Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chuuya Side 5 : Her Little Secret...

USAI membersihkan seluruh jejak tempatku bertugas, kini kubiarkan [First Name] berada di punggungku. Aku terus melangkahkan kakiku menuju mobil yang seharusnya tidak jauh dari sini, sebetulnya bisa saja aku langsung melesat cepat menuju kantor. Namun, tidak mungkin juga kutinggalkan mobil itu dipinggir jalan terlalu lama (yang ada bisa-bisa mobil patroli menariknya).

Aku mengadahkan kepalaku, menatap langit yang mulai menghitam. Samar-samar lembut kurasakan angin dingin berhembus menyisir lembut kulitku. Aku terkejut begitu mendengar suara bersin kecil yang jelas bukan berasal dariku, tapi dari balikku.

Dia sudah bangun? pikirku.

Kutolekan sedikit kepalaku kebelakang, tepat dimana gadis itu membenamkan kepalanya di bahuku. Sekilas, aku melihat manik [eyes color] yang sedikit sayu, mungkin tengah mengira-ngira keadaan dirinya saat ini.

Angin sekali lagi bertiup membawa hembusan dinginnya. Bisa kurasakan gadis itu menggigil, tangannya yang melingkari leherku ia eratkan—entah dalam keadaan sudah sangat sadar atau tidak—pun kepalanya kembali ia benamkan.

Hening.

Sesaat, hanya terdengar suara ombak yang membentur bebatuan sampai menimbulkan suara yang cukup keras sampai kurasakan tangan gadis itu berpindah, tepatnya diletakkan di atas bahuku dengan mengeratnya.

Untung saja aku tidak tetiba terkejut karena ia refleks bergerak seperti itu, bisa-bisa anak ini malah terjatuh—barang kali aku juga ikut terjatuh karena gerakannya yang mendadak. Aku memutar leherku, menatap gadis itu kemudian bertanya, "sudah sadar?"

Hening lagi. Sebenarnya ini pertanyaan paling aneh, tapi aku tetap menanyakannya. Padahal sudah jelas aku melihat gadis itu menatap mataku dengan wajahnya yang sedikit memerah—mungkin kedinginan atau sejenisnya, flu barang kali.

"Arigatou... Nakahara-san." Oh, kukira ia benar-benar belum sadar sepenuhnya. Sepertinya tidak ada masalah melihat dirinya yang seperti itu. Ia melanjutkan, "bisa turunkan aku sekarang?"

Aku diam sesaat. Dia yang mendapatkan luka paling parah, tubuhnya digerakkan tanpa keinginannya, mungkin kakinya juga tadi sempat terkilir tanpa ia sadari sebelumnya. Ia bahkan sempat seperti terkena serangan mental sampai-sampai kulihat saat itu ia tampak shock.

"Nakahara-san…."

Aku memotongnya sebelum ia kembali meminta, "apa kau benar-benar bisa berjalan saat ini? Kakimu terkilir, mungkin saat itu kau tidak merasakannya karena efek pengendalian itu."

Sekilas, kudengar [First Name] meringis. Sebelumnya, juga kulihat ia menggerakkan sedikit kakinya. Jadi kakinya benar-benar terkilir?

"Maaf."

Tanpa sadar, kata-kata itu meluncur dengan mulusnya dari mulutku bukan darinya. Tapi aku tidak peduli, padahal aku atasannya dan seharusnya aku bisa lebih percaya juga bekerja sama dengannya.

Namun, karena keegoisanku itu yang membahayakannya. Apa tidak apa kalau dia tetap bersamaku seperti ini, bekerja denganku begitu?

Tapi aku harus mengatakannya!

"Maafkan aku karena tidak percaya padamu."

Tunggu, kalau aku memisahkan diriku darinya, bisa jadi itu kesempatan Si Perban Terkutuk itu untuk membawanya ke pemerintah... barang kali ikut membuatnya membelot dari mafia.

Tidak, aku tidak akan membiarkannya. Bagaimana pun juga, bos mempercayakan dirinya padaku.

Jadi, paling tidak saat ini aku harus tahu soal dirinya. Itu akan membuatku lebih bisa untuk membuatnya bekerja sama denganku lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Lagi pula kemampuannya bisa disetarakan denganku, jadi itu pasti hal yang mudah.

Selama bergulat dengan argumentasiku, tetiba rasa hangat menyusup masuk—asalnya dari belakang.

Aku kembali memutar leherku kebelakang, kulihat cahaya orange menyinari tato pada pergelangan gadis itu.

Mataku menatap nanar tangannya, semuanya hitam. Hampir seluruh tangannya dihiasi tato—yang kuakui, bentuknya cukup bagus—Apa itu artinya akar kemampuannya semakin menyatu dengannya?

Begitu kulihat bola mata bulat membuka perlahan, aku bertanya penasaran padanya, "apa yang kau lakukan?"

"Pelindung. Nakahara-san memberikanku jasnya, padahal aku sudah mengenakan jaketku. Memangnya Nakahara-san tidak merasa dingin?"

"Tadinya," jawabku jujur. "Tapi sekarang tidak lagi."

Gadis itu tersenyum! Sial! Seketika aku bungkam, tidak tahu harus menanggapinya seperti apa. Bahkan kata terima kasih tidak terucap dari ujung bibirku.

Aku membuang wajahku, menatap jalan di depanku. Kuharap dia tidak melihat wajahku yang bisa kurasakan mulai memerah.

Sial! ini benar-benar memalukan. Kuharap Tisu Toilet itu tidak sedang melihat hal ini, bisa-bisa kalau nantinya aku bertemu dengannya dia akan puas mengejekku.

Kurasakan [First Name] mulai bergerak. Tangannya dia naikkan ke atas langit, tapi itu tidak bisa menarik perhatianku lantaran darah pada wajahku yang kini memanas.

Tapi tidak mungkin keheningan seperti ini yang terjadi, jadi aku mencoba menyahutinya, "sekarang apa yang—"

"Nakahara-san! Salju... ini salju pertama di Yokohama!"

Aku terkejut begitu kutolehkan pandanganku. Wajahnya sangat dekat! Bahkan aku sampai mengabaikan tangan yang ia ulurkan padaku hanya karena menatap wajahnya yang begitu dekat padaku.

Oi! Dan lagi... memangnya dia tidak—maksudku, itu—ah! Aku harus mengatakannya bagaimana?! Pokoknya, seorang gadis menempelkan dadanya di punggungku!

Sial! Aku bungkam lagi. Aku bahkan sampai tidak bisa berpikir selain berdiam diri kemudian membuang wajahku—kembali menatap pemandangan di depanku.

Menganggap seolah hal ini tidak terjadi dan aku tidak merasakan apapun di belakangku! Habis perkara.

Jadi ini akhir dari ucapanku? Sial! Aku yang pertama membuka percakapan ini dan aku juga yang pertama kali dibalas seperti itu langsung bungkam!

"La-lalu kenapa kalau salju pertama?" tanyaku tanpa menoleh padanya.

Brengsek! umpatku. Kenapa aku malah gugup?

Kurasakan ia mulai sebal denganku karena merasa terabaikan. Oi! Bukan itu maksudku, aku bukannya tidak peduli, tapi—gezz—mau bagaimana lagi? Ini pertama kalinya bagiku berbicara sedekat ini dengan seorang gadis!

Terlebih dia lebih muda dariku.

[First Name] kembali memundurkan tubuhnya seraya meletakkan kedua tangannya kembali. Oh, akhirnya aku bisa kembali bernafas!

Aku menarik nafasku perlahan dan menghembuskannya, mengatur denyut jantungku yang sedari tadi berdebum tidak karuan. Sebenarnya, walaupun aku respek pada orang lain, tapi sebetulnya aku tidak bisa memikirkan bagaimana membangun hubungan saling menghormati. 

Makannya, kalau boleh jujur, ini sangat sulit bahkan dengan [First Name] sendiri yang mendapat cap bekerja langsung di bawahku.

"Nakahara-san tidak pernah mendengar pepatah 'jika menyampaikan perasaan pada orang yang disukai saat turun salju pertama , maka perasaan tersebut akan terbalaskan', ya?"

Sebetulnya, ya. Aku tidak pernah mendengarnya. Tapi sepertinya anak ini benar-benar percaya dengan hal itu, makannya aku sebaiknya menyimak ucapannya saja.

Lagi pula, bisa saja aku mengucapkan kata-kata menyakitkan untuknya. Saat ini, berdiam diri lebih baik.

"Kalau di Korea, saat salju pertama turun mereka punya kebiasaan untuk mengucapkan permohonan dan permohonan itu akan cepat dikabulkan. Makannya salju pertama sangat penting."

Ah, aku kagum dengannya yang bahkan mengetahui hal itu. Paling tidak daripada mengungkapkan perasaan, sepertinya permohonan yang cepat dikabulkan lebih baik.

Mungkin aku akan meminta permohonan agar bisa berkomunikasi dengan orang lain dengan baik tanpa menimbulkan kesalahpahaman.

Dalam keheningan ini, aku bertanya tanpa sadar, "apa permohonanmu?"

"Kebahagiaan."

❄ 

Ini yang sedari tadi membuatku penasaran, [First Name] berbicara panjang-lebar padahal aku seperti orang tidak peduli.

Ya, walaupun boleh kukatakan aku mendengarkannya, tapi sepertinya ia tidak terganggu sama sekali.

Entah kenapa, rasanya senang juga mendengarnya begitu terbuka untuk menceritakan banyak hal.

Aku menurunkan [First Name] di dekat pintu kursi samping sopir, selepasnya ia masuk.

Aku memutari mobilku dan menduduki kursi kemudi. Setelah menutup pintu dan memasang seat belt dengan sempurna, kutolehkan tatapanku ke arah [First Name] yang menatap ke luar jendela di sebelah kanannya.

Sekali lagi, kulirik tangannya yang hampir penuh dengan tato. Apa dia tidak berencana menutupinya? batinku.

"Bagaimana dengan tanganmu?"

"Eh?"

Aku menunjuk ke arah kedua tangannya. Sepertinya, dia sendiri tidak sadar kalau kemampuannya semakin tertanam dan mengeratkan akarnya pada dirinya—dilihat dari bagaimana dia membalas responku dengan cukup lama—[First Name] membolak balik tangannya, bahkan aku semakin terkejut kala benar-benar nyaris penuh tato seperti itu.

"Mungkin aku akan menggunakan sarung tangan, lagi pula sudah dingin, jadi tidak akan ada yang curiga."

Sarung tangan, ya?

Kalau di pikir-pikir memang kebetulan lagi musim dingin, pasti kalau dia menggunakannya tidak akan ada yang curiga. Kalau boleh jujur, tato itu benar-benar terlihat mencolok walaupun sebetulnya terukir dengan indah.

Tapi soal itu, sepertinya aku bisa melakukannya. Aku melepaskan sarung tangan hitam yang kukenakan, kupikir ukurannya pasti akan pas dengannya. Dan aku harus mengatakan sesuatu lagi padanya....

"Pakailah."

Begitu [First Name] menoleh, aku melemparkan sarung tangan itu dan tepat ditangkapnya. Untuk sesaat, aku melihat pandangannya yang sedikit kebingungan. Tentu saja aku segera menjelaskannya dengan singkat, "ucapan maafku."

ralat, tapi sangat singkat.

[First Name] tersenyum seraya mengucapkan terima kasih. Tak lama, aku menarik rem tangan dan mulai melajukan mobilku.

Sesekali aku melirik gadis itu yang tengah mengenakan sarung tangan hitam dariku. Woah, aku tidak menyangka justru terlihat lebih pas ditangannya.

Aku kembali menoleh ke depan, memperhatikan jalan yang kulihat mulai ramai di lalu lalang orang.

Mungkin karena salju pertama turun, mereka semua keluar untuk menikmatinya.

Tanpa sadar, aku menatap semua orang berjalan-jalan santai dengan pasangannya masing-masing.

Eh, kalau dipikir-pikir bukankah aku juga memang hanya sedang berdua saja dengan—seorang gadis, rekan kerjaku, [First Name]—apa sebaiknya aku sesekali mengundangnya pergi, ya? Maksudku, sebagai kata terima kasihku untuk kerja kerasnya. Saat kutolehkan pandanganku, kulihat gadis itu sudah memejamkan matanya dengan tudung jaketnya.

Wajahnya yang tampak luwes itu sedikit banyak menarik perhatianku. Aku tersenyum melihatnya yang tersenyum dalam tidurnya, aku tahu dia sudah bekerja keras. Kini giliranku yang harus bekerja keras.

Lagi pula, aku sudah mengatakan apa yang ingin kukatakan. Ucapan maafku. Mungkin ini tidak cukup, tapi aku ingin mengatakannya sebelum aku lebih menyesalinya.

"Oyasumi, [First Name]."

Jadi, keesokan harinya aku mulai mengumpulkan banyak informasi soal [First Name].

Pertama, soal kematian orang tuanya karena kecelakaan. Kemudian [First Name] dititipkan di panti asuhan karena tidak memiliki kerabat dekat di sini. Terakhir, setahun setelah menetap di panti suhan, seorang pria mengadopsinya.

Ya, aku tidak heran dengan orang ini. Tidak lain Sang Pembunuh Profesional yang akan bekerja sama dengan Port Mafia, Viktor Yamada.

Namun, setelah tiga tahun kemudian, ia kembali ke panti asuhannya. Mungkin dari sini, aku akan bertanya langsung pada pemilik panti saja.

Jadi, sekarang ini aku tengah berjalan sendiri menuju panti dengan penuh pengawasan. Aku tidak ingin ada orang yang tahu kedatanganku ke sana, terlebih lagi Dazai. Aku yakin dia akan mulai membicarakan hal-hal aneh yang tidak ingin kubahas.

Setelah aku sampai di panti itu, aku meminta mereka untuk bertemu dengan pemilik panti. Dan kini aku dihadapkan oleh seorang pria yang kira-kira umurnya hampir dua kali lipat umurku.

Setelah seorang biarawati menyuguhkan segelas teh hangat, aku mulai meminumnya sembari menunggu pria itu menjawab pertanyaanku.

"Aku ingat pria itu. Sekitar setahun setelah [Eirst Name]-chan di panti, pria itu mengadopsinya. Terlebih dia mengetahui soal kemampuan anak itu."

Apa? "Orang di panti ini tahu dia pemilik kemampuan khusus?"

"Hanya aku dan ketua biarawati yang tahu."

Woah, aku terkejut mereka mau menerima anak-anak pemilik kemampuan khusus. Tidak biasanya seperti itu.

Aku pernah dengar seorang bocah laki-laki yang diusir dari pantinya karena dia memiliki kemampuan khusus, terlebih bocah itu disiksa hanya untuk menekan kemampuannya sebelum pada akhirnya dia di usir.

Pria tua di hadapanku kemudian melanjutkan, "karena itu aku sedikit takut menerima [First Name]-chan untuk di adopsinya, tapi anak itu sudah lebih dulu mendengar kabar ini dan memaksaku untuk mengizinkannya."

"Apa mungkin dia tahu kalau suatu saat kemampuannya itu akan membahayakan orang-orang di sekitarnya?"

"Mungkin saja." Sekali lagi aku menyeruput teh panas ini, sementara pria tua di hadapanku meletakkan gelas tehnya kemudian melanjutkan, "dia anak yang tergolong jenius, tahu apa yang dilakukannya dan risikonya, jujur pula dengan ucapannya. Jadi akhirnya aku menyetujui anak itu untuk di adopsi."

Kalau boleh jujur, [First Name] memang seperti itu. Bahkan aku sampai-sampai sedikit takut dengannya. Dan soal dirinya yang jujur, itu artinya ucapannya padaku dan perlakuannya itu tulus?

Apa ucapan baik, perhatian, dan peflakuan menyenangkannya itu benar-benar tulus darinya? Maksudku, bukan karena dia merasa harus melakukan itu kala aku atasannya?

"Kudengar dia sempat kembali setelah tiga tahun kemudian," ucapku kemudian.

"Ah, itu benar. [First Name]-chan kembali dan menjamin semua dana yang dibutuhkan panti dan aku tahu dia juga bekerja saat itu, bahkan sekarang. Walaupun ia tidak pernah memberitahunya."

Tentu saja siapa yang ingin mengatakan seandainya kau di adopsi oleh seorang pembunuh profesional, diajarkan teknik dasar membunuh sampai menjadi seorang pembunuh profesional, lalu sekarang bekerja di Port Mafia dan sebentar lagi akan menjadi eksekutif kelima kurang dari satu bulan?

"Kalau aku boleh bertanya...." Pemilik panti itu menatapku seraya tersenyum, senyum yang entah bagaimana aku harus menjelaskannya, sampai akhirnya ia melontarkan pertanyaannya, "apa kau pacarnya? Kau terlihat mengkhawatirkannya sekali."

Apa?! Memangnya aku terlihat sekali kalau mengkhawatirkan anak itu? Lalu, apa maksudnya dengan pacar?! Oi, dengarkan aku Pak Tua! Aku tidak memiliki perasaan sejenis itu dan aku bahkan belum pernah mencoba memiliki hubungan seperti itu dengan seorang wanita.

Dan lagi itu dengan [First Name]. Oke, bukan berarti aku benar-benar tidak memiliki perasaan itu, tapi aku belum pernah merasakannya.

"Aku hanya atasannya saja. [First Name] itu sedikit berbahaya, benar-benar tidak kenal risiko."

Pria tua itu mendengus seraya mengangguk setuju. "Begitulah dia."

Setelah mendengar ucapan itu, aku menunduk mohon undur diri. Untuk sesaat, aku dipandu sampai keluar dari panti oleh pemilik panti itu.

Mungkin ini yang disebut kesopanan untuk menghargai tamu, tapi aku tidak terlalu mempermasalahkannya kalau pun dia tidak mengantarkanku juga.

Sebelum aku meninggalkan panti, aku berpesan, "Kalau [First Name] datang, jangan katakan kalau ada orang yang menanyakan soal dirinya."

Tenang saja," ucap pria itu tersenyum ramah. "Dan satu lagi...."

Aku terkesiap, mendengar pria tua ini sesaat menghentikan ucapannya. Kemudian melanjutkan seraya tersenyum....

"Kelemahannya... perasaannya sendiri." 

Informasi ini sudah kukonfirmasikan, sisanya aku hanya harus menanyakannya langsung pada si Yamada ini. Ah, dan kebetulan sekali aku yang akan mengurus surat perjanjian kerja samanya dengan Port Mafia, jadi ini perkara mudah.

Lalu, soal pesan terakhir dari pemilik panti sebelum berpisah padaku.

Perasaannya sendiri... ya?

Memang sebagai seorang pembunuh paling tidak pastinya memiliki kesan yang dingin dan tak berperasaan, tapi melihat [First Name] sangat respek pada mafiosi terlebih dia memiliki seorang sahabat, aku jadi penasaran.

Lalu, apa maksudnya perasaannya itu?

Selagi aku berjalan di tengah kota, sebuah suara yang amat tidak kusuka, sebuah suara yang bahkan sangat tidak ingin kudengar, dan suara yang sangat menyebalkan—menyapa indra pendengaranku.

"Hay, pendek!" Sialan! Orang gila ini seenaknya merangkulku dari belakang. Menyebalkan! "Ohisashiburi~!"

Dengan kecepatan yang kuakui cukup mengagumkan, aku melakukan tendangan yang langsung mengenai kepala dan berputar seratus delapan puluh derajat.

Tapi, brengseknya, Bajingan Gila ini bisa menghindarinya dengan mudah—caranya membungkukkan tubuhnya kebelakang gampir sembilan puluh derajat.

Ini menyebalkan!

"Ah, kukira ada orang yang benar-benar ingin menyerahkan nyawanya padaku," sahutku menyeringai padanya. "Dan ternyata orang itu benar-benar ingin menyerahkannya. Bukan begitu, Dazai?"

"Jijik! Menjijikkan! Aku tidak akan bahagia jika dibunuh olehmu."

Aku berjalan pongah ke arahnya. Kedua tangan yang kusembunyikan dari balik jas yang kusampirkan, kumasukkan dalam saku celana bahan berwarna hitam milikku.

"Aku suka reaksimu, jadi semakin ingin rasanya aku mencekikmu," sahutku masih menyeringai. Dagu yang kunaikan, sedikit menunjukkan sikap aroganku yang tinggi ini.

Hening sesaat. Aku menatap pria perban yang super brengsek ini dengan sangat sengit. Kuulangi, sangat sengit!

"Kau sama sekali tidak berubah, Chuuya," sahut Si Brengsek ini.

"HAH?!" Sialan! ini membuat darahku naik dan memanas sampai ubun-ubun! "Apa maksudnya itu?!"

"Dagu yang kau naikan itu, aku tahu kau pendek tapi tidak perlu sampai seperti itu." Apa—Ah, sialan! semakin ingin cepat kubunuh Si Perban Terkutuk ini—Dan kata-katanya itu, benar-benar menyebalkan! "Dan dari mana kau dapatkan topi memalukan itu, padahal memakainya atau tidak kau tetap pendek."

"Bicara semaumu saja, gelandangan!" Aku semakin menatapnya sengit. Ya, aku tahu kau tinggi! Atau lebih tepatnya kau yang terlalu tinggi, bukan aku yang kependekan. Dasar Bajingan Gila! "Aku yakin kau juga masih berbicara soal bunuh diri di usia muda, bukan?"

"Ya."

Paling tidak pura-puralah menyangkalnya, Bodoh! pikirku.

Sepertinya waktu yang kuhabiskan dengan anak ini jadi terbuang percuma, tapi aku harus bisa juga menggali informasi darinya. Mulai alasannya mendekati [First Name] dan tujuannya yang sebenenarnya.

Brengsek! Ini jadi benar-benar merepotkan hanya karena aku bertemu dengannya.

"Tapi mungkin...." Gulungan Tisu Toilet itu tersenyum, kemudian melanjutkan, "Aku akan sangat bahagia kalau bisa bunuh diri ganda yang romantis dengan [First Name]-chan."

Apa? Aku tersenyum dan menatapnya penuh kilatan dengan hawa membunuh.

"Apa rencanamu?" 



























—oOo—

Chuuya Side 5 Owari! Hohoho~ Dazai keluar lagi :v Seketika Mikajeh sadar '-' kalo di cerita ue gak ada Dazai itu hampa rasanya :'3 No Dazai, No Life X'D

Udah, ya. Gini aja 😆 udah baca juga, 'kan? Vote dan komennya jangan lupa 😍 krisarnya kutunggu di kolom komentar, yeu—!

Thanks!

Hope You All Like It!

—oOo—

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro