Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 18

[Name] mendesah usai menepuk-nepuk lembut wajahnya dan menatap cermin. Begitu ia yakin dirinya sudah siap, gadis itu meraih tas dan ponsel di atas mejanya, keluar dari kamar dan turun menuju lantai dasar untuk berkumpul di meja makan.

Saat [Name] turun ke lantai dasar, dia bisa mencium aroma roti panggang dan telur dadar yang menggugah selera dari arah dapur. Pagi itu tampak begitu damai dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela dapur, menerangi ruangan dengan sinarnya hangat.

Dia menyapa ibunya yang sedang sibuk mengaduk sup di dalam panci. "Selamat pagi, Ibu," kata [Name] dengan senyum di wajahnya. "Ayah belum selesai?"

Ibu [Name] menoleh, menatap putrinya dengan lembut. "Iya. Tolong panggilkan Ayahmu begitu supnya sudah matang."

[Name] mengangguk, lalu berjalan ke meja makan dan meletakkan tasnya di kursi sebelum pergi ke dapur untuk mengambil lauk yang belum dihidangkan.

Tepat ketika [Name] tengah mengambil piring besar dari dalam rak, Ibunya memanggilnya, "[Name], ada yang ingin Ibu bicarakan denganmu."

[Name] mendongak, menatap ibunya dengan sedikit bingung. "Ada apa, Ibu?"

Ibunya berhenti mengaduk sup di dalam panci dan meletakan centong sayur itu tepat di dalam mangkuk kosong yang bersih. Lalu setelah satu helaan napas pendek, dia berkata, "Ibu yakin kalau Ibu sudah mengingatkanmu tentang larangan berpacaran, benar?"

Bahu [Name] tersentak. Tidak menyangka Ibunya akan langsung membahas hal itu sekarang. Jadi [Name] hanya mengangguk dan berkata, "iya, sudah. Ibu sudah sering mengatakannya."

"Bagus. Ibu harap kau tidak lupa dengan itu."

[Name] terdiam sejenak. Ada yang aneh dengan Ibunya pagi ini—tidak, bahkan sejak kemarin malam. Tepatnya adalah setelah [Name] kembali usai berkencan dengan Tartaglia. Ibunya jadi tidak banyak berbicara dan hanya berbicara ketika menanyakan tentang dirinya yang sudah makan malam atau belum, hanya itu.

Merasa ada yang aneh dengan Ibunya, [Name] akhirnya berkata, "apa ini tentang semalam?"

Ibunya tiba-tiba menekan pisau yang sedang digunakannya di atas nampan dengan agak keras. Wanita itu terdiam sejenak dan melepas benda itu dari tangannya lantas mengelap tangannya dengan apron yang dia kenakan.

"Padahal Ibu sudah sering mengingatkannya padamu," ucap Ibunya dengan suara rendah.

"Ibu, dia bukan kekasihku," kata [Name] dengan penekanan pada kata-katanya. "Jika itu yang ingin Ibu ketahui, maka aku sudah menjawabnya sekarang."

"[Name]," panggil Ibunya tegas. "Aku ini Ibumu, apa kau pikir aku tidak tahu kalau kau sedang berbohong sekarang?"

"!?"

Ibunya menatap [Name] dengan mata yang tajam tetapi suaranya tetap lembut, berusaha menjaga agar percakapan ini tidak terdengar oleh siapa pun selain mereka berdua. Dia melangkah mendekati [Name], memastikan bahwa jarak di antara mereka cukup dekat untuk berbicara dengan suara pelan.

"Apa menurutmu Ibu akan percaya begitu saja?" tanyanya dengan nada skeptis, matanya tidak lepas dari wajah putrinya. "Ibu melihat sendiri bagaimana dia mengantarmu pulang larut malam, dan ini bukan pertama kalinya. Kalian sering terlihat bersama akhir-akhir ini, 'kan?"

[Name] menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat. Dia tahu ibunya bukan orang yang mudah dibohongi, tapi dia juga tidak ingin membuat situasi semakin rumit terutama ketika sekarang masih sepagi ini.

Dan sebenarnya, ramah-tamahnya di depan Tartaglia hanyalah di permukaan. Begitu mereka hanya berdua, Ibunya akan sangat bersikap tegas kepadanya. Di depan teman-temannya dan ketika mereka tengah bersantai bersama, Ibunya bersikap layaknya sahabat; tapi begitu mereka hanya sendiri seperti saat ini dengan suasana serius, Ibunya akan bersikap seperti "Ibu"-nya.

"Ibu, Tartaglia memang sering mengantarku pulang tapi itu karena kami satu jalan dan ini lebih aman dibanding aku pulang sendiri malam-malam," jelas [Name] dengan suara rendah namun tegas. "Kami benar-benar hanya teman. Tidak ada yang lebih dari itu."

Ibunya menghela napas panjang, lalu melirik sekeliling untuk memastikan bahwa suaminya tidak berada di dekat mereka. Setelah yakin, dia kembali menatap [Name] dengan ekspresi serius.

"... sepertinya kau menantang Ibu untuk melakukannya sendiri benar begitu, [Name]?" Kata Ibunya sambil mengangguk beberapa kali. "Baiklah, Ibu mengerti. Jika itu yang kau inginkan, Ibu akan melakukannya dan—"

"Aku tidak menantangmu ...!"

"—dan kau beruntung Ayahmu belum mendengarnya. Ibu tidak akan membelamu jika Ayahmu mengetahuinya sendiri, kau mengerti?"

[Name] terdiam sejenak, mempertimbangkan ucapan Ibunya saat ini. Ayahnya jelas tidak akan sebaik Ibunya yang masih berniat membicarakan hal ini dengannya dan itu membuat [Name] takut sekarang. Karena itulah, dia berkata, "... aku mengerti, Ibu."

─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───

"Tonia belum bangun?"

"Oh? Benar juga, aku belum melihatnya pagi ini."

Anton dan Teucer menoleh kesana kemari, mencari saudara perempuan mereka yang paling muda di sana. Namun gadis kecil itu tidak ada dimana pun.

"Kak, apa kau sudah memanggil Tonia untuk sarapan?" Tanya Tartaglia pada Irina tepat saat kakak perempuannya itu meletakan roti panggang di atas meja makan.

"Iya, dan sepertinya...." Irina mendesah pelan dan melihat ke arah Tartaglia dengan hati-hati. "... dia masih di kamarnya karena marah padamu."

Tartaglia mengernyit. "Apa—kenapa tiba-tiba?"

"Karena kau meninggalkannya untuk berkencan," jelas Irina sambil menarik kursi di depannya lalu duduk di sana. "Dia merasa kalau kau lebih memilih menghabiskan waktu dengan orang lain daripada dengannya."

"Huh? Aku tidak...." Tartaglia mendesah. "Aku tidak bermaksud membuatnya merasa seperti itu."

Tonia memang tidak jarang meminta dia untuk menemaninya pergi ke suatu tempat setiap akhir pekan—entah sekadar berjalan di sekitar taman, bermain permainan jalanan, sampai memancing bersama—tapi biasanya adiknya itu akan memberitahunya ketika dia menginginginkannya.

Mungkinkah karena hampir setiap akhir pekan dirinya terlalu sering terlihat sibuk hingga adiknya sungkan untuk memintanya lagi? Karena itulah begitu tahu Tartaglia pergi berkencan sementara adiknya mengalah karena memikirkannya, dia jadi marah padanya?

"Aku akan bicara dengannya," kata Tartaglia akhirnya. Dia meletakkan cangkir tehnya, berdiri dari kursi, dan berjalan menuju tangga.

Ketika Tartaglia sampai di depan pintu kamar Tonia, dia mengetuk pelan, berharap mendapat jawaban. Tapi tidak ada suara yang keluar dari dalam kamar. Dengan hati-hati, Tartaglia membuka pintu dan masuk. Di dalam, dia melihat Tonia meringkuk di atas kasur, sementara tubuhnya terbungkus selimut tebal.

"Tonia," panggil Tartaglia lembut. "Kakak datang."

Tidak ada jawaban, hanya ada keheningan yang panjang. Tartaglia mendekati kasur dan duduk di tepinya, memperhatikan gundukan selimut yang sedikit bergerak saat Tonia bernapas.

"Apa kau tidak ingin sarapan denganku?" Katanya lagi dengan intonasi yang sama. "Apa kau membenciku sekarang?"

Akhirnya, Tonia mulai bergerak. Dia menyingkap sedikit selimutnya dan menampakkan wajah kecilnya yang sedang cemberut. Matanya menatap Tartaglia dengan campuran rasa sakit dan kekecewaan. "Aku tidak benci padamu, tapi aku marah padamu," katanya.

"Kenapa?"

"Karena kau tidak ingin lagi pergi denganku," katanya pelan.

Tartaglia terkekeh, tidak menyangka akan mendengar hal itu darinya. Sungguh. Selama ini Tonia selalu bersikap paling dewasa diantara ketiga adiknya yang paling kecil. Tartaglia sangat ingat ketika ia sedang menghadapi masa ujian masuk SMA-nya, Tonia datang tepat saat tengah malam untuk membuatkannya susu coklat hangat dan menyemangatinya. Pernah pula selagi anak lain di kelasnya membuatkan boneka sebagai hadiah untuk Ibunya, Tonia justru membuatkan itu untuknya; dan sesungguhnya, Tartaglia sangat merindukan saat-saat ketika adik perempuannya ini selalu bergelayut disekitarnya dan mengikutinya layaknya anak bebek.

Tartaglia menghela napas panjang dan lembut, lalu dengan perlahan mengulurkan tangan, membelai rambut Tonia yang berantakan. "Oh, Tonia... aku tidak pernah tidak ingin pergi bersamamu. Aku hanya...." Dia berhenti sejenak, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. "Aku hanya sibuk dengan—"

"[Name]," potong Tonia, intonasinya terdengar tidak nyaman.

Alis Tartaglia naik sebelah. "Dari mana kau mendengar namanya?"

"Kak Irina yang mengatakannya," jelas Tonia, dia akhirnya bangun dari posisinya dan duduk di atas ranjang. "Dia bilang kalau kau sedang pergi berkencan dengan [Name]."

Tartaglia terdiam sejenak. Mendengar nama [Name] disebutkan, Tonia tampak semakin kecewa. Bukan—tapi Tonia tampaknya memiliki kesan yang buruk tentang [Name]. Ini jelas hal yang diluar keinginannya. Padahal sebelumnya dia pernah bilang pada gadis itu kalau adik-adiknya pasti akan menyukainya.

Daripada menyalahkan Tartaglia yang mengira dia melupakan adiknya sendiri, sepertinya Tonia lebih memilih menyalahkan [Name] karena sudah memonopoli dirinya. Oleh karenanya, Tartaglia semakin terjepit diantara rasa bersalah labtaran telah membuat adiknya merasa ditinggalkan dan bagaimana dia harus menjelaskan situasinya agar adiknya berhenti menyalahkan [Name].

"Benar," kata Tartaglia akhirnya dengan nada lembut. "Aku memang pergi berkencan dengan [Name]. Tapi itu bukan berarti aku tidak peduli padamu."

"...."

"Aku benar-benar minta maaf, Tonia. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu merasa seperti itu," Tartaglia menambahkan. "Itu salahku dan [Name]—"

ting!—suara pesan notifikasi masuk. Tartaglia segera merogoh ponsel di dalam saku kemejanya dan mendapati pesan dari [Name] di sana.

"... [Name]," celetuk Tonia, ekspresinya tampak semakin terlihat buruk. "Itu pasti dia, benar?"

"Ah, itu—" Tartaglia mengalihkan pandangannya dari Tonia dengan panik, lalu menjawab, "... iya, dari [Name]."

"...."

Dia sudah duga kalau suasana hati Tonia akan segera memburuk begitu mendengarnya, tapi Tartaglia juga tidak bisa berbohong kepada adiknya ini. Lebih tepatnya, dia tidak ingin berbohong kepada Tonia. Jadi setelah satu tarikan napas pendek dan mengembuskannya dengan kuat, Tartaglia tersenyum dan berkata, "baiklah. Saat akhir minggu nanti, bagaimana kalau aku mengajakmu ke tempat makan yang enak?"

"Paling itu hanya tempat dimana kau pernah berkencan dengan [Name]," semburnya dengan ketus, Tartaglia tertohok mendengarnya.

"Tidak—itu—kita akan pergi ke tempat lain, tentu saja," kata Tartaglia dengan hati-hati. "Kemana pun yang kau inginkan. Terserah padamu dan sampai kau puas."

"Kau berjanji?" Tonia mengulang.

Tartaglia mengangguk, menunjukkan jari kelingkingnya dan berkata, "aku berjanji."

Lantas sambil menautkan jari kelingking kecilnya di antara milik Tartaglia, Tonia berkata, "janji kelingking tidak boleh diingkari. Siapa pun yang mengingkarinya akan dilempar ke sungai es. Dinginnya es akan membunuh sang pengkhianat, dinginnya es akan membekukan lidah sang pembohong!"

"Apa kau sudah memaafkanku sekarang?"

"... aku memaafkanmu."

─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───

[Name] mengembuskan napasnya dengan lelah. Dia sangat mengerti dengan kekhawatiran Ibunya, sungguh. Mengingat dia adalah anak satu-satunya di keluarganya, sudah sewajarnya Ibunya bersikap begitu protektif terhadapnya terlebih ketika ia memiliki bibi yang cukup bermasalah saat berhadapan dengan seorang pria seusianya dulu.

Namun itu juga sedikit banyak menghancurkan [Name], membuat dirinya berpikir kalau dia tidak cukup mampu untuk melakukan apa pun yang diinginkannya atau menjaga dirinya sendiri ketika—oh, sial. Aku hampir lupa... bagaimana pun aku sudah melewati batas.

Dia membiarkan Tartaglia menciumnya. Secara tidak sengaja, tentunya.

Itu adalah insiden, bukan sesuatu yang diinginkannya untuk terjadi dan begitu pula dengan Tartaglia. Tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa ia lengah saat itu dan membiarkan pertahanan dirinya terbuka lebar begitu saja.

[Name] menggeleng, lalu menepuk kedua pipinya untuk segera menyadarkan dirinya sendiri di sana. Meskipun Tartaglia kekasihnya, dia tidak bisa membiarkan pertahannya kendur begitu saja. Tartaglia tetaplah seorang laki-laki, [Name] tidak tahu dengan jelas apa yang sering dipikirkan para pria tentang wanita. Namun yang pasti, mereka setidaknya pernah berfantasi melakukan sesuatu dengan orang yang mereka suka dan membangkitkan hasratnya.

Tak terkecuali—bruk!—dan [Name] tidak sengaja menyenggol bahu seseorang.

Matanya menatap nanar saat menyadari siapa gadis yang kini berdiri di depannya. Dia menunduk dan segera berkata, "maafkan aku. Selanjutnya aku akan berhati-hati."

Sebelum [Name] sempat menyingkir dari sana, gadis berambut biru dengan potongan pendek itu berkata, "apa kau sudah puas?"

Dahi [Name] berkerut. "Apa?"

"Apa kau sudah puas membuat Ajax membenciku?"

[Name] mendengus. Aneh mendengar dia mengatakan hal itu padanya sekarang. "Apa? Kenapa itu jadi salahku?" Balas [Name] offensif.

"Semua memang salahmu!" Katanya, suaranya naik satu oktaf. "Kau tidak seharusnya menjadi kekasihnya! Kau tidak lebih baik daripada diriku! Sebenarnya apa yang dilihat Ajax darimu, huh!?"

"Kau...." [Name] mendesah pelan, berusaha menahan kesabarannya di sana. "Kau mengatakan itu sekarang? Kenapa kau tidak bertanya pada dirimu sendiri tentang apa yang sudah kau perbuat padaku?"

Menjelekannya, merendahkannya, menyebarkan rumor, mengancamnya, bahkan melukainya. Semuanya sudah gadis di depannya ini lakukan. Meski semuanya berakhir gagal lantaran Tartaglia membungkamnya dengan postingan-postingannya, tapi dia tetap tidak menyerah. Dia bahkan sampai melakukan hal paling buruk dengan menyerangnya langsung.

Sekarang apalagi yang ingin dilakukannya? Sebenarnya apa alasan dia terus membuatnya terpojok seperti ini? Karena dia kekasih Tartaglia? Atau karena gadis ini merasa lebih superior dari [Name] tetapi Tartaglia tetap memilihnya menjadi kekasihnya? Mungkinkah... keduanya?

"Karena dirimu, Ajax sampai mengancam dan mempermalukanku," gumamnya. "Padahal kau hanyalah gadis rendahan biasa yang tidak bernilai, dia sampai—uhh!"

[Name] terdiam. Selama ini dia tidak melakukan apa pun, dia hanya diam saja dengan harapan kehidupan masa SMA-nya akan berakhir dengan damai tanpa drama tak berarti. Tapi hanya karena hal itu... dia harus melewati semua ini? Oh, ini bodoh sekali. Sangat konyol.

"Kalau Ajax membencimu, maka itu semua salahmu," kata [Name] berusaha menahan amarahnya di sana. "Kenapa kau terus—"

"Kau terlalu banyak bicara!" Teriak gadis itu dan kemudian—buk!—dia mendorong [Name] ke belakang, membuat gadis itu terjungkal sebelum tergelincir dari tangga di belakangnya.

Pada detik itu, [Name] bisa meraskaan tubuhnya yang melayang dan sebelum ia sempat menyadari sesuatu di sana, dia sudah berguling di atas tangga dengan seseorang bersamanya—lebih tepatnya, seseorang melindunginya di sana dengan memeluknya.

[Name] meringis, merasakan sakit kakinya yang terkilir. Lalu ketika ia perlahan mulai menyadari siapa orang yang melindunginya di sana, dia berteriak.

"AYATO!"

























─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───

Halo Reader Mikajeh tercinta dan para bucinan Chidut Ajax Tartaglia 👁👄👁👋🏻 oh, dan selamat datang buat para Reader baru ehek~ 🥰 gimana kabarnya hari ini? Baik-baik aja, 'kan? Gak nyangka udah perjalanan sepertiga total chapter di work ini, semoga masih pada tahan 😂🤣

Oke, langsung aja—seperti yang kalian tau, mungkin ada yang ngerasa karakter "Ibu FL" di sini keliatan plin-plan dan kurang jelas, kek ama Ajax keliatan baik, humble, etc gt tp giliran di belakang malah galak ya intinya muka dua lah yak 😗 betul, Ibu-nya emang muka dua dan karakternya gk sesederhana itu; doi di depan temen2 FL emg se-humble itu, enak diajak ngomong kek temen, suka basa basi, bercanda, etc tp klo dah nyangkut FL ya doi ttp berperan sebagai "Ibu" makanya agak keras tp gk terang2an nunjukin itu klo ada tmn'y FL, gitu gais ☺️

Itu aja dari aku, sampai jumpa di chapter selanjutnya~ see ya!






Xoxo,

Mikajeh

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro