Chapter 20
Tartaglia duduk di ayunan taman kota, ayunannya bergerak perlahan, hampir tanpa tenaga. Kepalanya tertunduk lesu, pandangannya kosong menatap tanah di bawah kakinya. Sudah beberapa hari berlalu sejak pertengkaran terakhirnya dengan [Name] di sekolah, tetapi kata-kata gadis itu masih terus terngiang di pikirannya, seperti gema yang tak mau hilang.
Pun sejak itu pula, tidak pernah sekali pun Tartaglia menghubungi gadis itu atau bertemu dengannya. Bukan karena [Name] yang meminta dia pergi dari hadapannya dan tak ingin melihatnya lagi, tapi lebih karena Tartaglia takut. Dia takut. Dia selalu merasa seperti itu pada [Name]; dan dia takut pada kata-katanya bukan karena itu adalah ancaman untuknya, tapi ia takut kalau itu persis seperti yang dipikirkannya.
Dan saat dia sedang memikirkan hal itu, kata-kata [Name] kembali melayang di dalam benaknya—
"Pergilah dari hadapanku, aku tidak ingin melihatmu lagi."
Itu jelas bukan sekadar perintah, tapi peringatan untuknya bahwa [Name] ingin—Tartaglia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan perasaan yang bergejolak di dalam dirinya, tetapi kenangan tentang ekspresi dingin [Name] pada saat itu terus menghantuinya.
[Name] tidak sekadar mengatakannya, mungkin itu benar-benar persis seperti yang Tartaglia pikirkan, dan ia tidak bisa mengatakannya. Tidak ingin. Oleh karena itulah saat mendengar [Name] mengatakan itu, Tartaglia langsung membungkam mulutnya. Dia tidak yakin apa yang akan terjadi begitu [Name] mengatakannya lebih jelas dari itu.
[Name] ingin—
"Kakak, ini untukmu."
Tartaglia terkejut sejenak, lalu mengangkat kepalanya dan mendapati Teucer berdiri di depannya dengan senyum ceria. Anak laki-laki itu mengulurkan sebuah es krim ke arahnya dengan matanya yang berbinar penuh harap.
"Terima kasih, Teucer," ujar Tartaglia, mencoba tersenyum meskipun hatinya masih terasa berat. Dia menerima es krim itu dan mendesah pelan. "Kenapa tiba-tiba memberikanku es krim?"
Teucer duduk di ayunan sebelah Tartaglia dan mulai menggoyangkan tubuhnya maju mundur dengan semangat. "Kakak terlihat sedih, jadi aku pikir es krim akan membuatmu jadi lebih baik!" jawabnya polos.
Tartaglia tertawa kecil, meskipun suara tawanya terdengar getir di telinganya sendiri. "Kakak tidak bersedih, kok. Kenapa kau pikir aku bersedih?"
"Benarkah?" Teucer dengan polos menoleh dan menatap Tartaglia sambil menjilat es krim miliknya. "Menurutku Kakak terlihat sedih. Kau tidak terlalu bersemangat hari ini."
"Ah, itu—kau tahu...." Tartaglia mendesah, kemudian menarik kedua sudut bibirnya lebih naik. "... hanya lelah karena tugas sekolah akhir-akhir ini. Begitulah."
"Oh?" kata Teucer dengan wajah serius yang jarang dilihat Tartaglia. "Kupikir ini tentang Kak [Name]."
Bahu Tartaglia tersentak, tidak menyangka Teucer juga akan mengetahui tentang [Name]. "Tunggu sebentar, Teucer ...! Darimana kau mendengar nama [Name]?"
"Eh? Apa aku salah menyebutkan namanya?"
"Tidak, kau tidak salah. Tapi darimana kau tahu namanya?"
"Aku mendengarnya dari Kak Irina dan Kak Anthon," kata Teucer polos seraya menjilat es krimnya sekali lagi. "Kak Tonia juga pernah mengatakannya, dia selalu terdengar jengkel setiap kali membicarakannya."
Setelah Tartaglia pikirkan, Irina selalu bersikap seolah dia mengenal [Name] tetapi tidak pernah mengatakan apa pun tentangnya. Mungkinkah mereka pernah bertemu tanpa sepengetahuan Tartaglia sebelumnya? Kapan? Dan... bagaimana? Tapi Tartaglia mengabaikan hal itu sejenak dan membalas, "ya, aku sudah menduga itu. Dan... iya, Kakak sedih karena Kak [Name]."
"Apa Kakak bertengkar dengannya?"
"Iya, sedikit," jawab Tartaglia ringan, ia tersenyum getir. "Kami bertengkar. Belakangan ini Kak [Name] tidak ingin bermain dengan Kakak karena tidak sengaja membuat anjing milik seseorang terluka, jadi dia merasa bertanggung jawab untuk merawat anjing itu."
Teucer mengangguk, seolah-olah dia mengerti sepenuhnya. "Oh, jadi Kak [Name] merasa bersalah pada pemilik anjing itu, ya?"
"Merasa bersalah ...?" Tartaglia bergumam, tetapi pendengaran Teucer terlalu tajam dan mendengarnya.
Anak laki-laki itu mengangguk dan menjilat es krimnya sebelum menjawab, "iya, karena sudah melukai anjing itu. Pasti Kak [Name] merasa tidak enak karena sudah melakukan itu meskipun tidak sengaja."
"...."
"Apa kau ingat, Kak...." Teucer berhenti sejenak, kemudian menjilat es krimnya sekali lagi. "... Kak Tonia pernah sangat marah pada Kak Anthon dan memukulnya dengan balok kayu?"
"Ah, aku ingat." Tartaglia mengangguk. "Saat itu aku benar-benar panik melihat Anton terluka separah itu dan memarahi Tonia."
"Iya, saat itu!" Teucer mengangguk, dia menoleh ke arah Tartaglia lagi. "Setelah itu, Kak Tonia meminta maaf pada Kak Anthon dan merawatnya sampai benar-benar sembuh, 'kan?"
Tartaglia terkekeh mengingat kembali kenangan itu. Tonia benar-benar melakukan segalanya untuk Anthon setelah melukainya. Gadis yang biasanya suka bersikap arogan itu mendadak menjadi jinak dan tak akan menolak apa pun yang Anthon minta kepadanya meski itu adalah permintaan yang konyol sekali pun. Tonia akan melakukannya, meski dengan berat hati, tapi ia tetap menurutinya.
Mungkin mereka seperti itu karena mereka saudara kembar, bisa juga karena Tonia lebih tidak suka kalau Tartaglia marah padanya, atau karena Tonia—kemudian Tartaglia segera menyadari sesuatu—[Name] juga merasa bersalah pada Ayato.
Ya, dia tahu itu. Seharusnya dia tahu itu. Namun Tartaglia tidak bisa menerimanya, dia tidak menyukainya. Dia bisa memahami [Name] yang merasa bersalah pada Ayato karena sudah melindunginya dan kini gadis itu merasa bertanggung jawab padanya, tapi yang dilakukan [Name] rasanya—rasanya—membuatnya sangat tidak nyaman.
[Name] adalah kekasihnya. Miliknya.
Namun sekarang, Tartaglia seakan tidak merasa memiliki gadis itu. Seolah [Name] tidak menjadi miliknya, dan ia benci karena merasa seperti itu sekarang.
"Tapi begitu Kak Anthon sembuh, Kak Tonia kembali seperti sebelumnya," lanjut Teucer usai ia menghabiskan sisa es krim di dalam cone miliknya. "Aku menyukai Kak Tonia yang sekarang, dia menjadi lebih lembut dan perhatian."
"Kau benar...."
"Jadi kupikir Kak [Name] merasa bersalah pada pemilik anjingnya dan jadi ingin merawatnya sampai sembuh," kata Teucer lagi. "Kalau begitu, aku yakin kalau Kak [Name] akan kembali bermain dengan Kakak lagi begitu dia selesai."
Tartaglia tertawa kecil. "Kau benar."
"Kalau Kakak khawatir dengan Kak [Name], Kakak tinggal ikut merawat anjing itu dengannya," kata Teucer sembari memakan cone es krimnya. "Kakak juga tahu bukan saat aku ikut merawat Kak Anthon, dia langsung sembuh dengan cepat."
Tartaglia tersenyum dan mengangguk, dia akhirnya menoleh ke arah Teucer yang duduk di sampingnya. "Iya, aku tahu."
"Bisa merawat anjing bersama juga pasti menyenangkan. Coba saja Kakak lakukan."
Tartaglia menatap es krim yang mulai meleleh di tangannya, pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata Teucer. Meskipun anak laki-laki itu masih sangat kecil, tetapi dia memiliki cara pandang yang sederhana dan tajam dalam melihat situasi. Mungkin dia benar—mungkin, jika dia mencoba untuk lebih memahami perasaan [Name], dia bisa kembali mendekatkan diri pada gadis itu.
Tetapi masalahnya bukan tentang merawat "anjing" itu, itu adalah Ayato Kamisato. Tartaglia merasakan perasaan cemburu yang tidak bisa ia kendalikan setiap kali memikirkan hal itu dan mengingat bagaimana cara Ayato memandang [Name] setiap memiliki kesempatan.
Namun, Teucer dengan polosnya telah menunjukkan sudut pandang yang berbeda. Jika [Name] merasa bersalah dan bertanggung jawab atas keselamatan Ayato, maka Tartaglia seharusnya bisa berada di sisinya, mendukungnya, bukan malah menuntut perhatian lebih untuk dirinya sendiri dan bersikap egois.
Lagi pula, gadis itu kekasihnya. Miliknya. Dia akan selalu kembali kepadanya.
Benar begitu, bukan?
"Teucer, kau tahu...." Sambil berkata begitu, Tartaglia turun dari ayunannya dan bersimpuh dihadapan adik laki-lakinya. "... ada sisa es krim di mulutmu."
"Eh!?" Teucer tiba-tiba menyeka bibirnya yang semakin belepotan dengan sisa es krim. "Oh, benar!"
Tartaglia tersenyum kecil melihat kepanikan polos di wajah adiknya. Meskipun pikirannya masih kacau, Teucer berhasil membangkitkan sedikit semangat di hatinya. Dia mengulurkan tangannya untuk membantu Teucer membersihkan sisa es krim di bibirnya, sambil berpikir tentang apa yang harus dia lakukan selanjutnya.
"Teucer, terima kasih sudah menemaniku hari ini," kata Tartaglia dengan suara yang lebih lembut. "Kau benar-benar tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik."
Teucer tersenyum lebar, senang bisa membantu kakaknya. "Tidak apa-apa, Kak! Aku akan selalu ada untukmu."
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
[Name] keluar dari rumahnya setelah yakin tidak ada apa pun yang tertinggal untuk dia bawa dari sana. Begitu dia sampai di halte yang paling dekat dengan rumahnya, [Name] lantas duduk menunggu bus yang hendak ditumpanginya ke rumah sakit di sana. Saat dia menatap ke arah jalan untuk memastikan kedatangan busnya, suara mesin motor yang familiar tiba-tiba terdengar di telinganya.
[Name] tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Suara itu sudah cukup untuk membuat hatinya merasa sedikit lebih berat.
Tartaglia berhenti tepat di samping halte, mematikan mesin motornya, dan membuka visor helmnya sebelum menatap [Name] dengan ekspresi yang sulit dibaca dan turun dari sana.
"[Name], kita perlu bicara," kata Tartaglia langsung.
[Name] tidak menanggapi, hanya menundukkan kepala, berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Dia tidak ingin berurusan dengan Tartaglia pagi ini, terutama setelah apa yang terjadi beberapa hari lalu. Namun, Tartaglia tidak menyerah begitu saja. "Kumohon, hanya sebentar. Aku bukan datang untuk melarangmu pergi ke sana," katanya lebih lembut, memohon pengertiannya. "Tolong dengarkan aku."
[Name] menatap ke arah bus yang seharusnya datang beberapa menit lagi, tetapi jalanan masih sepi. Dia menarik napas panjang dan akhirnya berkata, "apa yang kau inginkan, Ajax?"
"Aku...." Tartaglia tampak sedikit ragu, sesuatu yang jarang terjadi padanya. "Aku minta maaf. Aku sadar kalau kecemburuanku padanya sangat berlebihan. Aku benar-benar minta maaf."
"...." [Name] menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, masih enggan untuk berbicara pada Tartaglia; dan sekarang berharap kalau busnya segera datang.
"Aku tahu kalau kau merasa bertanggung jawab padanya dan sudah seharusnya aku tidak menghalangimu untuk itu," kata Tartaglia lagi, melanjutkan. "Maafkan aku."
"...."
Melihat [Name] tetap bungkam, Tartaglia memutuskan untuk duduk di sampingnya dan memanggil namanya, "[Name]?"
[Name] mendesah, sadar kalau Tartaglia tidak akan pergi meskipun dia mengabaikannya seperti ini. Jadi dia menoleh dan berkata, "apa kau datang hanya untuk mengatakan itu?"
Tartaglia mengangguk pelan. "Iya, dan lebih dari itu... aku ingin ikut denganmu."
[Name] tercengang mendengar permintaan itu. "Apa ...? Maksudmu... ke rumah sakit?"
"Ya," jawab Tartaglia tanpa ragu. "Kalau aku tidak bisa menahanmu untuk pergi, setidaknya aku bisa ikut bersamamu. Aku tahu mungkin aku tidak bisa mengubah perasaanmu tentang apa yang sudah terjadi, tapi setidaknya aku tetap berada di sisimu."
Kebingungan melintas di wajah [Name]. Kenapa Tartaglia tiba-tiba berkata ingin ikut dengannya? Apakah ini bentuk permintaan maafnya? Sekadar untuk membuatnya senang? Atau, ada alasan lain? Namun, sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, Tartaglia menambahkan, "aku tidak ingin kita terus berselisih seperti ini, aku tidak menyukainya."
[Name] terdiam, memandangi Tartaglia dengan tatapan bingung dan curiga. Pikirannya penuh dengan pertanyaan yang ingin dia tanyakan, tetapi pada akhirnya tidak satu pun keluar dari bibirnya. Tartaglia yang biasanya penuh percaya diri dan bahkan cenderung mendominasi, kini menunjukkan sisi yang berbeda—sisi yang lebih tenang, lebih lembut, dan tampak begitu serius ingin memperbaiki keadaannya saat ini.
[Name] menilai niat Tartaglia dari tatapannya, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya dia inginkan. Namun, sebelum [Name] bisa mengambil keputusan, suara mesin bus mulai terdengar mendekat.
[Name] menoleh dan melihat bus yang dia tunggu-tunggu akhirnya tiba di tikungan jalan. Ini adalah kesempatannya untuk menghindari percakapan yang sulit ini, untuk melarikan diri dari situasi yang membuatnya terjepit. Namun, ketika dia berdiri dan mengangkat tasnya, tangan Tartaglia tiba-tiba meraih pergelangan tangannya dengan lembut.
"Tolong, [Name]. Aku janji tidak akan membuat masalah," pintanya dengan intonasi rendah. "Aku hanya ingin bersamamu. Kumohon."
[Name] tertegun, merasakan kehangatan di tangannya dari genggaman Tartaglia. Tidak ada ancaman atau paksaan dalam suaranya, hanya keinginan yang tulus untuk mendampinginya. Meskipun masih ada sedikit keraguan dalam hatinya, ada sesuatu dari cara Tartaglia memandangnya kali ini—sesuatu yang membuatnya merasa sulit untuk menolaknya.
Dia menghela napas panjang, lalu menoleh ke arah bus yang berhenti di depan mereka. Supir bus menunggu beberapa detik, tapi ketika tidak ada penumpang yang naik, dia melanjutkan perjalanannya. Bus itu perlahan menjauh, meninggalkan [Name] dan Tartaglia di halte yang sepi.
"Baiklah," akhirnya [Name] berkata dengan suara pelan. "Kau bisa ikut... tapi jangan membuat masalah, Ajax."
Tartaglia tersenyum lega, seolah-olah beban berat telah terangkat dari pundaknya. Dia melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan [Name]. "Ah, tentu saja! Kalau begitu, ayo, aku akan mengantarmu ke rumah sakit."
[Name] ragu sejenak, memikirkan tentang apa yang akan terjadi setelah ini. Namun akhirnya dia mengangguk dan mengikuti Tartaglia ke arah motornya diletakkan. Setelah memasang helm yang diberikan Tartaglia, dia naik ke motor dan duduk di belakangnya seperti yang biasa dilakukannya.
Saat mereka melaju menuju rumah sakit, pikiran [Name] masih dipenuhi dengan semua kekhawatirannya. Tartaglia telah menunjukkan sisi lain dari dirinya hari ini—sisi yang lebih peka dan peduli—tapi dia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia hanya berpura-pura mencintai Tartaglia. Bagaimana perasaan Tartaglia jika dia tahu kebenarannya? Dia telah menghabiskan waktu dan tenaganya untuk [Name], apa yang akan dipikirkan pemuda ini tentangnya?
Dan lagi... kenapa semakin dipikirkan, [Name] semakin takut kalau hal itu terjadi?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro