Chapter 26
[Name] sudah mulai terbiasa dengan sikap Ibunya yang keras dan cenderung mengontrol setiap aspek kehidupannya. Setelah berselisih, [Name] merasa lebih baik mengurung diri di kamar daripada menghadapi percakapan yang sama lagi. Bahkan ketika pagi menjelang, saat Ibunya mendekat dan mulai bertanya tentang kejadian pada hari sebelumnya. Dia tidak ingin membahasnya, jadi sekali lagi dia menggunakan alasan yang sudah disiapkan: urusan komite sekolah yang mendesak.
Namun, di dalam hatinya, [Name] tahu bahwa kebohongan kecil ini tidak akan bertahan lama. Ibunya terlalu cerdas untuk dibohongi, dan mungkin itu hanya masalah waktu sebelum semuanya terungkap. Tapi untuk saat ini, [Name] tidak bisa memikirkan cara lain untuk menghadapi situasi yang semakin rumit ini. Dan jika Ibunya memutuskan untuk mengambil kunci kamarnya lagi, biarlah. Bagi [Name], memiliki ruang untuk dirinya sendiri adalah satu-satunya pelarian yang tersisa.
Namun daripada itu, dia lebih memikirkan cara bagaimana dia harus menghadapi Tartaglia setelah pemuda itu melihatnya menangis sesegukan seperti itu. Oh, itu memalukan. Sangat. [Name] hampir saja menghantamkan kepalanya pada tiang besi di jalan saat memikirkan hal itu.
Lalu Ayato—itu lebih buruk lagi. Tidak hanya melihat sosoknya yang sangat menyedihkan, pemuda itu bahkan sempat-sempatnya meminjamkan jasnya untuk menutupi tubuh [Name].
"Sekarang, bagaimana aku menghadapi mereka?" [Name] bergumam sambil meletakan kepalanya di atas meja dengan malas.
"Kau baik-baik saja, [Name]?"
"Tidak." [Name] mendesah dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Oh, Archon! Apa yang harus kulakukan sekarang, Ayaka!?"
"... maaf?"
"Sebenarnya apa yang terjadi, [Name]?" Tanya Yoimiya lebih. "Kau tahu, sejak tadi kau terus mengatakan hal yang sama."
"Sebenarnya...."
Kemudian [Name] mendesah pelan, dan mulai menjelaskan apa persisnya yang terjadi pada Ayaka dan Yoimiya. Hanya cerita singkat tanpa mengatakan apa yang terjadi padanya tempo hari saat ketiga orang pemuda dari sekolah lain membawanya ke gang dan seorang gadis yang selalu merundungnya ada di sana untuk merekamnya.
Kedua temannya tidak perlu tahu, lagi pula [Name] tidak berencana menceritakan hal ini kepada orang lain termasuk kedua orang tuanya. Dia bahkan sudah memperingatkan Tartaglia dan Ayato untuk bungkam tentang kejadian itu dan menyimpannya sendiri.
Meski awalnya Tartaglia menolak gagasan [Name] tetap menutup mulutnya dari orang tuanya, setelah menjelaskan alasan gadis itu, akhirnya Tartaglia menurutinya.
"Begitu rupanya, ya...."
Yoimiya menelengkan kepalanya dan bertanya, "ah, jadi itu alasan wajahmu terlihat buruk sekarang. Tapi kenapa kau bisa menangis?"
[Name] tersenyum dan menjawab, "aku terjatuh dari tangga."
"Ah...." Yoimiya mengangguk, merasa puas dengan jawabannya. "Lagi-lagi kau jatuh dari tangga."
Sebetulnya itu alasan yang sangat klise dan patut dicurigai. Memang benar kalau [Name] sering kali jatuh dari tangga. Dia bahkan pernah membuat kakinya terkilir setelah salah menapak anak tangga di sekolahnya dan membuatnya pincang selama lebih dari seminggu. Pernah juga tergelincir dengan bokongnya yang lebih dulu mendarat, untungnya saat itu dia baik-baik saja. Lalu yang terakhir ketika Ayato menyelamatkannya.
Namun [Name] tahu, Ayaka tidak dapat ia bohongi seperti Yoimiya karena gadis manis dengan kuncir kuda itu sekarang menatapnya dalam diam.
Begitu bel pergantian waktu pelajaran berikutnya terdengar, dan Yoimiya kembali ke kursinya, Ayaka berkata, "kau tidak jatuh dari tangga bukan, [Name]? Kakakku pulang tanpa membawa jasnya dan dia bilang baru bertemu denganmu."
"Tentang itu...." [Name] terdiam, dia mengalihkan perhatiannya dari Ayaka. Setelah satu helaan napas pendek, [Name] menoleh ke arahnya dan berkata, "maafkan aku, Ayaka...."
Ayaka mendesah, dia sudah menemukan jawaban dari [Name]: dia tidak berniat mengatakan apa pun padanya. Dia mengenal [Name] cukup baik untuk tahu bahwa ketika temannya itu memilih untuk menyembunyikan sesuatu, pasti ada alasan yang kuat di baliknya.
"Tidak apa-apa, [Name]," kata Ayaka akhirnya, gadis itu menarik kedua sudut bibirnya naik. "Kalau kau tidak ingin mengatakannya, tidak apa-apa."
"Tidak, bukan begitu—" [Name] terdiam seketika, perasaan tidak enak segera merayapinya. "Aku akan mengatakannya padamu, tapi bukan sekarang. Maaf."
Ayaka mengangguk, meyakinkan [Name] bahwa itu bukanlah masalah untuknya. Namun hal itu tak mengubah perasaan sungkannya pada Ayaka, bagaimana pun dia tetaplah temannya.
"Semuanya kembali ke tempat masing-masing dan keluarkan tugas mengarang kalian."
Begitu Madame Ping masuk dan mentitahkan hal itu, seluruh siswa di kelas [Name] langsung sibuk mengeluarkan tugas mereka masing-masing dari dalam tas mereka. Pada detik itulah sebuah pesan masuk ke ponselnya.
Dari Tartaglia.
[Name] membaca sekilas pada layar notifikasi di ponselnya, mematikan dan memasukannya ke dalam laci mejanya. Meski tidak yakin apa yang ingin dibicarakan Tartaglia, tapi kemungkinanya hanya satu. Ya, lagi pula [Name] tidak sedang berusaha untuk tegar dan dia ingin mendengar apa yang akan dikatakan Tartaglia padanya.
Dia mendesah. "Sudah pasti dia tidak akan mendengarkanku."
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
"[Name]," panggil Tartaglia begitu melihatnya mendekat. Suaranya lembut seperti biasa. "Aku tahu kalau kau ingin melupakan apa yang terjadi, tapi aku tidak bisa membiarkan ini begitu saja."
"Ajax...." [Name] mengembuskan napasnya. Tepat seperti perkiraannya. "Kumohon... aku tidak ingin membahasnya lagi."
Tartaglia mendesah pelan, mendekat dan meletakkan tangannya di bahu [Name]. "Aku mengerti kalau kau tidak ingin orang lain tahu. Tapi kau juga tidak bisa membiarkan ini begitu saja. Ini tidak sehat untukmu, [Name]."
"...."
"Bagaimana bisa kau terlihat lebih tenang daripada aku?"
[Name] tertawa dalam hatinya. Benar, pasti orang akan mengiranya seperti itu, 'kan?
Seorang gadis yang baru saja mengalami pelecehan tiba-tiba bersikap biasa seolah hal itu tidak pernah terjadi padanya. Dia bahkan masih sempat-sempatnya untuk datang ke sekolah pada keesokan harinya dan mengikuti aktivitasnya yang biasa. Jelas akan terdengar sangat aneh dan mustahil, bukan begitu?
Namun tidak, [Name] benar-benar seperti itu. Tapi seperti yang ia katakan sebelumnya, dia tidak sedang bersikap tegar. Ini adalah mekanisme pertahanan dirinya untuk melupakan semua hal buruk yang terjadi padanya, seraya tetap beraktivitas seperti biasa sambil memasang senyuman polos seolah ia sedang baik-baik saja.
Dan mungkin sebetulnya, itu terjadi karena dirinya berusaha menyangkal fakta bahwa ia merasa sangat jijik pada dirinya sendiri dan ingin menyingkirkan semuanya tapi tidak bisa.
"Apa aku terlihat setenang itu?" [Name] bergumam, dan Tartaglia mendengarnya cukup jelas.
"[Name]...." Tartaglia mengembuskan napasnya dan memejamkan matanya, dia menarik kedua tangan [Name] dan menggenggamnya di sana. "Kau bisa menuntut mereka, kau harus melakukannya. Mereka tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kaulah korbannya, [Name]."
"Aku tahu, aku juga ingin melakukan itu. Tapi—" bahu [Name] turun, ia bisa merasakan tubuhnya kembali bergetar. "—tapi mereka memiliki videonya, Ajax."
"Video ...?"
[Name] mengangguk. [Name] bisa menuntut mereka, dia sudah tahu itu. Namun itu artinya dia harus rela video saat peristiwa itu terjadi untuk dilihat dan diketahui oleh semua orang. Tartaglia benar, dia korbannya. Tetapi ketika videonya mulai tersebar, bagaimana orang-orang akan mulai membicarakannya? Menjadikan dirinya sebagai konsumsi publik, dipandang sebelah mata, dianggap seorang yang tak lagi bermoral, orang lain akan mulai berpikir kalau mungkin itu adalah kesalahannya sejak awal—ada banyak alasan kenapa orang-orang sepertinya memilih untuk bungkam.
Sayangnya Ibunya juga menganggapnya seperti itu, karena itulah dia memilih untuk tetap tutup mulut bahkan kepada Ibunya sendiri. Tidak ada seorang pun yang akan berpihak atau membelanya, berkata kalau dirinya tidaklah salah meski dia adalah korbannya.
Saat [Name] mengira diamnya Tartaglia karena pemuda itu hendak berhenti untuk membahasnya, tiba-tiba dia bertanya, "[Name], ini bukan pertama kalinya terjadi padamu, 'kan?"
"...." [Name] menunduk. Tidak berniat untuk menjawabnya sama sekali. Dia tidak menyangkal, tapi juga tidak ingin mengakuinya.
"Aku mendengarnya," kata Tartaglia lagi, mendesaknya. "Kau bilang, '... aku tidak ingin merasakannya lagi'."
Lagi-lagi [Name] hanya membisu. Dia mengalihkan pandangannya dari Tartaglia, lantas menyisir rambutnya dengan gerakan dari depan ke belakang dan mendesah. "... aku mengatakan itu, ya?"
"[Name]...." Tartaglia menarik tangan [Name] lebih, menyematkan jemarinya di antara jemari gadis itu, menggenggamnya. Kemudian dia berkata, "kau tidak sendiri."
[Name] tidak menjawab. Matanya tertunduk, memandang ke arah tangan mereka yang saling terjalin. Ada begitu banyak hal yang ingin dia katakan, tetapi setiap kata terasa berat, seperti tidak ada gunanya diucapkan. Jadi gadis itu hanya menyunggingkan sedikit senyumannya dan membalas, "aku tahu. Terima kasih, Ajax."
Saat [Name] hendak berbalik dan pergi dari sana, suara langkah kaki terdengar. Mereka menoleh bersamaan dan mendapati sosok Ibunya dan Ayato muncul di hadapan mereka. Wajah Ibunya tampak serius, dan matanya tertuju langsung pada [Name].
"Ibu?" [Name] terkejut melihat kedatangan ibunya yang tiba-tiba. Dia tidak menyangka akan bertemu ibunya di sekolah, apalagi dengan Ayato di sampingnya. "Kenapa Ibu ada di sini?"
"Ibu hanya ingin memastikan kau benar-benar berada di sekolah dan bukan di tempat lain," jawabnya, lalu matanya bergeser dari [Name] ke tangannya sebelum melihat Tartaglia yang berdiri di sampingnya. Wanita itu tersenyum simpul. "Tapi syukurlah karena Ibu benar-benar menemukanmu berada di sekolah," lanjutnya dan pada detik itu [Name] refleks melepas tangan Tartaglia darinya, dia bisa merasakan pandangan Tartaglia sekilas mengarah padanya. "Lalu, Ibu juga menemukan ini di kamarmu. Ibu merasa perlu datang untuk bertanya langsung tentang kegiatanmu." Sambil bilang begitu, Ibunya menunjukkan sebuah nametag di tangannya. "Bagaimana bisa barang milik Ayato Kamisato berada di tanganmu?"
[Name] terdiam, merasa tubuhnya membeku di tempat. Namun sebelum dia sempat menjawab, Ayato melangkah maju, memasang senyum tenang khasnya dan berkata, "maafkan keteledoran saya. Saya memang kehilangan tanda pengenal saya tempo hari dan [Name] baru mengabari saya kalau dia menemukannya di aula pertemuan antar komite. Dia juga sangat membantu dalam persiapan acara tahunan sekolah. Kami sangat mengandalkannya."
Ibunya [Name] menatap Ayato sejenak, mencari-cari tanda ketidakjujuran. Tapi Ayato tetap tenang dan penuh keyakinan, tidak membiarkan sedikit pun kegelisahan terlihat di wajahnya.
"Kalau begitu, terima kasih sudah mengawasi anak saya," ujar Ibunya [Name] akhirnya, dia masih memasang senyuman yang sama di sana. Dia melangkah mendekati [Name] sambil menyerahkan tanda pengenal itu di tangannya, lalu berbisik, "tapi Ibu tetap ingin bicara denganmu di rumah."
[Name] hanya bisa mengangguk pelan, berusaha untuk tetap bersikap seolah tidak ada yang terjadi padanya meski dia tidak bisa menahan tekanan yang diberikan Ibunya sekarang. Tartaglia dan Ayato bertukar pandang sejenak, keduanya paham bahwa ini belum berakhir.
Lalu ketika Ibunya kembali menarik diri, dia menoleh ke arah Tartaglia dan berkata, "Tartaglia, benar? Terima kasih karena sudah sering mengantar-jemput [Name]."
Tartaglia memasang senyuman dan mengangguk kepada wanita itu sebelum membalas, "bukan apa-apa, Ibu."
"Aku pergi dulu," kata Ibunya, kemudian dia berbalik dan pergi dari hadapan [Name].
Setelah ibunya pergi, suasana terasa tegang. [Name] berdiri di sana, menatap tanah dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa ini bukanlah akhir dari masalah yang dihadapinya, terutama dengan ancaman bahwa ibunya ingin berbicara lebih lanjut di rumah. Namun, dia juga tahu bahwa dia harus menyelesaikan sesuatu di sini.
Dia menoleh perlahan ke arah Ayato, tampak jelas kegelisahan di sorot matanya. "Ayato, maafkan aku... karena sudah membuatmu berbohong untukku tadi," katanya pelan. "Aku benar-benar minta maaf."
Ayato tersenyum tipis, lantas menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin membantu. Lagipula, kita semua berada di tim yang sama dalam hal ini, bukan?" katanya dengan nada yang menenangkan.
[Name] mengangguk pelan, sedikit merasa lega mendengar jawaban Ayato. Namun, rasa terima kasihnya tetap terselip di dalam hatinya. "Terima kasih," ujarnya. "Juga, terima kasih sudah meminjamkan jasmu padaku. Aku akan segera mengembalikannya begitu selesai membersihkannya."
Kali ini Ayato mengangguk. "Ambil waktu selama yang kau butuhkan, tidak perlu terburu-buru."
"Ayo kita pergi, [Name]," sembur Tartaglia sambil menarik lengan [Name].
[Name] menoleh sejenak ke arah Tartaglia sebelum kembali melihat ke arah Ayato dan berkata, "sekali lagi, terima kasih banyak, Ayato. Aku pergi dulu."
"Iya."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro