Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 13

"Apa yang ingin kau katakan?" Tanya [Name] begitu ia mendapatkan tempat yang lebih tenang untuk berbicara berdua dengan Tartaglia.

Tartaglia menatap [Name] dengan raut wajah bersalah, seolah benar-benar menyesali insiden yang terjadi, dan ekspresi Tartaglia yang penuh penyesalan membuat [Name] merasa sangat buruk sekarang. "Aku minta maaf jika aku membuatmu merasa tidak nyaman," ujar Tartaglia tulus. "Sungguh, maafkan aku. Tolong jangan menghindariku seperti ini, aku tidak menyukainya."

"...."

Tartaglia menggulirkan bola matanya, lantas menatap [Name] lurus. "Jika kau ingin aku melupakan semua tentang... ciuman itu, maka akan kulakukan. Tapi kumohon padamu, jangan menghindariku lagi."

Dahi [Name] berkerut bingung. "Melupakannya?"

Apa yang dikatakannya sekarang? Kenapa dia berkata seolah [Name] meminta semua itu setelah yang dikatakannya pada malam mereka—oh, ada apa dengannya sekarang? Apa kepalanya terbentur? Apa sekarang Tartaglia mulai gila?

Satu-satunya orang yang meminta untuk melupakan tentang mereka yang telah berciuman adalah Tartaglia, pemuda itu. Tartaglia yang meminta ia lebih dulu, tapi kenapa dia berbicara seolah [Name] yang memintanya?

"Kenapa kau bicara begitu?" Tanya [Name] langsung, lebih karena emosinya saat ini.

"Karena kau terus lari dariku. Kau jelas-jelas menghindariku sejak—" suara Tartaglia tertahan, kerutan di wajahnya bertambah. [Name] bisa merasakan ketegangannya saat ini. "—sejak aku menciummu."

"...." [Name] membuka sedikit mulutnya, lantas menutupnya kembali. Dia menghindari pandangan Tartaglia manakala merasakan kecanggungan disekitarnya sekarang.

Lalu Tartaglia melanjutkan, "kalau dengan memintaku melupakannya berarti membuatmu merasa lebih baik, aku akan melakukannya."

"...."

"[Name]?"

[Name] memejamkan matanya sejenak dan mengembuskannya setelah berusaha mengendalikan dirinya lagi. "Aku menghindarimu bukan karena aku memintamu melupakannya," kata [Name] dengan tekanan hampir di setiap katanya.

"Lalu kenapa—"

"Karena aku tidak bisa melupakannya, dasar bodoh!"

"!!"

Karena [Name] tanpa sadar terus membayangkannya, karena ia akan terus melihat ke arah bibir pria itu, karena dia—karena itu Tartaglia.

[Name] tidak mungkin mengungkapkan semua hal yang dipikirkannya, tentu saja. Bagaimana pun dia tidak ingin dikira sebagai gadis mesum setelah mereka melakukannya sekali seolah ia menginginkannya lagi. Itu sangat memalukan. Tidak bermoral. Jika Tartaglia mengetahuinya, apa yang akan pemuda ini pikirkan tentangnya? Itu hal yang paling tidak diinginkannya untuk terjadi. Ia bahkan kesulitan untuk mengakui bahwa ia tidak bisa melupakannya sampai menghindari tatapan Tartaglia kepadanya karena takut.

Sementara itu Tartaglia tertegun mendengar pengakuan [Name]. Tatapan kaget di wajahnya perlahan melembut, seakan-akan dia baru saja memahami sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Dia mencoba berbicara, tetapi kata-katanya terhenti di tenggorokan. Momen canggung itu berlangsung sejenak, sebelum Tartaglia akhirnya mengembuskan napas panjang untuk menyingkirkan beban di punggungnya.

"[Name]...." Tartaglia memanggilnya dengan suara rendah dan pelan, takut mengganggu perasaan yang mungkin masih mengganjal di hati [Name].

"Ada apa?" Tartaglia tersenyum padanya, senyuman yang entah kenapa membuat [Name] merasa sangat aneh sekarang. "Kenapa? Cepatlah bicara ...!"

"Aku tidak tahu kau berpikir begitu."

Perempatan di dahi [Name] muncul, ujung alisnya berkedut kesal. "Diamlah!"

Tartaglia tertawa. "Maaf, tapi... kau tidak perlu melupakannya. Aku tidak tahu kalau kau menganggapnya berharga, maafkan aku."

Wajah [Name] merona hebat dan perempatan di dahinya bertambah. "Kau—kenapa kau menyebalkan sekali!? Padahal kau sendiri akan melupakannya, tapi kenapa sekarang kau bilang aku tidak perlu melupakannya!?"

Bahu Tartaglia tersentak, kedua alisnya terangkat dengan bingung. "Apa? Kapan aku bilang kalau aku akan melupakannya?"

"Setelah kita...." [Name] mengalihkan tatapannya, lalu bergumam, "... berciuman. Kau mengatakannya."

"...."

Perkataan Tartaglia semakin membuat [Name] kebingungan. Ia mengingat dengan jelas malam itu, ketika kembang api mulai meledak di langit, ketika sorakan ramai terdengar di sekitarnya, dan Tartaglia berbicara tepat dihadapannya. Namun, kenapa Tartaglia berkata seolah ia tidak pernah mengatakan hal itu? Kata-kata yang ia yakini terdengar, tiba-tiba terasa tidak begitu jelas lagi di dalam ingatannya.

Melihat kebingungan di wajah [Name], Tartaglia segera berkata, "aku tidak pernah bilang akan melupakannya, [Name]."

"Tapi—"

"Aku bilang." Tartaglia mendesaknya, lalu melanjutkan, "aku tidak akan pernah melupakan ciuman itu."

Bibir [Name] terbuka, dia sangat yakin kalau dia—mungkinkah dia salah mendengar ucapan Tartaglia? Apakah di tengah hiruk-pikuk malam itu, Tartaglia sebenarnya tidak pernah mengatakan apa yang ia pikirkan? Benar, kembang api itu dan sorakan orang-orang disekitarnya, pasti karena itu beberapa kata yang diucapkan Tartaglia begitu kabur didengarnya.

"Sepertinya aku... salah mendengarnya," [Name] bergumam, menatap Tartaglia dengan panik dan menutup setengah wajahnya dengan sebelah tangan. "Maafkan aku...."

"Hei," kata Tartaglia lembut, meraih tangan [Name] yang menutupi wajahnya. "Tidak apa-apa, itu bukan salahmu. Aku bahkan tidak menyadari itu dan hanya meyakinkan diriku kalau kau mengizinkanku untuk mengingatnya."

"...."

"Ngomong-ngomong," katanya, dia tersenyum miring yang membuatnya terlihat agak konyol. "Aku tidak tahu kalau memikirkan hal yang sama denganku."

[Name] secara refleks meremas tangan Tartaglia dengan kesal. "Jangan buat aku menyesal telah meminta maaf padamu," katanya.

"Sakit! Ma-maafkan aku, aku hanya bercanda," ringisnya. Ketika [Name] berhenti dan melihat lurus ke arahnya, Tartaglia tersenyum lebih. "Jadi bagaimana?"

"Tentang apa?"

"Apa aku boleh mengingat momen itu?" Tanya Tartaglia dengan suaranya yang lembut dan dalam. "Jika kau tidak menginginkannya, tidak apa-apa. Aku akan melupakannya dan menganggap itu tidak pernah terjadi."

[Name] hening sejenak. Gadis itu sempat membuka mulutnya untuk langsung menjawab, tetapi pada akhirnya dia berkata, "... apa itu begitu berarti untukmu?"

"...."

Kala pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulutnya, ketegangan segera melanda keduanya.

Tidak, mungkin sebenarnya [Name]lah yang takut untuk mendengar jawaban Tartaglia. Dia takut untuk merasa bahagia seorang diri, dia takut jika ternyata Tartaglia mengatakan itu hanya untuk membuatnya senang karena mengira ia menyukainya, dia takut Tartaglia mungkin—tapi kenapa? Kenapa dia harus merasa seperti itu?

Selama ini dia sendiri membohongi Tartaglia, membohongi hubungannya, perasaannya, bahkan... hatinya.

Tapi sekarang dia merasa takut jika pemuda itu justru membohonginya? Oh, betapa egoisnya dia sekarang. [Name] sangat menyadari hal itu dan menganggapnya sangat bodoh. Tidak tahu diri. Rendahan. Menjijikkan.

"Iya," jawab Tartaglia akhirnya. "Itu sangat berarti untukku."

"!?"

Kemudian Tartaglia tersenyum. Senyuman yang entah kenapa justru meremas hatinya, membuat dirinya merasa seperti seorang penjahat. Itu bukan sekadar senyuman untuk meyakinkan [Name] atas ucapannya, bukan pula senyuman yang biasa pemuda ini berikan kepada gadis yang lain, melainkan senyuman yang benar-benar datang dari hatinya.

Tartaglia tidak berbohong. [Name] tahu itu.

"Kenapa kau harus begitu jujur ...?" bisiknya, hampir tidak terdengar, tetapi cukup untuk membuat Tartaglia mendekatkan sedikit wajahnya.

"Tentu saja, itu karena aku hanya ingin kau tahu perasaanku yang sebenarnya, " jawab Tartaglia dengan suara lembut. "Kau kekasihku. Tapi kalau itu justru membebanimu, tidak masalah untukku melupakannya."

[Name] menutup mulutnya sejenak. Setelah Tartaglia kembali menarik dirinya dan memberinya ruang yang cukup, dia akhirnya menjawab, "tidak apa-apa, kau boleh mengingatnya."

"... kau yakin?"

[Name] mengangguk. "Tapi, tolong berhenti membicarakannya... kau tahu bukan kalau itu bukanlah sesuatu yang bisa kau ceritakan sembarangan?"

Tartaglia tersenyum lebar dan mengangguk puas. "Iya, tentu saja."

"Lalu tentang postinganmu baru-baru ini...."

"Ah!" Tartaglia mengalihkan pandangannya dari [Name]. "Kau tidak boleh melarangku untuk yang satu ini! Aku akan tetap memberitahu semua orang kalau kau kekasihku!"

"Ajax...."

"Oh, ayolah, [Name]!"

─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───

Mungkin banyak yang berpikir kalau hubungan [Name] dan Tartaglia kembali seperti sedia kala. Ya, itu benar. Itu benar tetapi juga ada banyak perubahan yang terjadi diantara mereka. Salah satunya tentang bagaimana Tartaglia mulai lebih sering memposting tentang dirinya.

[Name] mengerutkan dahinya. Dia benar-benar tidak tahu kalau Tartaglia akan memotretnya ketika dia sedang menunggu pemuda itu untuk pulang bersama.

Gadis itu memang pada akhirnya mengizinkan Tartaglia untuk memposting fotonya selama bukan foto ketika ia terlihat sangat konyol, bukan pula digunakan pemuda itu untuk hal-hal aneh yang sangat dibencinya. Dan jika harus mengatakannya dengan jujur, foto yang diambil Tartaglia sesungguhnya cukup bagus, termasuk untuk yang satu ini :

Atau ini :

Dan yang ini :

Kemudian [Name] segera menyadari bahwa interaksi setiap postingannya semakin naik—tunggu sebentar, apa dia berniat menjualku seperti ini?

Tentu saja tidak, itu hanya pikiran konyolnya yang lewat begitu saja sebetulnya, [Name] tidak akan berpikir seekstrim itu tentang tujuan Tartaglia membuat kiriman sebanyak itu dan setiap harinya.

Lagi pula, mereka tidak setiap hari berkencan.

Semua foto yang digunakan Tartaglia dalam postingannya adalah foto-foto lama sebelum hari ini. Ada foto dari waktu ketika tidak lama setelah mereka mulai berpacaran, bahkan foto dari minggu lalu saat [Name] mengenakan jaket birunya. Semua orang jelas salah paham tentangnya dan Tartaglia, terutama untuk balasan yang satu ini :

[Name] mengerlingkan matanya saat membaca balasan itu. Dia pernah berfoto bersama, berdua, dengan Tartaglia. Namun untuk alasan yang tidak [Name] ketahui, Tartaglia memilih untuk tidak mempostingnya.

Bahkan belum lama ini, dia berfoto bersama di dalam—

Photobox. Oh, tentu saja. Tartaglia tidak mungkin tidak mempostingnya secara tiba-tiba. [Name] yakin kalau pemuda ini mencari waktu yang tepat untuk melakukannya dan tepat pilihannya ia lakukan untuk membungkam ketikan orang-orang itu.

Betapa liciknya dia, pikir [Name].

Lalu [Name] menutup kembali ponselnya dan melanjutkan kegiatan klubnya kembali. Setelah beberapa menit berlalu, sebuah vibrasi halus terasa dari ponselnya. [Name] melirik untuk melihat dan mendapati notifikasi yang datang dari Yoimiya.

Alis [Name] terangkat sebelah. Ia kembali meletakan kuasnya dan meraih ponsel yang tergeletak di atas meja yang digunakannya untuk meletakan cat dan kuas yang lain.

Gadis itu segera menekan tombol pada layar ponselnya dan membuka notifikasi yang masuk dari sana—Yoimiya menandainya dalam sebuah balasan di kolom postingan Tartaglia.

Bahkan Ayaka pun demikian meski ia tidak menandainya pada balasannya sendiri, tapi pasti postingan itu akan lewat di timeline miliknya lantaran Ayaka berinteraksi dengan Tartaglia.

Tidak ingin Yoimiya merasa [Name] mengabaikannya, gadis itu membalasnya dengan mengirimkan tiga emoji sejenis kepadanya lantas mengirimnya tanpa merasa curiga sedikit pun dan menutup kembali ponselnya.

"Kau sudah melihatnya?" Tanya Yoimiya begitu ia kembali setelah keluar dari ruang klub untuk membeli beberapa barang.

"Postingan terbaru Tartaglia?" [Name] bertanya memastikan. "Sudah. Aku bahkan belum lama membalasnya."

"Itu foto tempo hari saat kita pergi ke game-center bersama, 'kan?"

[Name] mengangguk. "Iya. Dia pasti memotretnya diam-diam lagi."

Lebih dari itu, bagaimana bisa Tartaglia terus mempostingnya setiap hari? Karena inilah orang-orang jadi semakin banyak yang berbisik tentangnya termasuk sekarang.

Dari sudut ini, dia bisa melihat anggota klub kesenian yang lain tengah mencuri pandang ke arahnya dan mungkin sebetulnya, mereka hendak mencuri dengar percakapannya dengan Yoimiya yang mungkin bisa membuktikan postingan-postingan itu.

Meski dia tidak terlalu ingin memikirkan itu, tidak mungkin dia tidak bisa mengabaikannya; dan sekarang—oh, sialan. Rasanya malu sekali?!

[Name] menghela napas, mencoba mengabaikan tatapan dan bisikan di sekitarnya. Dengan cepat, dia memasang earbuds dan memutar musik, berharap suara yang mengalun di telinganya bisa mengusir pikiran-pikiran yang membuatnya tidak nyaman. Irama musik mulai membanjiri pikirannya, sedikit demi sedikit membantu dirinya untuk kembali fokus pada tugasnya yang sempat tertunda.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba, volume musik pada earbuds-nya melonjak naik dan turun dengan cepat—pertanda ada notifikasi masuk ke ponselnya.

Lantas dia melirikkan ekor matanya dengan enggan, merasa ragu apakah ia harus melihat pesan yang baru masuk itu atau tidak mengingat notifikasinya masuk secara beruntun, mungkinkah ada hal penting yang harus segera disampaikan kepadanya? Atau ada informasi lain pada grup kelasnya?

Bukan. Mungkin saja itu Tartaglia. Dia sering mengirimnya pesan cepat jika [Name] tidak segera membalasnya.

Namun rasa penasaran akhirnya mengalahkan, dan [Name] mengangkat ponsel dan membuka layar ponselnya untuk melihat notifikasi yang datang. Gadis itu membeku seketika—kenapa begini?

[Name] terdiam dan sekali lagi bertanya-tanya dalam hatinya—kenapa jadi ramai?

Dia kemudian segera mengingat apa cuitan terakhirnya pada media sosial miliknya, lalu setelah berhasil mengingatnya ia sangat yakin kalau itu bukan hal yang bisa menarik perhatian orang lain. Lalu postingan terakhirnya hanyalah foto gambar digital miliknya yang sering kali sepi dari perhatian—jadi, ini apa?

Dengan cepat, [Name] segera membuka layar notifikasinya dan mendapati banyak orang yang menyukai balasannya, mencuitnya kembali, s membalasnya; dan ketika ia berhasil menemukan apa yang membuat notifikasinya saling bertumbuk, sekali lagi dia membeku.

Tartaglia.... [Name] ber-sweatdrop-ria. Padahal tidak sampai satu jam dari gadis itu membalasnya, lantas apa yang membuat balasannya mengalami kebanjiran seperti ini?

Ketika [Name] menggulirkan layar ponselnya dengan cepat untuk mengetahui sebab dari hal itu, dia segera menemukannya—Kaeya yang menyebutnya sebagai kekasih Tartaglia dan Tartaglia yang mengutip cuitannya.

Demi Archon, Tartaglia—!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro