Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 24

"Selamat pagi, [Name]!"

[Name] mendongak malas dari buku yang berada di genggamannya. Kedua tangannya dia gunakan untuk menahan dua sisi halaman buku yang dibacanya di sana. Tak lupa, kedua telinganya sudah terpasang earbuds dengan sempurna. Padahal itu earbuds in-ear yang memungkinkan dirinya untuk tidak mendengar suara dari luar, tetapi karena salah satunya dilepas oleh seseorang untuk berteriak padanya, ia bisa mendengar suaranya yang cukup nyaring itu.

"Pagi, Ajax. Apa kau perlu berteriak seperti itu padaku?" [Name] merengut, meminta Tartaglia menyerahkan sebelah wireless earbuds-nya kembali.

"Aku sudah memanggilmu berkali-kali, tapi kau terus mengabaikanku." Tartaglia memasangkan sebelah earbuds itu ke telinganya dan mulai mendengarkan lagu yang gadis itu putar. "Oh, aku terkejut kau bisa mendengarkan musik seperti ini."

"Ya, karena itu bisa membangkitkan imajinasiku." Saat menjawab demikian, Tartaglia mengembalikan sebelah earbuds-nya pada [Name]. Gadis itu melanjutkan dengan mata sedikit berbinar, "ngomong-ngomong, ada tempat yang ingin kukunjungi."

"Hm? Apa itu?" Tartaglia berhenti melangkah dan menunggu [Name] menunjukkan sesuatu padanya.

Lalu setelah menemukan hal yang ingin diberitahukannya pada Tartaglia di dalam ponselnya, [Name] berkata, "ada pameran lukisan digital, apa kau ingin pergi melihatnya denganku?"

"Ini...." Tartaglia memperhatikan ke arah ponsel [Name] lebih dekat. Pemuda itu lantas tersenyum sebelum menjawab, "sepertinya aku tahu ini. Kebetulan, aku sudah mendapatkan tiketnya dari kakak laki-laki tertuaku."

"Eh?"

"Sebetulnya aku baru saja ingin menawarkannya padamu." Sambil berkata demikian, Tartaglia merogoh sesuatu di dalam tasnya. "Kakakku manajer pusat perbelanjaan dimana acara itu dibuat, dia memberikanku tiket miliknya karena tidak—"

"Ayo, kita pergi!" Sembur [Name] sambil menggenggam tangan Tartaglia dengan kedua tangannya. "Berjanjilah kalau kau akan pergi denganku, Ajax!"

"O-oh... iya, ayo kita pergi," jawab Tartaglia, terkejut oleh reaksi antusias [Name]. Dia tidak bisa menahan senyuman lebar yang merekah di wajahnya, senang melihat [Name] begitu bersemangat.

[Name] dengan cepat melepaskan genggamannya dan tersenyum malu, menyadari betapa antusiasnya dia tadi. "Maaf, aku terlalu bersemangat...."

Tartaglia terkekeh kecil. "Tidak apa-apa, aku senang kau begitu antusias. Aku jadi sangat menantikannya."

"Kalian terlihat sangat akrab." Suara Ayaka mengalihkan perhatian mereka, tidak tahu kalau gadis itu sudah memperhatikannya sejak tadi dan itu membuat [Name] salah tingkah.

"Benarkah?" Tanya Tartaglia, giliran dirinya yang terlihat antusias.

Ayaka hanya membalasnya dengan anggukkan dan senyuman. Sementara dalam hatinya, [Name] bertanya-tanya, benarkah seperti itu?

[Name] merasa dirinya hanya menanggapi Tartaglia seperti biasa ketika ia bersama teman-temannya dan itu bukanlah sesuatu yang aneh, jadi kenapa Tartaglia terlihat begitu senang?

"Iya, iya. Kalian pasangan yang serasi," sembur Wriothesley yang menyalip di antara mereka. "Tolong beri jalan pada yang single ini. Terima kasih banyak."

"Permisi semuanya," sambung Kaeya di belakang.

[Name] terkejut. Dia melihat ke arah Ayaka, memberi gadis manis berambut perak itu tanda untuk tidak terus menggodanya dengan Tartaglia. Namun Ayaka tidak menghiraukannya. Sementara Tartaglia hanya berguyon dengan kedua teman sekelasnya.

Serasi? Yang benar saja! Itu tidak mungkin terjadi. [Name] tidak berharap dia akan serasi dengan pemuda menyebalkan seperti Tartaglia dan tidak berharap akan seperti itu di masa depan.

"Aku akan ke kelas dulu," kata Tartaglia sambil tersenyum. "Kita akan membicarakan kencan kita lagi nanti."

[Name] mengangguk, lantas pergi dengan Ayaka di sampingnya. Tidak sadar kalau gadis itu baru saja membalas senyuman Tartaglia seperti sudah biasa melakukannya dan kini Ayaka terus menatapnya. Dia menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi bingung sambil memiringkan kepalanya, "ada sesuatu di wajahku?"

"Tidak, tidak ada apa-apa," balas Ayaka singkat sambil tersenyum penuh arti.

─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───

[Name] menurunkan kain penutup pada kanvas di depannya, menatap lukisan di hadapannya dalam diam seolah ia sedang mencari sesuatu di sana. Dia tidak akan sering-sering ke ruang kesenian kalau bukan karena acara tahunan sekolah sudah ada di depan mata sementara progress miliknya terus mandek di sana.

[Name] mendesah, lalu menarik kursi di belakangnya untuk ia duduki seraya menatap lukisan barunya, membandingkannya dengan karya lamanya dari setahun yang lalu. Rasanya berbeda, sungguh. Ini bukan tentang teknik atau pewarnaan yang dia gunakan, melainkan tentang rasa ketika dia memandanginya. Sensasinya terasa lain seolah bukan dia yang membuatnya.

Dia mengembuskan napasnya sekali lagi, meyakinkan dirinya bahwa ia bisa melakukannya kali ini. Kemudian perlahan, [Name] menyapukan kuas dalam genggamannya di atas kanvas, melukiskan semua dan segala hal yang bisa ia tuangkan ke atasnya.

Saat ia sudah tenggelam dalam pikirannya, menyempurnakan detail pada lukisan baru itu, suara lembut memanggil namanya. "[Name]."

Kepala [Name] berputar cepat mencari suara yang tiba-tiba memanggil namanya itu. Dirinya mendapati siswa laki-laki dengan rambut sebiru langit yang lembut dan tidak asing berdiri di ambang pintu. Dia menyilangkan tangannya di dada sementara punggungnya bersandar di pintu.

"Oh... Ayato," [Name] tergagap, masih terkejut. "Aku tidak menyadari kau di sana."

Ayato tersenyum tipis. "Maaf, aku tidak bermaksud mengganggumu. Kau terlihat sangat fokus."

"Ah...."

Pemuda itu melangkah masuk, menghampiri [Name] selagi matanya tertuju pada lukisan lama yang ada di samping [Name]. "Lukisan ini... aku ingat sekali saat pertama kali melihatnya. Waktu itu suasananya hampir sama seperti sekarang," katanya.

[Name] terdiam, mengenang momen pertama kali mereka bertemu di ruang kesenian ini. Saat itu, ia juga sedang tenggelam dalam lukisannya, mencari pelarian dari segala hal yang membebani pikirannya. mencoba menenangkan dirinya dari kejadian beberapa hari sebelumnya.

Kala itu, Ayato dengan sikap tenang menghampirinya dan mengajaknya berbicara, mengagumi lukisannya dan menawarkan saran tanpa memaksakan pendapatnya, dia bahkan membaca perasaannya dalam lukisan itu dan tanpa sadar membuatnya terenyuh. Pertemuan sederhana itu entah bagaimana meninggalkan kesan mendalam di hatinya tanpa ia tahu bahwa Ayato Kamisato adalah kakak laki-laki Ayaka, teman sekelas yang dikenalnya sejak hari pertama sekolah.

"Kau ingat," bisik [Name], suaranya hampir tak terdengar.

"Tentu saja," Ayato menatapnya dengan lembut. "Itu pertama kalinya aku mengenalimu sebagai temannya Ayaka."

Temannya Ayaka, tentu saja. Dia temannya Ayaka. Dia tidak akan pernah lebih dari sekadar teman Kamisato Ayaka. [Name] sudah menemukan banyak jawaban dari satu kalimat itu. Apa ini sebuah kemujuran atau kemalangan karena surat cintanya tak pernah sampai ke Ayato? [Name] tersenyum menyadari hal itu dan membalas, "kau benar."

"Tapi sekarang berbeda," Ayato menambahkan, senyumannya bertambah lebar manakala [Name] menatap wajahnya di sana. "[Name], aku—"

Grek! [Name] dan Ayato menoleh bersamaan ketika pintu ruang kesenian terbuka, menampakan sosok pemuda berambut ginger yang muncul di sana.

"[Name], apa kau di sini?" Pertanyaan itu menghentikan kata-kata Ayato sebelumnya.

"Ajax?"

"Aku mencarimu," ucap Tartaglia sambil menarik tangan [Name] dengan lembut dan tegas, membuatnya berdiri dari kursinya. "Ayo, sudah saatnya kita pergi."

[Name] terkejut dengan gerakan Tartaglia yang tiba-tiba dan intensitas dalam suaranya. "Tunggu, Ajax! Ada apa?" tanya [Name] cepat.

Ayato tetap tenang, tetapi ada sedikit kekecewaan yang terlihat di matanya. "Apakah aku mengganggu?" tanyanya dengan tetap sopan.

Tartaglia menatap Ayato dengan tajam, jelas menunjukkan bahwa kehadiran Ayato tidak diinginkannya. "Sangat," jawabnya dingin sebelum memalingkan wajahnya kembali ke [Name]. "Ayo, pergi."

Sebelum Tartaglia menariknya keluar dari ruang kesenian, [Name] menoleh ke belakang untuk melihat Ayato yang masih berdiri mematung di sana. Dia enggan untuk meninggalkan Ayato tanpa penjelasan, tapi tekanan dari Tartaglia membuatnya sulit untuk menolak. Karena itulah [Name] hanya mengikuti langkah pemuda itu sambil berusaha memintanya berhenti.

"Tunggu sebentar, Ajax!" Kata [Name] dan akhirnya Tartaglia berhenti menariknya. "Kenapa kau tiba-tiba seperti ini? Ada apa denganmu?"

Tartaglia menarik napas dalam-dalam, seolah sedang mencoba menahan perasaannya. Lalu ia berbalik dan membalas, "aku tidak suka... aku tidak suka melihatmu dengannya."

"... apa?" [Name] mendesah dan menyentuh pelipisnya dengan lelah. "Kami hanya berbicara, tidak lebih. Berhentilah berpikiran aneh. Sebenarnya apa alasanmu bersikap seperti ini?"

"Apa alasanku?" Tartagli mengulang. "Itu karena aku tidak suka cara dia menatapmu!"

"...." [Name] terdiam, dia mendongak untuk menatap Tartaglia. Saat itulah dia bisa melihat Tartaglia yang begitu terluka saat mengatakannya.

"Apa kau tidak menyadari bagaimana dia tersenyum saat melihatmu? Dan kau—" Tartaglia menahan suaranya sejenak, lalu ia melanjutkan, "—kau selalu melihat ke arahnya...."

"!?"

Jantung [Name] seperti baru berhenti berdetak. Tidak, Tartaglia tidaklah salah. Dia memang sering melihat ke arah Ayato. Dia selalu melakukannya seperti sebuah kebiasaan. Namun dia juga lebih memperhatikan dirinya ketika melakukan itu agar tidak seorang pun menyadarinya termasuk Tartaglia.

Dia yakin, dia sudah sangat berhati-hati untuk itu. Apa pada akhirnya semuanya terlewat begitu saja dari pengamatannya? Ini kecerobohannya.

"[Name], kau...." Tartaglia menggenggam kedua tangan [Name], meremasnya. Dia menundukkan wajahnya. "... kau kekasihku. Kau milikku. Aku tidak bisa membiarkan orang lain melihat ke arahmu."

Ini kesalahannya.

"dan aku... mencintaimu, [Name]."

Seharusnya tidak seperti ini!

─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───

Ayato mengembuskan napas dengan lelah. Langkahnya terasa lebih berat daripada biasanya, dan suasana hatinya benar-benar tidak seperti biasanya hingga ia sulit untuk terus mempertahankan senyum santunnya itu—tidak, jika bukan karena Tartaglia. Pemuda itu selalu mengganggunya. Itu yang Ayato pikirkan setiap kali Tartaglia muncul dihadapannya ketika dia berusaha mendekati [Name]. Iya, [Name]. Gadis yang kini menyandang status sebagai kekasih Tartaglia.

Ayato Kamisato menyukai [Name].

Itu adalah fakta yang telah ia sembunyikan begitu lama sejak pertama kali ia terus memperhatikan gadis itu sebagai teman Ayaka. Ayato menyayangi adiknya, itu sudah jelas. Dia selalu cemas pada Ayaka jika adiknya mungkin kesepian, mungkin dia dijauhi, terutama jika mungkin dia tidak memiliki seorang pun teman. Jadi begitu gadis pertama yang menyapa Ayaka di sekolahnya muncul, Ayato tidak bisa mengalihkan perhatiannya.

Gadis yang tampak tak tahu siapa orang yang sedang diajaknya bicara itu begitu memikatnya. Dia bahkan tidak sadar kalau dirinya adalah kakak dari temannya itu sampai ketika mereka bertemu kembali di kediamannya untuk tugas sekolah. Sangat mengejutkan setiap kali Ayato mengingatnya dan itu membuat Ayato merasa seperti siswa lain pada umumnya yang tak terikat dengan nama keluarga konglomerat Kamisato.

Namun hal yang lebih mengejutkannya adalah ketika dia mendengar bahwa gadis itu berpacaran dengan salah satu orang di kelasnya, dan orang itu Tartaglia.

Begitu tahu [Name] berpacaran dengan Tartaglia, hati Ayato seperti diremas-remas. Bahkan hancur berkeping-keping. Padahal selama ini dia terus menahan dirinya karena tahu akan ada seseorang yang mungkin melukai gadis itu begitu tahu dia menyukainya. Mengetahui cinta pertamanya telah diambil lebih dulu oleh orang lain, Ayato begitu menyesal. Dia sudah terlambat. Tidak adakah kesempatan lain untuk mengambil apa yang pernah hilang dari dirinya sekarang?

"Kau pasti memikirkan [Name]...."

Gerakan Ayato yang hampir ingin membuka pintu terhenti manakala ia menyadari seseorang yang sudah menunggunya sedari tadi berada di hadapannya, bersandar pada tembok di dekat pintu di depannya.

"Kenapa kau belum kembali di jam seperti ini?" Ayato mencoba berbicara dengan tenang. Dia tidak mungkin menunjukkan suasana hatinya yang buruk langsung dihadapan Tartaglia.

"Menunggumu, tentu saja," jawab Tartaglia pongah. "Karena ada yang harus kukatakan padamu dan itu sangat penting."

"Benarkah? Kalau begitu, silakan katakan apa keperluanmu."

"Tak perlu kujelaskan pun kau sudah tahu, Ayato." Sambil bilang begitu, Tartaglia berdiri sejajar dengan Ayato, menatapnya dengan raut serius. "Aku tidak akan pernah melepaskan [Name]."

Tidak tahukah Tartaglia kalau Ayato paling benci mendengar hal itu dari mulutnya? Dan dia semakin membencinya karena ia selalu merasa Tartaglia melakukan itu berkali-kali dengan sengaja dihadapannya sampai rasanya dia ingin memukul wajah pemuda di depannya ini sekarang.

Setelah ia pikir lagi, bukankah ini aneh? [Name] sudah menjadi kekasihnya terlebih gadis itu sendiri yang mengungkapkan perasaannya lebih dulu, jadi kenapa dia terus mengatakan ini padanya sekarang?

Ayato mendengus. "Sampai saat ini aku terus bertanya-tanya, kenapa kau sangat waspada padaku, Tartaglia?"

"... apa?"

"[Name] adalah kekasihmu," akunya, meski itu sulit bagi Ayato. "Tapi kenapa kau terus mengatakan soal itu? Jangan bilang kau...." Ayato mendengus, lantas tersenyum. "... kau benar-benar merasa terancam olehku?"

"!?"

Tepat. Ekspresi Tartaglia jelas mengatakan itu. Tapi apa hal yang membuat Tartaglia berpikir kalau dirinya adalah ancaman untuknya?

Seakan tahu apa yang sedang Ayato pikirkan, Tartaglia berkata, "ya, kau benar. Kau adalaha ancaman untukku karena aku tahu kalau kau menyukainya."

"...."

"Berhentilah menatap kekasihku seperti itu, kau sangat mengganggu."

Ayato menatap Tartaglia dengan tajam, berusaha mempertahankan ketenangannya meskipun di dalam hatinya berkecamuk berbagai emosi. Pengakuan Tartaglia barusan mengguncang dirinya. Meski ia sudah menduga bahwa pemuda itu mungkin menyadari perasaannya terhadap [Name], Ayato tahu dirinya tidak bisa mengelak lagi tapi ia juga tidak ingin menunjukkan kelemahannya di hadapan Tartaglia.

"Jadi, kau sudah tahu," aku Ayato. "Ini mengejutkan. Tapi apa kau takut?"

Tartaglia mengepalkan tinjunya, jelas terganggu oleh cara Ayato menghadapinya. "Dia milikku, dan aku akan pastikan dia tetap bersamaku."

Ayato menahan napas sejenak sebelum melangkah lebih dekat, cukup dekat hingga ia bisa melihat setiap detik perubahan di wajah Tartaglia. "Kau berbicara seolah-olah [Name] adalah barang yang bisa dimiliki begitu saja. Apakah kau benar-benar berpikir bahwa hanya karena dia menjadi kekasihmu, dia akan selalu memilihmu?"

"Aku tahu dia menyukaiku. Itu sudah cukup menjadi bukti untukku."

Itu benar, dan Ayato tak bisa menyangkalnya. Surat cinta yang ditujukan kepada Tartaglia sudah cukup menjadi bukti untuknya. Lagi-lagi fakta itu meremas dadanya. "[Name] mungkin—"

"Tartaglia! Ini gawat!" Teriak seorang siswa dari kejauhan, dia menarik napasnya pendek-pendek begitu sampai dihadapan Ayato dan Tartsglia. "[Name]... dia...."

"Ada apa? Cepat katakan!" Tanya Tartaglia mendesaknya.

"[Name]... aku lihat seseorang...." Dia menarik napasnya dan mengembuskannya. Begitu yakin dia bisa berbicara dengan lebih baik, dia melanjutkan, "aku lihat seseorang membawa paksa [Name] ke luar sekolah."

"Apa?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro