Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 12

Rasanya begitu lembut dan juga... manis. Mungkinkah itu stroberi? Atau, anggur? Kenapa rasanya begitu memabukkan? Apa itu karena perona bibirnya? Tidak, mungkin bukan itu melainkan—lalu Tartaglia mulai menyunggingkan senyumannya, kembali membayangkan saat-saat manis ketika ia tidak sengaja mengecup bibir [Name].

Bibir [Name].

Oh! Mungkinkah itu lemon? Karema rasanya begitu menyegarkan dan—duk!—Zhongli memukul puncak kepala Tartaglia tiba-tiba dan berkata, "tolong fokus pada pelajaran hari ini, Tartaglia."

"Aduh!" Tartaglia tersentak keluar dari lamunannya saat merasakan pukulan ringan di puncak kepalanya. Dia mendongak dan melihat Zhongli menatapnya dengan ekspresi serius. "Maafkan aku, Pak Zhongli."

Lantas Zhongli melenggang melewatinya, berjalan begitu saja dan melanjutkan materi pelajaran sebelumnya.

Ketika Tartaglia mencoba untuk kembali fokus dengan buku dan materi dihadapannya, Kaeya yang duduk tepat di belakangnya berbisik, "bagaimana kencannya?"

Tartaglia mendengus. "Menyenangkan. Sangat menyenangkan," balasnya berbisik, dia sedikit menolehkan pandangannya ke belakang.

Kaeya tertawa. "Sepertinya berjalan dengan baik."

Tartaglia tidak menjawab, pemuda itu justru tersenyum geli mendengarnya karena itu memang benar, kencannya dengan [Name] berjalan dengan baik. Sangat baik malah.

Mana mungkin dia bisa mengabaikan kenangan yang baru saja menghantuinya—atau mungkin lebih tepatnya, yang baru saja menggodanya? Bagaimana mungkin dia bisa fokus ketika setiap kali dia menutup mata, dia bisa merasakan kembali lembut bibir dan aroma manisnya yang masih terbayang di dalam benaknya?

Rasanya tidak mungkin baginya untuk melupakan ciuman itu, bahkan jika [Name] tampaknya ingin melupakannya atau meminta ia untuk melupakannya, Tartaglia tidak akan pernah melakukan itu.

Lagi pula, [Name] sudah mengizinkan dia untuk tetap menyimpan momen itu dalam kenangannya, bukan? Tentu saja Tartaglia tidak bisa mengabaikan betapa jantungnya berdebar setiap kali dia mengingat kejadian itu. Ciuman itu bukanlah sekadar kecelakaan, itu lebih berarti baginya.

"Fokuslah, Tartaglia," Zhongli menegur dengan nada yang lebih lembut kali ini, menyadari bahwa pemuda di depannya itu mungkin sedang bergumul dengan sesuatu yang lebih dari sekadar pelajaran.

"Baik. Maafkan saya."

─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───

Tapi... kenapa sekarang [Name] menghindarinya?

Sudah 3 hari berlalu sejak kencan mereka dan [Name] secara tiba-tiba terus menghindarinya. Setiap kali Tartaglia menghampirinya, gadis itu akan pergi dengan sejuta alasan. Lalu ketika mereka tidak sengaja berpapasan, [Name] akan segera memutar haluannya dan pergi dengan langkah cepat. Kemudian ketika ia bertanya kepada Ayaka dan Yoimiya tentang keberadaannya, mereka tidak mengetahuinya.

"Ada apa dengan [Name]?" Tanya Tartaglia lebih kepada dirinya.

"Kau sudah menanyakan itu untuk kelima kalinya hari ini, Tartaglia," kata Wriothesley acuh. "Berapa kali pun kau menanyakannya, kami tidak akan tahu."

"Bukankah tidak ada masalah dengan kencannya?" Tanya Kaeya memastikan. "Kenapa kalian tiba-tiba jadi seperti ini?"

"Kupikir juga begitu, tapi—" Tartaglia mendesah, lantas bersandar dengan lelah pada tiang basket di belakangnya. "—dia terus menghindariku dan aku tidak tahu apa masalahnya."

"Kau sudah menghubunginya?"

Tartaglia mengangguk pasrah. "Sudah, tapi dia tidak menjawabnya sama sekali."

"Apa kau yakin tidak ada yang terjadi selama kencan itu?" tanya Kaeya lagi, kali ini dengan nada lebih serius. "Mungkin ada sesuatu yang kau lewatkan."

Tartaglia menggeleng, matanya menerawang seolah mencoba mengingat kembali setiap detail dari kencan mereka beberapa hari yang lalu. "Tidak ada yang aneh," jawabnya. "Kami bersenang-senang di taman hiburan, naik beberapa wahana, makan bersama, lalu... ya, ada sedikit insiden, tapi aku sudah minta maaf dan dia tampak baik-baik saja setelah itu."

"Insiden?" Wriothesley menoleh, dia menaikan sebelah alisnya penasaran. "Apa yang kau maksud dengan 'insiden'?"

"Ya, kami...." Tartaglia terhenti sejenak, ragu apakah ia harus menceritakan detailnya atau tidak, tetapi akhirnya dia memutuskan untuk melanjutkan. "Kami tidak sengaja... berciuman."

"...."

"...."

"Kaeya, panggil Bu Xianyun," kata Wriothesley tiba-tiba, dia berekspresi serius. "Katakan pada beliau kalau ada tindakan pelecehan di sini."

"Laksanakan!"

"TOLONG SERIUSLAH SEDIKIT, HEY!?"

Setelah lelucon Kaeya dan Wriothesley berhenti di sana, ketiga pemuda itu berbicara dengan jarak yang sangat dekat seolah sedang membicarakan bisnis ilegal.

"Berciuman, ya?" Wriothesley mengulang, menekankan kata itu. "Mungkinkah itu yang membuatnya menghindarimu sekarang?"

Tartaglia mengerutkan kening, "kurasa bukan itu, aku sudah meminta maaf padanya dan dia mengatakan kalau itu tidak jadi masalah. Aku bahkan sampai bilang kalau aku tidak akan melupakannya."

"Kau bilang apa?" Ulang Kaeya.

"Kubilang aku tidak akan pernah melupakan ciuman itu," katanya dengan lebih jelas.

"Lalu bagaimana reaksinya?" Tanya Kaeya lebih. "Apa dia menerimanya begitu saja? Atau hanya diam?"

"Ya... dia menerimanya begitu saja dan...." Tartaglia terdiam sejenak, lantas menyunggingkan senyuman konyol. "... dia bilang tidak apa-apa."

Sungguh, Tartaglia merasa sangat lega ketika mendengar jawaban [Name].

Awalnya ia hendak melupakan insiden itu, tetapi setelah ia pikirkan kembali, ia memutuskan untuk tidak pernah melupakannya. Mungkin saat ini hanya kecelakaan, tapi selanjutnya—ya, pokoknya dia memang tidak berniat melupakannya sejak awal dan meminta izin kepada [Name] untuk itu.

Jadi apa masalahnya?

Namun Wriothesley menyipitkan matanya curiga dan bertanya dengan tajam, "benarkah begitu?"

"Kalau dia baik-baik saja setelahnya, mungkin bukan itu yang membuatnya menghindarimu," sambung Kaeya. "Kau harus berbicara dengannya."

"Aku sudah mencoba!" Tartaglia berseru frustrasi. "Dia bahkan tidak mau bertemu denganku, apalagi mendengarkan penjelasanku."

"Kalau begitu, tunggu sampai [Name] siap untuk menjelaskannya."

Dan Tartaglia segera menyadarinya kalau ucapan Wriothesley memang benar, mungkin dia harus menunggu sampai [Name] siap berbicara dengannya—tapi, sampai kapan?

Membayangkan ketidakpastian itulah yang membuat Tartaglia semakin merasa gelisah dan tak tahu harus berbuat apa.

─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───

"Oh, Archon...."

[Name] mengusap wajahnya dengan frustasi setelah dia meletakan ponselnya begitu saja di atas meja.

Begitu rupanya, karena itulah—[Name] mengembuskan napasnya dengan lelah. Untuk alasan itulah sejak ia kembali ke sekolah beberapa hari yang lalu, orang-orang terus menatap dan berbisik tentangnya.

Awalnya [Name] cenderung acuh, dia tidak peduli sama sekali dan membiarkannya berlalu begitu saja toh selama ini pun itulah yang dilakukannya. Namun sekarang dia tidak bisa melakukannya. Tidak bisa karena berkat seseorang yang selama beberapa hari terakhir ini terus membuatnya gelisah.

Kemudian [Name] kembali membuka ponselnya dan mendapati satu layar postingan pada halaman sosial media pribadi milik Tartaglia.

"Kapan dia memotretnya?"

[Name] menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Benar, karena postingan inilah orang-orang mulai membicarakannya. Kembali memperhatikannya lagi.

Sebelumnya, Tartaglia tidak pernah sekali pun memposting tentang dirinya atau menyebut-nyebut dirinya sudah memiliki kekasih. Jadi kenapa sekarang? Dan karena hal itu, bukannya fokus pada pelajaran atau aktivitas lain, pikiran [Name] malah terus teralihkan oleh hal ini. Dia merasa semakin tidak nyaman berada di sekolah, terutama ketika melihat tatapan-tatapan dari orang-orang di sekitarnya yang terus berbisik ketika ia melewati mereka. Selain itu—akan semakin sulit bagiku jika aku ingin mengakhiri hubungan ini.

Orang-orang akan fokus untuk mencari kesalahannya dan alasan dia mengakhirinya, kemudian mulai membicarakan dirinya lagi. Lalu jika mereka sampai mengetahui alasan sebenarnya ia mengakhiri hubungannya dengan Tartaglia, sudah dipastikan kehidupan masa SMA-nya akan semakin hancur.

"[Name], lihat apa yang—oh?" Yoimiya terdiam begitu menyadari sesuatu yang ada di layar ponselnya. "Kau sudah melihatnya."

[Name] tersenyum kecut. "Ini semakin rumit."

Yoimiya lantas duduk di atas kursi di depannya, lalu berbalik ke arah [Name] dengan ekspresi sedikit bingung. "Kupikir juga begitu," katanya.

Enam bulan. [Name] hanya membutuhkan waktu selama enam bulan—akan lebih baik jika bisa lebih singkat daripada itu—lalu mengakhiri hubungannya dengan Tartaglia; dan dia sudah berkali-kali mengatakan itu di dalam benaknya. Namun kenapa itu saja rasanya sangat sulit?

Dan sekarang, setelah sebelumnya ia bersyukur karena Tartaglia tidak menganggap hubungan ini begitu serius, pada akhirnya pemuda itu memutuskan untuk memposting tentang dirinya, mengakui [Name] sebagai kekasihnya bukan hanya sekadar jawaban untuk memuaskan rasa penasaran orang-orang tentang hubungannya dengan [Name], tetapi benar-benar mengakui gadis itu sebagai kekasihnya.

"Tidakkah seharusnya kau bicara dengan Tartaglia, [Name]?" Usul Yoimiya.

[Name] menoleh, memberikan tatapan penuh pertimbangan kepada temannya itu. Setelah satu helaan napas berat, [Name] berkata, "aku ingin, tapi... aku tidak bisa menatapnya."

Alis Yoimiya terangkat sebelah. "Apa? Kenapa tidak bisa?"

"Karena aku—" [Name] menahan suaranya di sana, kemudian mendesah lagi. "—pokoknya aku tidak bisa melihat wajahnya. Itu saja."

"Karena foto itu?" Tanya Yoimiya memastikan, [Name] menggeleng. "Lalu apa?"

"Itu karena...." Kemudian [Name] mendekati Yoimiya dengan perlahan, dan berbisik tepat di telinga gadis itu dengan agak ragu. Begitu ia selesai melakukannya, wajah [Name] langsung merona hebat.

"...."

"BAGAIMANA MUNGKIN!?" Teriak Yoimiya penuh keterkejutan, dia lantas berdiri dari posisinya sementara [Name] memberikan gestur agar Yoimiya menurunkan volume suaranya dengan panik. "KAU—KAU—KAU SUDAH—HUMPH!?"

"Oh, Archon—" [Name] membungkam mulut Yoimiya, lalu tertawa canggung manakala siswa di kelasnya yang lain menoleh ke arahnya dengan rasa penasaran. [Name] berkata pada mereka sambil menunduk, "maaf, maafkan aku. Aku akan segera membawa dia keluar."

─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───

Kemudian setelah menarik Yoimiya keluar dari kelasnya, [Name] mulai menceritakan kronologinya dengan lebih lengkap. Tentang bagaimana kencan hari itu, tentang hal yang mereka lakukan bersama, termasuk bagaimana dia dan Tartaglia bertemu dengan Ayaka dan yang lainnya—termasuk bagaimana ciuman itu bisa terjadi begitu saja.

Dia bahkan mengatakan alasan ia begitu kalut sekarang. Bukan karena ciumannya yang terasa sangat buruk, melainkan bagaimana ia tidak bisa melupakan itu meski dirinya telah memutuskan untuk melupakannya. Selain itu—

"[Name], apa aku boleh menanyakan sesuatu padamu?" Pinta Yoimiya begitu mereka terdiam usai mendengar cerita [Name].

"Ada apa?"

"Hanya tebakanku saja, tapi mungkinkah kalau kau...." Yoimiya menatap [Name] dalam-dalam, lalu dengan hati-hati melanjutkan, "... kau kesal karena Tartaglia memintamu melupakannya? Karena itu kau justru tak bisa mengabaikannya begitu saja?"

"...."

[Name] tidak yakin, sesungguhnya. Dia benar-benar tidak tahu pasti tentang yang dirasakannya saat itu. Satu-satunya yang ia pikirkan bahwa sudah sewajarnya Tartaglia melupakan itu mengingat kejadiannya terjadi secara tidak sengaja atau mungkin karena terasa sangat buruk, ia tidak tahu yang mana.

Namun jika mempertanyakan perasaannya sendiri, [Name]—"aku tidak tahu."

Itu ciuman pertamanya. Mungkin Yoimiya benar, [Name] kesal karena itu; dan memikirkan bagaimana Tartaglia memutuskan untuk melupakannya seolah mereka tidak pernah melakukannya sama sekali, membuat [Name] sangat kesal.

Tartaglia mungkin tidak tahu bahwa sensasi ketika bibir mereka bersentuhan, rasa manis yang dirasakannya, dan bagaimana getaran hasrat ketika mereka melakukannya, masih begitu terasa di tempat mereka melakukannya. Di bibirnya. Di tubuhnya. Bahkan... di hatinya.

Karena itulah [Name] tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Dia kesal karena Tartaglia menganggap itu bukan sesuatu yang berarti, ia marah karena hanya dirinya yang terus terbayang akan momen itu, dia—kenapa aku harus merasa seperti ini?

"[Name], apa mungkin kau—"

Pada detik terakhir, tiba-tiba bel sekolah kembali berbunyi; menandakan waktu istirahat telah berakhir dan jam pelajaran selanjutnya dimulai. Bertepatan dengan itu, Yoimiya dan [Name] terdiam di sana. "Kita akan membicarakan ini lagi nanti," kata [Name] memutuskan.

Yoimiya mengangguk, terlukis kebimbangan di muka airnya yang biasa tampak ceria itu. Ia lalu membalas, "... baiklah."

"Terima kasih karena sudah mendengarkanku, Yoimiya."

"Ah, jangan kaku seperti itu. Tidak apa-apa!"

─── ⋆⋅♡⋅⋆ ───

[Name] mengembuskan napasnya dengan lelah. Entah sudah kali berapa ia melakukannya, dia hanya ingin melakukan itu sekarang.

Mungkin aku terlalu lelah, pikirnya. Iya, pasti karena itu.

Sudah sebulan ia berpacaran dengan Tartaglia dan dalam waktu sebulan itu, segala hal telah dilakukannya demi menutupi kebenaran dibalik hubungan ini dari pemuda itu. Entah kebohongan seperti apalagi yang akan dilakukannya di masa depan, [Name] tidak yakin apa dia bisa tetap konsisten untuk menjalani hal ini.

Tidak ada yang bisa menolongnya, bahkan kedua sobatnya pun demikian. Disaat [Name] memutuskan untuk memasang status palsunya demi tidak mempermalukan Tartaglia dan dirinya sendiri, dia tahu kalau dirinya tidak akan bisa mundur. Namun ia tidak pernah tahu kalau rasanya akan begitu berat dan menyakitkan seperti ini. Sungguh.

Kenapa sekarang hatinya merasa begitu berat?

Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba bel tanda berakhirnya kegiatan belajar berbunyi. Seluruh siswa dikelasnya segera menutup buku mereka dan memasukannya ke dalam tas bersamaan ketika Madame Ping berkata, "sisanya akan jadi pekerjaan rumah, tolong diselesaikan dan kita akan membahasnya pada pertemuan berikutnya."

"Baik!"

Selesai dari itu, [Name] pun keluar dari kelasnya untuk segera kembali ke rumahnya. Dia tidak memiliki sisa tenaga untuk hari ini, sekarang dia hanya ingin segera sampai di kamarnya dan kemudian melemparkan dirinya ke atas kasur dan tidur.

Namun di tengah perjalanannya kembali, tepat sebelum gadis itu melewati gerbang sekolah, seseorang dari arah belakangnya berteriak, "[NAME]!"

"!?" [Name] refleks memutar tubuhnya, matanya membola kala mengetahui siapa orang yang memanggilnya itu. "Ajax—!"

"Tunggu sebentar! Kumohon!" Namun [Name] tidak mengindahkan ucapannya dan berbalik untuk pergi. Sadar bahwa [Name] hendak kabur lagi darinya, Tartaglia berteriak, "AKU MINTA MAAF JIKA KARENA INSIDEN ITU KAU MENGHINDARIKU!"

[Name] refleks menghentikan langkahnya. Bersamaan dengan hal itu, semua orang yang mendengar teriakan Tartaglia dengan jelas berbisik, "insiden?"

"Apa terjadi sesuatu dengan mereka?"

"Bukankah mereka baru saja berkencan? Kenapa sudah ada masalah?"

Kemudian Tartaglia berteriak kembali, "AKU TAHU KALAU AKU SUDAH LANCANG MENYENTUHMU, MAAFKAN AKU!"

"Oh!?"

"Apa yang dikatakannya!?"

[Name] memutar tubuhnya ke belakang, menatap Tartaglia dengan tatapan tak percaya. Gadis itu mendesis dan berpikir, orang bodoh ini—! Apa yang ingin dikatakannya sekarang!?

"Aku minta maaf karena sudah—"

"AJAX!" Teriak [Name], memotong kata-katanya sebelum pria itu mengatakan hal yang tidak perlu. Dia berjalan ke arahnya dengan langkah lebar dan menarik kerah pemuda itu, lantas dengan berat hati berkata, "aku—aku akan bicara denganmu, jadi tolong jangan berteriak lagi—kumohon."

"... aku mengerti."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro