Chapter 21
Tartaglia sudah memutuskan kalau dirinya tidak akan mengalah. Bukan, tapi dia tidak akan pernah mengalah jika itu berhubungan dengan [Name].
Padahal baru beberapa hari dia tidak berkomunikasi dengan [Name], tapi rasanya sudah sangat lama. Sebelumnya Tartaglia sempat berpikir kalau dia akan kesulitan untuk menghadapi [Name] meski situasinya sudah baik-baik saja, tetapi nyatanya tidak seperti itu.
[Name] menanggapinya seperti biasa seolah mereka kembali seperti sebelumnya, dan Tartaglia sangat senang dengan itu. Karena itulah dia tidak akan mengalah lagi. Jadi begitu dia sampai di depan kamar rawat inap yang ditempati Ayato Kamisato, dia tidak membiarkan dirinya jauh dari [Name] dan terus menempelinya di belakang.
Ayato segera mendongak, dia tersenyum memuakan kepada [Name] dan tidak menyadari keberadaan Tartaglia di belakang. "Ah, [Name]... kau datang lebih cepat daripada dugaanku," katanya.
"Maaf mengganggu."
"Oh, aku juga datang," sapa Tartaglia sambil menyembulkan kepalanya dari balik pintu. "Tampaknya kau sudah sangat sehat, Ketua OSIS."
Oh, bahkan dari jarak ini Tartaglia bisa melihat perubahan senyuman culasnya itu secara instan, dan entah kenapa itu justru membuat perempatan di dahi Tartaglia muncul. Begitu Ayaka menghampirinya, [Name] segera masuk lebih dalam dan langsung meletakan kue yang dibawanya di atas meja.
"Terima kasih untuk kunjungannya lagi hari ini, [Name]," kata Ayato, lagi-lagi dia tersenyum kepada [Name].
"Bukan apa-apa, tolong jangan kau pikirkan," balas [Name] sambil menggerakkan tangannya di depan dada, dia menarik kedua sudut bibirnya naik. "Aku yang seharusnya mengucapkan itu padamu, Ayato."
Ayato—!? Tartaglia secara refleks menolehkan pandangannya dan menatap [Name] dengan tatapan tak percaya. Apa baru saja [Name] memanggil Ayato dengan namanya? Bukankah biasanya [Name] akan memanggilnya dengan panggilan "Senior"? Kenapa—oh, Archon! Sebenarnya apa yang sudah terjadi di antara mereka selama [Name] mengunjunginya?
Ayato tertawa kecil, lantas melirikkan ekor matanya ke arah Tartaglia yang menatanya dengan tidak nyaman walaupun dia berusaha tersenyum. [Name] menatap Tartaglia dan Ayato bergantian, lalu dengan canggung berkata, "maaf karena tidak mengabarkanmu kalau Ajax akan ikut denganku."
"Bukan masalah," jawab Ayato sambil menggeleng pelan. Dia mengalihkan perhatiannya kepada Tartaglia sejenak, "kupikir belakangan ini kau sibuk karena jarang terlihat bersama [Name]."
"Tentu saja tidak." Tartaglia tertawa, lebih karena dipaksakan. "Kebetulan aku sedang senggang, jadi sekalian saja aku ikut ke sini."
Saat suasana di kamar rawat inap semakin canggung, Ayaka yang berdiri di dekat meja, berusaha mencairkan suasana. "Ah, [Name], aku baru saja memotong beberapa buah untuk kakak, tapi aku belum sempat mengupas apel ini. Maukah kau membantuku?"
"Tentu, Ayaka. Serahkan padaku."
Setelah Tartaglia perhatikan kembali, [Name] selalu membawakan buah dan kue yang mudah dicerna setiap kali datang berkunjung. Jangan katakan kalau [Name] sering kali melakukan iu untuk Ayato? Mengupaskannya buah? Atau jangan-jangan... dia sampai—tidak! Itu jelas hal yang paling tidak diinginkan Tartaglia untuk terjadi dihadapannya.
Jadi sebelum [Name] menerima buah yang disodorkan Ayaka padanya, Tartaglia dengan cepat melangkah lebih dulu dan merampas buahnya. "Biar aku saja yang mengupasnya," kata Tartaglia panik. "Aku yang akan melakukannya, kau bisa bantu Ayaka untuk yang lain."
[Name] terkejut dengan sedikit kebingungan melihat reaksi Tartaglia yang tiba-tiba ini, tetapi dia memutuskan untuk tidak memprotes dan membiarkannya lantas menukar tempat duduknya dengan [Name].
"Ah, padahal biasanya Ketua OSIS selalu memakan apelnya sendiri tanpa mengupasnya," mencoba menyembunyikan amarahnya, Tartaglia berkata pada Ayato dengan aura kurang bersahabat.
Ayato tertawa sambil tersenyum culas, jelas bisa merasakan aura yang tak jauh berbeda dengan Tartaglia. "Belakangan ini seleraku berubah karena ada seseorang yang selalu mengupaskannya untukku," katanya.
"Oh, begitu...." Tartaglia tersenyum getir, perempatan di dahinya muncul. "Mengejutkan sekali."
Itu adalah pernyataan perang lain dari Ayato, tentu saja. Ah, benar. Ayato seperti ini. Dia memang pemuda culas seperti ini.
Meskipun ia memang menggoda bagi lawan jenis dan sering kali menarik perhatian banyak perempuan, seorang Ayato Kamisato tidak pernah mencoba untuk berhubungan dengan mereka, tetapi Ayato masih memperlakukan mereka dengan sangat baik—dan hal itu sangatlah luar biasa. Luar biasa menakutkan.
Bagaimana pun juga, Tartaglia sangat yakin kalau itu bukan karena pemuda ini amatir soal perempuan. Mungkin karena memang tidak ingin melakukannya, atau mungkin karena dia sedang menantikan seseorang untuk bersamanya. Mungkinkah... [Name]?
Ini hanya intuisi Tartaglia, tapi ia sudah merasakannya sejak sebelum ia menjadi kekasih gadis itu. Namun Tartaglia terus menyangkalnya, tidak ingin mengakui kalau Ayato mungkin—
"Ayato, Ibuku membawakan Lemon-Curd Semifreddo," kata [Name] sambil memegang piring kecil di tangannya. "Apa kau baik-baik saja dengan makanan yang sedikit asam?"
"Aku tidak punya preferensi khusus untuk makananku sehari-hari, kau tenang saja." Sambil menjawab demikian, Ayato tersenyum lebih dan menerima piring di tangan [Name]. "Tolong sampaikan ucapan terima kasihku untuk Ibumu."
"Ah, tentu saja. Maaf karena Ibu tidak bisa datang untuk menjengukmu."
"Tolong jangan dipikirkan."
Ibu—dada Tartaglia merasa diremas sekarang. Oh, iya. Tentu saja. Setelah ia pikir kembali, aneh rasanya melihat [Name] bisa pergi ke rumah sakit secara rutin untuk menjenguk Ayato. Sudah pasti Ibunya tahu itu dan mengizinkannya lantaran rasa terima kasihnya sudah melindungi [Name]. Padahal tepat setelah Tartaglia bertemu dengan Ibu [Name] pertama kali, [Name] langsung memintanya untuk menjaga jarak dengannya sementara waktu karena Ibunya curiga dengan hubungan mereka dan memberinya ancaman.
Dia tidak bisa menyalahkan [Name]. Setelah apa yang terjadi, jelas [Name] merasa bertanggung jawab untuk merawat Ayato. Namun, Tartaglia tidak merasa senang dengan jarak antara [Name] dan Ayato terutama ketika mendengar gadis ini memanggil namanya—dan dengan pikiran itu, Tartaglia menarik lengan [Name] dan menjauhkannya dari Ayato.
Meski terlihat tidak menyukai hal itu, Ayato tidak mencoba menahan Tartaglia dan hanya menatapnya dengan pandangan tak nyaman.
"Ada apa, Ajax?" Tanya [Name] dengan agak bingung.
Tartaglia menggeleng, lalu memberi gadis itu senyuman seakan sedang berkata ia baik-baik saja. "Tidak ada, aku sudah selesai dengan apelnya."
"Oh, terima kasih."
Saat Tartaglia mengira semuanya sudah jadi lebih tenang, dan setelah [Name] menerima potongan apel yang Tartaglia berikan padanya untuk diletakkan di atas meja, seorang perawat masuk ke ruang perawatan Ayato sambil membawa clipboard di tangannya. Tanpa ragu, perawat wanita itu langsung mendekati ranjang Ayato.
"Oh, kau datang lagi [Name]," sapa perawat itu yang langsung [Name] balas dengan senyuman dan anggukkannya. "Tidak heran melihat Tuan Kamisato pulih secepat ini kalau kekasihnya selalu datang menjenguknya."
"Eh, itu...."
Bahu Tartaglia tersentak. Kekasih ...? Siapa yang dimaksud? Apa dia mengira [Name] adalah kekasihnya? Kekasih Ayato Kamisato?
"Kali ini kau ikut dengan temanmu, ya," kata perawat itu lagi.
Bagaimana bisa perawat ini mengira [Name] adalah kekasih Ayato dan kekasihnya yang sesungguhnya malah menjadi temannya? Dilihat bagaimana pun sudah jelas, [Name] adalah kekasih Tartaglia. Kekasihnya. Miliknya. Jangan hanya karena [Name] baru sehari-dua hari merawat Ayato, orang mengira kalau gadis itu adalah kekasih pemuda berwajah culas itu.
Ruangan itu langsung terasa lebih dingin, seolah-olah semua udara segar telah tersedot keluar. Tartaglia bisa melihat [Name] yang terdiam kaget dengan wajah pucat seketika ketika Tartaglia menatapnya dengan intens dari samping. Sementara Ayato hanya tertawa kecil, dan perawat itu terus memeriksa tanda-tanda vital Ayato seolah tidak menyadari kekacauan kecil yang baru saja dia ciptakan.
"Uh, Ners Edna, bukan begitu...." Kata [Name] dengan canggung, berusaha mengoreksi kesalahpahaman itu. Tapi suaranya terdengar rendah dan nyaris tak terdengar, terutama ketika dia melihat Tartaglia yang wajahnya kini benar-benar tanpa ekspresi.
"Kalian sepasang kekasih, bukan?" Tanya perawat itu dengan ringan, sama sekali tidak menyadari reaksi yang dia timbulkan. "Kalian terlihat sangat serasi, jadi kukira begitu saja."
Kata-kata itu bagaikan pukulan telak bagi Tartaglia. Sekalipun dia tahu itu hanya kesalahpahaman, tapi mendengar pernyataan itu secara terang-terangan membuat darahnya mendidih. Ditambah lagi yang membuatnya semakin jengkel adalah dirinya yang kekasihnya justru dikira sebagai temannya. Temannya. Oh, itu jelas sangat buruk untuknya.
Tartaglia tanpa sadar mencengkram tangannya, tidak bisa lagi menyembunyikan kecemburuannya. Sulit bagi Tartaglia untuk menyembunyikan kemarahan yang tiba-tiba meledak di dalam dada, hatinya terasa seperti dihujam pisau mendengar [Name] disebut sebagai kekasih orang lain—terutama kekasih Ayato.
Saat itulah [Name] dengan ragu berkata, "sejak kemarin aku ingin mengatakannya, tapi dia—"
"... dia kekasihku," Tartaglia bergumam. Kemudian dia menatap perawat di depannya itu sambil mencoba untuk tetap tenang. "[Name] adalah kekasihku, bukan Ayato."
"Oh! Maafkan saya, saya salah paham ...!"
Setelah meminta maaf berkali-kali baik kepada [Name], Tartaglia, bahkan Ayato, perawat itu pergi dari sana dengan wajah tidak nyaman. Tartaglia menarik napas panjang, berusaha menahan diri agar tidak meledak di hadapan semua orang terutama karena dia sudah berjanji pada [Name] untuk menahan dirinya di sini, dia tidak ingin membuat masalah lagi setelah baru saja berbaikan.
Lagi pula itu sudah selesai, perawat itu sudah meminta maaf dan Tartaglia sudah memperjelasnya. Tidak akan lagi jadi masalah untuknya, benar begitu, 'kan?
Namun bukan berarti hal ini pelak membuat suasana hatinya menjadi lebih baik.
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
Setelah memastikan Ayaka akan baik-baik saja di rumah sakit, [Name] berpamitan kepada Ayato. "Karena sudah hampir sore, aku akan kembali sekarang dengan Ajax," katanya sambil tersenyum tipis.
Ayaka mengangguk dengan senyum kecil yang hangat, "Oh, baiklah. Orang tuaku juga sebentar lagi akan sampai di sini, aku akan kembali dengan mereka."
"Aku mengerti," jawab [Name], lalu beralih kepada Ayato yang masih terbaring di tempat tidurnya. "Semoga cepat sembuh, Ayato."
Ayato membalas senyumannya, meskipun ada sedikit kelelahan di matanya. "Iya, terima kasih, [Name]. Jaga dirimu, ya."
[Name] mengangguk pelan sebelum membalikkan badan untuk pergi. Tartaglia yang sedari tadi berdiri sedikit menjauh, segera menyusul [Name], berjalan di sisinya dengan langkah yang sedikit tergesa. Ada ketegangan yang jelas terasa dalam gerak-geriknya, meskipun dia berusaha menutupinya dengan senyum tipis yang sangat dipaksakan.
Sejak kapan ini terjadi, ya? Pikir [Name] sambil berusaha mengingat-ingatnya kembali. Namun setelah menyadarinya, mungkin sejak awal Tartaglia terus menahan dirinya.
Dia datang setelah bertanya pada Ayaka tentang waktu biasa [Name] akan berkunjung, lalu pergi menemuinya di waktu yang tepat ketika dia akan pergi. Tartaglia bahkan berjanji untuk tidak menghalanginya. Selain itu, dia juga berusaha menahan diri untuk tidak marah ketika perawat itu mengira [Name] adalah kekasih Ayato bukan dirinya, meski Tartaglia pada akhirnya sedikit melukai tangannya—mungkin dia tidak menyadari itu saat melakukannya.
Setelah cukup jauh dari pintu masuk rumah sakit, [Name] akhirnya memutuskan untuk berbicara. "Ajax," panggilnya pelan sambil berhenti berjalan. "Apa ada yang mengganggumu?"
Tartaglia menggeleng, tersenyum kecil. Senyum yang jelas sangat dipaksakan. "Tidak, aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah, itu saja."
Jawaban itu jelas tidak memuaskan [Name], dan dia bisa melihat bagaimana tangan Tartaglia sedikit bergetar saat ia memasukkannya ke dalam saku jaket. "Sungguh? Kau tahu kalau kau sangat tegang sekarang."
"...."
[Name] mendesah. "Aku tidak akan memaksamu untuk mengatakannya jika kau memang tidak ingin." Lalu [Name] kembali berbalik dan berjalan menuju tempat dimana Tartaglia memarkirkan motornya. "Ngomong-ngomong, ini sedikit terlambat tapi aku ingin makan siang dulu sebelum kembali. Apa kau bisa menemaniku? Kemana pun tidak masalah."
"Eh?" Tartaglia segera mengangkat wajahnya kembali. Dia mengulang dengan bingung, "... makan siang?"
[Name] kembali berbalik, kini dia berdiri beberapa langkah di depan Tartaglia dan mengangguk. "Iya, makan siang denganku. Apa kau tidak bisa?"
Tartaglia segera menggeleng, kali ini dengan senyum yang sedikit lebih tulus. "Ti-tidak, tentu saja aku bisa! Aku hanya... ya, aku bisa!" Dia melangkah lebih dekat, rasa cemas yang tadi terlihat di wajahnya mulai sedikit memudar. "Apa ada sesuatu yang ingin kau makan?"
Mungkin yang [Name] berikan pada Tartaglia sebuah racun, dan meski dia tahu itu, dia tetap meminumnya. Hanya karena dirinya memintanya untuk makan siang bersama, bisa sampai membuatnya sebahagia ini. Sebenarnya apa yang membuatnya seperti itu? Mungkinkah Tartaglia benar-benar—[Name] menutup mulutnya, berharap itu bukan sekadar asumsi tak berdasarnya.
Tidak, tentu saja tidak mungkin. Tartaglia tidak pernah berbicara dengannya sebelum mereka menjadi sepasang kekasih, dia tidak mungkin memiliki perasaan seperti itu secepat ini, dan [Name] tidak sebodoh itu untuk menelan bulat-bulat pernyataan Tartaglia yang berkata menyukainya meski pemuda itu sudah mengatakannya berkali-kali.
Tartaglia tidak mungkin menyukai apalagi mencintainya.
"[Name]?" Panggil Tartaglia, ekspresinya tidak berubah dari sebelumnya, menyadarkannya dari lamunan.
"Apa saja, selama kau yang memilih tempatnya," jawab [Name] dengan senyum kecil di sudut bibirnya. "Tapi kurasa... ramen?"
Tartaglia tersenyum, kali ini lebih lebar dan lebih alami. "Baiklah, aku tahu tempat yang bagus. Ayo, kita pergi ke sana." Dia melangkah ke depan untuk memimpin jalan sambil menggandeng tangan [Name] dan segera menyadari memar tipis di sana. "Oh, tanganmu... aku tidak ingat kalau kau terluka."
"Oh, tadi kau tidak sengaja mencengkram tanganku dengan kuat, 'kan?"
"Eh!? Ma-maafkan aku ...!"
Saat Tartaglia dengan panik mencemaskan memar di tangannya, menggunakan sapu tangannya yang dia basahi dengan air untuk mengompres memarnya dengan lembut, [Name] memanggil nama Tartaglia dengan intonasi sedikit rendah, "Ajax." Tartaglia menolehkan pandangan ke arahnya dengan ekspresi bertanya-tanya, gadis itu lantas melanjutkan, "terima kasih untuk hari ini dan maafkan aku karena bersikap terlalu keras padamu."
"!?"
[Name] mengalihkan pandangannya dari Tartaglia, entah kenapa saat itu ia merasakan ketegangan pada dirinya dan tanpa sadar menggenggam tangan Tartaglia yang menggenggamnya dengan hangat. Tartaglia mengalihkan pandangannya sejenak dari [Name] dengan canggung sebelum membalas, "... tidak apa-apa."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro