Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chuuya Side 10 : Gift! (German)

"AKU sudah menyelesaikan tantangannya."

Aku tersenyum penuh kemenangan seraya menaikkan daguku. Ya, tantangan pertama permainan bodoh ini, aku yang memenangkannya.

Tapi, kenapa Dazai Si Brengsek ini tetap santai? "Eh~! Aku tidak yakin itu."

Sialan! Kata-kata licik seperti apa lagi yang ingin dia ungkapkan? Apa dia ingin memojokanku? Dasar bajingan!

"Seharusnya kau tahu, Chuuya. Yang kemarin itu termasuk kalau aku berkencan dengannya."

Sudah kuduga seperti ini. Perkataannya memang masuk akal. Tunggu! Apa itu artinya dalam hitungan lamanya, Dazai-lah yang lebih dulu memenangkan tantangan pertama ini?

Sialan, aku sudah dipermainkannya! Aku tidak peduli, tantangan kedua akulah yang akan menentukan peraturannya.

Namun, apa aku harus berterima kasih padanya, maksudku, Dazai? Memang kalau bukan karena permainan konyol ini, aku dan [First Name] tidak akan sedekat ini.

"Terserah kau saja. Kalau begitu, tantangan kedua aku yang akan menentukannya," sahutku tersenyum miring.

Untuk sesaat, hawa dingin yang mendesir lembut kulitku tidak terasa. Panas matahari lah yang menusuk walaupun aku tepat duduk diawah meja bertenda ini dengan Dazai.

Dan juga, suasananya terasa mencengkam seperti ini karena kini aku saling berpandangan sengit dengan Si Maniak Bunuh Diri ini.

Aku sudah memutuskan tantangan ini. Pun aku yakin, aku akan memenangkannya! "Tantangan kedua, memberikan hadiah untuk [First Name]."

Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kenapa aku bisa memikirkan tantangan seperti itu?! Padahal, aku sendiri saja tidak tahu akan memberikan gadis itu apa.

Apa? Kalung? Cincin? Syal? Tidak, option ketiga itu paling tidak mungkin. Cih, bahkan mendengar soal syal saja membuat dadaku sakit.

"Nakahara-san, apa kau sedang tidak enak?"

"Hah?" Aku memiringkan kepalaku tidak mengerti. "Apa maksudmu?"

"Etto, wajahmu menyeramkan. Apa kau sedang memikirkan sesuatu?"

Tepat sasaran! Ya, aku memang sedang memikirkan sesuatu. Tentang "hadiah apa yang harus kuberikan padamu?" itu.

Aku menopangkan daguku dengan sebelah tanganku yang berbalut sarung tangan hitam, sementara sebelah tanganku yang lain memegang gelas wine merah yang terisi setengah.

Kutatap bayanganku yang memantul dalam pantulan cairan merah dalan gelas itu. Apa aku memberikan wajah menyeramkan, ya?

"Mau kubuatkan teh lavender untuk menenangkan dirimu?"

Aku menurunkan gelasku kemudian bersandar pada penyandar sofa merah di belakangku.

Kuhelakan nafasku singkat lalu membalas, "tidak perlu. Arigatou."

"Bagaimana dengan ini? Teh ini baru datang ke Port Mafia."

Aku mengadahkan kepalaku menatap pustakawan yang cukup tua ini. Setelah meletakkan nampan berisi seteko teh dan tiga gelas di atasnya, ia mulai mengisinya.

"Ah, terlihat enak."

"Nona, tolong dinikmati dengan baik, ya."

"Oh, ayolah, Suzui-san. Jangan seperti itu. Kau tahu dengan baik, kalau aku ini sangat menghargai sebuah pemberian yang tidak kubayar, bukan?"

Eh—! Tidak kusangka [First Name] benar-benar mudah untuk akrab dengan semua orang, bahkan dengan pustakawan disini.

Tungguh, sepertinya kalimat barusan sedikit janggal. Menghargai sebuah pemberian yang tidak dibayar... ya?

Apa artinya selama ia diberikan sesuatu secara gratis, ia akan senang begitu saja? Eh, kalau dipikir-pikir itu benar juga.

Toh, waktu itu saja ia sampai memanfaatkanku hanya untuk seloyang cheese cake.

Apa hadiah yang kuberikan pada [First Name] sebaiknya tiket bebas tanpa syarat* saja?

Tapi, bagaimana mengatakannya, ya? Kalau kukatakan, "[First Name], aku akan memberikanmu satu tiket bebas tanpa syarat khusus hari ini." Rasanya terlalu jujur.

Selagi aku memikirkan kalimat yang pas untuk kukatakan, tetiba aroma yang menyeruak memasuki indra penciumanku.

Aroma yang manis dan begitu harum. Mungkin seperti, bunga lily?

"Aromanya nikmat. Teh apa ini?" tanya [First Name] seraya membaui gelas tehnya yang mengepul.

"Bunga lily."

Cih, ternyata penciumanku tidak salah. Aku tidak heran, wanginya yang khas dan sangat menyengat itu—tentu saja aku tahu.

Tapi kenapa wajah [First Name] terlihat aneh? Aku tahu, memang ada yang aneh dengannya. Tapi, apa?

Sebaiknya akan kutanyakan nanti. Aku menghela nafas singkat seraya melepaskan kedua sarung tanganku.

Saat aku mengangkat gelas tehku, tidak sengaja mataku bertatapan dengan manik [eyes color] [First Name].

Eh, apa dia sedang menatapku?

"Ada apa?" tanyaku spontan.

[First Name] bersidekap dan membuang wajahnya yang sedikit kemerahan. "I-Iie."

Dia memang aneh, batinku. Atau, ada yang aneh denganku?

Aku menaikkan kedua bahku tidak mengerti. Kuangkat kembali gelas tehku dan mencium aroma tehnya, benar-benar aroma yang khas dan menyengat.

Saat ujung bibirku menyentuh bibir gelas, tetiba saja [First Name] menerjangku. Bukan hanya aku, bahkan pustakawan yang berada di antara kami pun ikut diterjangnya.

Gadis itu menghempaskan gelas yang kami gunakan untuk minum sampai terpental cukup jauh dan pecah.

Ada apa dengannya? Kenapa dia sangat aneh? Pandangan matanya terlihat marah, sangat curiga. Alisnya saling bertautan dan rahangnya pun mengeras.

"Nona, apa yang—"

"Racun."

Seketika pustakawan itu ikut berdiri, berniat membentak marah [First Name]. Namun, ia bungkam seketika ketika gadis itu mengeluarkan satu kata yang tidak kumengerti.

Aku berdiri dan ikut bertanya tidak paham seraya memiringkan sedikit kepalaku, "apa maksudmu?"

"Teh itu... beracun."

Apa? Tidak mungkin! Bagaimana bisa—aromanya! Jangan-jangan karena itu [First Name] tetiba langsung terdiam.

Tapi kenapa sebelumnya ia tidak mengatakan apapun dan hanya berdiam diri saja, sebelum akhirnya aku—atau, pustakawan itu—meminumnya?

"Kenapa kau tidak mengatakannya?"

[First Name] melirik ke arahku dengan pandangan geram. Sepertinya anak ini memang mengetahui sesuatu, dilihat dari matanya itu.

Ia kemudian menjelaskan, "Lily of The Valley, bunga lily yang memiliki racun convallatoxin. Kalau kita mengkonsumsinya berlebihan, denyut jantung akan melemah kemudian mati."

"Lalu, kenapa kau tidak mengatakan itu dari awal sebelum kami tadinya nyaris meminumnya?"

"Karena kupikir...." [First Name] memutar kepalanya menatap pustakawan itu tajam. "Anda yang memasukkan racun itu, Suzui-san."

Pustakawan itu memejamkan maniknya dan menunduk. "Saya tidak mungkin melakukan itu, Nona. Terlebih pada Nakahara-san."

Benar juga. Pustakawan ini termasuk anggota Port Mafia yang sudah cukup lama bekerja dan menetap disini.

Rasa royalitasnya yang tinggi, memang paling tidak mungkin dialah pelakunya.

Tapi sekarang, siapa yang memasukkan racun itu? Kulirikkan ekor mataku menatap [First Name], bahkan dia sendiri ikut berpikir sambil menggigit-gigit ujung ibu jarinya.

Pikirannya juga sudah buntung dan aku mengerti, alasan [First Name] tidak langsung memberitahunya.

"Suzui-san, siapa yang memberikan teh ini?"

Tepat saat jawaban itu kudengar, aku dan [First Name] melesat menuju dapur utama Port Mafia.

Mataku terbelalak melihat tumbukan kemasan teh yang cukup banyak disana. Apa ini artinya ada yang berusaha meracuni mafia?

"Bagaimana, Nakahara-san?" tanya gadis itu cepat.

"Bos sudah mengetahuinya, dia juga memanggil kita ke sana. Semua paket yang sempat dibagikan sudah dikembalikan," jelasku singkat saat aku memutuskan sambungan telponku dengan Bos.

[First Name] mengangguk mantap. Tak lama, gadis itu langsung mengikutiku dari belakang menuju ruangan Bos mafia.

Dalam waktu singkat, kami sudah sampai dalam ruangan luas yang masih sama. Setelah menunduk hormat dan melaporkan kejadian ini, Bos hanya menatap tumpukan kemasan teh itu tajam.

"Ada yang ingin meracuni mafia, kah?" sahutnya. Ia melirik ke arah [First Name]. "Bagus kau cepat menyadarinya, [First Name]-kun."

"Ha'i, saya juga sudah mengumpulkan informasi soal asal teh ini sebelumnya."

"Aku sudah menerima laporan lengkapnya." Tetiba Bos menggeser tumpukan selebaran kertas di atas mejanya. Kemudian melanjutkan, "markas mereka ada di luar daerah ini. Misi kalian adalah menghancurkannya, bagaimana? Apa kalian bisa?"

"Bagaimana dengan kasus yang menyerang para penjaga gudang kargo kita, Bos?" giliranku membuka suara.

"Ah, kau benar juga." Bos mafia itu saling menautkan jemarinya dan bertopang dagu, kemudian tersenyum penuh arti dan melanjutkan, "bagaimana kalau kalian bekerja terpisah?"

Eh? "Apa maksud Anda, Bos?"

"Chuuya-kun, kau akan menghancurkan markas mereka dan [First Name]-kun...." Bos menunjuk gadis yang dimaksudnya itu dengan jari telunjuknya. "Kau akan tetap disini menyelesaikan tugas Chuuya-kun."

Jadi itu... maksud senyumannya. Apa ini artinya ini adalah ujian terakhir dari Bos untuk [First Name]?

Membiarkannya bekerja sendiri, ya? Setelah dirinya yang terbiasa mengamati dan dipimpin, kini waktunya ia belajar memimpin.

Sebenarnya, aku bisa saja menolak usulan ini agar gadis ini tidak bekerja sendiri. Mungkin akan kulimpahkan misinya yang saat ini ada padanya pada Akutagawa atau Tim Kadal Hitam.

Tapi, bukankah seperti itu sama saja aku mementingkan egoku? Atau, karena aku terlalu mengkhawatirkannya?

[First Name] benar-bebar berbahaya. Semakin besar risikonya, baginya, semakin menyenangkan permainan itu.

Aku bisa melihat itu, karena setiap kali ada tugas berbahaya denganku, ia selalu tersenyum puas seolah tidak ada hal lain yang diinginkannya.

"[First Name], maaf kalau ini harus merepotkanmu," ujarku tanpa menoleh padanya.

"Iie," balasnya. Saat kulihat gadis itu, ia tengah tersenyum. "Lagi pula aku yang biasanya merepotkanmu kan, Nakahara-san?"

Benar juga, sih, pikirku. Aku bersweatdrop.

"Padahal aku ingin mengajakmu kesuatu tempat, sepertinya tidak mungkin, ya?" entah kenapa, isi pikiranku bahkan terdengar jelas olehku sendiri.

"Kemana?"

Jadi tadi bukan isi pikiranku?! Sialan! Bagaimana aku bisa mengungkapkan isi pikiranku sendiri?

"Eh... aku hanya...." Ingin memberikanmu hadiah.

"Bagaimana kalau sekarang?" usulnya diselingi senyuman lembutnya. "Nakahara-san mulai besok harus pergi, mungkin dalam seminggu kau tidak akan kembali."

Eh? "Benar juga."

Aku—ralat, kami—menghela nafas singkat dan tertawa kecil. Tanpa kusadari, melihatnya tersenyum, aku pun tersenyum padanya.

"Kalau begitu, tempat apa yang ingin kau kunjungi?"

Salju sudah hampir menumpuk di pinggir jalan. Beberapa toko sudah dilengkapi hiasan natal, persiapan yang matang.

Beberapa restoran membuka potongan harga spesial natal, pun dengan toko-toko pernak-pernik yang kulewati dengan [First Name].

Berbeda dengan gadis pada umumnya. Gadis ini tidak menyukai perhiasan dan sejenisnya, dari yang kuamati.

Toh, dia bahkan tidak melirik ke arah toko-toko seperti itu, seolah tidak tertarik.

"Apa yang ingin kau beli?" tanyaku penasaran.

[First Name] kembali menatap jalan di depannya seraya berpikir. Jadi, dia sendiri bingung ingin membeli apa?

"Tidak tahu."

Benar, kan?

Aku menghela nafas singkat. "Benar-benar tidak ada yang ingin kau beli?" tanyaku lagi.

"Kue, puding, coklat, lalu...."

"Memangnya dipikiranmu hanya ada makanan manis?!"

[First Name] tertawa kecil. "Untuk saat ini dan seterusnya begitu. Aku harus mengumpulkan uang untuk kuliahku nanti." Kemudian mengembangkan senyumannya sampai deretan gigi-gigi putihnya terlihat.

Aku bungkam seketika. Jadi karena itu, walaupun pekerjaannya berat dan bayaran yang didapat tinggi, dia tetap bertahan.

Bukan hanya untuk panti asuhannya saja, tapi untuk dirinya juga, ya? Kukira ia hanya memikirkan orang lain, tapi tidak dengan dirinya.

Aku bersyukur. Paling tidak, ia tahu kalau dalam bahaya dirinya juga perlu diutamakan. Ya, walaupun tetap saja ia masih hobi mengambil risiko yang tinggi.

Dan sepertinya... aku tahu harus membawanya kemana.

Aku segera menarik tangannya dan sedikit berlari. Setelah sampai di tempat tujuanku, aku melepaskan dirinya.

Yep, toko buku. Mungkin orang berpikir hanya buku-buku yang dijual disini pada dasarnya. Tapi tempat ini sedikit berbeda.

Sering kali kulihat beberapa pelajar keluar masuk tempat ini, mungkin memang tempat yang terkenal untuk orang-orang seperti mereka.

[First Name] juga tidak merasa aneh. Sedari tadi kulihat ia berjalan kesana kemari melihat banyak stationery juga buku-buku disana.

Tidak heran aku melihatnya seperti ini, toh di perpustakaan Port Mafia pun dia selalu menuliskan banyak hal dalam catatan atau agendanya.

"Jadi kau ingin membeli apa, [First Name]?" tanyaku untuk kesekian kalinya.

"Umn... semuanya!"

"Jangan semuanya juga, dong!"

[First Name] tertawa kecil. "Bercanda, kok. Bercanda."

Selagi gadis itu kembali mencari barang-barang yang ingin dibelinya, aku pun ikut melihat-lihat pula.

Bahkan boneka dan gantungan juga ada, ya? Aku malah jadi heran dengan ini.

Begitu aku kembali melangkah, mataku terpaku pada deretan satu benda yang sama, tapi dengan bentuk yang berbeda.

"Penanda bukunya bagus sekali."

Tetiba aku menoleh, tidak kusangka gadis ini ternyata sudah sampai di depanku saja.

Begitu aku menoleh, seketika kurasakan diriku jadi salah tingkah. Sial, dia terlalu dekat!

Aku menarik nafas singkat dan menghela pelan. Aku harus bisa mengendalikan keadaan tidak hiasa ini!

"Kau mau? Ambil saja, aku yang akan membelikannya untukmu."

"Iie, arigatou Nakahara-san. Aku akan membayarnya sendiri," tolaknya sopan.

Aku kembali menghelakan nafasku. Memangnya dia tidak mengerti atau pura-pura bodoh?

Memangnya aku harus mengatakannya kalau aku yang akan membayar semua yang dia beli khusus hari ini?

"Begini [First Name], aku yang akan membayar semua yang kau beli. Tidak apa, 'kan?"

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

"Oh... eh?! Doushite? Aku sungguh tidak ingin kau—"

"Hadiah...." Aku memalingkan wajahku. Sial, wajahku panas! Kenapa ini selalu terjadi setiap kali aku berbicara dengan gadis ini? Belakangan ini? "Untukmu."

"Ini bukan racun, kan?"

"Tentu saja bukan! Lagi juga, apa maksudmu membicaran soal racun lagi?!"

Terkadang aku tidak mengerti dengannya. Tapi inilah sisinya yang selalu menggodaku, berhasil membuatku berteriak frustasi karena dia terkadang sengaja berpura-pura bodoh dengan wajah polos nan datarnya.

[First Name] tersenyum. "Benar juga, ya. Dan soal racun yang tadi... sebenarnya tertulis di sana 'gift' untuk Bos."

"Jadi kau membacanya juga?"

Gadis itu mengembungkan pipinya sebal. "Tentu saja. Ditulis dengan jelas, kok."

Melihatnya seperti itu, giliranku tertawa. [First Name] mengambil penanda buku yang dipilihnya.

Penanda buku berbentuk kristal salju dengan tali panjang yang menjuntai, pun diujungnya terdapat bandul kecil dengan batu berwarna marine blue yang terlihat berkilau.

Selanjutnya, aku tidak terlalu memperhatikan benda-benda apapun lagi yang diambilnya.

Tapi sekilas, kulihat ia mengambil sebuah buku yang tidak terlalu tebal, tapi lebar.

Setelah memberikannya pada konter di toko itu untuk dikemas, kemudian aku membayarnya. Semuanya, tentu saja.

Setelah keluar dari toko buku itu, aku dan [First Name] mulai berjalan entah kemana. Intinya, menikmati sisa waktu kami untuk hari ini.

"Nakahara-san, kau tahu artinya?"

Eh? Apa? Dia masih membicarakan soal racun itu atau tentang 'gift'?

"Tentu saja 'hadiah', 'kan?"

Gadis itu tersenyum. "Ya, itu memang benar. Kalau dalam bahasa selain bahasa Inggris?"

Bahasa lain? Bahasa apa?

"Artinya... 'racun'."

Oh, aku ingat! Kalau tidak salah— "Bahasa Jerman, ya?"

[First Name] tidak merespons, hanya tersenyum seraya melihat ke depan.

Seketika, aku bersidekap. Bahasa Jerman... teh... dan berhubungan dengan Port Mafia. Kalau tidak salah memang ada organisasi kecil yang lama memendam dendam dengan mafia.

"Kau sadar, ya?"

"Berkat kau, sepertinya waktu seminggu tidak akan sampai," balasku seraya tersenyum miring.

[First Name] membalasnya. "Kalau begitu, ganbate kudasai, Nakahara-san. Dan juga...."

Ia menatapku seraya tersenyum penuh arti. Sebenarnya, aku tahu senyumannya yang satu ini. Sudah pasti—

"Jangan sampai kau merindukan bawahanmu yang merepotkan ini."

Cih, sudah kuduga dia akan mengatakan hal itu! "Te-tentu saja tidak akan!"

Sial, kenapa wajahku memanas lagi!? Oi, aku kan sudah terbiasa mendengarnya menggodaku seperti itu. Tapi kenapa aku merasakan ini?

Padahal sebelumnya aku tidak pernah merasakannya....

"Kau juga, ya. Jangan sampai terlalu memikirkanku."

[First Name] mendengus. Saling berbalasan seperti ini, rasanya konyol sekali.

Namun, memang aku yang seperti ini hanya bisa pada anak ini saja. Bahkan dengan Anee-san pun belum pernah, justru sepertinya aku yang dipermainkannya terus.

"Nakahara-san, bisa ikut aku sebentar?"

Apa kau tahu [First Name], 'gift' yang kau berikan padaku itu benar-benar berupa racun bagiku.

Racun yang selalu membuatku teringat padamu....

... dan racun....

... yang aku yakin suatu saat bisa membunuhku.

























—oOo—

Chuuya Side 10 owari! Berarti abis ini cuman ada misi doang, ya? Abis misi sebentar, ketemu Dazai lagi deh 😃

Akhirnya hadiahnya jadi ginian 😄 BTW, kalyan bisa tebak-tebak aja buku apa yang kalyan beli 😆

Oi! Jangan lupa vote dan krisarnya, ya! Mikajeh tunggu, lho 😌

Thanks!
Hope You All Like It!

—oOo—

*maksudnya disini, [First Name] bebas meminta apapun dari Chuuya tanpa syarat apapun ; meminta sebebas-bebasnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro