Chapter 23
[Name] memandang lukisannya dengan mata yang kosong, kuas di tangannya hanya terangkat sedikit tanpa keinginan untuk benar-benar bergerak. Sudah beberapa hari ini dia merasa begitu, seperti ada sesuatu yang menghalangi setiap ide yang ingin ia tuangkan di atas kanvasnya.
"Apa gunanya melanjutkan ini kalau hasilnya hanya setengah hati?" gumamnya pada diri sendiri. Dia meletakkan kuasnya dengan hati-hati di palet sebelum berjalan ke jendela ruang kesenian yang terbuka lebar, membiarkan angin sepoi-sepoi masuk dan menyegarkan ruangan.
Di luar, langit sore terlihat indah, tetapi bukannya memberikan inspirasi, pemandangan itu malah membuat [Name] semakin ingin bersantai. "Mungkin berjalan-jalan sejenak akan membantu," gumamnya sambil melangkah keluar dari ruang kesenian.
"Kau ingin kemana, [Name]?" Tanya Yoimiya yang baru saja kembali dan melihatnya bangun dari kursinya.
"Jalan-jalan sedikit," jawab [Name]. "Sepertinya aku mulai jenuh."
"Oh, baiklah."
Dia berjalan tanpa tujuan, melewati lorong-lorong sekolah yang mulai sepi karena banyak siswa yang sudah pulang. Saat sedang menuruni tangga, tiba-tiba dia melihat seorang anak laki-laki berdiri di sudut koridor sambil menatap setumpukan selembaran yang tertempel pada papan pengumuman dengan mata berbinar.
Dia memiliki kulit pucat dengan wajah berbintik, dan mata biru dengan rambut oranye. Entah kenapa perawakan dia mengingatkan dirinya pada—
Saat [Name] menoleh untuk melihatnya lagi, anak laki-laki itu sekarang menatapnya dengan kedua bola mata besarnya. [Name] melengos dari sana dan melanjutkan langkahnya, tidak berniat untuk ikut campur dengan urusan anak laki-laki itu.
Namun tepat ketika [Name] turun dan melewatinya, anak laki-laki itu menahan tangan [Name] dan berkata, "Kakak, lihat sini! Apa ukurannya akan lebih besar daripada milikku ini?"
[Name] mendesah, dia akhirnya menoleh ke arah anak itu sejenak sebelum melihat ke arah yang ditunjuk anak itu. Apa yang ditunjuk anak laki-laki berambut oranye itu adalah poster untuk iklan mainan Ruin Guard dengan tinggi 60 senti. Produk baru yang akan launching bulan depan.
"Pasti lebih tinggi dari milikmu," jawab [Name]. Dia menunduk untuk melihat anak itu dan menggunakan tangan untuk mengira-ngirakan ukurannya. "Mungkin... sekitar setengah tinggimu."
"Oh!" Anak laki-laki itu terpukau hingga membuat matanya berbinar dan mulutnya membentuk huruf O. "Besar sekali! Si Kecil Bermata Satu semakin hebat sekali!"
"Si Kecil Bermata Satu?" [Name] mengulang.
"Iya!" Katanya dengan bersemangat. "Kakakku yang mengatakannya kepadaku. Dia juga yang membelikanku Si Kecil Bermata Satu yang ini!"
"Ah...."
Anak laki-laki itu melihatnya dengan penuh minat, matanya yang cerah memancarkan kegembiraan yang murni. Dia tidak bisa menahan senyum kecil yang muncul di wajahnya, teringat bagaimana dirinya sendiri dulu begitu terpesona dengan mainan-mainan saat masih kecil.
"Kakakmu pasti sangat perhatian," ujar [Name] dan anak laki-laki itu hanya mengangguk antusias.
"Iya! Kakakku juga berjanji akan membelikanku yang baru!" Katanya masih seceria sebelumnya. "Aku menantikannya."
[Name] bersimpuh dihadapan anak itu, dia tersenyum dan menatapnya sejenak sebelum bertanya, "siapa namamu?"
"Namaku Teucer! Aku datang untuk mencari kakakku," katanya. Dia menunduk sambil melanjutkan, "tapi aku sendirian dan tidak tahu bagaimana mencarinya...."
"Kau sendirian!?" Tanya [Name], secara refleks setengah berteriak padanya.
"Oh ya, aku seharusnya memberimu ini...." Teucer merogoh saku pakaiannya dan memberikannya pada [Name]. "Ambillah!"
"...!"
"Kakak menyuruhku membawanya. Dia memintaku menyerahkan ini kepada orang baik, dan orang baik akan merawat Teucer dengan baik."
Anak macam apa yang diberi uang saku sebanyak ini? Daripada itu, apa dia berjalan-jalan seorang diri sambil membawa mora begitu saja di kantongnya? Tapi tunggu sebentar—tadi siapa nama anak ini? Teucer? [Name] terdiam, merasa dirinya pernah mendengar nama itu dari seseorang sebelumnya.
Ini membuatku khawatir, pikir [Name].
[Name] memandang Teucer dengan bingung. Anak laki-laki dengan wajah polos dan senyuman yang ceria, tampaknya tidak menyadari betapa berbahayanya berkeliaran sendirian di sekolah dengan membawa mora sebanyak itu.
Melihat bagaimana dia bisa memberi [Name] mora begitu saja tanpa menanyakan namanya, dan pengakuan bahwa Kakaknya mengajarkan dia untuk selalu berbuat baik kepada orang lain sehingga orang tersebut akan membalas kebaikannya, dia benar-benar anak yang sangat dimanja dan disayang.
Dia pasti anak orang kaya, tebaknya. Tapi kenapa anak ini terlihat familiar?
"Teucer," [Name] mulai berbicara dengan nada yang lebih lembut, "kau tidak seharusnya berjalan-jalan sendirian, apalagi membawa mora sebanyak ini. Apa kau tahu di mana kakakmu sekarang?"
Teucer menggeleng pelan, raut wajahnya sedikit menurun. "Aku tidak tahu. Kakak hanya bilang akan pulang telat untuk mengurus acara tahunan sekolahnya, tapi aku tidak melihatnya dimana pun."
[Name] menghela napas, berpikir cepat. "Baiklah, bagaimana kalau kita mencari kakakmu bersama-sama? Aku akan membantumu."
Mata Teucer kembali berbinar. "Wah, benarkah? Terima kasih, Kak...." Suara Teucer menghilang di akhir, dia tersenyum canggung dan tertawa kecil. "Itu... siapa nama Kakak?"
"[Name]."
"[Name] ...?" Teucer mengulang, tampak sedikit terkejut saat mendengarnya. Sementara [Name] mengangguk. Dia lantas tersenyum lebar. "Kak [Name]! Kakak memang orang yang baik! Kalau begitu, kita harus janji kelingking sekarang!"
"Baiklah."
[Name] mengulurkan jari kelingkingnya begitu saja lantas Teucer menautkannya di antara jemarinya dan berkata, "janji kelingking tidak boleh diingkari. Siapa pun yang mengingkarinya akan dilempar ke sungai es. Dinginnya es akan membunuh sang pengkhianat, dinginnya es akan membekukan lidah sang pembohong!"
"...." [Name] tak lagi sanggup berkata-kata. Sungguh, siapa orang gila yang mengajarkan nyanyian janji jari kelingking jadi semenyeramkan itu? Itu jelas sebuah lagu ancaman penyiksaan!
[Name] menggeleng, dia lantas segera bertanya pada Teucer usai melepaskan jarinya dari anak laki-laki itu. "Apa kau ingat apa lagi yang dikatakan Kakakmu? Mungkin kelas atau apa yang sedang dilakukannya?" Tanyanya.
Teucer terdiam sejenak, tampak berpikir. Begitu dia menemukan jawabannya, anak itu menjawab, "sepertinya Kakak berbicara tentang kafe pelayan atau sesuatu? Oh, benar! Dia sekarang ada di tahun ke-3!"
"Kalau begitu, kita bisa pergi ke gedung tahun ke tiga."
"Baik! Akhirnya aku bisa bertemu dengan kakak!"
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
[Name] hampir saja berpikir untuk membuat pengumuman anak hilang dengan bantuan dari siswa klub pembawa acara mengingat Teucer sempat berkata kalau kakaknya sedang mengurus acara untuk pembukaan kafe pelayan. Dengan banyaknya permintaan membuka kafe, tentu saja itu yang paling cepat untuk dilakukan, bukan?
Namun syukurlah karena dia tahu dengan tepat di tahun berapa kakaknya belajar sekarang, meski [Name] akui kalau dia tidak terlalu nyaman berjalan di tengah koridor siswa tahun ke tiga.
Bukan karena ia merasa para senior itu terasa begitu senioritas dihadapannya hingga membuat ia takut dan sungkan, tapi karena siswa tahun ke-3 mengenalinya. Terutama dengan ketiga gadis yang selalu merundungnya itu, ini jelas-jelas seperti dia yang sedang melemparkan dirinya ke dalam kandang singa.
Walaupun begitu, [Name] tetap melangkah masuk di sepanjang koridor gedung siswa tahun ketiga, berusaha menjaga ekspresi tenang walaupun tidak sepenuhnya merasa nyaman. Gedung ini terasa berbeda, lebih sunyi dan tegang dibandingkan dengan gedung tempat siswa tahun pertama dan kedua berada. Dia bisa merasakan tatapan-tatapan penasaran dari beberapa siswa yang melintas, tetapi dia mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya.
"Di sini juga tidak ada?"
Teucer menggeleng. "Tidak ada."
"Kalau begitu tinggal kelas terakhir," ucap [Name] sambil masih menuntun Teucer bersamanya dan melanjutkan langkahnya. "Seharusnya kakakmu ada di sana atau mungkin dia sedang keluar sebentar untuk melakukan sesuatu."
Sebelum [Name] masuk ke dalam kelas terakhir yang menjadi tujuannya, di depannya Tartaglia tampak sibuk dengan seorang gadis dari kelasnya. Terdengar dari posisinya, gadis itu berkata, "Tartaglia, kita sudah sepakat akan membuat kostum seperti ini. Bagaimana mungkin kau—"
"Tenang saja!" Sergahnya. "Lagi pula, ini akan jadi festival terakhir kita di sini, jadi bersikap sedikit gila pun tidak apa-apa. Tidak akan ada masalah!"
"Ajax," panggil [Name]. Tartaglia lantas langsung memutar tubuhnya ke belakang dan tersenyum lebar ke arahnya.
"Hore! Kakak! Aku akhirnya menemukanmu!" Sambil berteriak begitu, Teucer langsung melepaskan dirinya dari [Name] dan menghampiri Tartaglia dengan ceria.
"Teucer! Adikku! Oh, Archon!" Balas Tartaglia senang, dia segera bersimpuh dan memeluk Teucer yang berlari ke arahnya dan tertawa. "Sungguh mengejutkan, Teucer! Bagaimana kau bisa datang ke sini? Apa Tonia dan Anthon tahu kau di sini?"
Teucer menggeleng. "Tidak, mereka tidak tahu. Tapi Kakak Tonia menunggumu untuk makan malam bersama di rumah."
Tartaglia memberi jarak di antara dirinya dan Teucer, menatapnya dengan ekspresi bingung. "... tunggu, tapi—apa yang kau lakukan dengan [Name]?" Tanya pemuda itu sambil menoleh ke arah adiknya dan [Name] bergantian.
"Sebenarnya," kata Teucer, dia mulai bercerita. "Setelah keluar dari bis dan turun di halte yang paling dekat dengan sekolahmu, aku terus berjalan dan menemukan gambar Si Kecil Bermata Satu di sini!" Tartaglia menoleh ke arah [Name] yang langsung diberi anggukkan oleh gadis itu, Teucer melanjutkan, "terus aku bertemu dengan Kak [Name] yang baik hati dan mengikutinya."
"Jadi dia... adikmu?" Tanya [Name] memastikan.
"Iya, ini Teucer. Adikku yang paling kecil," kata Childe sambil berdiri dari posisinya sambil menggenggam tangan Teucer. Dia lantas beralih kepada adiknya. "Teucer, ini terlalu berbahaya... Kakak sangat senang bertemu denganmu, tapi tolong... berjanjilah kepadaku, kamu tidak akan melakukannya lagi...."
Teucer menundukkan sedikit kepalanya, ekspresinya berubah sedih. "Baik, aku berjanji... tolong jangan marah kepadaku, Kak...."
"Kakak tidak marah. Kakak hanya mengkhawatirkan keselamatanmu," balas Tartaglia, suaranya masih selembut sebelumnya. "Apalagi Tonia dan Anthon tidak tahu kau diam-diam pergi dari rumah."
"...."
"Kalau kau tidak bertemu kakak cantik yang baik hati ini, keadaanmu tidak mungkin seperti sekarang," sambil berkata demikian, Tartaglia tersenyum sambil menatap [Name]. "Apa kau sudah berterima kasih kepadanya?"
"Ya! Aku selalu ingat tata krama dan harus berterima kasih."
[Name] terdiam, lebih karena dia merasa nyaman melihat interaksi di antara Tartaglia dan adiknya. Mengingat dia tidak memiliki seorang pun saudara, jadi ini adalah pemandangan yang jarang untuknya. Ketulusan dalam cara Tartaglia berbicara kepada adiknya menunjukkan sisi yang jarang dia lihat dari pemuda yang biasanya terlihat penuh percaya diri dan sering kali menggoda.
"Terima kasih karena sudah mengantarkan Teucer padaku, [Name]," ucap Tartaglia. "Maaf, sepertinya aku terus mengabaikanmu sejak tadi."
"Oh, tidak apa-apa," balas [Name], dia buru-buru menggoyangkan tangannya di depan dada. "Lanjutkan saja, lagipula ini adikmu. Sudah sewajarnya kau bersikap seperti itu."
"Oh ya, Ekaterina," panggil Tartaglia pada gadis yang sebelumnya berbicara dengannya, dia berbalik. "Pokoknya keputusanku dan para lelaki seperti itu. Jika kalian masih menolaknya, tolong kirimkan desain alternatif yang lainnya."
Ekaterina mengembuskan napasnya dan mengangguk. Sebelum pergi dari sana, dia berkata, "baiklah, aku mengerti."
"Sekarang." Sambil bilang begitu, Tartaglia berbalik dan kembali melihatnya sambil tersenyum lebar. "Bagaimana kalau kita sudahi kegiatan hari ini dan pergi makan crepe bersama?"
"Sebentar...." [Name] mengecek jam di ponselnya, kemudian berkata, "sisa 30 menit lagi sampai kegiatan klub selesai, sepertinya tidak akan jadi masalah kalau aku kembali lebih awal."
"Sudah diputuskan."
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
Tartaglia tidak akan pernah tahu kalau [Name] sebenarnya sangat cocok dengan anak-anak.
Dia tidak sekali pun mengalihkan perhatiannya dari [Name] terutama ketika gadis itu sedang berbicara dengan Teucer sambil tertawa bersamanya, tanpa sadar ia ikut tersenyum melihat pemandangan itu. Untuk beberapa saat, ia merasa sepertinya Teucer hampir melupakannya karena terlalu nyaman dengan kekasihnya itu.
"Kau tahu, kau sangat cocok dengan anak-anak," ucap Tartaglia sambil menyodorkan satu scoop gelato kepada [Name] dan duduk di sampingnya.
[Name] segera menerima uluran Tartaglia dengan sedikit memiringkan kepalanya. "Ah, itu...." [Name] tersenyum canggung. "Kupikir karena adikmu sebenarnya cukup mudah diajak berbicara."
Tartaglia terkekeh. "Tapi aku tidak melihatnya seperti itu. Kau benar-benar bisa bersama anak-anak."
[Name] mengalihkan pandangannya. Tartaglia bisa melihat semburat merah tipis di pipi adn telinganya yang senada dengan langit senja di atas mereka, ditambah dengan senyuman kecil di sudut bibirnya selagi gadis itu menyendokkan gelato ke dalam mulutnya.
"Oh, sebelum aku lupa." Seraya berkata demikian, [Name] menyerahkan sekantung mora kepada Tartaglia. "Milik adikmu, tadi dia memberiku ini. Katakanlah padanya untuk tidak sembarangan memberi mora kepada seseorang yang hanya terlihat baik semudah itu. Dia akan mudah dimanfaatkan, kau tahu?"
Tartaglia tertawa. "Ya, sepertinya aku sangat banyak memberinya nasihat, tapi ambil saja itu," kata Tartaglia sambil mendorong tangan [Name] kembali. "Dia sudah memberikannya padamu dan kau memang kakak cantik yang baik hati, jadi dia tidak salah."
"...." [Name] terdiam sejenak, lalu menambahkan, "kau membuatku seperti baru saja merampok anak kecil."
Tartaglia tertawa lagi, kali ini lebih keras hingga menarik perhatian beberapa orang yang lewat. "Tidak, tidak begitu. Anggap saja sebagai tanda terima kasih darinya. Dia pasti merasa berhutang budi padamu."
[Name] masih memandang kantung mora di tangannya dengan ragu. "Tapi aku hanya mengantar dia untuk bertemu denganmu."
"Karena itulah," ujar Tartaglia dengan senyuman hangat. "Karena kau melakukan hal yang benar tanpa mengharapkan imbalan. Itu yang membuatmu istimewa, [Name]."
Mendengar ucapan Tartaglia, wajah [Name] kembali memerah, tetapi dia tidak lagi membantah. Akhirnya, dia menyimpan kantung mora itu di tasnya, meskipun dengan sedikit perasaan tidak nyaman. "Baiklah, tapi pastikan kau memberitahu Teucer untuk lebih berhati-hati ke depannya."
"Tentu saja," jawab Tartaglia sambil mengedipkan mata. "Aku akan memberitahunya, jangan khawatir."
"Kakak, aku sudah selesai membelinya!" Seru Teucer sambil berlari ke arah Tartaglia dan membawa kantung makanan di tangannya.
"Begitukah?"
Tepat di waktu yang sama, [Name] kembali mengecek jam di ponselnya sebelum berkata, "sepertinya sudah mulai sore. Aku harus pulang sebelum terlalu malam."
Tartaglia melihat arlojinya dan memandang [Name] dengan cemas. "Bagaimana kalau aku antar saja? Kita bisa naik motor bersama—"
[Name] langsung menggeleng. "Tidak, tidak usah. Kau harus pulang dengan Teucer, dan aku tidak ingin menaiki motor bertiga dengan kalian. Itu terlalu berbahaya."
Tartaglia tampak sedikit kecewa, tapi dia segera menyembunyikannya dengan senyuman. "Kalau begitu, biar aku antar kau sampai halte bus. Setidaknya aku ingin memastikan kau sampai di sana dengan aman."
"Terima kasih, tapi aku bisa sendiri," balas [Name], kali ini dengan lebih lembut. "Kau pulanglah dengan Teucer."
Tartaglia menghela napas, tahu bahwa dia tidak akan bisa membujuk [Name]. Namun, sebelum dia sempat berkata apa-apa lagi, Teucer yang sedang menikmati crepe-nya tiba-tiba menyela, "Kakak, aku akan baik-baik saja! Kau bisa mengantar kak [Name] kalau mau!"
"Teucer," ujar Tartaglia sambil tersenyum dan mengusap kepala adiknya. "Tidak, aku akan pulang bersamamu. Kita akan naik motor bersama, oke?"
Teucer terdiam, menatap kedua orang yang berdiri di hadapannya bergantian. Saat itulah [Name] tersenyum, lalu menepuk lembut bahu Teucer. "Terima kasih atas pengertianmu, Teucer. Tapi kakakmu benar, kau harus pulang bersamanya."
"Kau yakin akan baik-baik saja?" Tanya Tartaglia, masih tidak puas dengan keputusan [Name].
[Name] mengangguk sambil tersenyum. "Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatir."
Tak lama dari itu, [Name] pun pergi menuju halte dan menaiki bus menuju rumahnya. Dia tidak sadar dan mungkin tidak akan pernah mengetahuinya, bahwa Tartaglia sudah memutuskan kalau dirinya akan mengikuti bus itu dari belakang, memastikan bahwa [Name] sampai di rumah dengan selamat.
"Ayo, Teucer, kita akan pulang sekarang. Tapi kita akan sedikit berkeliling dulu, oke?"
Teucer mengangguk, tidak sepenuhnya mengerti maksud kakaknya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro