EC. 7 - I've Been Watching You
SINAR mentari pagi muncul dari sela-sela bangunan tinggi menerpa jendela besar dengan beranda di sampingku.
Langit kebiruan gelap berubah menjadi langit jingga. Dalam keadaan setengah tertidur, aku memandangnya dari atas kasur.
"[First Name], kau sudah bangun?"
Pemuda itu berbisik lembut di telingaku. Lengannya dari kemarin malam, memeluk tubuhku yang hanya berbalut selimut putih dari belakang.
"Hmm...." Aku hanya menggeram pelan.
Pemuda itu mengeratkan pelukannya lebih, mengecup punggungku dan menenggelamkan wajahnya dari balik tirai rambut [hair color]ku.
Saat-saat manis. Pagi yang selalu kurasakan mulai dari hari jadinya kami disatukan dalam ikatan tak terduga.
Kami merasakan kehangatan tubuh masing-masing seolah waktu telah berhenti dan dunia hanya milik kita berdua.
Aku memutar tubuhku, membiarkan diriku sepenuhnya masuk dalam pelukan hangatnya.
"Kau harus segera bersiap...."
Dia mengecupku lembut untuk kesekian kalinya setelah bergulat semalaman, menandaiku dengan warna merah seolah menjadi warna yang disukanya, lalu meraih tubuhku dalam dekapnya lagi.
"Emmhh...," desahku. "Kau mandi duluan saja, aku akan menyiapkan sarapan."
"Aku ingin seperti ini lebih lama."
Pada akhirnya, aku menuruti permintaannya, membiarkan pagi indah ini berlangsung lebih lama.
Aku menyukai sentuhan pemuda ini yang lembut dan menghangatkan, menyukai bagaimana dia memperlakukanku, dan menyukai bagaimana cara dia mencintaiku dengan sederhana.
Tapi aku belum bisa membalasnya dengan apapun, karena baginya itu tidak penting.
Bahkan saat aku ingat kalau aku menyembunyikan sesuatu darinya, hatiku seolah serasa seperti tertusuk sesuatu. Menyakitkan.
Tapi pemuda ini selalu sangat baik padaku tanpa menyadari hal itu.
"Chuuya-kun," panggilku. Nama orang yang kini berstatus sebagai suamiku.
"Apa? Ingin kuambilkan sesuatu?"
"Teh hangat saja."
Dengan perlahan, ia melepaskan kedua lengannya dariku dan beranjak dari kasur.
Ini menjadi hal sederhana yang kusuka : memandangi keindahan kota Yokohama selagi pemuda itu membuatkan teh yang kuminta.
❄
"Kau tidak ingin mengatakannya, [First Name]-chan?"
Aku bergeming, diam. Seraya mencerna secara mekanik kue lembut dalam mulutku, aku berpikir.
Memang seharusnya aku mengatakan ini pada Chuuya-kun, tapi rasa ingin dan tak ingin begitu membuatku bingung.
Ingin kuberitahu, karena Chuuya-kun memang harus tahu ; tidak ingin juga, karena tidak ingin nanti jadi membebaninya saat bertugas.
"Kau sudah tahu dari seminggu yang lalu, lho, [First Name]-chan," ungkap Anee-san. "Kau sungguh ingin menyembunyikan ini. Sampai kapan?"
Aku menghela nafas singkat dan menggeleng kecil, kemudian membalas, "aku juga tidak tahu, Anee-san. Rasanya membingungkan."
"Tenang saja, [First Name]-chan," wanita itu tersenyum. "Chuuya pasti mengerti."
Aku pun ikut tersenyum. Tepat saat itu pula, pemuda yang sedang dibicarakan itu memasuki ruangan.
Sosok yang lebih tinggi sedikit dariku dengan tubuh tegapnya, dirinya senantiasa selalu berada di sisiku.
Nakahara Chuuya, suamiku.
Begitu sampai di dekatku, ia mencium singkat bibirku dan langsung menuangkan segelas wine yang terletak pada meja kecil di sampingku.
Kemudian ia duduk di antara diriku dengan Anee-san yang duduk agak berjauhan.
"Okaeri, Chuuya-kun," sapaku. "Bagaimana?"
"Tidak ada masalah, seperti biasa. Bagaimana disini?"
Aku mengangguk mantap dan tersenyum. "Baik-baik saja. Kita juga berhasil memenangkannya."
"Sekarang kau berhasil membuat perusahaan gelap itu membayar berapa?"
Aku mendengus dan tertawa kecil. Membuat setiap perusahaan membayar Port Mafia dengan nominal tinggi? Itu sebetulnya pekerjaan mudah.
Hanya memancing mereka dengan mencari tahu mana pusat semua dana mereka terus di masukkan dan tengah dalam keadaan naik, menyerangnya dari sana, kemudian menyudutkannya.
Selesai.
"Kalian sekalinya bertemu seperti ini, selalu membicarakan hasil pekerjaan saja, ya?" sahut Anee-san.
Aku dan Chuuya-kun saling melirik dan tertawa kecil. Bukan maksudku begitu, tapi... bagaimana, ya? Aku tidak terlalu suka mengumbar hal-hal seperti itu apalagi di depan Anee-san.
Ya, walaupun begitu setiap kali kami ingin pergi berkencan, ruangan Anee-san selalu menjadi titik kumpul kami.
Seperti saat ini....
"Kalau begitu, Anee-san... aku—"
"Pergi kencan lagi?"
Ucapan Chuuya-kun tidak dilanjutkan. Pemuda itu hanya tersenyum miring dan berdiri bersama denganku, kemudian melingkarkan tangannya pada pinggangku.
❄
Akhirnya hanya ada kami berdua. Ya, benar-benar berdua di tengah koridor gelap dengan cahaya mentari menjadi satu-satunya penerangan di sana.
Tapi hampir ada yang kulewatkan....
Aku melangkah selangkah lebih cepat dari Chuuya-kun, berhenti di hadapannya dan menarik kerah bajunya sampai wajahnya sejajar dengan wajahku.
Aku menatap pemuda itu tajam, sementara yang ditatap hanya mengerjap-ngerjapkan maniknya bingung.
"Kau habis merokok, ya?"
Seolah kata-kata tadi menyerangnya, Chuuya-kun langsung terdiam dan mengalihkan matanya dari mataku.
"Itu... hanya...."
Perempatan di dahiku muncul.
"Aku akan mengatakannya, jadi lepaskan dulu."
Kuturuti sesuai permintaannya. Begitu kulepaskan, pemuda itu segera melonggarkan sedikit kerahnya dan menarik nafas.
Aku masih menatapnya tajam, menuntut penjelasan darinya. Padahal aku sudah melarangnya mencoba hal-hal seperti itu, dia memang keras kepala.
"Berapa?"
"Lima."
Astaga! Terakhir kali dia mencobanya, itu tidak sebanyak itu! Ini baru sehari, bagaimana kalau dia sudah ketagihan?
Aku berdecih. Kuulurkan tanganku, sementara pemuda di depanku mundur selangkah sambil menatapku tidak percaya.
Banyak mafiosi disini mengatakan aku wanita yang terlalu lembut, tapi coba kalau mereka tanyakan itu pada Chuuya-kun... pastinya jawabannya tidak mereka kira.
Aku tidak akan segan-segan melakukan ini selama aku tahu ini hal yang tidak benar dan aku sudah melarangnya.
Begitu kotak hitam itu diberikan padaku dengan ragu, aku langsung menerimanya dan membakarnya sampai hanya menjadi abu.
"Chuuya-kun...." Yang terpanggil menaikkan sedikit kepalanya. "... lima puluh poin. Jatah selama tiga bulan tidak ada."
"Apa—! Kenapa ...?"
Suara Chuuya menghilang seiring aku meninggalkannya, berjalan lebih dulu darinya.
Begitu ia sampai menyusulku, ia berkata, "pancaindramu semakin tajam saja, [First Name]."
Tubuhku seketika membeku. Sialan, aku melupakan satu kesalahan! Hal yang tidak bisa kusembunyikan sama sekali. Ciri fisik.
Aku berhenti bergerak dan menoleh ke belakang, menatapnya seolah aku tidak mengerti apa yang baru saja di katakannya.
"Kulitmu terasa lebih lembut, matamu juga semakin bersih. Kuku jemarimu juga cepat bertambah panjang dan kau sering kelelahan."
Mataku membulat sempurna. Walaupun ia mengungkapkannya seperti orang yang tidak tahu apa pun, tapi mendengarnya ia mengatakannya seperti itu... seperti dia sungguh menyadarinya.
"Aku jadi bingung harus mengatakan apa...."
Chuuya-kun tersenyum dan mengaitkan jemarinya di antara jemariku. Sambil berjalan, aku keluar hari ini dengannya untuk berkencan.
❄
"Kau sungguh tidak ingin makan kue itu?"
Aku menggeleng lemah sambil berusaha tersenyum, lalu berkata, "aku tadi sudah makan dengan Anee-san."
"Oh... tidak biasanya."
Aku menghela nafas lega. Terkadang aku menyukai bagaimana cara Chuuya-kun tidak terlalu memaksakan diriku walaupun memang ada yang aneh, maksudku biasanya ada saja pria yang suka memaksa wanitanya untuk mengatakan semuanya.
Sambil melanjutkan makannya, aku hanya menatapnya dan jemari yang selalu kusuka itu.
"Aku ke toilet dulu," izinku.
Bahkan, bau kudapan yang kusukai pun jadi terasa memuakkan dan setiap kali mencium aromanya, aku jadi muntah-muntah sampai isi perutku habis terkuras
Aku menatap diriku pada cermin di depanku. Wajahku terlihat begitu pucat kurus dan kurasakan tubuhku jadi sangat letih.
Meskipun tubuhku melemah, tapi metobolismeku meningkat. Aku segera menggeleng dan membasuh wajahku kemudian keluar.
❄
Keesokan harinya, tepat pada puncak hari. Bos memanggilku dengan Chuuya-kun.
Aku tidak tahu pasti apa yang akan di bicarakannya, kuharap ini hanya soal penjagaan keamanan atau pemeriksanaan saja. Atau barang kali hanya menemui seorang kolegan.
Saat kami berdua sampai dan langsung mengahadapnya, aku memberikan laporan yang dimintanya sebelumnya. Setelahnya kembali ke sisi Chuuya-kun.
"Aku hanya ingin kalian menemui seseorang...."
Syukurlah. Dewi Fortuna tengah berpihak padaku!
"... ini perjanjian yang penting, aku yakin bisa mempercayakannya pada kalian."
"Ha'i, Bos," hormat Chuuya-kun seraya menundukkan kepalanya.
"Kalau begitu kalian bisa pergi."
Setelah mengambil berkas kelengkapan misi ini dari Bos mafia itu, aku berbalik dan melangkah keluar dari ruangannya.
Tapi, kata-katanya membuatku sempat terhenti. Hal kedua yang kulupakan!
"Jangan sampai berurusan dengan pertarungan, [First Name]-kun. Aku khawatir dengan bayi dalam kandunganmu."
Kalau Bos itu seorang dokter—!
Sungguh, untuk sesaat kakiku tidak bisa kugerakkan. Tapi aku memaksanya untuk tetap bergerak dan melangkah dengan cepat.
Aku bahkan hampir tidak melihat bagaimana raut wajah yang diberikan Chuuya-kun ketika pria itu mendengarnya.
Begitu sampai pada lorong gelap, aku lebih dulu berjalan dari pada suamiku itu. Melangkah dengan langkah besar seolah menghindarinya.
"[First Name]!"
Aku tetap melangkah.
"[First Name], berhenti!"
Tetap melangkah.
"[First Name]!"
Tubuhku tertarik ke belakang kala pemuda ia menarik pergelangan tanganku.
Aku tetap bersikeras melepaskan tanganku, tapi pemuda itu tidak melepaskannya. Bahkan ketika aku menolak untuk disentuhnya, ia malah menarikku terus mendekat padanya.
"[First Name], dengarkan aku!"
Walaupun kini aku terdiam dan menghadapnya, aku tidak menatapnya sama sekali.
"Kau masih tidak ingin mengatakannya padaku?" ucapnya. Aku terdiam
Eh?
"[First Name], lihat mataku!"
Aku justru memejamkan mataku, menunduk sedalam-dalamnya.
Kudengar Chuuya-kun menghela nafasnya singkat. Pemuda itu melepaskan sentuhannya dari pingganggu, melepaskan tarikannya dari pergelangan tangan, lalu disentuhnya wajahku dengan kedua tangan besar dan lembutnya.
"Aku memintamu untuk menatapku, [Firat Name]," ucapnya lembut.
Aku memejamkan mataku singkat dan menghela pelan. Saat aku melakukan itu, aku langsung berkata dengan intonasi ragu, "... apa?"
"Apa kau tetap tidak ingin mengatakannya?"
Aku terdiam.
"Sudah berapa bulan?"
"... tiga bulan," jawabku akhirnya. Jawaban pertamaku sejak pemuda ini bertanya.
Chuuya-kun tetiba menarik tubuhku, memelukku dalam dekapan hangatnya yang sangat kusuka.
Dibungkusnya tubuhku dengan tangannya yang besar itu, sementara tangannya yang lain mengelus pucuk kepalaku.
Kurasakan sentuhan lembut menyapa dahiku, membuat mataku terbelalak karena terkejut.
"Aku selalu menunggunya...."
Aku terdiam kembali, menunggu sang pemuda melanjutkan kalimatnya.
"... menunggu kau mengatakan semuanya, semua keanehanmu."
Keanehanku? Jadi ucapannya waktu itu hanya untuk memancingku agar aku mengatakannya?
Jadi dia memang tahu kalau aku sedang hamil karena keanehanku?
"Maaf aku tidak langsung mengatakannya, aku hanya... takut membuatmu kerepotan."
"Tentu saja tidak."
Dilepasnya diriku dari pelukannya. Ditatapnya mataku lurus dan kutatap wajahnya dengan seulas senyuman terukir di sana.
"Aku selalu melihatmu, memperhatikanmu," lanjutnya. "Arigatou, [First Name]. Aku benar-benar merasa senang."
Dahiku dengan dahinya bersentuhan. Tanpa sadar aku tersenyum kemudian memeluknya erat dan pemuda itu membalasnya.
❄
Ini bulan ke tujuh kehamilanku.
Dadaku jadi lebih besar dan semakin lembut, kulitku juga semakin halus dan seiring berjalannya waktu tubuhku semakin berisi dan semakin terbentuk.
Rambutku juga sudah mulai memanjang dan pakaian yang kugunakan semakin lebar.
Bukan hanya semua itu, termasuk pekerjaanku.
"Kenapa aku tidak boleh ke kantor?!" tanyaku terkejut.
"Tentu saja tidak, aku tidak akan membiarkannya."
"Lalu aku disini saja, begitu? Seharian penuh?"
"Itu lebih baik daripada kau bekerja, [First Name]. Bagaimana kalau nantinya kau kelelahan dan jatuh pingsan?"
Ya, itu kemungkinannya juga. Aku tidak menyangkalnya, apalagi kantor Port Mafia bukan hanya menggunakan elevator, tapi juga tangga.
Dan tentunya aku lebih suka menggunakan tangga.
Lalu aku akan di rumah saja begitu seharian? Astaga, pasti membosankan! Bisa-bisa ini membuatku mati bosan.
Chuuya-kun menghela nafas singkat. Mungkin ia tahu kalau aku tidak terima berada seharian di rumah sampai bosan, jadi pemuda itu menarik perhatianku dengan berkata, "baiklah kau boleh...."
Aku senang langsung.
"Dengan syarat...." Kedua bahuku langsung turun mendengarnya. Lalu ia melanjutkan, "kau tetap berada di ruangannya Anee-san."
❄
Karena syarat itu kini aku berada di ruangan ini, dengan Anee-san tentunya.
Wanita itu begitu baik padaku, membawakanku beberapa kudapan manis dan buah. Bahkan memberikan obat penambah stamina untukku agar tidak mudah pusing.
Waktu terus berputar sampai malam tiba. Saat itu pukul tujuh malam dan Chuuya-kun sudah kembali.
"Pulang cepat?" tanyaku.
"Tepatnya karena kau...." Eh? Karena aku? Sambil tersenyum, ia menarik pelan tanganku untuk bangkit dan mulai membawaku. Kemudian melanjutkan, "ayo, pulang."
Kami—aku dan Chuuya-kun—berjalan sambil bergandengan tangan. Entah sebetulnya ada apa, tapi wajah Chuuya-kun terlihat lebih ceria dari biasanya.
Jadi, aku pun bertanya, "kenapa kau terlihat begitu senang, Chuuya-kun?"
"Bos menyuruhku untuk pulang lebih awal selama kau hamil. Tentu saja aku senang karena bisa menjagamu."
Oh, begitu... ya? Rasanya aku sedikit bersalah pada Bos mafia itu karena mengurangi waktu aktif bekerja eksekutif andalannya ini.
❄
Bulan ini puncaknya. Dan hari ini adalah hari ke tujuh sejak Chuuya-kun di kirim ke daerah barat untuk bertugas.
Ya, suamiku itu belum juga kembali.
Alih-alih aku lebih sering berada di rumah, justru aku lebih suka menjajalkan jenjang kakiku kemana pun aku suka.
Bahkan sesekali sengaja berkunjung di lantai dasar cafè yang dekat dengan Agensi Detektif Bersenjata.
Sesekali aku bertemu Yuta-kun, atau barang kali Dazai-san. Tentu saja aku lebih senang kalau itu Kuro-senpai yang datang.
"Jadi Chuuya belum juga kembali?"
Aku merucutkan mulutku dan menggeleng sebagai jawaban.
"Padahal sebentar lagi kau melahirkan. Chuuya bisa jahat juga, ternyata...."
Aku tersenyum lembut. "Dia tidak jahat, kok. Aku mengerti bagaimana dia, jadi tidak masalah."
Senpai mengerjap-ngerjapkan maniknya beberapa kali. Lalu wanita itu tertawa geli seolah kata-kataku barusan lucu.
Memangnya ada yang lucu? Kau yang jahat, Senpai! Kau yang jahat kalau seperti ini!
"Maaf, maaf. Mendengar dari kohueiku yang polos ini mengatakan hal semacam itu, membuatku terkejut."
"Aku setuju denganmu!"
Kepalaku mengadah. Kudapati Dazai-san dan Yuta-kun menyembulkan kepala mereka dari balik sofa tempat Senpai duduk.
"Tapi aku juga setuju soal Chuuya yang kejam." Kata-kata barusan diucapkan oleh Yuta-kun dengan wajah datar khas Ibunya itu.
Siang itu, kuhabiskan waktuku dengan Senpai dan keluarganya dengan berbincang-bincang.
❄
Oh, sial. Aku tidak tahu akan diserang seperti ini. Lagi juga siapa mereka? Apa yang mereka inginkan?
Tidak mungkin ada seseorang yang memiliki dendam pada Chuuya-kun, apalagi sampai menyerangku seperti ini.
Sejauh ini sosok berjubah hitam di depanku, yang menutupi bahkan hampir seluruh wajahnya dengan topi aneh—tidak seperti ingin membunuhku.
Orang-orang ini, justru seperti... ingin membawaku.
Ketika mereka mengeluarkan sesuatu seperti bola ungu, aku segera bergerak mundur dan melindungi diriku dengan lingkaran api—menghalau gas agar tidak terhirup olehku.
Saat sosok lainnya melompat dan menyerangku dari belakang, kuhantam dia dengan petir putih. Lalu sosok itu langsung hangus terbakar sampai wajahnya tak bisa kukenali lagi.
Begitu aku sadar, sosok-sosok berjubah serba hitam dengan penutup kepala anehnya sudah mengelilingiku.
Aku terjebak.
Sial, jadi serangan-serangan tadi hanya untuk mengalihkanku dari ini?
"Ability : Alice in Wonderland—Alice Ichiban!"
"Senpai!"
"Kau tidak apa, [First Name]?"
Aku mengangguk pada Senpai yang sudah mengubah wujudnya itu. Aku tidak tahu pasti kenapa Senpai bisa berada di sini, tapi apa dia mengikutiku?
Pasalnya sekarang sudah sangat malam. Sudahlah yang terpenting aku selamat atas kedatangannya ini.
Begitu sosok-sosok itu mengeluarkan senjata dan menembakannya, aku membuat tameng dengan api dan petir yang mengelilingiku dan Senpai.
"Kau terus jaga aku seperti itu. Aku akan menyerang mereka."
"Ha'i!"
"Operasi 7-5, nomor 371 - 380!"
Tetiba sekelilingku, sebuah kotak yang terbuka menyembulkan sepuluh jenis senjata api yang berbeda dan mengacung ke arah luar lingkaran putih.
Begitu aku menghilangkan kemampuanku, Senpai menembakkan seluruh orang itu sampai tidak ada yang tersisa.
"Nomor 2 dan 3!"
Kali ini senpai mengeluarkan dua pistol dan langsung menembakkannya manual, mengarah ke sosok yang berlari di jauhan sana.
Tentu saja sebagai ahli penembak nomor satu, wanita itu tidak mungkin meleset.
Namun, saat Senpai mendekati sosok itu, justru orang itu sudah mati. Padahal Senpai hanya menembak kakinya dengan sengaja hanya untuk melumpuhkannya.
Dia berdecih dan menggaruk kepalanya frustasi.
Saat kulihat Senpai berbalik, aku hanya bisa melihat gambaran dirinya yang mulai kabur.
"[First Name]!"
❄
Aku terbangun dan mataku menatap sebuah cahaya putih di depanku. Cahaya yang amat menyilaukan.
Begitu aku sadar sepenuhnya, aku tahu kalau bukan berada di Port Mafia bukan pula berada di rumahku.
Tapi... tempat yang tidak kukenal.
"Kau sudah sadar, [First Name]!?" aku menoleh dan duduk, kudapati sosok seorang pemuda yang memberikan muka air khawatir. "Kau bisa mendengarku?! Bertahanlah!"
"Chuuya... -kun ...?"
Pemuda itu memelukku tiba-tiba. Pelukannya seolah berkata kalau dia sangat merindukanku, begitu lembut tapi kuat, begitu menghangatkan dan mengenang.
"Maaf, maafkan aku. Aku tidak bisa berada di sisimu selagi kau diserang seperti tadi. Maaf."
"Eh?"
"Kuro membawamu ke Agensi Detektif Bersenjata dan Dazai menghubungiku. Kedua orang itu juga sudah menceritakan semuanya."
"Soal apa?"
"Kau yang diserang dan siapa penyerangmu...."
Jadi itu alasannya Kuro-senpai tetiba datang tepat waktu? Karena dia tahu aku menjadi targetnya?
"Mereka masih tidak tahu pasti apa keinginan orang-orang itu mengincarmu, tapi yang pasti mereka harus memastikanmu aman," lanjut Chuuya-kun.
Kubalas pelukan pemuda itu, kuelus punggungnya yang begitu tegap agar ia lebih tenang.
Aku pun berkata, "sudahlah, lagi juga sudah berlalu, 'kan? Kau harus senang, karena hari ini kau akan benar-benar menjadi seorang Ayah."
Chuuya melepaskan pelukannya dan menatapku dengan bola mata kebiruannya itu.
Aku pula lebih mengembangkan senyumanku padanya. Kemudian, pemuda itu mengecup kelopak mataku lembut dan saling menyentuhkan dahi kami.
"Maaf kalau ini mengganggu waktu kalian, tapi... sudah waktunya."
"Senpai?!" kejutku. "Kau juga seorang dokter!?"
"Tentu saja."
Wanita itu menggunakan kemeja putih dan celana kulot biru mudanya. Dibalut pula dengan sneli putih yang panjang.
Sungguh, selama aku menjadi kohueinya, aku tidak tahu kalau Senpai juga seorang dokter sungguhan.
Aku pun segera berdiri seraya memegang perutku yang sudah membuncit dengan sebelah tanganku, sementara tanganku yang lainnya kugunakan untuk menopang tubuhku pada Chuuya-kun.
Tak jauh setelah keluar dari kantor Agensi Detektif Bersenjata, aku dibawa Senpai sampai menuju sebuah klinik sederhana milik seseorang.
Aku tahu pasti itu bukan milik Senpai, karena saat membaca papan namanya, disana tertulis "Sendagaya Clinic".
Apa mungkin Senpai hanya meminjam ruang bersalinnya?
"Untuk saat ini, kau harus ada di bawah pengawasan kami, makannya aku tidak membawamu ke rumah sakit."
Usai berkata begitu, Senpai membuka sebuah pintu putih dan mendapat sebuah ruang bersalin anak.
Aku segera berbaring pada sebuah kasur bersalin, kemudian berpegangan pada sebatang besi yang berada di sisinya.
"Chuuya... kalau kau tidak kuat, kau bisa keluar saja."
"Aku akan tetap di sini."
Senpai tersenyum penuh arti. Wanita itu menghela singkat dan mulai menusukkan jarum infus pada pergelangan tanganku.
"Obatnya akan bereaksi sekitar satu jam lagi, kalian bersabarlah."
Selesai memasangkan infus dan mengaturnya, Senpai keluar dan meninggalkanku dengan Chuuya-kun dalam ruangan ini.
Melihat senyumannya yang misterius tadi, sedikit banyak aku mengerti ia sangat memahami keadaanku.
Aku sangat berterimakasih dengan pengertiannya ini, sungguh.
"Jadi, bagaimana kau bisa langsung datang, Chuuya-kun?" tanyaku. "Bukan hanya karena tetiba Dazai-san menghubungimu, 'kan?"
"Aku tadi langsung pulang ke rumah, tapi kau tidak ada. Tepat saat itu Dazai menghubungiku."
Oh, jadi memang dia juga sudah pulang. Kupikir saat tugasnya belum selesai, aku jadi khawatir karenanya.
Ah, aku yakin pemuda ini sangat khawatir karena mengetahui aku belum kembali. Terlebih sekarang sudah jam malam.
"Aku akan disini... bersamamu," lanjutnya.
Sambil erat memegang tangannya, aku tersenyum untuknya.
Ia kemudian menciumku dalam-dalam, mengajakku dalam tarian waltz dan menjambah seluruh sela-sela di dalamnya.
Kurasakan sensasi lembut dan panas menjalari tubuhku. Selesai menciumku dengan penuh nafsu birahi itu, pemuda itu mencium perut buncitku.
Ia lalu berkata, "Otousan menunggumu, Malaikat Kecilku."
❄
Suara teriakan dari satu-satunya ruang persalinan itu mengisi keheningan klinik pada malam hari, tepat saat tengah malam.
Chuuya-kun terus menerus menggenggam tanganku yang sudah memerah dan bersimbah keringat, mengusap pucuk kepalaku dan menenangkanku dengan kata-katanya yang lembut agar aku lebih kuat.
"Kau harus bertahan, [First Name]!" ucap suamiku itu.
Sungguh, rasanya menyakitkan. Aku berteriak sekuat-kuatnya, kugenggam tangan suamiku itu sampai bisa kurasakan aku bahkan melukainya, kugenggam pula batang besi yang tepat berada di sisi kasur bersalinku.
"[First Name], sedikit lagi! Tinggal sedikit lagi!"
"[First Name], bertahanlah. Kau harus kuat!"
"Sakit... Chuuya-kun ...!!"
"Aku yakin kau bisa. Tinggal sedikit lagi!"
Aku selalu menunggu waktu ini. Selalu menunggunya.
Kini bukan hanya aku yang berjuang, tapi juga Chuuya-kun. Aku bisa merasakannya dari seberapa kuatnya pemuda itu menggenggamku.
"Aaargh!!"
Seketika ruangan ini disulut petir di sekitarku, memecahkan segala macam peralatan di sana.
Gawat, aku tidak bisa mengendalikan kemampuanku.
Saat aku melihat tangan Chuuya-kun yang menggenggamku, tangan itu mengeluarkan petir-petir kecil tapi amat mematikan.
Mataku menitihkan air mata. Merasakan bagaimana Chuuya-kun menahan semuanya.
Bukan hanya cakaran yang kuberikan, tapi juga petir yang menjalari tangannya. Pasalnya aku bahkan tidak merasakan sama sekali pemuda itu melonggarkan genggamannya.
"Aaargh!!"
Petir kembali menyulut satu ruangan ini. Bahkan beberapa benda di ruangan ini sampai ada yang mengeluarkan suara ledakan.
"Osamu-kun!" teriak Kuro-senpai
"Astaga, ruangan ini sampai hancur...."
"Sudah cepat lakukan, Gelandangan!" sambung Chuuya-kun.
"Berisik kau, Orang Bodoh!"
Dazai-san menghela singkat. Ia pun berjalan mendekati diriku, menyentuh dahiku dengan jarinya.
"Ability : No Longer Human!"
Petir sudah menghilang, semuanya menjadi lebih tenang. Tapi aku tetap tidak berhenti menggeram kesakitan.
Tanganku masih menggenggam batang besi dan tangan Chuuya itu dengan sangat kuat.
"Aku... tidak tega melihat [First Name] seperti ini," ucap Chuuya-kun.
"Sebagai seorang pria kau harus bisa bertahan, Chuuya," balas Senpai.
"Tapi...."
Kulihat raut khawatir menghiasi wajah tampannya. Tangannya masih senantiasa menggenggam tanganku erat.
"Masih belum... Senpai ...?" tanyaku terpotong-potong.
"Aku masih belum melihat kepalanya. Mungkin sedikit lagi, [First Name]."
Kurasan sebuah gejolak menyerangku. Sesuatu kurasakan ingin turun dari dalam perutku dan rasanya... sangat sakit. Lebih sakit dari sebelumnya.
Aku berteriak lebih kencang. Jauh lebih kencang.
"Aaaaarrrgh!!"
Chuuya menggigit bibir bawahnya. Semakin digenggamnya kuat kaitan di antara jemariku.
Pemuda bersurai senja itu kemudian berteriak, "aku mohon segeralah keluar, Malaikatku!!"
Tepat saat itu pula. Sebuah suara tangisan kecil tertangkap indra pendengaranku.
Tanpa sadar air mataku menetes. Suara yang sudah lama kuimpikan, suara yang sangat ingin kudengar dan Chuuya dengar.
"Tolong air hangat dan handuknya, Osamu-kun!"
"Haaa'i~"
Aku menarik nafas panjang dan tersenyum ketika melihat sosok yang kini sungguh menjadi seorang Ayah.
Pemuda bersurai senja itu pula tersenyum bahagia padaku. Dikecupnya keningku dan kelopak mataku. Tangannya yang menggenggamku bahkan belum sama sekali dilepasnya.
"Putri yang sehat," ucap Kuro-senpai seraya mendekat dan tersenyum padaku yang kini sudah terduduk di atas tempatku. "Ternyata dia mirip denganmu, [First Name]."
Usai berkata begitu, Kuro-senpai dan Dazai-san keluar ruangan. Meninggalkan kami dengan putri kecil kami.
Kugendong sosok lemah itu, kutatap wajah kecilnya dan kuusap lembut pipi serta hidung mungilnya.
Aku mengecupnya. Sungguh dia malaikat tercantik milikku, akhirnya aku memilikinya.
Kuberikan putri kecil kami—aku dan Chuuya-kun—pada sang Ayah. Chuuya-kun pun langsung ikut menciumnya setelah melepas topi fedora hitam yang sedari tadi digunakannya.
—oOo—
Extra Chapter 7 owari!! Akhirnya Chuuya jadi Otousan 😢😢😢 heuheuheu~ saia bahagia 😭
Dan saia baru merasa... baru amat sangat merasa... DAZAI DISINI TERNYATA NYEBELIN YAK 😂 SANTUY SEKALEH DYA~
Oke, gaes 🙂 mungkin disini ada yang tau induksi, nah Reader-tachi melahirkan entuh diinduksi 😄 sebagian kecil adegan di atas terinspirasi dari... emak, pas ngelahirin Kiting (alias, adek saia yang paling kecil) 😂😂🔫 terimakasih emak, Mikajeh sayang emak 😚😚😚 tapi bapak saia gak nemenin kek Chuuya, udah pingsan duluan 😂😂🔫 DASAR BAPAKE!! Oke abaikan~
Cause, saia gak punya model gimana anak Chuuya ama Reader-tachi, jadi saia ambilnya random (gak random juga sih) pokoknya gitu deh 😃 oke, saia beri keun profilnya~
Kanji : 中原 春香
Romanji : Nakahara Haruka
Gender : Female
Birthday : 6th June
Bloodtype : B
Likes : Hat, victorian and lolita Dress, Ozuki Kouyou, Elise, music, cake
Dislikes : Her father, her ability, unhappiness
Ability Name : Demons are Suing God (Kemampuan mengubah emosi dan perasaan sang pengguna menjadi kekuatan untuk melindungi dirinya)
P. S :
Kenapa saia bikinnya tim-tim gasuka sama bapak 😂😂🔫 ??? Poor buat para bapak-bapak di sini 😄 oke! Jadi, profil di atas daku ambil dari Chuuya (kebanyakan) sisanya imajinasi, kemampuan Haruka masih ada hubungannya sama kelahiran dan tanggal lahirnya, referensi nama kemampuan dari judul novel (tapi saia belom pernah baca 😃)
P. P. S :
Sebenernya gambar itu mungkin fanart dari Chuuya Nakahara Genderbend 😂😂🔫 soalnya pencarian saia pake keyword itu waktu nyari gambarnya 😄
Sekian dari saia, masih ada 1 extra chapter lagi kok :3 sabar yeu~ jangan lupa vote dan krisarnya yak di kolom komentar ...!!
Hope You All Like It!
Thanks!
—oOo—
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro