku...." Tartaglia bergumam. Lalu ia mendongak untuk melihat [Name] di sana, menatapnya lurus ke arah bola matanya dan menarik sebelah tangannya. "Aku minta maaf. Aku tidak akan melakukan hal seperti itu lagi. Tolong, jangan marah padaku, [Name]...."
"...." Alis [Name] berkerut lagi. Kali ini muncul kedutan di sudut alisnya. "Kau benar-benar tahu kapan harus menggunakan wajah tampanmu itu, ya?"
Tartaglia menarik kedua sudut bibirnya. Dia menggidikkan sebelah bahunya acuh. "Hanya kepadamu," katanya. "Dan karena aku tahu kalau kau suka padaku."
"... kau benar-benar menyebalkan."
"Jadi...." Tartaglia kembali bersikap canggung. "... apa kau akan memaafkanku?"
"Aku sudah memaafkanmu, Ajax," kata [Name] akhirnya. "Tapi bukan berarti aku akan lupa dengan ini, kau mengerti?"
"Aku mengerti."
"Dan terakhir, aku akan membuat pihak sekolah menarik surat ancaman pengeluaranmu dari sekolah."
"[Name]—"
"Kau tidak berhak menghentikanku untuk yang ini. Kuharap kau mengerti."
Oh, tentu saja. Dia tidak akan lagi bersikap lunak kepada Tartaglia.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro