EC. 8 - I've Liked You For a Long Time
Tujuh belas tahun kemudian....
SESEORANG kini sibuk pada tugasnya, pekerjaannya. Sudah hampir selama delapan jam ini sosok itu duduk dengan laptop di depannya.
Mengetik, membuat laporan, dan mencari informasi sebanyak-banyaknya adalah pekerjaannya.
Selebaran dokumen yang hanya dijepit itu, kini berpindah halaman sampai menimbulkan sebuah suara
Pemuda itu menghela nafas pelan sebagai tanda ia mengakhiri pekerjaannya hari ini. Sudah cukup.
Ditutupnya layar laptop itu setelah mengaturnya dalam mode hibernate. Ia bergerak dan menoleh kebelakang.
Bertepatan pada saat itu, sosok seorang wanita memasuki ruangan tempatnya berada dan tersenyum lembut padanya.
Pemuda itu ikut tersenyum dan berlari kecil mendekati wanita terkait, mencium pipinya. Sementara wanita itu membalas dengan menyentuh pucuk kepala pemuda yang lebih tinggi darinya dengan lembut dan penuh kasih sayang.
"Ada apa kau ke agensi, Okaasan?" ucap pemuda itu, Dazai Yuta. "Tidak biasanya, mencari aku?"
Wanita itu mendengus dan tertawa kecil kemudian menggeleng. "Tidak ada. Hanya urusan kecil dengan Fukuzawa-san," jelasnya. "Dia ada?"
"Sachou? Sepertinya ada di ruangannya. Mau aku antar?"
Dazai Kuro mengangguk dan melangkahkan kakinya mengikuti putra pertamanya itu.
Saat Yuta menyentuh knop pintu ruangan Fukuzawa Yukichi dan berniat memutarnya, tetiba Dazai Osamu menyerang istrinya yang baru datang itu.
Dazai berlari ke arah wanita bersurai legam berpotongan shaggy panjang itu, berniat memeluknya.
Alih-alih berhasil melakukannya, Yuta lebih dulu menyerang sang Ayah dengan menendangnya. Alhasil Dazai terlempar dan menabrak dinding dalam posisi terbalik.
"Kau jahat sekali, Yuta-kun...."
"Otousan, jangan sembarangan menyerang Okaasan seperti itu," ucap Yuta. Ditatapnya sang Ayah dengan pandangan gelapnya. "... menjijikkan."
Pemuda itu—Dazai Yuta—berbalik menghadap sang Ibu seraya berkata, "Okaasan, sepertinya sampai sini saja. Aku harus mengurus Ayah Yang Merepotkan ini dulu."
Kuro mengangguk, menanggapi ucapan anaknya itu seraya tersenyum. Tak lama wanita itu berbalik menghadap pintu, memutar knopnya dan masuk menemui orang yang ditujunya.
Sementara Yuta ikut berjongkok mensejajarkan dirinya dengan sang Ayah. Dengan senyuman penuh kemenangan pada wajahnya, ja mengatakan, "Otousan, bagaimana dengan yang tadi?"
Dazai Osamu tersenyum miring seraya merenggangkan sendi-sendi pada tangannya, berdiri dan kembali merenggangkan sendiri pada pinggangnya.
"Ya, lumayan," ucapnya. "Tapi gerakanmu mudah sekali dibaca, ya, Yuta-kun?"
"Bukankah kau yang lebih muda dibaca, Otousan?"
Dazai mendengus. "Karena kau tahu kebiasaanku yang satu itu, 'kan?"
"Kebiasaan yang mana?" Dazai Yuta memincingkan pandangannya. "Kau yang suka mengganggu Okaasan atau kau yang suka menggoda wanita lain di belakang Okaasan?"
Uh-oh! Barusan serangan yang cukup menyakitkan untuk Dazai. Sambil tersenyum penuh arti dan mendekati anaknya itu, Dazai merangkul putranya.
Ia berbisik, "kau jangan katakan itu pada Okaasan, sebagai imbalannya akan aku ajarkan cara menggoda wanita yang efektif. Atau, cara bunuh diri, bagaimana?"
Otousan, tolong jangan katakan hal seperti itu pada putramu yang masih pubertas, pikirnya.
Yuta menghela nafas singkat dan memukul tangan sang ayah yang merangkulnya.
Dibusungkan dadanya itu dan dinaikkan dagunya hingga sejajar pada wajah Dazai Osamu seolah menantangnya.
Sambil tersenyum miring, ia mengatakan, "aku tidak membutuhkan itu. Dilihat dari mana pun wanita juga akan mudah bertekuk lutut padaku."
Dazai menyeringai. "Kau kira wajahmu itu wajah siapa?" balasnya sengit. "Dilihat dari mana pun kau itu hanya duplikat dari diriku, Yuta-kun."
"Kalian ini kalau bertengkar tidak ada habisnya, ya?"
Kata-kata itu diucapkan oleh Dazai Kuro yang baru saja keluar dari ruangan Fukuzawa Yukichi.
"Okaasan!" ucap Yuta.
"Anata!" disusul Dazai Osamu.
"Yu-chan, ada misi untukmu...."
❄
Seperti kata-kata Yuta pada Dazai Osamu, wanita melihatnya memang sanggup bertekuk lutut di hadapannya.
Lihat saja! Sejauh ia melangkah setelah keluar dari agensi, seluruh mata wanita tertuju padanya.
Bahkan sering kali pemuda itu juga mendapatkan ungkapan dari seorang gadis yang bahkan tidak dikenalnya sama sekali.
Tapi tentu saja gadis itu mengenalnya, mungkin karena memang dirinya bekerja di Agensi Detektif Bersenjata atau dia yang cukup sering keluar untuk bersantai.
Tapi dari sekian banyak wanita yang mengungkapkan perasaan padanya, tidak ada satu gadis pun yang bisa meluluhkan hatinya.
Hanya Ibu dan sosok yang selalu ia sebut sebagai 'Onee-san'-nya saja. Mungkin dia memang anak dari Dazai Osamu, tapi ia jauh berbeda dari laki-laki itu.
Dia cenderung menyukai dunia yang ditempatinya, sangat mencintai dirinya sendiri. Menghargai setiap kehidupan di sekitarnya khususnya wanita.
Karena itu ia sangat menghargai bahkan menghormati sosok Ibunya. Bukan karena ikatan batin seorang anak dan Ibu, tapi seperti idolanya.
"Ano... Dazai-kun!"
Selagi berjalan sambil memasukkan kedua tangannya dalam saku, ia berbalik menanggapi panggilan itu.
Wanita yang kemarin, ya? pikirnya. Dia masih belum menyerah?
"Apa sekarang... kau bisa menerimaku?"
Dazai Yuta memejamkan matanya dan berbalik sempurna menghadapnya. Sambil tersenyum, pemuda itu membalas, "aku tetap tidak bisa menerimamu, maaf."
"Tapi kenapa? Aku sudah berbeda dari waktu ke waktu, tapi kenapa kau masih tidak bisa menerimaku?!"
Ini merepotkan, sungguh. Baginya ini sangat merepotkan. Ia selalu menahannya, menahan semua kata-kata tajam yang ia tahu bisa melukai siapapun dengan sangat mudah.
Karena dirinya yang seperti itu, juga dari Ibunya. Makannya ia mengerti dengan sifat Ibunya yang sangat jujur dan apa adanya ketika berbicara.
"Apa kau yakin akan bahagia bersama orang yang bahkan tidak menyukaimu?" tanyanya.
"Eh?"
"Bukan masalah kau yang sudah berubah atau tidak, tapi aku. Aku benar-benar tidak memiliki perasaan padamu."
Usai berkata begitu, Dazai Yuta berbalik dan segera meninggalkan wanita tadi. Sungguh, ia tidak mengerti dengan wanita yang bahkan tidak bisa dihitung jari sudah berapa kali ia mengungkapkan perasaannya padanya.
Ia berjalan cepat, menjauhi wanita tadi. Berharap pula wanita tadi tidak mengejarnya sama sekali.
Karena yang benar-benar bisa meluluhkan hatinya, hanya Ibunya dan....
"Onee... -san!?"
Matanya terbelalak mendapati sosok wanita di depannya yang terjun tepat di depannya.
Wanita berambut panjang dengan wajah yang amat dikenalnya. Mata yang tampak besar seperti boneka yang mengkilap dan kulit putih mulus. Pakaian yang digunakannya begitu cocok untuk dirinya.
Untuk sesaat manik marrine blue Yuta menangkap sosok itu untuk waktu yang lama. Ia sadar, tinggi tubuhnya lebih pendek darinya.
"Apa yang kau lihat?!" tanya gadis di depannya risih.
"Onee... -san?"
"Haah?! Kau kira umurku berapa ...?"
"Nona!"
"Cih! Aku terkejar!"
Gadis itu sedikit menoleh ke belakang ketika mendengar seseorang berteriak, lebih tepatnya seorang lelaki yang tengah berteriak dari kejauhan.
Tanpa mengatakan apa pun lagi, gadis itu segera berlari kembali. Asal melewati jalan raya dan menyibak beberapa orang di depannya.
Yuta hanya mengikuti arah kemana gadis itu berlari. Semakin jauh gadis itu berlari, semakin yakin akan sosok siapa gadis itu.
"[First Name] Onee-san?" ucapnya entah pada siapa. "Tapi memangnya dia seawet muda itu?"
❄
Walaupun sudah berusaha melupakannya, tapi sepertinya hal itu percuma untuknya.
Baginya, [First Name] seperti cinta pertamanya. Jadi tidak mudah baginya untuk melupakan sosok itu.
Sambil berjalan terus di pinggir sungai dan menatap selebaran di tangannya, ia hanya terus berpikir.
"Yu-chan, ada misi untukmu...."
"Eh?"
Sambil tersenyum, sang Ibu menyerahkan satu-satunya selebaran di tangannya.
Yuta menerimanya dan langsung membaca lembaran penuh tulisan tanpa gambar itu dengan singkat.
"Sang Pengantin?"
"Kau harus mencari gadis itu dan melindunginya. Berhati-hati, ya?"
Apanya yang berhati-hati, Okaasan? batinnya. Ia memejamkan maniknya dan menghela singkat.
Sungguh, ia tidak mengerti maksud Ibunya itu. Dan lagi mencari seorang mempelai wanita? Ia tidak habis pikir dengan ini.
"Lagi juga, kenapa tidak minta polisi saja yang mencarinya?" ucapnya entah pada siapa.
Pemuda itu melipat kertas putih penuh tulisan itu dan memasukkannya dalam saku. Selepasnya ia kembali melangkah sambil menikmati siang ini.
Saat ia menatap keramaian di depannya, sebuah deretan tenda sudah berdiri di sana.
"Yuta, aku ingin mencoba ini!"
Kalimat itu kembali berputar dalam ingatannya. Suara gadis kecil berumur enam tahun yang dulu selalu bersamanya.
Gadis yang baginya merepotkan, tapi begitu sangat disukainya.
Sangat menyukai lagu-lagu lembut dan kudapan manis. Baginya ia sangat menggemaskan dengan pakaian-pakaiannya itu.
"Kira-kira sekarang dia dimana, ya?" ucapnya pada dirinya sendiri. "Jadi rindu padanya."
"Oi, kau!"
Yuta menoleh-nolehkan kepalanya kesegala arah, mencari sumber suara yang menyapanya itu.
Ketika kepalanya berniat untuk dingadahkan, suara itu kembali menyapa, "jangan melihat ke atas!"
Merasa yang di maksud adalah dirinya, Yuta menoleh lurus dengan cepat. Kemudian pemuda itu membalas, "oya, ada yang seenaknya memerintahku?"
"Diamlah...."
"Kau belum pernah diperintah seseorang, ya?"
"Pernah... tentu saja orang tuaku dan guruku."
Walaupun begitu, Yuta tetap tidak menoleh. Pemuda itu tetap menatap lurus seraya berdiam diri dan memasukkan kedua tangannya dalam saku.
Kalau kuperintahkan dia untuk segera turun, aku yakin dia tidak akan bisa menolaknya..., batinnya.
Selang beberapa detik, sang pemilik suara masih belum menunjukkan dirinya. Yuta mulai tidak sabaran karena ini.
Dan ia sadar, beberapa kali ia melihat dedauan yang mulai berjatuhan di depannya.
Memangnya orang itu sedang apa?
"Sebenarnya apa yang—"
"Ulurkan kedua tanganmu!"
"Hah?"
"Sudah lakukan saja."
Dazai Yuta menarik nafas panjang dan menghelakannya kasar. Ia pun tetap menuruti perkataan yang seolah datang dari dalam kepalanya itu.
Selesai mengulurkan tangannya, tidak ada apapun yang terjadi.
"Aku sudah melakukannya, sekarang—"
Dalam sekejap, seorang gadis baru saja benar-benar terjatuh di atas gendongannya itu.
Sambil menatap gadis itu, ia sungguh seperti mengingat sesuatu. Itu... gadis yang tadi ditemuinya.
Apa dia sebenarnya... The Fallen Angel?
Gadis itu melompat dari gendongannya dan menggigit sebuah apel. Tubuhnya membelakangi Yuta dan kepalanya sedikit di putar ke belakang menatap pemuda itu.
"Kau yang tadi, ya?" tanya gadis itu santai.
Mata Yuta membulat sempurna. Ia sungguh melihat 'Onee-san'-nya kini berdiri di depannya, dengan kedua matanya.
Rasa percaya dan tidak percaya memukulnya begiu saja.
"Oi! Kau mendengarku tidak?"
"[First Name] Onee-san...."
"[First Name]? Onee-san?" ulang gadis itu. "Oi, kau siapanya Okaasan? Kenapa kau mengenalnya? Siapa kau sebenarnya?"
Yuta mengingatnya. Semua ingatan sebelas tahun yang lalu kembali berputar di kepalanya.
Ia mengenal gadis ini. Manik biru langit yang mengkilap, surai yang selaras dengan langit senja, dan wajah yang begitu mirip dengan 'Onee-san'-nya.
Yuta menarik kedua sudut bibirnya samar. "Ternyata dia ada di depanku," gumamnya.
"Kira-kira... siapa aku, ne ...?"
"Aku tidak tahu," balas gadis itu singkat.
Kedua bahunya seketika turun. Untuk sesaat Yuta begitu senang bisa menemui gadis ini lagi, tapi kecewa karena gadis itu melupakannya.
Sudahlah, masalah ini bisa diurusnya nanti. Sekarang yang terpenting baginya adalah mencari Sang Pengantin yang dibicarakan oleh selebaran penuh tulisan dalam sakunya.
Sambil melewati gadis itu dengan tak peduli, ia melanjutkan pencariannya. Tapi tetiba gadis itu menahan tangannya dan menatapnya tajam.
"Kau belum menjawab pertanyaanku?"
"Apa penting mendengar sesuatu dari orang yang tidak kau kenal?"
"Oh, kau benar...." gadis itu melepaskan tangannya dari lengan kemeja Yuta. Sambil tersenyum ia mengenalkan dirinya, "aku... Nakahara Haruka."
Untuk sesaat ia terpesona melihat senyuman itu. Namun, Yuta mendengus dan tertawa kecil. "Ternyata kau bodoh juga, ya?"
"Kau! mempermainkan—"
"Aku Dazai Yuta. Yoroshiku ne, Haru-chan."
Pemuda itu kembali berbalik dan melangkah pergi, tapi sekali lagi Haruka menahan lengan kemeja putihnya itu kini dengan kedua tangannya.
Yuta sempat nyaris terjerembab ke belakang, tapi untungnya ia bisa menahannya walaupun tubuhnya jadi sedikit merendah kebelakang.
"Kau masih belum menjawab pertanyaanku!"
Ia menghela nafas singkat dan mengalihkan pandangannya, lalu bergumam, "apa yang akan dilakukan Chuuya kalau melihat Putri tunggalnya denganku?"
"Kau tahu Ayahku juga? Tunggu, aku bahkan tidak mengatakan kalau aku anak satu-satunya!"
Haruka melepaskan Yuta dari kedua jeratan tangannya. Yuta pun berdiri tegap dan sedikit merenggangkan kedua bahunya yang sempat tertarik beberapa kali ke belakang karena gadis ini.
Gerakannya tetiba berhenti, kemudian ia langsung menggunakan jurus langkah kaki seribu dan meninggalkan Haruka di belakangnya yang berteriak, "TUNGGU—!"
❄
Deru nafasnya tertatih-tatih sambil bersembunyi di balik sebuah bangunan. Selagi dirinya berpikir sudah berhasil meninggalkan Haruka, tetiba saja gadis itu sudah ada dibelakangnya.
Gadis itu datang entah dari mana, tapi melihat sayap hitam pekat dengan cahaya kemerahan dari baliknya, ia tahu kalau gadis ini menyusulnya dengan kemampuannya.
Yuta berkali-kali berlari dan sembunyi, berkali-kali juga dirinya berhasil ditemukan gadis itu.
Sampai saat matahari ingin menenggelamkan dirinya, gadis itu berlari dengan nafas yang menderu-deru dari belakangnya.
Akhirnya Yuta berhenti di depan pintu masuk sebuah acara musiman di Yokohama yang selalu di gelar di atas jembatan.
Sambil menarik-narik nafasnya, begitu pun dengan gadis itu. Yuta hanya saling tatap untuk sesaat.
Ia kemudian berkata, "baiklah, aku menyerah!"
Gadis itu—Haruka—tersenyum penuh kemenangan dan berjalan santai ke arah Yuta.
Ini pertama kalinya seorang gadis berhasil membuatku angkat tangan, pikirnya. Ia tersenyum miring.
"Nona!"
"Cih! Mereka ini—!"
Haruka tetiba berlari lagi dan menarik tangan Yuta. Gadis itu dengan Yuta bersembunyi di antara pengunjung stan-stan di sana.
Tak lama, mereka bersembunyi di sela tenda dan bisa bernafas lega.
"Mereka mencarimu?" tanya Yuta.
"Tepatnya Otousan yang mencariku." Setelah menyembulkan kepalanya, ia menoleh pada Yuta kemudian bertanya, "jadi kenapa kau bisa mengenal orang tuaku?"
Bagaimana mengatakan padanya... ya? Tidak mungkin bukan kalau Yuta mengatakan "karena aku yang sudah lebih dulu melihat mereka dibanding dirimu" atau "karena Ibumu adalah cinta pertamaku dan Ayahmu adalah rival abadiku"?
Entah bagaimana nasibnya kalau pemuda itu dengan santainya mengatakan hal terkait.
"Orang tua kita saling mengenal...." Ini jawaban terbaikku! pikir Yuta.
"Benarkah? Aku tidak pernah mendengarnya dari mereka."
Yuta pun berdiri. Merasa urusannya dengan gadis ini sudah selesai, ia akhirnya melanjutkan pencariannya.
Tapi sekali lagi gadis ini menghentikan gerakannya dengan menarik tangannya. Sambil berkata, "kau jangan pergi dulu."
"Kalau begitu pikirkan cara untuk membuatmu tidak ketahuan," ucap Yuta asal-asalan.
"Oh... benar."
Melihat gadis itu berpikir. Yuta menghela nafas singkat dan menggandeng tangan gadis itu.
Sambil membawanya ke suatu tempat dalam diam, ia tidak melepaskan genggaman tangannya itu.
Justru ia sadar... semakin lama digenggamnya tangan kecil itu, semakin ia tidak ingin melepaskannya seperti hari itu.
Hari dimana Yuta harus melupakan gadis ini dan tidak bisa bertemu dengannya lebih dari sepuluh tahun.
Sampainya di sebuah toko pakaian, Yuta berkata pada pemilik toko untuk menyiapkan yukata yang pas untuk Haruka.
Sang pemilik toko dengan cepat mengubah gadis itu menjadi sangat berbeda dengan yukata oranyenya.
Selesai dengan itu, Yuta kembali menggenggam tangan gadis itu dan menariknya keluar.
"Apa aku tidak terlihat aneh?" ucap gadis itu.
"Aneh?" Yuta mengeluarkan ponselnya, memotret gadis terkait, dan segera melihat hasilnya. "Kurasa tidak."
"Jangan asal mengambil fotoku, Yuta."
Yuta yang merasa aneh dengan kata-katanya barusan, segera menoleh pada gadis itu yang menatapnya polos.
Ia yakin, Haruka baru saja memanggil namanya dengan sangat baik. Maksudnya, untuk ukuran yang baru saja dikenalnya.
Sambil tersenyum samar, Yuta mengajak gadis itu dengan mengatakan, "mau menemani aku menikmati festival hari ini?"
Seraya mengembangkan senyumannya, gadis itu mengangguk dan berkata dengan lugas, "iya, aku ikut."
❄
Selama hampir dua jam lamanya, mereka—Yuta dan Haruka—menikmati festival musim panas ini.
Perayaan festival musim panas ini begitu sesak dipenuhi oleh orang-orang Yokohama. Meskipun begitu, Yuta dan Haruka tetap menikmatinya.
Begitu memasuki festival, mata mereka disuguhkan warna warni festival musim panas.
Jejeran kedai permainan seru dan makanan khas festival musim panas memeriahkan di sana.
Daripada disebut mereka yang menikmati festival, mungkin hanya Haruka yang sebetulnya sangat menikmati festival.
Bagusnya, Yuta membawa dompetnya dan dompet ayahnya. Jadi semuanya aman terkendali.
Yang tidak terkendali hanyalah nafsu makan Haruka yang cukup membuatnya tercengang.
Tidak ada henti-hentinya gadis itu mencicipi berbagai macam makanan berat dan kudapan manis di sana.
Sampai akhirnya gadis itu membeli es serut dan gula kapas, Yuta menariknya jauh dari keramaian festival.
Bagusnya, gadis itu menurutinya saja tanpa berontak atau menolaknya sedikit pun.
"Segitunya senangnya dirimu, ya?" tanya Yuta langsung.
"Mungkin, tapi mungkin karena Otousan juga." Yuta menoleh, menatap gadis yang menerawang jauh danau yang terhampar cukup luas di hadapannya. "Otousan sangat keras soal aturan keluar rumah. Apalagi aku baru saja kembali ke Yokohama setahun yang lalu."
"Setahun?"
"Aku dititipkan pada sebuah organisasi, mempelajari teknik-teknik bela diri dan membunuh dari kecil."
"Bagaimana dengan kemampuanmu?"
Haruka menghela nafas singkat. Matanya sedikit menyendu. Namun ia tetap menjelaskan, "aku membencinya... kemampuanku."
"Kenapa?"
"Karena aku pernah membunuh seseorang...."
Angin malam tetiba berhembus. Menerpa kulit Yuta, menggoyangkan rambut coklat legam ikalnya ke udara.
Ia menerawang perkataan gadis yang kini terduduk di sampingnya sambil menatap langit penuh gemintang.
"Kapan?"
"Saat umurku enam tahun."
Manik Yuta membulat sempurna. Ia sangat yakin gadis itu tidak pernah melakukannya, lalu kenapa ia mengatakan hal seperti itu?
Yuta yakin karena dialah yang selalu bersama gadis itu... sampai saat itu.
Tapi melihat luka di matanya, ikut membuat dada Yuta seperti terpukul sesuatu.
"Mungkin karena itu, Okaasan mengirimku jauh darinya. Otousan orang yang tidak peduli, jadi dia tidak terlalu memikirkan ini."
Tapi begitu kau kembali, kau malah menjadi putri yang dikurung di atas menara, ya? tambah Yuta sendiri.
"Kau tidak dibuang, 'kan? Okaasanmu masih menerimamu dan Ayahmu sangat melarangmu keluar pasti karena satu hal."
"Aku tahu itu, makannya aku tidak pernah membenci mereka. Tapi setiap kali aku menanyakan hal itu, mereka tidak pernah menjawabnya."
"Enak, ya?"
"Eh?"
"Aku ada sebelum orang tuaku menikah dan aku tidak yakin mereka saling mencintai. Walaupun akhirnya mereka menikah, tapi aku selalu melihat mereka bertengkar."
"Ah... maaf...."
"Tidak apa."
Yuta masih menatap langit. Saat Haruka meliriknya, pemuda itu tersenyum lembut.
Senyuman Yuta yang bagi Haruka sangat aneh itu, membuat manik kebiruannya membulat sempura.
Ia tidak mengerti dengan Yuta.
"Mungkin sebenarnya sejak awal aku tidak pernah diinginkan."
Mengatakannya begitu membuat dada pemuda itu sakit, tapi ia tetap mengatakannya.
Entah kenapa ia ingin mengatakannya.
Tapi ketika ia mengatakannya, Haruka malah bingung untuk menanggapinya. Pasalnya, walaupun Haruka tahu rasanya terdengar menyakitkan, pemuda itu masih tersenyum.
Ia sungguh tidak mengerti dengan Yuta.
"Tapi bagaimana pun, aku mencintai diriku yang seperti ini. Ya, lagipula Ibuku tetap menyayangiku walaupun aku tidak menyukai Ayah Bodoh itu."
"Ayahmu?"
Yuta berdiri, kemudian membersihkan sedikit kotoran pada pakaiannya dengan memukul-mukulnya pelan.
Lalu ia membalas, "kau tidak akan ingin bertemu dengannya. Dia menyebalkan dan sangat merepotkan, selalu membuat Okaasan pusing dengan kelakuannya dan sangat gila wanita."
"Eh?! Apa Ibumu sungguh baik-baik saja seperti itu?"
"Sebenarnya tidak, tapi Okaasan tahu Otousan hanya bercanda dan bermain-main saja."
Haruka tersenyum. Ia pun ikut berdiri seraya berkata, "syukurlah."
Yuta dan Haruka memutar tubuhnya sampai saling berhadapan. Mereka berdua tersenyum bersama.
Haruka pun tetiba berucap, "hari ini menyenangkan. Kuharap besok kau bisa menemaniku seperti ini lagi."
Hee—! Kalau besok sepertinya tidak bisa, pikirnya. Pemuda itu menghela nafas singkat. Memikirkan bagaimana kerepotan hari ini, sedikit membuatnya jenuh.
Tapi kesenangan hari ini, membuatnya begitu bahagia. Ditambah lagi bisa bertemu gadis yang membuatnya rindu.
Jadi, ia pun berkata, "baiklah."
Usai berkata begitu, selagi menatap gadis muda di depannya, ia menarik tubuh gadis itu dan memeluknya.
Bang! Bang! Bang!
Dari balik tubuh sang gadis, ia menembakkan tiga peluru pada seorang tak dikenalnya yang berpakaian serba hitam dengan topeng aneh yang hampir menutupi seluruh kepala dan wajahnya.
Saat Haruka menoleh ke belakang, ia begitu bingung dengan keadaan ini. Sementara Yuta lebih terlihat sangat serius.
Ketika ia menoleh ke depan lagi, tanpa ia sadari orang-orang yang sama sudah mengelilinginya.
Beberapa dari mereka seperti melayang di atas air atau menapak air. Yang jelas baginya itu tidak masuk akal.
Diacung-acungkannya pistol itu pada orang-orang di sekelilingnya, tentunya tanpa melepaskan Haruka dari bekapan di dadanya.
Ia menggertakan gigi. "Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?"
Tanpa mengindahkan ucapannya, orang-orang itu menerjang Yuta. Tapi Yuta bisa mengatasinya dengan mudah.
Ia begitu profesional menggunakan dua pistol pada genggaman tangannya. Tembakkannya tidak ada yang meleset.
Ketika ia sadar pelurunya sudah habis, matanya tetiba terlihat bercahaya merah. Kemudian berkata, "lenyaplah!"
Sepersekian detik kemudian, orang-orang yang tadinya menyerangnya berhenti bergerak.
Senjata yang digunakan orang itu untuk menyerang Yuta, malah digunakan untuk membunuh diri mereka sendiri.
Selagi matanya melirik sekitarnya, sekiranya ia tahu tidak ada orang lain lagi. Ia berbalik mendekati Haruka yang tak jauh di belakangnya.
"Yuta, kau—!"
Mata Haruka membulat sempurna begitu melihat cipratan darah di depan wajahnya.
Ini seperti... waktu itu!
"Yuta!"
Haruka berlari ke arah Yuta yang terjatuh. Yuta bisa jelas merasakan rasa sakit pada areal perutnya itu.
"Sniper... ya?"
"Yuta, bertahan! Aku akan...."
"Seperti waktu itu lagi, ya?"
"Eh? Apa yang kau katakan?!"
Tubuh Yuta bergetar saat dirinya memaksakan untuk berdiri. Ia kerap kali hampir terjatuh, tapi ia selalu berusaha bangkit sendiri.
Selagi menahan rasa sakitnya dan darahnya yang mulai mengalir itu, ia tersenyum miring dengan mata yang mulai hampir menutup.
Pandangannya begitu keabu-abuan, ia nyaris benar-benar ingin tak sadarkan diri.
"Ini... seperti waktu itu."
"Kau anak yang waktu itu, ya?" sapa pria yang baru saja keluar dari dalam kegelapan itu.
Yuta tersenyum miring mengetahui siapa sosok itu. "Lama tidak berjumpa... Erujio-san."
"Sudah sebelas tahun, ya?"
Yuta tertawa kecil, lalu meringis menahan sakit. Ia sungguh tidak menyangka akan bertemu orang ini setelah sebelas tahun.
Dan orang ini, berhasil melakukan hal yang sama padanya seperti pada waktu itu.
"Kukira kau sudah mati," sahut Yuta.
"Ah, kukira juga begitu," balasnya. "Tapi luka dari Sang Pengantin saat itu tidak ada apa-apanya."
Kepalanya dinaikkan tiba-tiba. Ah, benar juga... Sang Pengantin. Ia harus melindungi Sang Pengantin.
Kini Sang Pengantin sudah ditemukannya, tugas dia selanjutnya adalah melindunginya.
Dasar Okaasan, ia sudah tahu akan hal ini jadi sengaja memilihku, ya? batinnya.
Ya, Sang Pengantin itu tidak lain dan tidak bukan adalah Nakahara Haruka sendiri.
Yuta ingat yang tertulis pada selebaran itu, itu sebuah permintaan dari seseorang pada kementrian.
Dan nama yang tertera di sana adalah... Nakahara [First Name].
Mungkin penjagaan di sekitar rumah Haruka memang sengaja dibuat lengah untuk membiarkan Haruka bebas, tapi tetap dalam pengawasan.
[First Name] tahu kalau putrinya itu pasti akan berusaha lari dan menghilangkan dirinya, makannya ia meminta kementrian untuk melindungi putrinya.
Tapi karena kebetulan akan sesuatu, kementrian juga memang harus melindungi Haruka, khususnya dari sekte gelap yang ingin memanfaatkannya.
Kejadian sebelas tahun yang lalu juga karena sekte itu mengejar Haruka. Bukan karena dirinya, melainkan kemampuan gadis itu.
Karena kejadian itu, Yuta harus berpisah dengan Haruka. Namun entah karena alasan apa, gadis itu menganggap dirinyalah yang dibunuhnya.
Karena itu Yuta mengerti, kenapa dirinya seolah dilupakan gadis ini. Bukan dilupakan, melainkan ingatan itu diubah atau berubah dengan sendirinya.
"Kau bisa mengingatnya, Haru-chan?"
"Eh? Apa?"
"Kita sebelumnya pernah bertemu, aku selalu disisimu sejak aku mengenalmu."
Mata Haruka membulat sempurna. Kegelapan malam berubah seiring cahaya rembulan menyinari mereka.
Cahaya kebiruan menerangi semuanya. Memperlihatkan bagaimana keramaian festival dan keindahan kota pelabuhan pada malam hari.
Namun, keadaannya sangat berbeda disini. Ditempat Yuta dan Haruka berada.
"Aku yang selalu membantumu kabur, menemanimu, dan aku juga yang...."
Yuta terjatuh, ini sudah batas ketahanan fisiknya. Darah merah yang segar sudah membasahi pakaiannya.
Haruka memutar sedikit kepalanya, menatap Yuta yang menjatuhkan dirinya di atas bahunya.
Perlahan ingatan itu memasuki dirinya. Kenangan itu kembali lagi padanya. Penglihatan itu tergambar jelas dalam kepalanya.
"Haru-chan... panggil namaku."
"Yu... ta...."
Haruka mengingat semuanya. Pemuda yang dianggapnya mati karena kemampuannya adalah Yuta. Pemuda yang dulu selalu bersamanya adalah Yuta. Pemuda yang selalu menggenggam tangan kecilnya adalah Yuta.
Dan lukisan sosok Yuta telah hilang seolah dihapus. Namun kini gadis itu mengingatnya. Mengingat semuanya.
Yuta tersenyum sebelum akhirnya kesadarannya menghilang. Sementara air mata Sang Pengantin sudah melewati pipinya.
Rasanya begitu menyakiti hatinya. Ketika ia memukul pelan punggung Yuta, pemuda itu tidak menjawabnya.
Ketika tubuh Yuta itu dibaringkannya dan gadis itu mencoba membangunkannya dengan memanggil namanya, pemuda itu tetap tidak menjawabnya.
"Yuta! Yuta, bertahanlah!"
"Nona, ini waktunya bagi kita...."
"Eh?" Haruka bingung. "Kita?"
"Kau adalah pewaris kemampuan paling besar, kekuatan Tuhan berada di tanganmu."
"Tidak...."
"Mulai sekarang kematian akan senantiasa berada di depanmu."
"Tidak...."
"Mayat-mayat yang bersimbah darah dan bergelimbang, akan menjadi tempatmu melangkah."
"Tidak!"
Cahaya rembulan semakin bersinar biru. Semuanya jadi begitu hening.
Ketika gadis itu mengangkat kepalanya, matanya membulat sempurna. Hanya ada kematian di sekelilingnya.
Mayat-mayat berdarah bergelimang di depannya, bahkan yang kini tangannya tengah digenggamnya erat.
"Yuta! Yuta, bangunlah! Aku mohon! Katakan sesuatu!"
Ibunya seorang pembunuh profesional dan Ayahnya Mafia, tapi dirinya tidak seperti itu.
Trauma masa lalu itu begitu memukulnya. Dirinya yang masih muda harus dihadapkan dengan mayat-mayat orang yang berusaha memperebutkan dirinya.
"Haru... -chan."
"Yuta!"
"Kau... harus percaya... pada kemampuanmu."
"Tapi kemampuanku...."
"Aku percaya... padamu."
Haruka membenci kemampuannya karena kemampuannya bisa membunuh orang lain. Karena orang itu, menginginkan kemampuannya.
Karena kemampuannya jalan yang selalu dilewatinya begitu kotor. Karena kemampuannya semua orang di depannya selalu menghilang dengan sangat mudah.
"Kau percaya kemampuanku bisa menyelamatkan orang lain... Yuta?" gumam gadis itu.
"Sa! Marilah ikut saya, Tuan Putri."
"Kau yang telah melukai orang yang berharga bagiku, kau yang telah mengambil ingatan yang begitu penting bagiku, kaulah yang harus mati!"
Cahaya merah keluar dari tubuh Haruka. Mengelilingi gadis itu dan mengubah penampilannya.
Manik sebiru langit kini menjadi semerah darah. Rambut senjanya kini memutih dan lebih berkilauan daripada berlian termahal sekalipun dan sudah tergerai. Kuku-kuku pada jemarinya menghitam dan tumbuh tanduk hitam pula pada sebelah dahinya.
Pakaiannya pun berubah menjadi sebuah dress yang didominasi dengan warna merah darah dan hitam.
Sosoknya jadi begitu mengerikan seperti... Iblis.
Haruka menjadi seperti cahaya, gerakannya begitu cepat saat menerjang pria di depannya.
Kuku hitamnya menembus perutnya, lalu dengan kasar wanita itu mengeluarkan isi perutnya sambil tersenyum puas.
Ia kemudian menjadikan tubuh orang itu sebagai batu pijakan dan melompat ke atas, tubuhnya melayang.
Begitu tangannya di acungkan ke atas, tangannya mengeluarkan sesuatu seperti lidah api.
Keindahan lidah api itu begitu mematikan. Begitu tangan sang gadis dihentakkan ke bawah, dengan cepat ia menyerang orang itu dan menghasilkan ledakan yang besar.
Disisi lain, lambat laun luka tembakan di tubuh Yuta menghilang seperti terbakar. Ketika pemuda itu merasakan panas, ia berteriak tapi langsung tersadar kalau lulanya sudah menghilang.
Ketika kepalanya mengadah, didapatinya sosok Haruka yang tengah terbang melayang.
Tapi ia tidak benar-benar yakin kalau itu gadis yang sedari tadi bersamanya karena penampilannya.
Saat gadis itu menoleh padanya dan menyeringai, tiba-tiba saja dengan cepat ia sudah berada di hadapan Yuta.
Semakin lama mereka saling bertatapan, semakin hilang senyuman mengerikan pada wajah Haruka.
Haruka berdiri tegak, kemudian disusul Yuta di depannya. Tatapan Haruka begitu tidak percaya pada apa yang terjadi dengan pemuda di depannya.
"Yu... ta...."
"Haru... -chan?"
Ingin rasanya Haruka memeluk pemuda itu. Namun apa daya? Penampilannya begitu mengerikan, bahkan rasanya ia ingin berlari dan berlari, menjauh dari pemuda itu.
Ketika ia berbalik dan ingin berlari, Yuta yang tahu itu segera menariknya dan memeluk tubuhnya mungilnya.
Haruka ingin mendorong tubuhnya, tapi rasa hangat yang diberikan Yuta begitu terkenang masa-masa ketika mereka dulu selalu bersama.
"Jangan pergi, Haru-chan," ucap pemuda itu.
Haruka mengadah, menatap lurus pemuda itu. Begitu juga dengan Yuta, ia menatap lurus Haruka.
Berpikir, aku tidak akan pernah melepaskannya lagi. Tidak akan.
"Tapi, aku yang... sudah—"
Sambil berpikir begitu, Yuta menarik pinggang Haruka, menarik belakang tengkuk kepalanya dan mencium bibir merahnya.
Mata Haruka membulat sempurna. Rasa percaya dan tidak percaya begitu menghantamnya.
Tubuhnya seketika melemas. Itu ciuman pertamanya!
Seolah amarahnya mereda, wujudnya berangsur-angsur berubah kembali disusul dengan berakhirnya ciuman mereka.
"Ara, Yuta-kun... Otousan tidak tahu kalau kau ternyata mengikuti jalanku ini."
Tubuh Yuta menegang mendengar suara itu. Suara sang Ayah, Dazai Osamu.
Ia menoleh ke belakang dan mendapati sosok kedua orang tuanya. Dazai menatapnya sambil menyeringai dengan wajah konyolnya, sementara Ibunya yang sudah dalam mode nomor satu hanya mengalihkan pandangannya seraya menutup mulutnya.
Ketika matanya beralih pada dua sosok lainnya yang berdiri tak jauh darinya, aura yang dirasakannya begitu kelam.
"Otousan, Okaasan!" teriak Haruka.
Kedua orang tua Haruka. Pria bersurai senja yang berdiri di sana, begitu menatap Yuta terus menerus dengan auranya yang ingin membunuh. Sementara sosok wanita di sampingnya hanya tersenyum entah apa.
"Ohisashiburi desu ne, [First Name] Onee-san," sapa Yuta sambil tersenyum.
"Ohisashiburi, Yuta-kun."
"Okaasan, kenapa ada di sini?" tanya Haruka ragu. "Sejak kapan?"
"Kira-kira... sejak kapan, ya?"
Sambil balas seperti itu, [First Name] melirik Kuro yang ikut meliriknya.
Melihatnya, Yuta mengerti keadaan ini. Jadi intinya kedua sepasang orang tua ini sudah melihat mereka dari awal kejadian.
Lalu, kenapa tidak ada yang menolong? pikir Yuta.
"Haruka, bukankah Otousan sudah melarangmu keluar?" tanya Chuuya.
"Umurku sudah tujuh belas tahun, Otousan. Apa kau akan tetap mengurungku seperti itu?"
Chuuya melirik istrinya, [First Name]. Sementara yang dilirik hanya mengembangkan senyuman misteriusnya.
Chuuya mengerti. Seperti pemikiran istrinya kalau putri tunggalnya, Haruka, sama keras kepalanya seperti dirinya.
Jadi dia pun menghela nafas singkat dan membiarkan sang istri yang mengurus masalah ini dan menjelaskannya.
"Otousan sudah membebaskanmu, Haruka-chan," jelas [First Name]. "Ia hanya khawatir kejadian seperti ini menimpamu lagi. Karena kemampuanmu sama dengan noda miliknya."
"Eh?"
"Lalu alasanmu, Okaasan?" giliran Yuta bertanya, menuntut penjelasan.
Kuro mengerjap-ngerjapkan maniknya dan menyeringai. Melihat seringaian sang Ibunda, membuat bulu kuduknya bergidik takut.
Ibunya lebih banyak memiliki rencana aneh daripada Ayahnya. Walaupun begitu, ia tetap menyukai sosok Ibunya itu.
"Apa kau tidak ingat, Yu-chan?" Kuro memejamkan matanya singkat. "Kejadian ini sama seperti sebelas tahun yang lalu. Saat kau yang diserang, siapa yang menyembuhkanmu?"
"Eh? Bukankah itu Yosano-sensei?"
"Itu Haruka-chan yang melakukannya. Kemampuannya adalah memanipulasi emosi dan perasaannya untuk melindungi dirinya, kalau begitu rasa sakit karena melihat seseorang yang terluka di depannya...."
"... emosi dan perasaan itu berubah menjadi kekuatan untuk menyembuhkan... ya?" lanjut Yuta.
"Ya, walaupun begitu. Dia tidak sepenuhnya bisa mengendalikan kemampuan maksimalnya seperti Ayah Pendeknya itu," timpal Dazai.
"Oi, aku mendengarnya!"
"Maaf kalau begitu."
Makannya Ibunya memberikan misi ini pada Yuta, makannya kenapa kedua orang tuanya bisa sesantai itu padahal anaknya tertembak dan nyaris saja mati.
Kau ternyata kejam, Okaasan, batinnya. Tapi karena kekejaman itu, aku bisa melihatnya kembali.
Haruka muda yang melihat itu, berpikir yang membunuh Yuta adalah dirinya dan kemampuannya mengubah perasaan sakit itu dengan mengubah ingatan kecilnya tentang Yuta untuk menyembuhkan perasaannya.
Tapi karena keinginan Haruka pula, ia bisa mengingat kejadian itu dan menjadikan emosi dan perasaan atas kejadian itu menjadi kekuatan untuk melindungi dan menyembuhkan Yuta.
Mengetahui hal itu, Haruka perlahan menggerakan tangannya dan menggenggam tangan Yuta kemudian berbisik.
"Aku sudah lama ingin mengatakan ini, Yuta. Kalau aku...."
Yuta menatap lurus manik biru langit gadis itu. Bola matanya membulat sempurna. Ia mendengus dan tersenyum miring.
"Kalau begitu, mohon bantuannya."
❄
Suara kicauan burung pagi itu begitu terdengar. Mentari sudah berada di atas dan memberikan cahayanya pada dunia.
Sementara pemuda itu masih tertidur lelap di atas kasurnya, sampai seseorang menyibak gorden ruangannya.
Orang itu pula menarik selimut yang menutupi tubuhnya seraya berteriak, "bangun, Yuta!"
Yuta segera membuka matanya mendengar suara cempreng yang menggema dalam ruangannya. Ia segera duduk dan menatap gadis terkait.
Harusnya Ibunya memang membangunkannya untuk bersiap bekerja, tapi itu tidak dilakukannya sama sekali.
"Haru-chan, kenapa kau bisa ada disini?" tanya pemuda itu bingung.
"Aku sudah menunggumu di Agensi Detektif Bersenjata selama sejam lebih, tapi kau tak kunjung datang."
"Ah... iya, lalu?"
"Dazai-san bilang kalau kau masih tidur di rumah karena kelelahan. Jadi aku langsung datang ke sini setelah meminta alamatnya."
Dasar Otousan, sembarangan saja memberikan alamat rumahnya sendiri pada orang lain, pikir pemuda itu.
Yuta menghela nafas singkat dan memejamkan matanya kemudian kembali menatap gadis itu.
"Jadi, kenapa kau ke sini?"
"Kenapa?" Haruka merucutkan mulutnya, kemudian menjawab, "kau sudah ada janji denganku untuk menemaniku lagi seharian seperti kemarin."
"Eh... benarkah?"
"Iya!" tuntasnya. "Sekarang aku yang bertanya. Yuta, kau menyukaiku?"
Hening. Untuk sesaat hanya ada keheningan di antara mereka. Yuta memang tidak terkejut, tapi dia bingung untuk mengatakannya.
Manik marrine blue milik Yuta menatap lurus gadis di depannya, kemudian ia balik bertanya, "etto... harus kujawab sekarang?"
"Harus! Dari dulu kau hanya mengatakan kalau kau menyukai Ibuku, bahkan pertama kali kita bertemu kembali kau mengira aku ini Ibuku."
"Tapi wajahmu memang mirip 'kan dengannya, walaupun sifatmu begitu menyebalkan seperti Ayahmu."
Yuta mengalihkan wajahnya. Ia sungguh tidak bisa menatap Haruka yang begitu dekat wajahnya dengannya.
Ia begitu gugup, sejujurnya. Walaupun begitu, ia masih berusaha lebih tenang.
"Kau juga hanya bilang 'kalau begitu, mohon bantuannya' setelah mengatakan kalau aku menyukaimu."
"Eh... benarkah?"
Haruka mengembungkan pipi chubbynya. Ia pun menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Sementara Yuta yang masih merasa lelah, kembali menarik selimutnya dan tidur. Tentu saja Haruka kembali menyibak selimutnya itu dan melemparnya jauh-jauh.
Sambil duduk di atas kepalanya, Haruka menunduk sejajar dengan wajah Yuta yang tertidur di bawahnya.
"Kau harus segera bersiap, ini kencan—"
"Aku menyukaimu."
Haruka seketika bungkam. Ia begitu terkejut mendengar ungkapan dari pacarnya itu yang tiba-tiba.
Gadis itu segera mundur kemudian mengangkat tangannya ke langit. Yuta yang melihat gadis itu mengaktifkan kemampuannya, segera bangkit sebelum terhantam dengan apapun yang akan diciptakan sang gadis.
Sesuai dugaan Yuta, gadis itu mengeluarkan lidah api dan menghantam ke wajahnya.
Untungnya pemuda itu sudah bersiaga lebih dulu sebelum pacarnya sendiri membunuhnya.
"Kau gila?!"
"Ta-tadi aku lengah! Coba katakan lagi dengan lebih berperasaan!"
"Ah... tidak mau. Aku harus bersiap sekarang."
Selagi Yuta berniat beranjak dari kasurnya, Haruka melompat ke arahnya dan melingkari leher pemuda itu sambil tersenyum penuh kemenangan.
Sementara Yuta sendiri memberikan wajah kejut tidak menyangka gadisnya akan melakukan hal itu.
—oOo—
The Last Extra Chapter owari!! Ini chapter terpanjang yang ue bikin 😂😂🔫 jadi ceritanya bukan ceritain Chuuya smaa Reader-tachi, tapi anak kalyan dengan anak Dazai 😆😆😆
Udah yak sekian dari saia, kurang lebihnya mohon di maap keun 🙂 silahkan yang ingin bertanya pasal chapter ini, ditanyakan DISINI! Nanti daku jawab satu-satu di bagian lain, jadi dikumpulin aja dulu yak pertanyaannya 😘😘😘
Jangan lupa vote dan krisarnya yak gaes, sekian dari saia~
Hope You All Like It!
Thanks!
xoxo,
Kajeh-san-san
—oOo—
Dan gue mau curhat, gan 😐 gue mau tanya, apa gue masih mimpi? Oke, ini jelas kagak. Ganti pertanyaan 😐 apa akun game BSD gue error? Pertanyaan lagi, kenapa?
KENAPA COWOK GUE BERUBAH SEMUA JADI BOCAH UCUL BEGINI 😂😂🔫 YA, LORD MIKAJEH GAK KUADH 😢 MAK! ADOPSI ANAK MAK 😂😂👌 EVENT MACAM APA INI ?!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro