Episode 3
"Nice pass, [Name]!"
[Name] mengenduskan nafasnya sekali dengan kuat, mengangkat tangannya dan menepukkannya dengan tangan kedua sobatnya yang satu tim dengannya.
"Permainanmu hari ini semakin baik saja, [Name]," Kaze berkata sambil tersenyum miring, laki-laki itu memang hobi menggodanya seperti ini.
Mendengarnya, [Name] hanya tersenyum tipis dan menepis tangan Kaze yang diletakkan di atas sebelah bahunya.
"Kudengar, kau sering bermain street ball, ya?"
"Kadang-kadang."
"Lihat ini!"
Kaze dan [Name] mengikuti arah pandangan Nagi. Laki-laki yang sedikit lebih tinggi dari [Name] tengah menunjukkan sesuatu dari ponselnya.
Begitu layar tipis itu diketuknya sekali, sebuah gambar muncul di sana memenuhi layarnya.
Alis [Name] naik sebelah. "Bagaimana mereka bisa mendapat foto itu?"
"Sepertinya ada yang tidak sengaja berpapasan denganmu saat street ball kemarin."
"Kenapa kau tidak mengajakku, [Name]?" Kaze menggeretu tak suka. "Padahal aku juga ingin mencobanya sesekali."
"Kise yang mengajakku itu pun saat aku selesai dengan urusan pemotretan," [Name] menjelaskan.
"Kise? Maksudmu Kise Ryota itu?" [Name] hanya mengangguk sebagai jawaban, lantas Kaze kembali bertanya, "aku tidak tahu kalau kau punya teman masa kecil sehebat dia."
"Salah satu Generasi Keajaiban, bukan? Berarti satu tim dengan Akashi."
[Name] mendribble bola dan menatap ranjang basket di depannya. Dia hampir melupakan bagian itu, sejujurnya.
Kalau saja Akashi saat itu tidak berkata-kata soal teman anehnya, [Name] pasti tidak akan menyadari hal ini.
Terburuknya, dia baru menyadari hal ini setelah dua tahun masuk SMA, padahal Kise sendiri memang teman masa kecilnya.
"Sejujurnya...." [Name] melempar bola oranye itu ke arah ranjang. "... aku sendiri baru tahu kalau Kise dulu satu tim dengan Akashi-kun."
Bola itu memasuki keranjang dan jatuh ke lantai. Dia berlari kecil ke arah ranjang di depannya dan kembali mengambil bola itu.
"[Name], kau ingin berganti seragam sekarang?" [Name] menoleh begitu Nagi menyentuh bahunya.
Sambil tersenyum, dia menjawab, "aku belakangan saja."
"Begitu?"
"Oi, Nagi! Kau lupa kalau [Name] memang jarang berganti pakaian bersama bahkan hampir tak pernah."
Tubuh [Name] menegang. Apa yang dikatakan Kaze sebetulnya ada benarnya juga.
Bagaimana pun, dia tidak bisa sembarang berganti pakaian di satu ruangan yang sama dengan mereka.
"Kau yang lupa, kita memang pernah mengajaknya saat itu dan dia menerimanya."
"Benarkah?"
Alis [Name] naik sebelah. Memangnya kapan aku pernah menerimanya?
"Saat tahun ke dua, setelah pengambilan nilai sepak bola."
"Oh, aku ingat!"
Dan [Name] juga baru mengingatnya. Memang benar waktu itu aku pernah menerimanya, tapi….
"Kalau begitu, kami duluan, ya?"
[Name] mengangguk. "Iya."
… aku langsung izin ke toilet dan berganti di sana sekalian.
[Name] bersyukur Kaze sedikit lama berpikir orangnya, seandainya tidak, dia pasti sudah berpikir seandainya saat itu tak dihitung.
[Name] kembali mengalihkan perhatiannya pada ranjang basket di depannya. Kepalanya mengadah dan dia melempat bola oranye itu tinggi hingga masuk ke sana.
Gymnasium sudah sepi, hanya ada dirinya seorang dan diwaktu seperti ini menjadi kesenangan tersendiri baginya.
Di saat seperti ini pula, dia selalu menenggelamkan dirinya dalam masalah yang entah kapan akan berakhir ini.
Sudah tiga tahun, tapi masalah ini tak kunjung selesai dan malah tambah memburuk.
[Name] meraih basket yang tepat berada di sebelah kakinya, ingatannya melayang pada wajah Ibunya yang tengah duduk di atas kasur ruang rawat inapnya.
「 Okaasan senang mendengarnya. Jangan sampai kelelahan, ya? 」
Wajah lembut Ibunya, senyumannya dan [Name] tidak ingin hal itu hilang dari kehidupannya.
「 Kalau kau lelah, jangan paksakan, ya? Kau itu sudah jadi anak yang hebat, jadi pasti bisa melakukan apa pun dengan mudah 」
Suaranya yang halus dan lembut. Seandainya ada sosok sepertinya, pasti [Name] langsung jatuh hati padanya.
Itu seandainya jika dia seorang laki-laki.
Namun ucapan Ibunya yang seperti itu pun, sedikit banyak juga menyakiti hatinya.
Ucapan Ibunya memang benar, dia diakui banyak orang dan disegani guru-guru di SMA-nya. Namun….
Segala sesuatu butuh bayaran yang setimpal. Kata-kata itu yang terpatri dalam kepalanya semejak tiga tahun yang lalu.
[Name] merebahkan dirinya dan menutupi matanya dengan punggung tangannya.
Baginya yang terpenting saat ini ialah Ibunya. Sosok Beliaulah yang selalu menjadi panutan dan pendorong baginya, pun yang membuatnya bisa bertahan hingga saat ini.
[Name] kembali berdiri dan mulai melakukan latihannya seorang diri.
🍀
Akashi melangkahkan jenjang kakinya menuju Gymnasium, memeriksa apa tidak ada orang lagi yang masih berada di sana kala jam pelajaran berikutnya akan segera di mulai.
Saat pintu masuk Gym dibukanya, tak ada seorang pun di sana dan Gym tampak sudah rapi.
Namun ketika hendak berbalik, matanya tak sengaja menangkap secercah cahaya yang bersumber dari lorong di sampingnya.
Alisnya terangkat, penasaran. Apa masih ada yang belum selesai berganti seragam?
Dia menghela, bagaimana pun waktu untuk mengganti seragam sudah selesai lima menit yang lalu. Lantas siapa yang berani-beraninya menghancurkan jadwalnya seperti ini?
Tak ingin berlama-lama berpikir, Akashi melangkah menuju cahaya itu. Tepat seperti dugaannya, sumbernya berada di ruang ganti pria.
Akashi membuka pintu tanpa permisi karena sudah terlanjur kesal walaupun hal terkait tak terlukis di wajahnya.
Namun gerakannya terhenti saat matanya menatap sesuatu yang membuatnya tak bisa berkata apa pun.
Mata crimsonnya menatap sepasang manik [eyes colour] siluet seseorang di depannya.
Satu-satunya hal yang membuat Akashi tak dapat berkata bahkan untuk bergerak seinch pun bukan karena siapa orang itu, tapi siapa sebenarnya orang itu.
"Aka... shi... -kun?"
Suaranya tercekat di kerongkongan. [Name] tak bisa berkata apa pun selain tadinya refleks dia langsung menutupi bagian atas tubuhnya dengan seragam putih yang sempat terpasang setengahnya itu. [Name] yakin, bahkan sangat yakin kalau Akashi sudah melihat semuanya.
Kalau dia adalah seorang wanita.
Akashi membalik tubuhnya dan menutup pintu di belakangnya tanpa menoleh seraya berkata, "maaf sudah mengganggumu."
🍀
Ingin mati. Ingin mati detik ini juga rasanya ingin mati! Jiwa [Name] seolah menghilang dari dalam tubuhnya.
Sejak pelajajaran olahraga kemarin, [Name] seperti terputus kehidupannya dari dunia.
Tak ada semangat, wajahnya terlihat lesu dan hitam di bawah matanya semakin terlihat jelas.
"[Name]."
Kepalanya refleks ia naikkan begitu sensasi dingin menyengat pipinya. Dia mengadah, melihat siapa orang yang melakukan hal itu padanya.
"Kaze…." [Name] menghela. "Ada apa?"
"Kau yang ada apa, [Name]?" tanya Kaze balik. Laki-laki itu menarik kursi di hadapan [Name] dan duduk saling berhadapan dengannya. "Sejak selesai dari pelajaran olahraga kemarin, kau terlihat seperti setengah mati."
"Aku setuju dengan itu," sambung Otori yang baru saja datang. Ia menarik kursi lainnya dan duduk di antara [Name] dengan Kaze. "Apa ada masalah lain yang membuatmu sampai tak bisa tertidur?"
[Name] hanya menyunggingkan senyuman. "Tidak ada, aku hanya…."
Sreet—!
[Name] menghentikan ucapannya dan memilih mengalihkan netranya ke arah pintu ruang kelas di depannya.
Sosok seorang pria berperawakan kecil yang tingginya hampir sama dengannya itu menunjukkan batang hidungnya.
Akashi. Akashi Seijuuro.
Matanya dan mata laki-laki itu saling bertemu. [Name] meneguk salivanya kasar dengan tangan yang terkepal.
Dia tidak bisa lari dari fakta ini, [Name] tahu itu. Kalau aku tidak menghentikan ini, dia akan mengatakannya pada semua orang.
[Name] berdiri tiba-tiba dari kursinya, berjalan ke arah laki-laki bersurai red pinkish itu dan menggenggam pergelangan tangannya dengan kuat sambil berkata, "ikut aku!"
[Name] menarik Akashi keluar dari kelas, melepas tangan laki-laki itu saat berjalan.
Tidak tahu apa yang dipikirkan sobat yang satu ini, Kaze dan Otori mengejar sampai di depan kelas.
"[Name]!
"Hei, [Name]! Kau mau ke mana?"
"Jangan ikuti aku!"
🍀
BRAK!
[Name] membuka pintu ruang OSIS, menutupnya dengan kasar lantas menguncinya sebelum akhirnya mengkabe-don Akashi.
Aku harus membuatnya tutup mulut!
[Name] menatap dingin Akashi, sementara laki-laki itu melihatnya dengan wajah biasa.
"Hei, kau sedang bercanda denganku sekarang?"
Alis [Name] bertaut. Soal apa? "Apa maksudmu, Akashi-kun?"
Akashi menghela nafas pelan, menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Kau yang menarikku sampai ke sini dan sekarang kau yang bertanya."
[Name] merutuki kebodohannya. Sejujurnya, dia sendiri masih bingung ingin mengatakan apa pertama-tama pada laki-laki ini.
Menggodanya? Tidak mungkin! Kau kira dia siapa?
Menyogokknya? Oi, bahkan uang sakunya lebih besar daripada yang dikira.
Memerintahnya? Memangnya Akashi bisa diperintah untuk tutup mulut semudah itu?
Akashi kembali menghelakan napasnya karena tak mendapat respons cepat dari [Name]. "[Name], kemarin kau dan aku…."
Keringat dingin meluncur dari pelipis [Name]. Ini tidak baik! Aku harus mengambil alur suasana ini!
"… aku bukan bermaksud…."
"Jangan katakan…." Suara [Name] terdengar dingin. Ketika kepalanya mengadah, Akashi bisa melihat kedua matanya dengan sorot serius. "Ku-kumohon… rahasiakan soal ini."
"Apa ...?"
"Tidak ada yang tahu kalau aku sebenarnya adalah seorang perempuan. Hanya pihak sekolah dan… Kepala Yayasan memberikan hak khusus padaku karena Ayahku yang memintanya." [Name] menggigit bibir. Hanya ini satu-satunya cara dan dia sudah tidak bisa berbohong lagi. "Aku akan melakukan apa pun yang kau suruh. Jadi kumohoh… rahasiakan soal ini."
"…."
[Name] sebetulnya menyadarinya... Akashi berbeda dari sejak ia melihat dan mengenal laki-laki itu.
Akashi yang dulu brgitu otoriter bak raja dari sekolah ini dan seakan memiliki dunia di tangannya, dia sudah berubah!
[Name] yakin itu. Kalau diingat-ingat kembali, itu sejak Turnamen Winter Cup waktu itu, dia menjadi sedikit berbeda dari yang dikenalnya.
Mungkin sebenarnya dia sangat baik di luar dugaan!
"Oh, kau akan melakukan apa pun?"
"Eh ...?"
Kesan yang baru saja [Name] bangun detik itu juga hancur. Apa yang baru saja dia katakan!?
"Kau bilang akan melakukan apa pun, 'kan?"
[Name] meneguk salivanya kasar. Dia mulai ragu. Apa dia harus melanjutkan ini atau menarik ucapannya barusan?
Dia bisa melihat senyuman itu. Senyuman kelicikan milik Akashi. Terukir jelas di kedua sudut bibirnya.
Seolah bisa membaca pikirannya, Akashi melanjutkan, "kalau kau menarik kata-katamu, tidak masalah tapi…."
Sudah tidak ada pilihan lagi! Sebelum kesempatan ini hilang, aku harus memanfaatkannya dengan baik.
"… aku akan melakukan apa pun, tapi seperti permintaanku sebelumnya."
"Begitu?"
"Iya."
"Kalau begitu mulai sekarang, kau harus mendengarkan seluruh perintahku. Aku tidak menerima penolakan."
🍀
Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kalau tahu begini, sejak awal dia tidak akan sembarangan mengatakan hal itu!
Kenapa dia begitu tergiur dengan janji Akashi untuk tidak membeberkan rahasianya? Padahal bisa saja laki-laki itu berbohong!
[Name] menggeleng. Dia harus percaya pada Akashi! Aku yakin, dia pasti akan menepati janjinya!
Walaupun begitu… Akashi baginya sungguh gila sampai memerintahnya untuk datang sepagi ini ke Mansionnya.
"[Name]."
[Name] langsung menoleh begitu namanya terpanggil. Tangannya refleks meraih tas kecil berat yang Akashi lempar ke arahnya.
"Ini apa?"
"Semua berkasku. Aku ingin kau membantu urusan perusahaanku."
"Hah? Kau gila?" [Name] mengikuti langkah Akashi memasuki mobilnya. Langkahnya mendadak berhenti ketika laki-laki itu berbalik. "Kau kira aku bisa melakukannya? Apa kau ingin aku menghancurkan hasil pekerjaanmu sendiri?"
"Asistenku yang lama sudah kuberhentikan karena beberapa masalah, jadi aku butuh yang baru."
"Dengan memilihku?" Akashi hanya mengangguk polos sementara [Name] mengusap wajahnya frusfasi. "Itu tidak menjawab pertanyaanku, Akashi-kun."
"Aku akan menjelaskannya sekali, jadi kau dengarkan baik-baik." [Name] menuruti. Entah kenapa, ia bisa merasakan aliran keringat dingin yang mulai berjatuhan dari ujung kepalanya. "Aku bukan orang yang memilih orang lain sembarangan. Aku tahu kau pasti bisa melakukannya dengan baik."
[Name] penasaran, kenapa Akashi begitu mempercayainya? Kenapa seolah laki-laki ini seperti sudah mengenalnya sejak lama?
"Kenapa kau begitu mempercayaiku?"
Akashi tersenyum bak seorang pangeran, jika [Name] gadis-gadis di sekolahnya yang menyukai pemuda ini, dia pasti sudah jatuh hati.
Sayangnya saat ini arti senyuman Akashi justru membuatnya takut, sungguh.
"Kau menjabat sebagai wakil OSIS… lebih tepatnya malah seperti sekretarisku dengan hasil yang memuaskan," jawab Akashi. Membuat [Name] hanya bisa menaikkan sebelah alisnya. "Lalu berjanji akan menuruti semua perintahku seperti seekor anjing. Apa itu belum cukup?"
Baru saja hendak membuka mulut karena komplain, Akashi sudah lebih dulu memasuki limusin miliknya itu.
[Name] memang tidak mengelak, benar kata pemuda itu. Dia bekerja seperti sekretarisnya, bukan Wakil OSIS-nya.
Eh… itu artinya dia memang sudah menggunakanku sejak aku menjabat, 'kan?
[Name] menghela nafas pasrah dan ikut duduk setelah seorang sopir melempar senyum dan mengintruksinya agar segera ikut masuk.
Setelah pintu ditutup dan mobil mulai melaju, [Name] membuka tas yang diberikan Akashi dan mengeluarkan satu persatu isinya.
Ponsel, tablet, laotop bahkan wi-fi portable, sisanya hanya beberapa berkas yang tak membuat [Name] tertarik untuk membukanya.
"Itu semua yang akan kau perlukan. Gunakanlah dengan baik." Sekali lagi [Name] hanya menghela napas pasrah. "Oh, kau juga harus selalu membawa ponsel itu, jangan pernah meninggalkannya."
"Akashi-kun, apa ini tidak berlebihan?"
"Siapa yang sebenarnya berlebihan?" Alis [Name] naik sebelah, dia menoleh ke arah Akashi. Laki-laki itu melanjutkan tanpa menatapnya, "kesal sendiri sampai melempar ponselnya ke luar jendela lantai tiga dan masuk ke kolam sekolah."
Sepertinya baru saja Akashi menyerangnya dengan telak. Dia tidak mengira kalau Akashi akan melihatnya saat itu, padahal sudah jam pulang sekolah dan sekolah sudah sangat sepi!
"Maaf, Akashi-kun dan... terimakasih."
"Bagus."
AKHIRNYA! TERCIDUK KAMU FERGUSO! AWOKAWOKAWOKA! 😂 Yeay, Mikajeh update kembaleh! 😄
Mikajeh hampir lupa ama cerita ini, beberapa part non-event yang dulu sempet kepikiran ampe lupa 😂 jadi gayn, book ini udah kecicil sampe Part dimana Reader-tachi anu dengan Akashi dan anu juga dengan Kise 👀✨✨
Anu apa hayo~? 🙂 udah ah jangan ditebak-tebak, nanti gak seru 🤣 tapi bole sih ditebak-tebak aja, Mikajeh bakal nikmatin komenan kalean kok dan bisa tau seberapa tertariknya Reader-tachi sama buku ini ampe diterka gitu 😉 hehehehe…
BTW, terimakasih yang udah nunggu buku ini terus, komen biar Mikajeh cepet update lagi dan bantu ngegali ide buat buku ini ☺️ makasih banget pokoknya!
Thank you! Hope you all like it!
xoxo,
Mikajeh-kun
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro