Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chuuya Side 7 : Different Side Of Me!

NAFASKU nyaris terdengar jelas kala menderu-deru berat. Namun, aku masih bisa mengendalikan keadaan ini.

Aku benar-benar tidak menyangka, seorang necromantist itu benar-benar nyata. Terlebih kami—aku dan [First Name]—harus melawannya.

Mungkin keadaannya akan bertambah buruk kalau aku tidak memiliki partner, beruntung sekali aku ini. Terlebih, keadaan kami lebih baik dari wanita gila itu.

Rahang wanita itu mengeras, rambutnya yang tadinya tertata rapi kini tampak tidak jelas, pakaiannya pun sudah terbakar dan sobek.

Wanita itu menerjangku, tapi aku langsung membalasnya dengan membungkukkan seluruh tubuhku tapi kepalaku mendongak menatapnya seraya menyeringai.

Sewaktu wanita itu semakin mendekat sembari mengayunkan pedangnya, [First Name] dari atasku memotong gerakannya.

Tepat saat gadis itu mengayunkan kakinya, sebuah mata pisau dari petir putih mengkilat melewati lehernya.

Dan dalam waktu yang singkat itu, wanita gila itu tidak dapat bergerak lagi. Mafiosi yang dibunuhnya kemudian menjadi mayat hidup untuknya pun tidak dapat bergerak.

Bahkan tuannya sama, seluruh tubuh mereka terkunci oleh petir—barang kali ada yang hangus terbakar.

Dengan kemampuan memanipulasi gravitas dan telekinesis milik [First Name], kami kumpulkan tubuh-tubuh utuh mayat hidup itu pun dengan yang sudah tercerai-berai di tengah lapangan hutan ini.

Setelah seluruhnya terkumpul dan tubuhnya terkunci, dari atas kepala mereka kulayangkan batu besar.

Kulirikkan ekor mataku pada [First Name] yang tengah menggenggam pengendali jarak jauh dengan satu tombol merah di ujungnya.

Begitu kuterjunkan batu besar itu sekuatnya, [First Name] menyusulnya dengan menekan tombol merah itu.

Sepersekian detik kemudian, sebuah jamur raksasa muncul di depan kami. Jamur berwarna merah sedikit oranye dengan ukurannya yang tidak terlalu besar, tapi cukup berbahaya.

Untung sekali aku langsung menarik [First Name] atau bisa-bisa kami terkena ledakan bom hidrogen buatan Ilmuan Gila Si Maniak Lemon itu.

"Nakahara-san! Otuskaresama deshita."

Aku menoleh pada [First Name] dan merekahkan senyumanku seperti biasa padanya, kemudian berucap, "um... otsukare. Mau makan dulu?"

Tanpa basa basi atau bicara panjang lebar, pun tanpa membuat alasan sampai berbusa-busa, aku sudah bisa mengajak gadis ini dengan mudah.

Ya, tidak kusangka akan secepat ini diriku akrab dengannya. Sudahlah, itu juga kemajuan yang baik untukku.

Sebelum aku mengatakan untuk menawarkannya pergi ke sebuah restoran, [First Name] lebih dulu memintaku untuk pergi ke cafe.

Karena tidak ingin menolaknya, akhirnya kuturti permintaannya. Sesuai yang ia tunjukan arahnya, berhentilah kami di tempat khusus parkir mobil.

Kalau dugaanku benar, ia sudah pernah ke sini tapi menunggu waktunya tepat. Entah apa maksudnya. Karena....

Tak lama setelah kami memesan, seorang pelayan membawakan seloyang kecil cheese cake yang dituang saus coklat.

Sebelum pelayan itu pergi, ia sempat berujar, "gratis untuk tamu yang datang dengan pasangannya."

Sebelum aku sempat menyangkalnya dengan sebelah alisku yang naik ke atas, pelayan itu sudah pergi lebih dulu.

Berkebalikan dari diriku, [First Name] malah tersenyum-senyum semangat—menatap cheese cake itu, bukan aku.

Setelah kumenatap [First Name] lamat-lamat dan gadis itu pun menatapku tidak sabaran, aku menghela nafas singkat seraya menggeser piringan kue itu.

Dengan gerakan yang cepat, ia sudah menggenggam sendok kue dan berniat memotongnya. Namun—

"Ekhm!"

—kegiatan itu terhenti kala aku berdehem meminta perhatian.

[First Name] terkekeh kecil seraya meminta maaf—mungkin, setengah niat—lalu mengucapkan, "ittadakimasu!"

Dan omong-omong, aku jadi terabaikan seperti ini. Padahal aku yang mengajaknya. Tapi melihatnya seperti itu, menyenangkan juga.

Apa dia menyukai makanan manis?

"Jadi... kenapa kau memilih tempat ini?" tanyaku penasaran.

Kalau boleh kukatakan sesuatu, setiap kali aku mengajaknya makan malam, akulah yang selalu memilih tempatnya.

[First Name] pun hanya mengikutiku tanpa menolak tempat itu semahal apa pun makanannya.

"Maafkan aku sebelumnya, Nakahara-san."

Eh?

"Sebenarnya aku hanya memanfaatkanmu saja. Karena ini perayaan tahunan cafe ini, jadi setiap pelanggan yang membawa pasangannya akan mendapatkan seloyang kecil cheese cake ini gratis."

Oh—Apa?! Jadi dia memanfaatkanku hanya untuk seloyang kecil kue itu? Kalau begitu, sekalian saja aku belikan ia gunungan kue yang ia inginkan atau bahkan dengan cafenya sekalian.

Eh, tapi tunggu! Tadi dia bilang "membawa pasangan", 'kan? Tadi pelayan itu juga bilang begitu, 'kan?

Kenapa aku malah jadi diam begini? Brengsek! Wajahku memanas! Aku menundukkan wajahku seraya menutupnya dengan sebelah punggung tanganku.

Kuharap gadis ini tidak melihat wajahku yang merona ini!

Aku harus mengatur degupan jantungku ini. Ini tidak baik, tidak sehat. Sungguh. Bahkan, aku sampai mengabaikan seorang pelayan yang membawakan secangkir kopi espresso yang kupesan.

"Nona, jika Anda bersedia memainkan Love Trial Game kami, Anda bisa memilih enam potong kue pilihan Anda sendiri. Apa Anda tertarik?"

Aku langsung menaikkan kepalaku dan menatap pelayan yang berdiri di antaraku dan [First Name].

Sialan, pelayan ini kenapa menawarkan hal seperti itu?! Sudah pasti—

"Iie, arigatou. Aku tidak akan memainkannya."

—menerimanya—?!

Aku beralih menatap [First Name] yang kini tersenyum pada pelayan yang tengah menatapnya pula.

Aku tidak menyangka. Padahal dia sudah memanfaatkanku dari awal, kenapa dia tidak melakukan hal yang sama?

Bukan maksudku, aku akan menolak memainkan permainan bodoh itu (ya, kalau boleh jujur, aku sendiri sebal karena mengingat permainan Si Brengsek Dazai itu). Hanya saja, rasanya....

"Begitu, ya? Sayang sekali, tapi kalau Anda berubah pikiran, bisa datang ke konter kami untuk daftar, karena pemainnya juga sudah banyak."

"Ah, arigatou!"

"Kalau begitu, silahkan dinikmati."

Usai mengatakan hal itu, pelayan tadi pergi meninggalkan kami berdua. Aku masih tidak percaya, padahal kalau [First Name] menerimanya, akan menjadi keuntungannya juga mendapatkan kue gratis.

Tapi melihat [First Name] tidak merasa kecewa itu, aku malah ingin bertanya soal alasannya ini.

Tapi apa tidak apa?

"[First Name], kenapa aku?" Oke, aku akan berbasa basi dulu. Pertama, akan kumulai dari alasannya memilihku untuk dibawanya ke sini.

"Kenapa, ya?" kulihat [First Name] sedikit berpikir. Sepotong kue dalam mulutnya sudah ia telan perlahan. Tak lama ia menjelaskan, "tadinya aku berniat mengajak Dazai-san, tapi kupikir dia sibuk dan tidak ada waktu. Jadi mungkin harus kukatakan, aku memilih Nakahara-san karena kebetulan."

Kebetulan... ya? Kebetulan yang sangat bagus sekali, sungguh. Aku mengakui itu. Jadi paling tidak, aku tahu kalau [First Name] menyukai makanan manis.

Aku kembali mendapatkan detail kecil tentangnya. Sedikit, tapi berharga.

"Lalu, kenapa kau menolak tawaran tadi? Kupikir kau menyukai makanan manis jadi tidak mungkin kau menolak tawaran itu, tapi—"

"Nakahara-san, arigatou." Tanpa kusadari, kata-kata itu sebenarnya terdengar sangat tulus, begitu lembut, bebar-benar dari dalam hatinya. "Aku sudah bersikap egois dengan memanfaatkanmu, tapi aku tidak ingin memanfaatkanmu lebih dari ini."

Kenapa dia yang berterimakasih padaku? Padahal aku juga memanfaatkan dirinya sebagai objek untuk memperbaiki diriku sendiri melaluinya?

Kenapa ia begitu—perasaannya, ya? Apa ini yang dimaksud perasaannya? Kenapa aku tidak bisa merasakan perasaan licik, dingin, dan semacamnya?

Justru... perasaannya hangat. Dia begitu polos, seolah benar-benar tidak tahu apa pun, tapi saat dia berdiri di sampingku, tatapannya begitu tajam dan dingin, sangat kejam dan tidak berperasaan.

Sangat berbeda.

Ah, aku memang harus bertemu dengan Yamada ini. Kalau pria itu tidak memberitahuku apa pun, aku harus kembali bertanya pada pemilik panti itu.

"[First Name]."

Aku berdiri dan menarik tangan [First Name]. Gadis itu pun yang kebingungan tetiba menahan tangannya seraya bertanya, "Nakahara-san, ada apa?"

"Kau mau memainkan permainan itu, 'kan?"

"Eh? Bukan itu maksudku... aku benar-benar tidak ingin melakukannya, kok," sanggahnya seraya tersenyum.

"Kalau begitu...." Aku berbalik dan menatapnya sembari tersenyum miring. Kemudian melanjutkan, "bagaimana kalau aku akan mengatakan 'aku ingin memainkannya denganmu', apa kau menolaknya?"

Entah bagaimana aku harus menjelaskan ini, tapi aku tidak ingin kehilangan pandangan tadi.

Pandangan yang kusuka.

Lembut, hangat, menyenangkan, dan tulus. Disaat seperti inilah, aku ingin selalu melihat pandangan itu selagi bisa.

[First Name] tidak menjawab, hanya bergeming. Wajahnya kulihat sedikit merona (mungkin karena ucapanku barusan).

"Dan aku tidak menerima penolakan."

"Eh! Chot—"

Setelah mengatakan satu kalimat itu, aku langsung menarik tangannya dan tidak memberikan waktu untuk membuatnya menyanggah ucapanku lagi.

Sesuai yang dikatakan pelayan tadi, aku pergi ke konter dan mendaftarkan nama kami sebagai pasangan yang mengikuti Love Trial Game ini.

Semoga keputusanku tepat.

Apa keputusanku tepat? Kuharap begitu. Dan yang benar saja! Pemainnya sampai sebanyak ini?

Ada sepuluh pasang, artinya total dua puluh orang—sepuluh pria dan sepuluh wanita—termasuk aku sendiri dan [First Name].

Setelah menanggalkan jas hitam panjangku dan memasukkannya ke dalam loker. Begitu pula dengan [First Name].

Kini aku bersandar pada tembok di depan loker khusus wanita, menunggu [First Name] tentunya.

Aku penasaran, kenapa aku bisa mengatakan hal tadi? Ya, walaupun sudah ada alasan itu, tapi rasanya tetap aneh.

Rasanya... aku sedikit berbeda.

"Maaf. Lama, ya?"

Aku mengadahkan kepalaku dan mendapati sesosok gadis berbalut kemeja putih dengan celana kulot hitamnya.

Gadis itu tersenyum saat kumenatapnya. Saat ia melangkah lebih dekat padaku, aku melihat sebuah kalung di tangannya.

"Kalung dari siapa?" tanyaku spontan.

"Eh?" [First Name] menaikkan tangannya dan melihat kalung itu, kemudian kembali padaku. "Ah, ini... etto, karena sudah berpartisipasi, jadi aku mendapatkannya."

Oh... bahkan saat permainan belum dimulai, kita sudah diberi hadiah pertama?

Saat aku tengah bergulat dalam pikiranku, tanpa sadar aku menatap [First Name] yang kesulitan mengaitkan kalungnya itu.

Aku melingkarkan tanganku tepat sampai belakang tubuhnya, kemudian membantunya mengaitkan kalung berbentuk semangi berdaun empat berwarna baby blue.

Begitu selesai, aku tersenyum miring sampai aku ingat sesuatu....

Astaga, posisi ini!

Seketika wajahku panas, sepertinya sudah merah. Kuharap [First Name] tidak menyadarinya.

"A-arigatou."

Aku memundurkan tubuhku dan menatap gadis itu. Jelas, ia menekukan kepalanya. Semburat kemerahan terlukis di pipinya.

"A-ayo, semuanya... sudah menunggu."

Aduh, kenapa aku malah jadi sulit untuk meliriknya? Ini benar-benar tidak bagus! Terlebih... degupan jantungku... berdebum keras.

Jadi, abaikan hal itu sekarang! Yang terjadi saat ini adalah kesepuluh pasangan sudah berkumpul di ruangan kaca khusus.

Aku tidak menyangka ternyata hampir dari lantai dasar sampai lantai empat bangunan ini adalah cafe. Tempat yang luas, tapi aku tidak terlalu terbayang bagaimana permainannya.

Ya, yang terpenting sekarang jalani saja dulu.

Omong-omong, setelah kuperhatikan, seluruh wanita di ruangan ini mengenakan kalung yang sama—hanya saja warnanya yang berbeda. Mungkin untuk membedakan setiap pemain.

Tak lama kami menunggu, seorang pegawai yang mengenakan pakaian bernuansa hati (atau, apa pun itu) berdiri tepat di depan kami.

"Love Trial Game akan dimulai!" serunya bersemangat. "Aturannya mudah: Ikuti petunjuk kemudian selesaikan tantangannya. Lalu kalian harus...."

Perasaanku tidak enak. Aku menatap sebal pria yang sedikit lebih tinggi dariku ini curiga. Memang tidak ada yang aneh, sebenarnya. Hanya saja menunggu kelanjutan kalimatnya itu yang mungkin membuatku tidak enak.

"... bergandengan tangan selama permainan berlangsung."

Sial! Sudah kuduga memang ada yang aneh. Lagi juga, kenapa harus bergandengan tangan? Aku bahkan... belum pernah bergandengan tangan pada—Ah, aku pernah. Kulirikkan ekor mataku menatap [First Name]. Dengan gadis ini, batinku. 

Saat bertugas soal menjatuhkan kapal induk, saat menarik tubuh mungilnya untuk mengalahkan lawan, pun saat aku menarik dirinya untuk berlindung dari serangan atau bom.

Hanya pada gadis ini, [First Name].

Ya, ini hal yang mudah. Aku hanya harus bersikap seperti biasa, seolah itu bukan masalah apapun. Aku pasti bisa!

"Pertama-tama, semua pemain mengikat kakinya masing-masing pasangan."

Dan selang beberapa detik kemudian, itulah yang terjadi. Pertama, kaki kiriku diikat bersamaan dengan kaki kanan [First Name] dengan tali merah. Begitu aku mengadah ke bawah, kulihat garis biru muda.

Oh, jadi aku hanya perlu mengikuti warna ini saja sampai ke permainan berikutnya?

Aku mengangkat sebelah tanganku, bermaksud agar [First Name] menggenggam tanganku seraya tersenyum miring. Gadis itu pun menerimanya sambil membalasnya dengan senyuman lebar.

"Nakahara-san, kuharap kau tidak memperlambat diriku, ne?"

Eh? Sialan! Mana mungkin aku selambat itu sampai gadis ini dengan santainya berujar begitu! "Tentu saja tidak akan!" balasku sedikit sarkas.

[First Name] tertawa kecil. "Ya, itu juga alasanmu saat Dazai-san memanggilmu siput, 'kan?"

Tepat sasaran! Memang benar kalau Si Bajingan Perban Gila itu memanggilku begitu karena itu. Tapi, hey! Aku tidak selamban itu. Benar-benar, otak anak ini sudah dipreteli habis oleh Dazai.

"Kau juga! Jangan sampai berjalan di belakangku apalagi merepotkanku!" balasku dengan seringaian jahil.

[First Name] mengembungkan bibinya sebal. "Tidak, kok."

Jujur, melihatnya seperti itu, aku suka. Bahkan tanpa kusadari aku tertawa kecil sambil tersenyum simpul.

Omong-omong, tangannya benar-benar kecil dan tampak lemah. Namun, tidak baik menilai orang lain seperti itu.

Lagi pula, aku mengenal gadis ini dengan baik. Sangat baik. Dan juga...

Tak lama kemudian, suara hitungan mundur dimulai dan diakhiri suara kecil tembakan yang tidak sampai memekakan telinga. Tanda permainan dimulai.

Tentu saja, dalam hitungan kurang dari satu menit kami berhasil mencapai stan pertama. Dan tantangan pertama adalah memakan kue ini. 

Karena melihat [First Name] bersemangat melihat kue itu, aku kembali menggeser piringan kue itu—memberikannya.

Saat kulihat [First Name] kesulitan memegang sendok kue itu, ia melirik tangan kami yang saling bergandengan.

"Nakahara-san, bisa kau—"

"Anda akan didiskualifikasi, lho."

Apa?! Jadi aku harus terus bergandengan tangan dengannya sampai permainan ini selesai? Apa-apaan ini?

... kenapa aku merasa nyaman seperti ini? Tanpa kusadar, sedari awal aku menggenggam tangan kecil ini dengan kuat—seolah tidak ingin melepaskannya.

[First Name] menghela nafas singkat dan terpaksa makan menggunakan tangan kirinya. "Ya, apa boleh buat, aku akan—"

Tapi sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, aku sudah lebih dulu mengambil sendok itu kemudian memotong kue itu dan langsung memasukkan kedalam mulut gadis itu.

Seketika, [First Name] bersidekap sementara aku tersenyum miring seraya bertopang dagu. Wajah terkejutnya itu benar-benar unik.

"Kalau begini tidak masalah, 'kan?" tanyaku.

"Iie, Nakahara-san, aku akan memakannya sendiri!"

Walaupun begitu, aku tetap tidak memberikan sendok kue itu padanya. Tidak apa kan kalau aku sedikit menggodanya seperti ini?

"Kau ini sungguh merepotkan, nanti selesainya lama, lho," godaku. Aku kembali memotong kecil kue itu dan menyodorkan sendoknya.

[First Name] membungkam mulutnya dan sedikit merucutkan bibir mungilnya. "kalau begitu... ittadakimasu."

Saat mulutnya sudah ingin menyerbu sendok penuh kue itu, aku justru menjauhkan sendoknya dan memberikan tatapan merendah seraya tersenyum miring pada [First Name].

"Ah, ayolah, [First Name]. Sudah kukatakan agar tidak merepotkanku, kalau begini kita akan kalah cepat, lho."

Gadis itu menggertakkan giginya, kemudian dalam sekali sergap ia berhasil memakan kue itu dengan cepat. Tentu saja permainan pertama ini berhasil kami lewati.

Setelah melepaskan ikatan pada kaki kami—aku dan [First Name]—pergi menuju tantangan berikutnya dengan mengikuti garis biru muda pada lantai.

Permainan berikutnya adalah mengambil balon yang digantung tinggi pada langit-langit ruangan. Sialan! Baik aku atau [First Name] tidak akan ada yang sampai sekali pun aku mengangkatnya dikedua bahuku.

"Ah, sepertinya tidak mungkin," sahut gadis di sampingku.

Kali ini aku setuju.

"Kalau saja Nakahara-san lebih tinggi, pasti bisa."

Kalimat itu terdengar sangat polos, pun sang empunya berucap tanpa menatapku. Sialan! Memangnya kalau aku pendek kenapa? Kau bahkan lebih pendek dariku, [First Name].

Bagaimana aku mengambilnya? Dengan kemampuanku? Itu jelas tidak mungkin, toh mana mungkin juga aku menggunakannya ditempat seramai ini. Ini terlalu mencolok, bisa-bisa orang akan heran karena melihat manusia terbang!

"Nakahara-san...."

Kini [First Name] berdiri tepat di hadapanku seraya menggenggam kedua tanganku dengan kedua tangannya. Gadis itu tersenyum penuh arti.

Oh, begitu, ya? Aku mengerti. Aku hanya perlu menariknya ke atas, membuatnya seolah terlempar dan menurunkannya kembali ketempat semula. Ini hal yang mudah.

Lalu saat di puncak, [First Name] akan menendang balon-balon itu atau lebih baik memecahkannya langsung.

Dan dalam sekali percobaan, kami berhasil menjatuhkan banyak balon. Bahkan para pegawai yang bertugas memantau dibuat terkejut karena ini.

Saat kutemukan sebuah balon berisi pesan, kupecahkan balon itu sampai mengeluarkan secarik kertas di dalamnya. Sebuah kertas putih bergambar hati.

Entah kenapa, rasanya ternyata menyenangkan juga.

Saat aku membaca tulisan di dalamnya dan saat [First Name] belum sempat untuk membacanya, aku menarik tubuh mungil gadis itu dan memeluknya.

Sekarang, tidak ada yang bisa kupikirkan lagi selain meneruskan permainan konyol ini dan menyelesaikan tantangan yang bahkan tak kalah konyolnya ini.

"Na-Nakahara-san!"

Setelah mendengar panggilan namaku itu, aku melepas pelukanku dan menatap [First Name]. Wajahnya memerah dan pandangan dialihkannya—jelas, tidak menatapku.

Ya, harus kukatakan dia memang terkejut. Tapi berkebalikan dari diriku, aku malah tersenyum.

"Pergi sekarang?" saat pertanyaan itu terucap, [First Name] menatapku—meminta penjelasan. "Tantangannya adalah berpelukan, karena sudah kulakukan, seharusnya sekarang kita bisa pergi, 'kan?"

"Ah, engg... iya."

Dengan begitu, permainan kedua selesai. Begitu seterusnya, permainan demi permainan kami selesaikan dengan baik, dengan kerja sama kami yang solid, pun dengan perasaan senang.

Aku pun semakin sering tertawa dan melihat senyuman lebar [First Name] yang kusuka. Itu artinya—

—keputusanku tidak salah.

Setelah permainan selesai dan kami—aku dan [First Name], tentunya—dinobatkan sebagai pemenang dalam game ini dan mendapatkan potongan kue pilihan [First Name].

Lalu, bersama dengannya, adalah pilihan terbaik dari seratus pilihan yang ada.











—oOo—

Chuuya Side 7 owari! Kali ini kubuat berbeda 😃 kenapa? Cause, Mikajeh inget dulu ada yang request bikin cerita ada Love Trial Game gini 😂

Tapi keknya, rangnya gainget 😏 dan kalo lo inget, maap keun Mikajeh kawan karena bikinnya gak sesuai yang lo pikir karena deadline terbatas 😫 oke, abaikan ini 😄

Vote dan krisarnya di kolom komentar, ya 😘😍😘😍

Thanks!
Hope You All Like It!

—oOo—

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro