Chapter 19
Tangan [Name] bergetar, dia tidak bisa melupakan kejadian yang berlalu begitu cepat dihadapannya. Sekeras apa pun dia memanggil namanya, sebanyak apa pun dia menyentuhnya, Ayato tidak memberinya sedikit pun respons.
Lalu darah mulai mengalir dari kepalanya dan [Name] membeku di sana.
Ia tidak bisa berkata bahwa dirinya cukup beruntung lantaran tepat saat itu ada beberapa siswa yang datang dan langsung menolongnya, memanggilkan para guru dan segera menghubungi rumah sakit selagi [Name] mencoba berpikir tentang bagaimana dia harus mengatakan hal ini pada Ayaka.
Saat tubuh Ayato yang mulai terasa mendingin itu dibawa ke dalam Ambulans, Ayaka di sana bersama [Name] dan justru dirinyalah yang ditenangkan oleh gadis berambut perak itu, terus menguatkannya kalau Ayato akan baik-baik saja dan berkata kalau itu bukan salah [Name] selagi gadis itu terus menyalahkan dirinya.
Sekarang [Name] duduk di kursi dengan Ayaka, tangannya masih bergetar. Dia menatap kosong ke arah lantai, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Bayangan Ayato yang terbaring tak sadarkan diri di ambulans terus berputar di benaknya, membuatnya merasa seakan-akan dunia di sekitarnya telah runtuh.
Dia masih ingat bagaimana darah yang mengalir dari kepala Ayato, dan rasa dingin yang menyelimuti tubuhnya saat dia mencoba memberikan pertolongan pertama dengan menekan luka di kepalanya. Semua itu berlangsung begitu cepat, seperti mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
"Dia akan baik-baik saja," ujar Ayaka dengan suara lembut, meskipun ada kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan dari nada bicaranya. "Kakak pasti akan segera pulih."
[Name] mencoba tersenyum, tetapi gagal. Matanya kembali dipenuhi oleh air matanya. "Ini semua salahku, Ayaka. Kalau saja aku lebih berhati-hati... kalau saja aku bisa menghindarinya...."
Ayaka menggeleng, memotong kalimat [Name] sebelum dia bisa melanjutkan. "Jangan menyalahkan dirimu sendiri, [Name]. Aku tahu kau tidak bermaksud melakukan itu, jadi jangan salahkan dirimu."
Namun, kata-kata itu tidak bisa mengusir rasa bersalah yang menggerogoti hati [Name]. Walaupun Ayaka sudah mencoba menenangkan dirinya, tetapi dalam benaknya dia hanya bisa memikirkan tentang bagaimana dia harus meminta maaf pada Ayato ketika pemuda itu sadar.
Waktu berlalu dengan lambat. Setiap detik terasa seperti menit, setiap menit terasa seperti jam. [Name] tidak bisa mengalihkan pandangannya dari pintu ruang operasi, berharap dan berdoa agar dokter keluar dengan kabar baik.
Akhirnya, pintu terbuka, dan seorang dokter keluar dengan wajah yang serius. Ayaka segera berdiri, diikuti oleh [Name] yang gemetar.
"Bagaimana kondisi Kakak saya, Dokter?" tanya Ayaka, suaranya hampir tak terdengar.
Dokter itu menghela napas dan menjawab, "Kami sudah melakukan yang terbaik. Dia mengalami cedera di bagian belakang kepalanya, dan kami berhasil menghentikan pendarahannya. Saat ini dia dalam kondisi stabil, tetapi kami harus terus memantau perkembangan lebih lanjut. Dia masih belum sadarkan diri, dan akan membutuhkan waktu untuk pulih sepenuhnya."
Kaki [Name] yang semulanya tegang kini berangsur terasa lebih ringan, bahu yang awalnya begitu kaku sekarang tampak lebih rileks. Kendati demikian, bukan berarti hal itu secara otomatis membuat kecemasannya menghilang.
"Boleh kami menemuinya?" Tanya Ayaka kemudian.
Dokter mengangguk. "Iya, tetapi mohon jaga ketenangan dan jangan terlalu lama. Dia masih membutuhkan banyak istirahat."
"Saya mengerti."
Saat Ayaka melangkah untuk memasuki ruangan tempat Ayato berbaring, [Name] tetap mematung di sana dalam diam. Ayaka menoleh dengan ekspresi bingung, lalu bertanya pada gadis itu, "[Name], kau tidak akan ikut?"
"... aku—" [Name] terdiam sejenak, menarik kembali tangannya dari Ayaka dan menggeleng. "Aku tidak akan masuk. Kau lihatlah dia lebih dulu, Ayaka. Aku harus segera kembali ke sekolah."
"Itu tidak perlu," ucap Neuvillette yang tiba-tiba muncul di antara mereka, di belakangnya Zhongli dan Thoma mengikuti. "Kau pasti masih trauma karena kejadian sebelumnya, aku sudah menghubungi orang tuamu untuk datang menjemputmu di sekolah."
"Ah... terima kasih banyak, Pak Neuvillette." [Name] hanya bisa mengangguk pelan, mencoba untuk tetap kuat
"Aku juga sudah menghubungi orang tuamu dan Ayato," sambung Zhongli di belakangnya kepada Ayaka. "Bagaimana pun kami harus menjelaskan kejadian ini secara langsung kepada mereka, kau tetaplah di sini sampai orang tuamu datang."
"Saya mengerti."
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
Ada banyak alasan yang membuat [Name] harus pergi ke rumah sakit sekarang, salah satunya karena Ayato Kamisato.
Sehari setelah Ayato sadar, kepala sekolah dan wali kelasnya—Zhongli dan Neuvillette—langsung menanyakan kronologi atas insiden yang membuat Ayato terluka seperti itu dan mencocokannya dengan cerita yang mereka dapatkan dari [Name]. Kedua ceritanya masuk satu sama lain dan sangat identik, karena itulah [Name] lolos dari hukumannya sementara gadis dari tahun ketiga yang mendorongnya itulah yang mendapatkan surat peringatan dan skorsing selama lima hari.
Sekarang sudah tiga hari sejak Ayato sadar, tidak ada hari dimana [Name] tidak datang untuk menjenguk Ayato Kamisato bahkan ketika ia selesai dengan kegiatan sekolahnya seperti hari ini.
Perasaan campur aduk saat ini melandanya—di satu sisi dia ingin memastikan bahwa Ayato baik-baik saja, tetapi di sisi lain rasa bersalah masih mengganjal di hatinya meski dirinya telah dinyatakan tidak bersalah dan Ayato sendiri tidak menyalahkannya sama sekali.
"Kau sudah siap, [Name]?" Tanya Ayaka sambil tersenyum hangat.
[Name] mengangguk dengan sedikit canggung. "Ya, aku sudah siap. Apa ada yang perlu dibawa lagi?"
Ayaka melihat sekitar, memastikan tidak ada apa pun yang tertinggal di sana sebelum menjawab, "tidak ada."
Bersamaan dengan itu, seseorang dari arah pintu masuk ruang kelasnya memanggilnya, "[Name], Tartaglia datang mencarimu ...!"
[Name] mendesah pendek. "Tunggulah aku di gerbang sekolah dengan Yoimiya, aku akan datang menyusul."
"Baiklah."
[Name] keluar dari kelasnya dan menemukan Tartaglia sudah berdiri di sana, menunggunya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Dia tampak sedikit gelisah, dan ada sesuatu di dalam matanya yang membuat [Name] merasa tidak nyaman. Mereka sudah tidak banyak berbicara dan membuat [Name] jarang membalas pesan dari Tartaglia selama beberapa hari terakhir sejak insiden Ayato terjadi.
Sekarang, entah kenapa [Name] merasakan ada sesuatu yang sebentar lagi akan terjadi dan dia tidak menyukainya.
"Ada apa?" tanya [Name] langsung, mencoba menjaga suaranya tetap netral.
"Aku ingin pulang bersamamu," jawab Tartaglia singkat. "Sudah tiga hari ini kau terus mengabaikanku, [Name]. Aku khawatir tentangmu."
[Name] mengembuskan napasnya dengan lelah. "Aku yakin kalau aku sudah mengatakannya dengan cukup jelas padamu. Aku tidak akan pulang denganmu baik hari ini atau pun besok, apa kau mengerti?"
"Jangan bilang kalau kau akan pergi ke rumah sakit lagi?" Tartaglia mengerutkan kening, tidak mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Sebenarnya kenapa? Apa yang membuatmu begitu terikat dengannya? Apa kau tidak bisa melakukannya sehari atau dua hari saja?"
"Apa yang sedang coba untuk kau katakan sekarang, Ajax?" Tanya [Name] tajam. "Dan perlu kuingatkan kalau ini bukan soal mengabaikan siapa pun. Aku hanya ingin memastikan Ayato baik-baik—"
"Kau ini kekasihku ...!" Potongnya, Tartaglia terdiam setelah mengatakan itu dan [Name] bisa melihat Tartaglia sedang menahan sesuatu di sana dan menggenggam tangan [Name]. "Kau ini kekasihku bukan kekasih Ayato. Kau tidak ada hubungannya dengan dia dan kurasa kau sudah sangat berlebihan. Apa kau tidak tahu kalau yang kau lakukan sekarang membuatku merasa seperti kau sudah menyingkirkanku di sini?"
"Tidak ada hubungannya...." [Name] bergumam. "... kau benar-benar tidak mengerti apa pun, Ajax."
Tidak, Tartaglia jelas salah. [Name] sangat memahami hal itu. Masalah ini tentu ada hubungannya dengan [Name]; dan mendengar itu dari Tartaglia membuat dadanya berdenyut, perasaan kesal pun segera naik dari perutnya.
[Name] pun menepis tangan Tartaglia darinya dengan kasar. Dia mendongak untuk menatap Tartaglia dan di waktu yang sama pemuda itu membeku melihat sorot dingin di matanya. "Kau salah, Ajax," kata [Name] defensif. "Dan aku sangat kecewa padamu."
"... apa?"
"Pergilah dari hadapanku, aku tidak ingin melihatmu lagi."
"[Name], jika kau mengatakan itu sama saja seperti kau—!?" Tartaglia terdiam tepat saat ia berusaha menahan [Name] pergi dari hadapannya, menarik sebelah tangannya dan menatap kedua bola matanya di sana.
"...."
Pada detik terakhir, tidak ada satu kata pun yang [Name] coba untuk katakan kepadanya. Tidak ada.
Alasannya mudah, Tartaglia sudah menemukan jawabannya dan dia tidak sanggup untuk mengatakannya sekarang; dan [Name] juga tidak ingin melakukannya karena terlalu lelah dengan semua yang terjadi padanya sejak ia mengambil keputusan paling bodoh dalam hidupnya—berpura-pura menjadi orang yang telah jatuh cinta pada Tartaglia dan berpacaran dengannya. Sekarang, kebohongan yang telah ia bangun di antara mereka kini menghantamnya dengan keras, dan setiap detik yang berlalu membuat beban itu semakin berat.
Setidaknya, hanya kepada Ayato, [Name] tidak ingin menyembunyikan kekhawatirannya kepada pemuda itu. [Name] tidak ingin berpura-pura dirinya baik-baik saja setelah pemuda itu terluka karena menyelamatkannya, melindunginya. Hanya kepada Ayato.
Lantas Tartaglia melepaskan tangan [Name] membiarkan gadis itu pergi meninggalkannya, sementara [Name] terus berjalan tanpa sekali pun mencoba menoleh ke belakang seperti yang biasa dilakukannya.
─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───
"Oh, kalian sudah datang."
"Maaf mengganggu waktumu. Bagaimana keadaanmu, Kakak?"
Ayato tersenyum lebih, lalu menutup buku di tangannya. "Sudah merasa lebih baik."
"Syukurlah," kata Ayaka, suara lega terdengar jelas dalam nadanya.
Saat itu, mata Ayato beralih pada [Name] yang berdiri sedikit di belakang Ayaka. Tatapan mereka bertemu, dan untuk sesaat, ada kehangatan yang mengalir di antara mereka. "[Name], kau datang lagi," sapa Ayato dengan senyuman ramah yang mampu membuat jantung [Name] berdegup lebih cepat.
"Eh? Ah...." [Name] tersenyum canggung, merasa sedikit gugup meski sudah berkali-kali datang ke sini. "Iya. Senang melihatmu semakin baik."
Sesungguhnya, kata-kata Ayato barusan sudah cukup membuat [Name] merasa bahagia dan gugup di waktu bersamaan. Ada sesuatu yang berbeda setiap kali dia berada di dekat Ayato, sesuatu yang membuatnya ingin terus berada di sini, memastikan bahwa Ayato benar-benar pulih dengan baik.
Tidak ingin dirinya terlalu terlihat kikuk, [Name] kembali berkata, "oh, aku... akan meletakan buah-buahnya di sini."
"Silakan."
"Selamat sore, waktunya pemeriksaan rutin untuk Tuan Muda Kamisato," ucap seorang perawat begitu dia masuk ke dalam ruang perawatan Ayato. "Oh, kalian ternyata datang lebih awal."
"Iya, karena tidak ada kegiatan klub jadi kami datang lebih cepat hari ini," jelas Yoimiya dengan senyuman ceria di wajah manisnya.
"Kalian benar-benar perhatian sekali," kata perawat itu sambil memeriksa beberapa alat medis di samping tempat tidur Ayato. "Dan Anda...." tanya perawat itu dengan nada penuh kehangatan, dia melirik ke arah [Name]. "Saya sering melihat Anda datang setiap hari. Anda pasti sangat khawatir dengan keadaan Tuan Kamisato."
[Name] merasakan wajahnya memanas, tapi dia mencoba untuk tetap tenang. "Ah, iya...." Ucap [Name] sambil tertawa canggung.
Perawat itu tertawa kecil, lalu berkata, "Anda benar-benar perhatian. Tuan muda pasti merasa sangat beruntung memiliki kekasih seperti Anda, " ia melanjutkan pemeriksaan dengan cekatan, tapi tak lupa menambahkan, "Kalian berdua terlihat sangat cocok."
"Ya!?" Bahu [Name] tersentak, cukup terkejut mendengarnya. Dia menggerakan tangannya di depan dada dengan kaku. "Oh, tidak... aku hanya—"
Tapi tiba-tiba Ayato tertawa kecil, dia lalu berkata, "berhentilah menggodanya, Ners Edna. [Name] jadi canggung karena kau terang-terangan mengatakan itu."
Perawat itu hanya terkekeh pelan dan tersenyum tipis. "Anda benar, maafkan saya."
Perawat itu jelas sangat salah paham dengan hubungan antara Ayato dan [Name], dan sekarang dia tidak bisa mengklarifikasi apa pun kepadanya.
Takut dengan apa yang dipikirkan Ayato tentang ucapan sang perawat, [Name] melirikkan matanya untuk melihat ekspresi Ayato yang setengah terbaring dihadapannya. Pemuda itu tampak sedikit tersenyum mendengar komentar perawat itu, tetapi tidak memberikan reaksi berlebihan. Senyuman ramahnya tetap sama, seolah tidak terpengaruh oleh percakapan sebelumnya.
[Name] mengembuskan napas lelah dan sebelum menyadarinya, Ayato sedang memperhatikannya lalu menarik sudut bibirnya lebih yang justru membuat [Name] merona. Secara refleks gadis itu mengalihkan pandangannya dari sana.
Ayaka tertawa pelan melihat ekspresi malu-malu [Name], tapi dia tidak mengatakan apa pun. Sebaliknya, dia beralih ke Ayato dan berkata, "aku akan datang lagi besok dengan sekretaris OSIS, apa tidak apa-apa?"
Ayato menggeleng dengan lembut. "Tidak masalah. Sepertinya itu masalah yang cukup mendesak, biarkan Alhaitham datang ke sini."
Perawat selesai dengan pemeriksaannya dan menulis beberapa catatan di clipboard-nya. "Tuan Kamisato, kondisi Anda terus membaik. Jika tidak ada perubahan, kemungkinan besar Anda bisa pulang dalam dua hari ke depan. Saya akan segera menyampaikannya kepada dokter penanggungjawab Anda."
Ayato mengangguk. "Terima kasih, Ners."
Setelah perawat itu meninggalkan ruangan, suasana menjadi lebih santai. Yoimiya mulai berbicara tentang kegiatan di sekolah yang mereka lewatkan, membuat semua orang tertawa dengan cerita-ceritanya yang ceria. Namun, [Name] merasa tatapan Ayato terus tertuju padanya, seolah-olah dia ingin mengatakan sesuatu kepadanya, tetapi [Name] mengabaikannya. Menganggap itu semua hanya perasaannya saja.
"Ayaka! Kenapa kau memotong apelnya seperti itu!?"
"Ah... kulihat [Name] memotongnya seperti ini kemarin jadi aku ingin mencobanya."
"Iya, tapi lihatlah itu! Kau memotong banyak daging buahnya!" Sembur Yoimiya. "Sudah, biarkan [Name] saja yang melakukannya!"
"Kau benar. Maafkan aku."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro